"Tadaima modorimashita."
Lavendernya menatap lorong rumah yang kosong, tidak ada satupun penghuni rumah yang menyambut atau bahkan membalas salamnya, bahkan dari para pelayan sekalipun. Sepatunya ia lepas saat menaiki genkan, meletakkan sepatu berwarna coklat itu pada rak khusus sepatu.
Langkah mungil itu berjalan perlahan-lahan, sudah menjadi aturan rumah itu untuk tidak berlarian di sepanjang rokka. Dari banyaknya aturan tidak tertulis, hanya hal itu yang sangat Hinata ingat. Meskipun ia baru saja pindah ke rumah besar ini bulan lalu, bocah kecil itu diharuskan untuk sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Kamarnya terletak di bagian belakang, sehingga membuat Hinata harus melewati ruang makan dan beberapa kamar lebih dulu. Langkah kecilnya seketika terhenti saat berada di depan ruang tertutup. Ada suara tawa dari seseorang yang Hinata kenal.
"Hanabi kau sangat hebat bisa mendapat juara pertama, benarkan Hiashi-san?"
"Itu baru putriku."
"Tou-san teba. Berhenti mengacak rambutku."
"Kau tidak mengucapkan selamat pada adikmu, Neji?"
"Sou da, hanya Neji-nii saja yang belum mengucapkan selamat padaku."
"Aa, omedetou imouto."
"Hanya itu? Neji-nii tidak asik."
"Sudah, sebaiknya kita makan kue ini. Kaa-san dapat dari Mebuki-san."
Hinata masih tetap berdiri di balik soji saat telinganya kembali mendengar candaan dari dalam. Bahkan suara paling berat itu kembali terdengar terkekeh pelan. Tangan putihnya tanpa sadar menggenggam erat tali tas merahnya. Kepalanya sedikit menunduk, membuat lantai kayu sebagai gambar yang tertangkap oleh mata bulannya. Dengan berat hati Hinata berjalan menjauh, merasa keberadaannya akan menjadi perusak jika sampai keempat orang itu tahu ia berdiri disana.
Di sisa perjalanan menuju kamarnya, pikiran bocah kecil itu masih saja terpaku pada kejadian barusan. Suara tawa dari sang ayah yang belum pernah terlantun karenanya dan aura hangat sebuah keluarga yang belum pernah ia rasakan. Ada sebersit rasa iri pada adik tirinya yang dilimpahi begitu banyak kasih sayang. Semenjak dia pindah kemari, kebanyakan orang di rumah itu selalu memandangnya dengan pandangan yang sama. Pandangan seolah kehadirannya adalah sebuah kotoran yang perlu untuk dihindari, begitu juga dengan sang ayah yang memandangnya seperti itu.
Hinata tidak ingin semua benda yang selama ini ia terima, tidak ingin sebuah kamar bagus yang ditempatinya sekarang, dan juga tidak menginginkan nama Hyuuga menjadi nama keluarganya. Hanya sebuah hal kecil yang Hinata inginkan, ayah kandungnya memperhatikannya.
.
.
.
The Crown
Author Michio Miura
Tokoh yang saya pakai milik Kishimoto Masashi-sensei
Warning: typo, alur cepet, dan masih banyak lainnya
Pairing: Sasuhina
Kalau tidak suka langsung aja klik back atau langsung saja klik silang
.
.
.
"Hinata, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu."
"Bisa kau ketuk dulu pintunya, 'ojou-san'?"
"Sudahlah, tunanganmu datang."
"Tunangan?"
"Konichiwa Hinata-san. Boku Sabaku Gaara desu."
.
.
.
.
.
.
.
.
Hinata tersentak dari tidurnya, keringat dingin membanjiri seluruh wajahnya. Nafas perempuan itu sedikit tersengal, meskipun Hinata tidak berlari detak jantungnya berpacu sangat cepat. Suhu udara kamar yang dingin malah semakin memperburuk kondisinya saat ini. Entah kenapa suhu ruangan yang di atur seperti suhu normal terasa begitu dingin di kulitnya. Selimut tebal berwarna coklat yang sepertinya membungkusnya sejak tadi, tersibak karena dirinya yang terbangun.
"Kau sudah bangun rupanya." Laki-laki jabrik datang membawa sebaskom air dingin. Meletakkan pada meja kecil di samping tempat tidur.
