Taeyong ingin sekali menjerit senang, tapi itu akan sangat tidak keren. Makanya, ia hanya akan memasang tampang datar dan diam-diam menjerit dalam hati.

Hari ini mungkin hari baiknya, karena sesuatu yang monumental baru saja terjadi padanya.

Itu adalah kali pertama ia bersyukur ketika sesuatu mengotori bagian depan jaket kesayangannya. Lee Taeyong, sang mishophobia, bersyukur barangnya terkena noda.

"Maafkan aku, Taeyong-ah."

"Tidak apa-apa, hyung."

Yah. Bagaimana ia tidak bersyukur jika yang baru saja menabrak dan menumpahkan seluruh isi bubble tea vanilla ke bagian depan jaket kesayangannya adalah Oh Sehun. Pemuda tinggi yang menawan, tampan, cerdas, dan juga merupakan salah satu seniornya di club dance. Oh Sehun si pangeran sekolah yang terkenal dengan kesan dinginnya. Seseorang yang sudah ia taksir lebih dari tiga bulan lalu. Meski Taeyong yakin Sehun tidak pernah tahu. Dan dia juga tidak ada rencana untuk mengaku dalam waktu dekat.

Sehun itu lurus. Empat mantan cantiknya menjadi isyarat yang jelas bagi Taeyong untuk tahu diri.

Tapi hati dan perasaan merupakan dua hal yang teramat merepotkan. Sehingga meskipun Taeyong hampir yakin 99% Sehun lurus, ia masih saja tak bisa mencegah hati dan perasaannya untuk tak jatuh pada pemuda yang setahun lebih tua darinya itu.


COULD IT BE LOVE?

NCT-U & EXO © SM Entertaiment

AU / BL / OOC(s) / Typo (s)

Hope you like it~


Ketika Taeyong pertama kali mengatakan perasaannya kepada Jaehyun, tiga bulan lalu, dongsaeng sekaligus teman terbaiknya itu menatapnya dengan pandangan aneh yang tak bisa Taeyong deskripsikan. Apa itu pandangan kasihan?

"Apa?"

"Hentikan saja, hyung." Jaehyun yang tadi sempat berhenti dari kegiatannya, kini mulai melanjutkan membaca. Keduanya sedang duduk di bawah pohon sebuah taman, tepat di depan danau kecil. "Cinta tak berbalas itu lebih menyakitkan dari yang kau kira." Jaehyun mengatakan dengan nada yang serius, seolah dirinya sudah berpengalaman dalam hal-hal seperti ini. Padahal Jaehyun dua tahun lebih muda darinya, dan setahu Taeyong, ia hanya pernah berpacaran sekali.

"Katakan itu pada hatiku," Taeyong menggerutu sambil berdiri dan melemparkan kerikil ke permukaan danau, membuat benda kecil itu memantul beberapa kali sebelum tenggelam ke dasar kolam. "Karena walaupun aku mau, ini tak bisa dihilangkan begitu saja."

Jaehyun tersenyum kecil. Bergumam lirih, "Aku tahu rasanya."

"Hm? Kau mengatakan sesuatu, Jaehyun-ah?" Taeyong berbalik menatapnya dengan bingung dan Jaehyun seketika memasang senyum manisnya, mengatakan jika yang didengarnya mungkin hanya desing angin.

Mengangkat bahu, Taeyong membungkuk, mulai memilih kerikil lain dan memungutnya dari tanah.

Mendesah tanpa suara, Jaehyun menyaksikan hyungnya itu kembali melempar kerikil. Tapi kali ini kerikil itu tidak memantul di atas air seperti lemparan-lemparan sebelumnya. Melainkan langsung tenggelam ke dasar kolam, tenggelam dengan cara yang sama dengan hati dan perasaan Jaehyun saat ini.

Diantara semua orang di dunia ini, kenapa harus Oh Sehun, hyung?


