I Think I Love You

Cast:

Oh Sehun

Luhan

-HunHan-

Rated:

T ?

Genre:

Romance, Family, Relationship, Boys Love –Shounen ai-

.

.

.

.

Kata orang, dunia ini sempit. Kalau kau bertanya itu benar atau tidak pada Luhan, pasti ia akan bilang "Itu hanya teori bodoh!" Tapi setelah ia bertemu dengan sosok Sehun, Luhan yakin ia bisa menjelaskan sesempit apa dunia ini.

.

.

.

.

.

Matahari menelusup masuk melewati celah-celah tirai kamar seorang pria berparas cantik, membuat pria cantik itu terusik dari tidur nyenyaknya. Ia terbangun dan tersenyum cerah. Sepertinya ia baru saja bermimpi indah tadi malam.

Pria cantik itu menyibak selimutnya dan memasukkan kaki indahnya kedalam sandal bulu rumahnya yang berwarna putih bersih. Ia segera berjalan menuju balkon. Hari ini matahari lebih awal datang. Ini baru saja pukul enam pagi namun matahari telah tersenyum cerah pada pria cantik yang tengah merenggangkan persendiannya di balkon kamarnya.

"Ahh, hari ini udara lebih segar. Kenapa aku baru merasakan udara sesegar ini ya?" Pria cantik itu bermonolog sendiri sambil tersenyum sendiri dari saat ia bangun tidur sampai sekarang saat di balkon.

Seorang wanita cantik masuk tanpa mengetuk pintu milik si pria cantik itu. Ia berjalan perlahan mencari sosok pemilik kamar. Wanita cantik itu tersenyum dan berjalan menuju balkon kamar.

"Sarapan sudah siap. Sampai kapan kau berada disini Luhan?" Wanita itu berbicara di ambang pintu yang menghubungkan kamar dengan balkon. Luhan –si pria cantik- yang kala itu tengah memikirkan entah apa berjengit dan hampir saja melonjak terkejut.

"Aishh Luna jiejie! Kau mengejutkanku!" Luhan menghela nafas kasar sambil mengelus dadanya menetralkan detak jantung yang membabi buta tadi.

"Apa yang kau pikirkan? Kenapa kau tersenyum seperti orang gila?" Luna –si wanita cantik- meneliti adiknya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sama sekali tidak ada yang salah pada adiknya.

"Jiejie tahu tidak? Semalam aku memimpikan Chorongie~" Luhan menggigit bibirnya menahan sebuah senyuman yang sedari tadi ia tampilkan sebelum kakaknya datang. Luna menggeleng jengah, mengangkat bahunya acuh dan berbalik menuju pintu utama kamar. Namun sebelumnya, ia sempat berbalik sebentar.

"Cepatlah mandi dan turun menuju ruang makan. Jangan membuang waktu memikirkan gadis itu." Setelah itu Luna keluar dari kamar Luhan dengan acuh. Luhan hanya menghela nafas pelan. Luna memang tidak terlalu suka dengan Chorong. Dan Luhan sama sekali tidak ingin mengingat alasan mengapa kakak cantiknya itu membenci Chorong.

Luhan segera bergegas membersihkan dirinya. Kalau tidak kakaknya yang sayangnya cantik itu akan marah besar dan akan mengeluarkan suara emasnya dirumah. Luhan tidak mau itu terjadi.

.

.

.

"Hari ini kau tidak ada acara kan sayang?" Papanya memulai pembicaraan di meja makan. Luhan yang sebelumnya sangat hitmat dalam menyantap makanannya terpaksa mendongak dan mengangguk sambil tersenyum pada papanya.

"Kau mau kan ikut papa dan mama kesebuah tempat?" Kali ini ibunya yang berbicara. Luhan mengalihkan pandangan pada ibunya. Ia menaikkan satu alisnya, kita mau kemana?

"Kita akan membeli baju baru. Kakakmu yang akan memilihkannya untukmu nanti. Benarkan Luna?" Luhan mengedarkan pandangannya dan jatuh pada kakaknya yang sepertinya kurang antusias dan memiliki ekspresi yang berbeda dari kedua orang tuanya.

"Ya, nanti kita akan membeli baju baru Luhan." Luna berbicara sambil tersenyum. Luhan sangat tahu bahwa Luna tersenyum dengan sangat terpaksa. Namun Luhan hanya acuh saja, ia tersenyum kembali mengiyakan ajakan kedua orang tuanya.

Luhan makan dalam diam. Sedangkan kedua orang tuanya entah sejak kapan membicarakan apartement baru, mobil baru, motor baru, dan– Tunggu. Apa ini? Sebuah pernikahan? Apa Luna jiejie akan menikah? Atau dijodohkan? Luhan asumsikan bahwa jiejienya dijodohkan karena terlihat dari raut wajahnya yang kurang suka dengan topik pagi ini.

.

.

.

Luhan berjalan menyusuri beberapa lorong yang menghubungkan antara baju jenis satu dan yang lainnya. Sebenarnya Luhan masih bingung, ada apa mama dan papa nya itu tiba-tiba dengan terencana membelikan dia baju baru? Sedangkan Luhan tidak pernah sama sekali memberi tahu mama dan papa nya saat ia ingin baju baru.

Oh iya benar juga, Luna jiejie akan menikah. Mungkin agar terlihat rapi dihadapan kaka ipar.