"Kau tiba-tiba pingsan tadi." Sasuke hanya merasa bersalah dengan kondisi istrinya. Melempar tubuh istrinya ke laut ternyata berdampak cukup signifikan, mana tahu tubuh langsing itu begitu sensitif dengan suhu dingin. Akibatnya beberapa saat setelah masuk hotel, tubuh Hinata ambruk.
"Maaf. Aku jadi merepotkanmu, Sasuke-san." Hinata menunduk di tempat tidurnya. Sadar dengan bajunya yang semula gaun berubah menjadi piyama tidur. Membuatnya sedikit heran, apa suaminya sendiri atau orang lain yang mengganti bajunya.
"Sudah biasa." Jawaban yang ditanggapi kernyitan dari Hinata. Perempuan itu hanya lupa Sasuke pernah menggendongnya dulu. Dulu sebelum keduanya menikah, singkatnya saat Hinata mengajaknya untuk menikah.
Hinata terkesiap saat tubuh Sasuke mendekat, bukan takut hanya waspada dengan tindakan yang akan dilakukan oleh suaminya. Namun, Sasuke mendekat hanya untuk menempelkan punggung tangannya pada dahi Hinata saja.
"Tidak sepanas tadi."
Sasuke dengan telaten membaringkan Hinata kembali, meskipun sedikit mendapat penolakan karena istrinya yang baru saja bangun disuruh untuk kembali berbaring. Tapi Hinata tidak akan meronta hingga menimbulkan hal baru yang semakin akan merepotkan suaminya, cukup bertingkah seperti gadis penurut saja malam ini.
"Sasuke-san..." Mata jelaga milik Sasuke menatap pada wajah istrinya yang memerah akibat demam. Selimut yang tadi sempat tersibak, kembali Sasuke betulkan hingga menutupi perpotongan leher Hinata.
"Hn?"
"Maaf karena kembali merepotkanmu. Bisakah Sasuke-san mengambilkan tasku?"
Sekalipun Hinata tidak mengatakan kata maaf pada kalimatnya, Sasuke sama sekali tidak merasa repot karena permintaan istrinya itu. Sasuke tidak menyahut, tapi pemuda itu langsung beranjak mengambil tas berwarna hitam yang terletak di dekat meja rias.
"Ini."
"Arigatou gozaimasu."
Setelah meletakkan tas itu di samping Hinata, Sasuke kembali duduk di pinggir ranjang. Menyaksikan hal apa yang akan dilakukan istrinya pada benda hitam itu.
"Vitamin?" Sasuke hanya memastikan benda apa yang akan masuk ke dalam mulut istrinya.
"Hai, aku selalu membawa obat ini kemanapun aku pergi."
Sasuke dengan inisiatif sendiri membantu Hinata mengambil segelas air putih yang ada di nakas. Memegangi gelas itu akibat melihat tangan istrinya yang gemetar.
"Arigatou gozaimasu."
Lagi-lagi Sasuke mendapati Hinata selalu menunduk hormat setelah mengatakan terima kasih padanya. Sikap Hinata yang Sasuke lihat sekarang tak lebih seperti tingkah seorang bawahan kepada atasannya. Dimana dalam kasus ini Sasuke merasa dirinya sebagai atasan itu.
Tidak berhenti sampai disitu, mengingat bagaimana tadi dengan kedua matanya sendiri, Sasuke melihat Hinata tiba-tiba tersenyum dan tertawa di waktu yang hampir bersamaan. Hal ini bagaikan seperti mendapat hadiah natal di bulan Agustus. Namun mendapati Hinata yang seperti ini sungguh tidak pernah terbesit di benak Sasuke, tidak jika secepat ini.
"Tidurlah."
Bahkan pemuda itu sedikit aneh dengan tindakannya saat ini. Tidak pernah sekalipun ia peduli dengan namanya perempuan yang sakit, terkecuali ibunya. Yang Sasuke maksud disini adalah perempuan-perempuan yang baru Sasuke kenal, termasuk istrinya yang baru saja ia kenal kurang dari dua bulan lalu.
Kompres yang Sasuke bawa tadi ia biarkan begitu saja, alih-alih menggunakan kain basah itu, Sasuke malah mengelap perlahan sedikit peluh yang membasahi kening Hinata menggunakan tangannya. Untuk perempuan duapuluh tujuh tahun itu sendiri, tangan besar milik suaminya terasa begitu hangat saat mengelus kepalanya. Rasa baru yang berhasil Sasuke ciptakan pada diri Hinata.