Pada akhirnya, Taeyong mendapatkan hari terburuk dalam hidupnya pada pelajaran sejarah. Park-sonsaeng, yang mendapatinya tertidur selama jam pelajaran memberikannya tugas resume buku sejarah setebal tiga inchi, yang harus ia ambil di perpustakaan. Taeyong yang biasanya hanya membaca komik tentunya menggerutu.

"Ini dia," gumam Taeyong saat buku yang dimaksud sudah ada di tangan.

'…hun―!'

Alis Taeyong berkerut saat mendengar suara dari balik rak-rak di barisan belakang. Dengan penasaran, ia yang tadinya akan langsung pergi dari tempat itu, langsung berbalik arah. Langkahnya membawanya mendekat, mendekati rak-rak buku barisan belakang yang sepi. Hanya untuk merasakan patah hati.

Oh Sehun sedang mencium seseorang.

Dan orang itu adalah ketua club dancenya.

Kim Jongin.

Jadi selama ini…

Buku di tangannya terjatuh. Dan ia tak repot-repot untuk menengok ke belakang.

Sial.

Kenapa air matanya tidak bisa berhenti?


Dalam keadaan linglung, Taeyong entah bagaimana bisa menemukan jalan ke taman itu. Jaehyun duduk bersamanya. Ia yang memintanya untuk datang.

"Kenapa, hyung?" Jaehyun menatap sang hyung khawatir. Taeyong tidak menunjukkan tanda-tanda mendengar pertanyaannya dan menghabiskan waktunya dengan menatap udara kosong. Matanya yang sembab terlihat oleh Jaehyun. "Hyung…"

Taeyong menyandarkan kepalanya di bahu Jaehyun. "Jangan buat aku cerita sekarang," ujarnya dengan suara serak.

Jaehyun bisa melihat raut wajah tanpa ekspresi, tapi hyungnya itu tidak bisa menyembunyikan rasa sakit yang terpancar jelas dari matanya. Sambil mendesah, Jaehyun mengambil ponsel dan earphone dari tas. Dengan lembut ia memasangkan sebelah earphone itu di telinga kiri sang hyung.

Dentingan piano terdengar.

Jaehyun merangkulnya, Taeyong merasakan jari-jari hangat Jaehyun memegang bahunya. Meski Jaehyun tidak tahu apa yang membuat hyungnya itu bersedih, ia akan tetap melakukan ini. "Semuanya akan baik-baik saja, hyung," bisiknya.

Dan hanya dengan seperti itu, rasa sakit di hati Taeyong sedikit kurang.

Ia memejamkan mata dan menghirup aroma menenangkan dari Jaehyun, aroma familiar dari sang saeng yang selalu membuatnya merasa nyaman. Taeyong memejamkan mata, mencoba mengosongkan semua pikirannya mengenai ciuman itu. Dari kepala, dan juga hatinya. Tapi itu tak bisa hilang.

Taeyong menenggelamkan wajahnya pada bahu Jaehyun. "Jaehyun-ah… Sakit…"

.


Layar ponselnya menyala dari tempat peristirahatannya yang berada di meja samping tempat tidur, bersamaan dengan bunyi 'ting' pelan. Sebuah pesan masuk. Taeyong mengangkat wajahnya yang sedari tadi terbenam dalam bantal. Membuat matanya yang sembab terlihat. Ya, ia memang habis menangis. Bantalnya yang basah yang menjadi korban.

Dengan enggan ia memanjangkan tangannya untuk meraih ponsel. Mengusap layarnya dan membuka pesan masuk.

Hyung-ku yang cengeng pasti sedang menangis.

Taeyong memutar mata. Tentu saja ia harusnya sudah mengira jika yang mengiriminya pesan adalah Jaehyun. Jari-jarinya menari di atas layar, mengetikkan pesan balasan.

Aku TIDAK menangis.

Tak lama pesan lain muncul

Jangan bohong, Hyung. Aku bisa mendengar suara tangisan dari halaman rumahmu. Haha. :P

Taeyong tiba-tiba melompat dari tempat tidur dan berjalan ke jendela kamarnya. Menarik tirainya terbuka dengan kekuatan yang tidak perlu, menemukan Jaehyun berdiri di sana. Melambai padanya sambil terkekeh-kekeh memasang wajah geli.

Taeyong menutup tirainya lagi secepat kilat, berjalan ke arah cermin dan menatap bayangannya sendiri. Bagus, ia harusnya merapikan dulu tampilannya tadi.

Ponselnya berbunyi. Lagi.

Jangan abaikan aku, Hyung.

Taeyong menghela nafas, kembali berjalan ke arah jendela dan membuka tirainya. Jaehyun masih berdiri di sana. Dan tangannya kembali sibuk mengetik.

Ada apa? Ini sudah malam dan kau mengganggu pemandangan.

Taeyong tertawa pelan melihat ekspresi cemberut Jaehyun saat membaca pesannya dari kaca jendela. Jendelanya itu memang tidak bisa dibuka. Bagian luar dari jendelanya sudah diteralis oleh Ayahnya sejak lama, karena Taeyong selalu kabur lewat sana. Ia menulis pesan lain dan dengan cepat mengirimnya.

Pulang dan kerjakan tugasmu sana, kiddo~

Jaehyun mengangkat wajahnya, memberinya pandangan protes dari kejauhan. Taeyong tahu jika Jaehyun tak suka jika dipandang sebagai anak kecil, apalagi olehnya. Makanya ia sengaja. Justru disitu menariknya. Jaehyun yang bersikeras jika dirinya sudah besar malah membuatnya terlihat makin kekanakkan. Lagipula Jaehyun memang lebih muda darinya dua tahun. Lagaknya saja yang sok dewasa, huh. Padahal ia hanya bayi besar.

Jaehyun terlihat sibuk dengan ponselnya, terlihat serius. Dan Taeyong menunggunya. Sambil mengamati saengnya itu diam-diam, yang entah sejak kapan sudah tumbuh dengan baik. Ia dan Jaehyun sudah saling mengenal hampir sepuluh tahun. Dia yang dulu hanya setinggi bahunya, kini bahkan sudah jadi lebih tinggi darinya. Taeyong tersenyum mengingat masa kecil mereka.

2 pesan masuk berturut-turut.

Dan hyung akan menangis lagi? Tidak. Ayo keluar.

Ayo pergi mencari udara segar. Aku sedang jenuh, Hyung.

Taeyong memberikan jawaban berupa gelengan. Ia sedang tidak berniat untuk pergi kemanapun.

Pesan lagi

Ayo, hyung~ Aku akan mentraktirmu apa saja hari ini. Jadi ayo pergi~

Taeyong kembali pada ponselnya.

Pergi kemana? Ini sudah malam. Aku sudah pakai piyama.

Jaehyun mengiriminya pesan lagi. Hanya beberapa detik berselang darinya.

Aku tunggu, Hyung. Sepuluh menit.

"Apa-apaan," desah Taeyong saat melihat balasan tak nyambung itu. Sudah dibilang ia tidak mau pergi, juga. Taeyong baru akan mulai membalas tapi begitu melirik, sosok Jaehyun sudah tak ada di sana. Taeyong mencari ke segala arah tapi tak menemukan siapapun. Taeyong mengerutkan kening. Juga sedikit merinding karena Jaehyun bisa menghilang secepat itu.

Tapi tadi itu benar-benar dia kan?