Orang lain akan menggunakan kata 'perhatian' daripada kata 'pelan' untuk aksi Sasuke itu, membuat istrinya merasa nyaman untuk kembali menyambut alam bawah sadarnya. Tidak berselang lama, sebuah topeng berwajah polos mengganti topeng berwajah datar yang selama ini Hinata pakai.
Melihat istrinya yang selama ini tidak Sasuke sangka dapat menampilkan raut wajahnya sekarang, membuat Sasuke teringat. Masih segar dalam ingatan Uchiha bungsu itu, bagaimana mata lavender itu pernah menatapnya tajam disertai dengan sebuah seringai tipis. Menyudutkan seorang yang tidak pernah terkalahkan seperti dirinya, malah membuat Sasuke semakin ingin membuat Hyuuga tengah itu berada di sampingnya, dan nyatanya hal itu memang terjadi.
Bicara tentang proses mendapatkan si tengah Hyuuga, ada satu hal yang membuat Sasuke penasaran setengah mati. Sasuke sangat yakin setelah pertemuannya dengan Hinata di cafe siang itu, si pewaris cadangan harus kembali mencari seorang perempuan yang sesuai dengan tiga kriteria yang ia buat. Bukannya malah mendapat ajakan menikah dari orang yang pernah menolaknya beberapa hari kemudian. Dan hal yang membuat Sasuke penasaran adalah apa yang melatar belakangi istrinya memohon seperti anak kecil untuk menikah dengannya malam itu.
Sasuke belum menanyakan–tidak sempat menanyakan–akibat terlalu terfokus pada Hinata yang mau menikah dengannya, perihal rencananya, dan lain sebagainya. Sayangnya, membicarakan hal ini pada Hinata sekarang, bukanlah waktu yang tepat.
Tidak sampai Sasuke dengan sendirinya membeberkan alasan dibalik terpilihnya Hinata sebagai kandidat teratas pasangan potensial baginya.
.
.
.
"Hyuuga-sama, Uchiha-sama mengirimkan laporan tentang perkembangan resort di Okinawa kemarin malam." Sekertaris Neji datang dengan sebuah map biru, meletakkan benda persegi panjang dengan ketebalan sekitar satu senti di atas meja atasannya.
Bagi orang yang baru bekerja ataupun dari perusahaan lain, perapalan nama Hyuuga-sama yang terjadi di perusahaan itu akan menjadi sebuah fenomena paling membingungkan yang pernah terjadi. Karena dimanapun kau berhadapan dengan seseorang dengan jabatan tinggi, pasti nama Hyuuga sebagai nama keluarganya. Dan bukannya mengalah menggunakan nama kecil, mereka tetap ngotot mempertahankan nama keluarga sebagai nama panggilan di kantor. Untungnya bagi Hinata, nama perempuan itu telah berganti dua bulan lalu.
"Aa."
Hyuuga Neji masih memeriksa setengah dari laporan keuangan saat lavendernya menatap laporan yang baru saja datang. Mendengar nama adik tirinya disebut, Hyuuga Neji langsung saja meletakkan laporan yang ada di tangannya dan langsung membaca map biru itu.
Butuh beberapa waktu bagi si pewaris baru untuk menangkap informasi dari berpuluh-puluh lembar itu. Alis Neji sedikit naik ke atas akibat kata demi kata yang baru saja ia baca. Memang laporan itu sudah cukup bagus menggambarkan kondisi resort di Okinawa, tapi gaya tulisan ini bukanlah gaya tulisan Hinata. Adik tirinya tidak pernah menulis kata-kata menusuk pada laporan seperti kata yang ia baca sekarang. Mengesampingkan hal itu, memberikan tanggung jawab mengurus resort pada Hinata adalah sebuah pilihan terbaik. Buktinya hanya dalam waktu lima hari, laporan itu sudah berada di tangannya.
Badan Neji bersender pada kursi kebesarannya. Punggungnya yang selalu tegap sedikit melengkung untuk mendapat posisi paling nyaman. Untuk pertama kalinya untuk hari ini, Neji menghela nafas. Memikirkan dengan tempo seperti ini, tidak butuh waktu lama sampai Hinata menjadi sorotan karena hasil kinerjanya, tentunya para tetua tidak akan berdiam diri sampai hal itu terjadi. Dan sayangnya dengan jabatannya yang sekarang, Hyuuga Neji tidak akan membuat rencana para Hyuuga itu berjalan dengan mudah.
.
.
.
"Hiks...hiks...hiks."
Air mata terus saja mengalir dari kelopak mungilnya kala lututnya semakin mengeluarkan cairan merah kental. Berlari tergesa karena melihat awan yang semakin menghitam membuat gadis kecil itu sampai tidak memperhatikan batu besar yang sempat tak sengaja ia tabrak. Langsung terjatuh dengan lutut kiri lebih dulu.
Gadis kecil itu berusaha untuk berdiri mengabaikan betapa perihnya lututnya saat ini. Rintik hujan mulai berjatuhan saat gadis kecil itu baru beranjak beberapa meter dari tempatnya terjatuh. Lavendernya memperhatikan ke sekeliling, mencari tempat berteduh terdekat karena ia yakin dengan kecepatannya yang sekarang sangat tidak mungkin sampai ke rumah dalam waktu sepuluh menit.
Begitu tubuhnya sudah hampir sampai ke swalayan yang akan ia jadikan tempat berteduh, ada sebuah suara yang membuatnya terhenti.
"Apa yang kau lakukan? Cepat naik." Suara datar dari salah satu saudara tirinya membuatnya terbelalak. Tidak menyangka akan mendapati bocah laki-laki itu sedang berjongkok di hadapannya.
Kakak tirinya memang tidak menatapnya sekarang lantaran memunggunginya, tapi gadis kecil itu yakin jika wajahnya tidak senang jika ia tidak segera mengalungkan tangannya pada lehernya.
"Seharusnya kau perhatikan jalanmu. Hyuuga tidak pernah menunduk saat berjalan."
Langkah kakinya seketika bertambah cepat, hujan sudah mulai mengguyur membuat tubuh kedua bocah itu basah kuyub. Sang kakak memang sengaja menambah kecepatan berlarinya, mengesampingkan beban tubuh adiknya yang sedikit membebani tubuh kecilnya. Telinganya pernah tidak sengaja mendengar perbincangan para pelayan yang menyayangkan betapa lemahnya kekebalan si anak haram, membuat Hyuuga sulung harus cepat-cepat sampai ke rumah untuk segera menghangatkan adik tirinya.
"Arigatou, Neji-nii."
Kali ini telinga Neji mendengar suara lemah yang berasal dari gendongannya, membuat Neji secara tidak sadar menempelkan punggungnya pada tubuh adik tirinya. Mungkin setidaknya dengan hal itu, suhu tubuhnya akan sedikit menghangatkan.
Bagi Hinata, tindakan Neji sekarang sangat membuat hatinya penuh dengan perasaan hangat. Meskipun Neji cenderung mengabaikannya, tapi lavender Hinata tidak menemukan sebuah kebencian yang tercermin di matanya. Berbeda dengan Hyuuga lainnya.
Setidaknya–setidaknya meskipun cuma sekali, Hinata juga ingin memanggil kakak tirinya dengan sebutan 'Neji-nii' seperti panggilan Hanabi.
Bagi Neji sendiri, bocah itu tidak keberatan jika adik tirinya memanggilnya dengan sebutan itu. Walaupun secara teknik, dia tidak menemukan kesalahan akibat Hinata memanggilnya kakak karena memang secara harfiah dia memang kakaknya.
Dan sayangnya panggilan itu menjadi kali pertama dan terakhir Hinata memanggil 'Neji-nii' padanya.
.
.
.
"Kenapa Sasuke-san mengirim laporanku?"
Meskipun dalam kondisi lemah, Hinata sedikit meninggikan suaranya. Perempuan itu tidak terima jika suaminya mencampuri pekerjaannya. Apalagi jika pekerjaan sepenting ini.
"Karena kau sedang sakit."
Jika ia memang sakit lalu apa hubungannya? Hinata hanya butuh istirahat beberapa jam saja untuk membuat tubuhnya sedikit mendingan. Bahkan meskipun dalam keadaan sehatpun, Sasuke tidak berhak mencampuri urusannya.
"Lalu, hanya karena alasan itu Sasuke-san mengirimnya begitu saja? Tanpa menunggu persetujuanku?" Hinata sangat yakin ia baru menyelesaikan setengah dari tugasnya.
Sasuke memang mengakui apa yang ia lakukan memang salah. Mengutak-atik laporan istrinya yang menurutnya tidak akan selesai dalam waktu lama melihat bagaimana kondisi Hinata saat ini. Singkat cerita, Sasuke membantunya. Ada dua alasan kenapa ia melakukannya. Pertama karena bidang itu merupakan keahliannya dan yang kedua karena ia bosan.