Mengangkat bahu, Taeyong menarik tirainya lagi, menutup jendela-tak-bisa-dibuka-miliknya. Dengan menghela nafas berat ia menuju kasur. Memilih untuk pergi tidur saja. Tapi begitu ia sudah menyamankan diri di atas kasur, ia malah tidak bisa tidur. Dia hanya berbaring, memandangi layar ponsel dan mulai membaca lagi pesan-pesan yang dikirim Jaehyun padanya―chat history-nya tak pernah ia hapus. Tanpa sadar tangannya mulai mengetik;

Kau kemana―

Taeyong menggeleng. Menghapus pesan yang baru saja terketik, dan mengantinya dengan;

Kenapa tiba-tiba menghilang―

Menghapusnya lagi. Dan memulai mengetik lagi;

Sudah pulang? Baguslah. Aku akan menagih traktiran darimu lain kali―

Taeyong cepat-cepat menaruh ponselnya. Setelah sekali lagi menghapus pesan yang baru saja ia ketik, setelah memandanginya lama. Ia merasa tak perlu untuk mengirimi Jaehyun pesan lagi, lalu kenapa tangannya bergerak sendiri? "Ah, lebih baik aku tidur sekarang," gumamnya. Menarik selimutnya sebatas dagu dan mulai memejamkan mata.

Jalja―

"Taeyong-ah, cepat turun, Nak! Ada Jaehyunnie!"

Oh, shit. Rupanya Jaehyun serius.

...


"Ayo pergi, hyung."

"Pemaksaan―" Taeyong melepas genggaman tangan Jaehyun. Ia melipat tangannya di depan dada, bersidekap. Menghentikan langkahnya tiba-tiba setelah ke luar dari pagar rumahnya. Licik sekali Jaehyun memaksanya pergi lewat ibunya hingga ia tak bisa menolak. Ia bahkan harus cepat-cepat berganti pakaian, dari piyamanya yang nyaman menjadi celana jeans, kaos dan jaket baseball. Ia juga tidak sempat menata rambutnya karena setiap semenit sekali ibunya akan berteriak agar ia cepat, berkata jika Jaehyun sudah menunggu. "Aku belum bilang setuju untuk pergi."

Jaehyun tertawa menanggapinya. "Kan sudah aku bilang sepuluh menit, Hyung. Tapi kau tak keluar juga. Apa boleh buat―" Jaehyun merangkul sang hyung, tapi yang dirangkulnya malah menghindar dan berjalan duluan. Kentara sekali sedang ngambek. Jaehyun tersenyum sambil berlari menyusul, "Hyung~ jangan marah~"

Taeyong mendengus. Bayi besarnya mulai bertingkah imut. "Jangan beraegyo di depanku. Tidak akan mempan," ujarnya sadis. "Aku masih marah―"

"Bbuing~ Bbuing~"

"Jaehyun-ah―"

Tatapan tajam Taeyong pada akhirnya membuat Jaehyun berhenti. Aegyo takkan berhasil, pikirnya. "Oke, oke, Hyung. Maaf―" Kekehnya. Bukannya Jaehyun takut dengan tatapan macam itu dari sang hyung―karena jujur saja ia sudah kebal. Hanya saja ia tak mau membuat hyungnya tambah kesal. Karena ia mengajaknya keluar untuk menghiburnya. Ia mengamit tangan Taeyong, yang kali ini tak ditolak, dan mulai berjalan bersisian. "Mm… Bagaimana dengan chocholate cake sebagai permintaan maaf?"

Mata Taeyong membesar. "Jangan coba-coba menyogokku―"

"Dan dua scoop ice cream―"

"―Call!" setujunya sambil tersenyum lebar.

Jaehyun tertawa. Cookie monster memang hanya bisa ditaklukkan dengan makanan manis, pikirnya.

...


Jaehyun tidak pernah menyangka akan bisa merasakan perasaan cemburu pada sebuah benda berupa slice chocholate cake. Bagaimana hanya dengan kehadiran benda itu Taeyong-hyungnya bisa terlihat sebahagia itu. Bukan hanya chocholate cake sebenarnya, karena Taeyong memang mencintai semua makanan manis. Sebutannya saja cookie monster. Yah, apapun. Jaehyun hanya akan ikut senang jika hyungnya itu bisa tersenyum seperti itu lebih sering lagi. Rasanya seperti kembali pada masa kecil mereka. Saat ia lima dan Taeyong tujuh. Ia merindukan masa-masa tak tahu malu mereka itu.