Berada di sebuah hotel tanpa melakukan apa-apa, membuat tangan Sasuke gatal. Beberapa tumpuk dokumen yang menggunung terlihat terlalu menggoda untuk dilewatkan.
"Tidak juga." Sasuke menghela nafas, melihat istrinya yang terbaring lemah tentu membuat pemuda Uchiha itu tidak tega. Hinata terlalu mengerjakan semuanya sendiri, memaksakan tubuh kelelahannya.
"Aku menyelesaikan sisa laporanmu." Sasuke berkata jujur dan hal ini semakin membuat suasana hati Hinata memburuk.
"Bukankah dalam perjanjian kita sepakat untuk tidak saling mencampuri urusan masing-masing, Sasuke-san?"
"Maaf." Satu kata yang semakin membuat Hinata ingin mengamuk sekarang. Walaupun terdengar lirih, Hinata tidak peduli Sasuke tulus atau tidak saat mengucapkannya.
"Tapi setidaknya pikirkan kondisi tubuhmu sekarang, Hinata." Sasuke tentunya tidak akan membuat aset berharganya terluka sedikitpun. Mengesampingkan mungkin itulah alasan sebenarnya kenapa Sasuke begitu saja duduk di depan laptop untuk beberapa jam terakhir, meskipun laki-laki itu tidak akan pernah mengakuinya.
"Kau mutah berkali-kali, tubuhmu lemas, dan biar kutebak, kepalamu pasti pusing. Benarkan?"
Hinata bungkam. Suaminya seratus persen benar. Kepalanya pusing bukan main. Mungkin untuk berjalan ke kamar mandi saja, Hinata tidak yakin tidak akan terjatuh.
"Aku tahu aku salah. Oleh karena itu aku minta maaf." Dua kali Sasuke minta maaf pada Hinata. Hanya pada Hinata. Selamanya Sasuke tidak pernah meminta maaf, orang lainlah yang selalu mengucapkan kata itu padanya.
Jika bukan karena Sasuke adalah partner bisn–suaminya, Hinata tidak akan segan-segan berteriak memarahinya. Hinata masih punya tata krama untuk tidak mencaci maki orang yang katanya telah membantunya.
Dengan cepat Hinata kembali berbaring, kali ini selimut itu menutupi hampir seluruh tubuhnya. Badannya juga berbalik memunggungi Sasuke.
"Kau tidak ingin makan siang dulu sebelum tidur?"
Hinata sedikit menjauhkan tubuhnya saat Sasuke menepuk pelan pundak istrinya itu. Sasuke tahu pasti Hinata sedang merajuk sekarang. Dan bagi Sasuke, sikap Hinata kali ini sama seperti keponakannya yang kesal karena mainannya dirusak oleh temannya.
Melihat seringnya perubahan wajah Hinata, Sasuke semakin ingin tahu perihal istrinya.
.
.
.
Hinata memang masih lemas, tapi jika itu hanya duduk beberapa jam saja di pesawat tidak akan sampai membuatnya pingsan kembali. Keesokan harinya setelah perdebatan mereka, Hinata mendiamkan Sasuke atau bisa dikatakan setelah ia bangun sore itu. Perempuan duapuluh tujuh tahun itu masih marah pada suaminya. Dan semakin marah lagi saat dengan seenaknya Sasuke mengemasi barang-barangnya dan menyeret Hinata ke bandara. Jadi jangan salahkan perempuan itu yang terus memasang wajah masam pada setiap tatapan suaminya yang mengarah padanya.
Dirinya yang sekarang begitu membenci sikap Sasuke, memperlakukannya seperti wanita lemah yang tidak bisa melakukan apa-apa. Hinata akan mencabut pernyataannya, ia sangat menyesal menikah dengan laki-laki di sampingnya ini.
"Moshi-moshi, Ayame-san. Bisa kau gantikan aku ke Okinawa? Tidak. Kau hanya memantau perkembangannya saja. Laporannya sudah ku kirim ke kantor pusat. Tidak, bukan apa-apa. Aku hanya ada sedikit urusan. Baiklah, kuserahkan padamu."
Hinata langsung menghubungi sekertarisnya saat baru menginjakkan kaki di bandara Narita. Ia tidak punya banyak waktu bersantai saat Okinawa kosong tanpa adanya penjagaan. Dan mengirim orang kepercayaannya adalah keputusan yang tepat.
Mengabaikan keberadaan suaminya yang tengah berdiri, Hinata langsung saja menarik kopernya, berjalan sedikit tergesa untuk segera mencapai pintu keluar bandara. Hinata sudah bersiap akan masuk ke sebuah taxi jika saja tangannya tidak kembali diseret Sasuke. Membawa tubuh lemasnya ke dalam mobil miliknya.
"Kau ingin makan apa?" Sasuke bertanya saat mereka berada di mobil. Mengendarai dalam kecepatan sedang, Sasuke tidak ingin ada memar di pergelangan tangannya akibat cubitan Hinata. Walaupun tidak mungkin Hinata akan mencubitnya.
Hinata diam. Semua pertanyaan Sasuke tidak satupun ia jawab sejak kemarin.
"Aku ingin makan sushi."
Entah kenapa Hinata ingin mengutuk dalam hati. Kenapa semua orang begitu suka dengan makanan amis itu?
"Kau tidak suka?"
Sasuke hampir menyerah karena Hinata yang mendiamkannya. Tapi mengingat ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya membuat Sasuke harus terus bersabar.
"Kita bisa makan dite–"
"Bisakah kita pulang?"
Suara dingin Hinata terdengar seperti suara penyanyi kelas dunia bagi Sasuke. Apa ini artinya mereka sudah saling gencatan senjata?
"Aku hanya ingin istirahat." Meskipun Hinata sedikit bersikap kurang sopan dengan bicara tanpa memandang suaminya, Sasuke tidak mempermasalahkan hal itu. Baginya Hinata yang sudah mau bicara saja sudah untung. Mungkin untuk kedepannya Sasuke tidak akan lagi mencampuri urusan pekerjaan Hinata, tidak jika melihat istrinya semarah ini.
"Tentu."
Sasuke melajukan mobilnya ke arah apartemen mereka. Tidak sampai lima belas menit, mobil hitam itu sudah terpakir di basement. Sebagai seorang laki-laki, tentunya Sasuke membantu istrinya membawa koper. Tapi saat tangan besar itu hendak mengambil koper milik istrinya, tangan Hinata lebih dulu mengambil barang bawaannya.
"Aku bisa sendiri." Lagi-lagi suara itu. Sasuke hanya bisa menatap punggung istrinya yang berjalan lebih dulu menuju apartemen mereka.
.
.
.
"Hinata, aku sudah pesan makan malam. Ayo mak–" Oniks milik Sasuke meleber saat membuka kamar milik istrinya. Mendapati Hinata yang kembali pingsan.
"Hinata! Kau tidak apa-apa?!" Sasuke berseru cukup keras untuk menyadarkan istrinya. Pipi tembam itu Sasuke tepuk perlahan.
"Eng..." Setidaknya usahanya berhasil, perlahan-lahan kesadaran Hinata mulai terkumpul.
Dengan sigap Sasuke menggendong istrinya, membaringkan perlahan-lahan pada kasur queen-size milik Hinata. Hanya dalam dua hari saja, Sasuke merasa berat tubuh Hinata sedikit berkurang.
"Hinata, kita akan ke rumah sakit." Sasuke hendak mengambil jubah untuk menutupi tubuh kedinginan istrinya, jika saja tidak ada sebuah tarikan halus yang membuat Sasuke berhenti.
"Jangan membawaku ke rumah sakit." Suara Hinata terdengar begitu lirih saat mengucapkannya. Sasuke bisa melihat hanya untuk bicara saja nafas istrinya tersengal.
"Kau gila? Kau harus ke rumah sakit." Tindakan yang tepat untuk istrinya saat ini tidak lain membawanya ke rumah sakit.
"Kumohon, Sasuke-san. Jangan membawaku ke sana. Onegai."
Kali ini, nafas Sasuke berasa berhenti untuk dua detik. Melihat bagaimana keadaan istrinya saat ini. Pipi memerah, rambut berantakan, piyama bagian atas yang dikancing asal, dan jangan lupakan dada istrinya yang naik turun karena sesak nafas. Ditambah dengan suara yang tedengar sangat menggoda di telinga Sasuke, sama persis yang Hinata gunakan saat memohon untuk menikahinya. Jika Sasuke tidak ingat keadaan istrinya yang sedang gawat darurat, mungkin sekarang ia sudah menindih tubuh langsing itu, mengabaikan isi kontrak yang telah mereka sepakati.