"Hyung, aku pegal memegangi ice cream-mu." Jaehyun memang sedang memegang ice cream dua scoop milik hyungnya itu―sogokan lain yang ia janjikan. Sementara sang pemilik masih terlalu menghayati acara memakan cakenya.

"Anggap saja itu hukumanmu," balas Taeyong. Dengan sengaja memperlambat acara makannya. Jaehyun cemberut dibuatnya. Taeyong membuat potongan kecil dari cakenya. "Aa." Ujarnya sambil menyodorkannya pada Jaehyun. Ia pengidap mishophobia, tapi berbagi dengan Jaehyun sudah dilakukan sejak lama. Jadi dia tidak keberatan.

Jaehyun membuka mulutnya dengan senang hati, menerima suapan itu. "Enak~"

Dan akhirnya cake itu pun habis.

Taeyong mengambil alih ice creamnya, "Mau kemana sekarang?" tanyanya.

"Terserah,"jawab Jaehyun. Ia asik bermain dengan ponselnya, padahal sebenarnya sedang sibuk mencuri-curi pandang pada hyungnya. Taeyong dan ice cream itu perpaduan yang imut sekali. Tapi tentu ia tak menyuarakannya keras-keras. Bisa habis dihajar dia jika berani bilang sang hyung―yang selalu mengaku dan berlagak manly itu―dengan sebutan imut. "Hyung ada ide?

"Bagaimana jika nonton film? Tapi sepertinya tidak ada film bagus. Atau ke game station? Kita bisa―"

"Oh? Taeyong-ah, Hei."

Ucapan Taeyong terputus di tengah kalimat saat sebuah suara yang familiar menyapanya. Untuk sedikit Taeyong membeku. Itu Oh Sehun. Dengan seseorang lain di belakangnya, Kim Jongin.

Kenapa dia harus bertemu dengan mereka di tempat seperti ini?

"Taeyong, tak kusangka bisa bertemu di sini," pemuda berkulit tan itu tersenyum, berjalan mendekat. "Kau bolos latihan hari ini. Kau tidak apa-apa 'kan?"

Taeyong membalas senyum, terkejut dia bisa melakukannya. "Maaf, Hyung. Aku tidak enak badan tadi jadi langsung pulang." Dirinya sendiri bahkan terkejut dengan nada biasa-biasa saja yang ia keluarkan. "Sengaja ke sini, Hyung?"

"Ah, itu―" Jongin menunjuk Sehun yang kini sedang memesan di depan counter dengan dagunya, "Sehun-bodoh memaksaku menemaninya beli bubble tea sebelum pulang. Dasar maniak," ujarnya sambil menghela nafas. Tak lama matanya memandang orang lain yang ada satu meja dengan Taeyong, membuat ekspresi bertanya.

Taeyong yang melihat itu langsung mengenalkan Jaehyun, "Ah, ini Jaehyun, hyung."

Jongin tersenyum pada Jaehyun dan Jaehyun membalasnya sopan.

Sehun kembali dengan cepat, dengan gelas plastik penuh perasa glukosa di tangannya. "Ayo." Ajak Sehun, setelah tersenyum kecil dan pamit pada Taeyong dan Jaehyun.

"Duluan ya, Taeyong, Jaehyun," pamitnya. "Kau hanya beli satu? Aku mana?" protes Jongin saat menyusul Sehun.

"Tadi kau bilang tidak mau." Sehun mencibir, "Kau sendiri yang bilang minuman seperti ini bisa bikin diabetes."

"Yah! Kau harus tetap belikan aku satu, Sehun-bodoh!"

Taeyong memandangi dua sosok itu dari belakang dengan pandangan kosong.

Kenapa aku tak menyadarinya lebih awal?

Taeyong menggigit bibirnya. Perasaan sakit itu muncul lagi. Dua, tidak, berkali-kali lipat dari sebelumnya.

"Hyung…"

Tidak ada jawaban.

"Ayo pergi, Hyung," Jaehyun berdiri tiba-tiba dan menyeret Taeyong yang semi-sadar keluar dari toko. Dia mengutuk dirinya sendiri karena membawa Taeyong ke sini. Diantara semua tempat kenapa harus tempat ini?

"Taman." Jaehyun menghentikan langkahnya dan menatap Taeyong yang barusan berbicara, dengan suara yang terdengar bergetar, "Aku ingin pergi ke taman."

Jaehyun mengangguk.

"Ya, Hyung. Kita ke taman."

...


Mereka berbaring di rumput, menatap langit malam yang terbentang jauh di atas mereka, menyerupai sebuah kanopi dan bertabur bintang-bintang denan sinar perak. Tidak ada awan malam ini dan langit terang benderang dengan cahaya dingin dari purnama. Taeyong tidak pernah tau ada tempat seindah ini, jika Jaehyun tak membawanya kemari. Bintang-bintang terlihat begitu jelas dari sini.

Rasanya sangat menyenangkan, meskipun masih tersisa perasaan sakit di hati Taeyong, tapi ia senang bisa menghabiskan waktu dengan Jaehyun. Karena Jaehyun selalu bisa membuatnya merasa lebih baik.

"Hyung?" Jaehyun memandang wajah sang hyung dari samping.

"Mm?"

"Jadi… itu alasanmu menangis kemarin?"

Taeyong terdiam. Dan Jaehyun menganggap itu sebagai 'iya'.

Taeyong menghela nafasnya, sebelum mulai bicara,"Awalnya aku pikir jika dia itu lurus, dan aku benar-benar tak ada harapan tapi masih dengan bodohnya menyukainya diam-diam. Karena bagiku itu sudah cukup." Taeyong memberi jeda, menggigit bibir bawahnya karena merasa sesutu menyengt matanya. "Tapi kemudian aku melihat mereka berdua di perpustakaan, berciuman, kau tahu? Dan saat itulah hatiku merasa sangat sakit. Kenapa bukan aku saja yang bersama dengannya? Kenapa bukan aku saja? Kenapa bukan aku? Aku terus memikirkan itu." Taeyong menolehkan kepalanya, balik menatap Jaehyun, menyunggingkan sebuah senyum pahit, "Aku bodoh, ya?"

Jaehyun menggeleng, berujar lirih, "Karena kita tidak bisa memilih pada siapa kita akan jatuh cinta, Hyung. Kau, dia―"

Taeyong membenarkan dalam hati,

"―bahkan aku juga―"

Tunggu. Apa?

Aku juga?

"Kau juga sedang menyukai seseorang?" potong Taeyong, yang kini membalikkan posisi tubuhnya hingga terkurap,

Jaehyuntersentak, tiba-tiba saja gugup. "Aku― tidak―" Ia baru saja salah bicara.

Taeyong menatap Jaehyun tidak percaya. Ia menusuk pipi saengnya itu dengan jari telunjuk. "Jangan mengelak. Jaehyun-ah. Katakan, siapa orang yang tak beruntung karena disukai olehmu, hm?" Taeyong mendekatkan wajahnya pada Jaehyun.

"Hyung, menjauh sedikit―" Jaehyun berusaha mendudukkan dirinya tapi di tahan oleh tangan Taeyong. Yang kini bergerak semakin dekat, sampai menjadikan dadanya sebagai bantal.

"Katakan, siapa orangnya, Jaehyun-ah? Dan kenapa kau tidak pernah cerita!" Ekspresi wajah Taeyong percampuran antara terkhianati sekaligus geli. "Aku kira seharusnya tak ada rahasia antara kita."