Sasuke segera tersadar, bukan saatnya untuk berpikiran mesum. Kondisi istrinya saat ini terbilang cukup serius. Mengalah dengan keputusan sepihak istrinya, setelah menyelimuti tubuh Hinata, Sasuke kemudian mengeluarkan smartphone untuk menghubungi seseorang.
"Karin, bisa kau ke apartemenku sekarang? Jangan lupa bawa peralatanmu."
.
.
.
"Bagaimana keadaannya?" Sasuke segera berdiri saat melihat teman merahnya keluar dari kamar istrinya. Berjalan sedikit tergesa untuk menghampiri dokter cantik itu.
"Sudah berapa lama kondisinya seperti ini?" Dokter berkaca mata itu memandang tajam cinta pertamanya.
"Sekitar dua hari." Atau lebih.
"Aku tidak tahu jika kau bisa sebodoh ini." Karin bicara dengan nada tajam yang sering ia gunakan. Tapi bukan itu yang membuat Sasuke kesal, ia hanya sedikit tersinggung karena dikatai bodoh oleh temannya.
"Seharusnya kau langsung membawanya ke rumah sakit!" Semua dokter pasti akan bicara seperti ini. Seharusnya ia tidak perlu mendengar perkataan istrinya dan langsung saja membawanya ke rumah sakit. Sasuke hanya diam saja. Rasa kesal dan tersinggungnya tidak seharusnya ia rasakan jika ia memang sebodoh ini.
"Kondisinya?" Pertanyaan yang masih membuat penasaran setengah mati. Jika Karin menyuruh untuk membawa Hinata ke rumah sakit sekarang, Sasuke tidak kembali bertanya pada istrinya. Biarlah istrinya nanti marah ataupun kembali mendiamkannya, asalkan perempuan itu sembuh Sasuke tidak keberatan sama sekali.
"Dia baik-baik saja. Aku sudah menyuntikkan obat, kau hanya menunggu istrimu sampai siuman." Sasuke kurang begitu memperhatikan adanya sedikit perubahan saat Karin menyebut kata istrimu, yang menjadi fokus Sasuke adalah kondisi istrinya yang tidak kenapa-kenapa.
"Kenapa dia bisa sesakit itu?" Sasuke hanya melempar istrinya ke air laut, itupun hanya sebentar karena Hinata segera berdiri meninggalkannya yang juga terendam dengan sebuah kekehan kecil.
"Kekebalan istrimu terbilang cukup lemah." Sasuke mendengarkan sepenuh hati perihal penyebab istrinya bisa drop seperti ini. "Bisa karena bawaan sejak lahir atau dulu ia kurang mendapat ASI dari ibunya."
"Kelelahan juga bisa menjadi pemicunya." Memang sebelum Hinata berangkat ke Okinawa, ia sering kali mendapati istrinya pulang larut. Mungkin sedikit banyak hal itu berpengaruh terhadap kondisi tubuh istrinya, selain air laut yang merendam tubuhnya.
"Tapi menurutku, tidak hanya hal itu. Istrimu kemungkinan besar sedang stress berat saat ini." Kalau hal ini Sasuke baru dengar. Memang pekerjaan milik istrinya terkadang bisa menimbulkan stress, tapi mengingat siapa Hyuuga Hinata, beban kerja seberat apapun tidak mungkin bisa menumbangkan Hyuuga dengan tekad baja itu.
Setangguh-tangguhnya Hyuuga yang Sasuke bicarakan sekarang, ia juga seorang perempuan. Dan untuk hal ini Sasuke hampir terlupa.
"Aku tidak membawa obat karena buru-buru. Jadi aku hanya menulis resepnya saja." Karin merobek kertas yang beberapa saat lalu ia tulisi. Memberikan pada Sasuke yang kelihatannya masih terperangkap pada lamunannya.
"Sepertinya memiliki istri membuat Uchiha Sasuke berubah banyak, eh?"
"Apa maksudmu?"
"Selama aku mengenalmu, aku belum pernah melihatmu begitu khawatir pada teman-teman kencanmu."
Sasuke menyeringai, temannya yang satu ini sepertinya sudah lama mengenalnya. "Dia istriku, bukan teman kencanku, Karin."
"Terserah." Karin juga ikut tersenyum.
.
.
.