Hyungnya itu hanya sedang menggodanya, Jaehyun tahu sekali. "Aku― benar-benar tidak bisa bilang, Hyung…" Jaehyun menutup matanya dengan punggung lengannya. Ia senang bisa mengalihkan perhatian sang hyung dari persoalan Sehun-Jongin, tapi jika begini―

"Siapa?"

Kali ini Jaehyun membalikkan badannya, memunggungi Taeyong.

Taeyong mencoba untuk membuat Jaehyun kembali menghadapnya. Tapi sia-sia. Ia mengusap rambut saengnya itu dengan sayang. "Siapa, Jaehyun-ah?"

"…Seseorang yang menyukai orang lain."

Butuh beberapa menit bagi Taeyong untuk memaknai kalimat itu sejak suara lirih itu sampai di telinganya. Taeyong menjatuhkan tubuhnya dan kembali berbaring di samping Jaehyun, menghela napas berat yang sarat akan frustasi. Ia dan Jaehyun, kisah percintaan mereka satu alur rupanya. Taeyong tersenyum pahit, dan kemudian pikiran itu terlintas."Kenapa kita tak bisa saling menyukai saja? Itu akan membuat semuanya menjadi lebih mudah, hm."

Jaehyun tertawa, sebuah tawa yang terdengar kosong dan pahit di telinga Taeyong, tapi dia tak mengerti mengapa.

Taeyong mendekatkan dirinya dengan Jaehyun, sahabat kecil sekaligus saeng yang selalu ada untuknya. Lengannya melingkari pinggang Jaehyun, sementara hidungnya menempel pada bagian punggungnya, bernafas di sana. Taeyong tersenyum saat indera penciumannya mencium aroma familiar dengan efek menenangkan yang hanya dimiliki Jaehyun. Semuanya benar-benar terasa menjadi lebih baik dengan Jaehyun yang selalu ada bersamanya.

Semuanya. Kecuali jika malam ini Jaehyun hanya terdiam tak membalas pelukannya seperti biasanya. Dan ia juga merasa jika malam ini Jaehyun mulai tampak seperti menjaga jarak darinya, dan ia tak menyukainya. Dia tidak menjawab pertanyaannya tentang orang yang ia sukai itu, dan itu menunjukkan jika Jaehyun menolak untuk membiarkannya ikut campur seperti seharusnya. Ia tahu Jaehyun sebaik ia mengenal dirinya sendiri, dan itu cukup untuk baginya untuk menyadari perbedaan kecil itu.

"Jika aku tidak mengenalmu, Jaehyun-ah. Aku akan benar-benar berpikir jika kau akan bilang jika orang yang kau cintai itu aku―" Taeyong tertawa akan lelucon yang ia buat dan menunggu Jaehyun tertawa juga. Tapi― tidak. Justru ia bisa merasakan tubuh di pelukannya itu menegang sesaat.

"Jaehyun-ah?" Suara Taeyong benar-benar khawatir sekarang. Ia membalik tubuh sang saeng dan hatinya mencelos saat melihat Jaehyun yang terlihat hampir menangis. Kenapa ia terlihat sangat terluka?

"Hyung…"

Kenapa?

Taeyong menatap ke arahnya dalam campuran kekhawatiran dan kebingungan."Jaehyunie―?"

Dan saat itulah Jaehyun menarik wajah sang hyung dan menciumnya.

"Mm―" Mata Taeyong mengerjap.

Jaehyun mencium bibir tipis itu seakan takkan ada hari esok. Mencium bibir manis itu dengan segala perasaan yang sudah ia pendam sekian lama. Mengecap sensasi menyenangkan yang selalu ia inginkan, meski akalnya menyuruhnya untuk berhenti.

Saranghae,

Hyung


-To be Continued-


Akhh OOC paraah~ Alur kebut-kebutan~ Mianhaeyo~

Twoshoot ya. Chapter depan udah end. Hehe. Maaf kalo aneh maksimal *tutup muka* *kabur*

Ditunggu komentarnya~