Sasuke kembali datang dengan sebuah kompres. Kain dingin itu Sasuke letakkan pada dahi Hinata, sebelumnya menyingkirkan dulu poni indigo istrinya. Suhu tubuhnya memang tidak sepanas tadi, tapi setelah Karin menyuntikkan obat, Hinata belum sadar sama sekali.
Mata hitam Sasuke entah mengapa mengarah pada bibir merah istrinya yang sedikit terbuka. Ada sebuah rintihan lirih yang berhasil Sasuke dengar. Semakin lama, suara itu semakin jelas. Istrinya seperti mengigau memanggil nama seseorang.
Beberapa detik setelahnya, hati Sasuke seakan mencelos setelah dengan jelas siapa nama yang istrinya gumamkan. Bagi Sasuke sendiri, ia masih belum tahu apa perasaan yang cocok untuknya saat ini.
.
.
.
.
.
.
.
"...ba...Kiba..."
.
.
.
.
.
.
.
TBC
.
.
.
hellow minna-san, ketemu lagi dg saya. gmn menurut minna-san tentang ch ini? kalo menurut saya alurnya cepet, sengaja memang saya buat bgt biar cepet selesai. hehehehe
langsung aja balasan ripiu:
aisyaeva: maaf baru update sekarang, hehehe. Arigatou sudah menyemangati, saya merasa seterong
putri94: benar, hina ambisius banget disini. makasih udah suka dengan fic saya ini :D
Miyuchin2307: alasan sasu sama hina nikah mungkin akan saya jelaskan di chap dpn #spoileralert. kalo permintaan mikoto mungkin gak segera jadi kenyataan, ingat ini masih mungkin, terima kasih sudah mau riview :D
hiru nesaan: next chappie a.k.a. this chap udah saya panjangin, meskipun hanya sedikit. saya sebenarnya bingung caranya buat adegan sweet sasuhina, soalnya di awal mereka udah serius, beda sama fic saya satunya, disini sasuhina udah dewasa jadi menurut saya agak susah. maaf jadi curhat.
mprill Uchiga: moment sweetnya nunggu mereka udah saling terbuka kali ya #spoileralert
Green Oshu: hontou desu ka?! saya waktu itu lagi mampet ide, jadinya apa yang baru aja terlintas langsung aja saya tulis, seperti di chap ini. terimakasih udah mau riview :D
:this chap menurut saya kurang ada sweetnya, tp menurut ind-san apa udah kelihatan? # .
aminatazzahra: hina saya buat lebih workholic drpd sasu, apa menurut anda chap ini masih zona aman? kalo saya ...
: saya suka ada review seperti ini, review jens-san merupakan review yang paling saya takutkan saat saya buat chap 5, saya selalu berpikir perubahan pd hina terlalu signifikan, tp itu tentunya ada penjelasannya. tp dugaan anda memang benar kok XD, hina sedikit berubah krn ia sadar jika yg ngajak nikah kan dia, dg kata lain hina ngerasa sedikit ngerasa tanggungjawab. meskipun hina skrg di kubu uchiha, hina hanya bersikap senetral mungkin itu, jika ada yg ingin ditanyakan silakan... tp please jangan buat author kasih spoiler kebanyakan T_T #justjoking
HipHipHuraHura: semi m? author gak kuat, tp kalo nyerempet dikit sih gak papa #nosebleed
lovely sasuhina: kalo chap ini apa kelihatan? twin? good idea. soal misi tunggu chap depan.
Guest: rate m? authornya pasti nosebleed pas buatnya
Allyelsasals: aye sir! ^_^7
Ana: saya usahakan buat banyak :D
Theabus: saya juga envy, pengen punya pacar kayak sasu #authormasihjomblo
HaNa: hallo, selamat bergabung. gaara udah author setting jadi obat nyamuk b*igon buat hubungan sasuhina #
Ilminursaskia: terima kasih, ratenya tetap stay di T kok, tentu aja author bakalan buat mereka fall in love :D
Asparagusgus: di chap ini juga belum lho, gaara keluarnya nanti aja sama author sekalian
Win: aaayeeee sir!
key chan: salam kenal juga key-san, saya michio. tentu saja akan saya lanjut #semangat45
Park Eun Hyun: iya sasu, tiba-tiba nongol aja :D, arigatou udah nyemangati saya
Sekian dulu dari saya, terima kasih yang sudah mau review, fav, dan follow fic saya
Ja adios