Memikirkan tentang kaka ipar saja Luhan sangat senang sekali. Akhirnya Luna, kakaknya dipinang juga oleh lelaki. Asal kalian tahu saja, Luna jiejie memang anak yang cantik dan baik tapi dia sama sekali tidak berserela dengan pria manapun, itu sih menurut Luhan. Bukan berarti kakaknya itu seorang lesbian. Luna seorang yang pemilih. Luhan sangat bersyukur kalau kali ini Luna sudah menepatkan sebuah pilihan.

"Luhan-ah, kau sudah memilih bajunya?" Terdengar suara ibunya dari kejauhan. Jangan pernah berpikir bahwa teriakan ibunya itu mengganggu pengunjung lain. Karena apa? Karena mereka sedang berada di butik milik keluarga ibunya. Dan lagi pula ibunya sengaja datang disaat jam sepi agar lebih leluasa.

"Belum eomma, aku bingung. Bisa pilihkan yang bagus?" Luhan menjawab ibunya dengan sedikit berteriak, karena saat ini Luhan tengah disibukkan dengan dua pasang kemeja ditangannya.

Terdengar kembali suara ibunya yang mengatakan "oke". Luhan hanya mengedikkan bahunya acuh dan segera pergi ke sisi lain untuk memilih jaket.

"Sepertinya kau sangat antusias sekali dengan acara memilih baju hari ini." Luhan benar-benar akan meninju orang yang bersuara itu kalau saja itu bukan kakak cantiknya, Luna. Dia benar-benar seperti hantu yang tiba-tiba muncul tepat dibelakang Luhan. "Jinjja! Kkamjagiya!" Luhan mengelus dadanya dengan dramatis dan dibalas dengan tatapan jengah oleh Luna.

Luhan berbalik dan berjalan menuju sofa yang letaknya tidak jauh dari tempat berdirinya Luhan tadi. Luna pun turut duduk disampingnya dan tersenyum tipis kearah adiknya itu.

"Tentu saja aku harus antusias jiejie. Mana mungkin aku berpenampilan biasa saja didepan kakak ipar hm?" Luhan menyenggol pundak Luna dan mengerling berusaha menggoda kakaknya itu yang sebentar lagi akan merayakan pesta pelepas lajang dengan teman-temannya, mungkin.

PLAKK...

Bagus sekali, sepagi ini Luhan sudah terkena pukulan dikepalanya. Dan kalian tahu siapa tersangkanya? Tentu saja orang yang berada disamping Luhan sedari tadi itu. Kakaknya memang sangat sadis sekali. Luhan berdoa semoga kakak ipar tidak bernasib sama dengannya.

Luhan mengelus kepalanya dengan kesal dan menoleh kearah kakaknya, sedetik kemudian ia mendelik tajam kearah kakaknya itu. Ia segera berdiri dan meninggalkan kakaknya itu sendiri.

.

.

.

Jadi, sekarang Luhan beserta keluarganya sedang berada dalam sebuah perjalanan yang kata papa mereka akan mengunjungi kawan lama. Kawan lama? Luhan sama sekali tidak banyak mengenal orang-orang yang papa sebut dengan "kawan" itu.

Sudah setengah jam Luhan berada didalam mobil dan sekarang mereka telah berada didepan sebuah rumahmewah milik orang yang papa sebut kawan itu. Tempat tinggalnya benar-benar tidak mengecewakan. Papa benar-benar memiliki teman-teman yang super kaya. Luhan sampai berdecak kagum. Rumahmereka saja tidak sebesar ini.

"Selamat datang Tuan dan Nyonya Xi. Dan, ah– pasti ini Tuan Muda Luhan dan Nona Muda Luna, matchi?" Seorang lelaki mengenakan pakaian rapi menyapa mereka dengan wajah yang kelewat ramah. Matanya sampai membentuk sebuah lengkungan bulan sabit sangking lebarnya ia tersenyum.

"Ne, gomapta Jinki-ya. Apa kabarmu? Kau terlihat semakin– sipit saja." Papa membalas salam lelaki yang ternyata bernama Jinki itu dengan sebuah gurauan ringan. Lelaki itu terlihat sangat muda, mungkinkah ia lebih muda dari Luhan?

"Paman, kau sangat kejam sekali. Bagaimana kalau kita masuk saja dulu. Tuan dan Nyonya Oh sudah menunggumu." Jinki lagi-lagi tersenyum ramah dan ia melirik ke arah Luhan dan secara tiba-tiba senyum itu luntur tergantikan oleh sebuah wajah yang– apa ini? Terlihat mengasihani Luhan atau bagaimana?

Kurang ajar sekali dia, seperti aku orang menyedihkan saja.

.

.

.

Sekarang Luhan tengah berdiri didekat papa yang telah beberapa saat yang lalu duduk disebuah sofa mahal. Luhan terlalu bingung oleh karena itu ia tidak mendengar sama sekali perintah tuan rumah untuknya duduk. Ia asik melamun membayangkan wajah Jinki tadi yang memiliki wajah kurang ajar itu.

"Psst, Luhanie! Duduklah." Luhan tersadar, itu suara kakaknya yang berada diseberangnya. Luhan menoleh ke arah kakaknya dan mengangguk dengan tergesa-gesa dan hendak duduk dengan sembarang, ia ingin duduk disebelah kakanya. Namun seseorang menginstruksinya dan lagi-lagi Luhan linglung.

"Duduklah disebelah Oh Sehun, Luhan-ah." Itu suara tuan rumah atau kita bisa menyebutnya Tuan Oh. Ia menyuruhnya apa? Duduk disebelah Oh siapa? Oh Senuh? Atau Sehun? Ingatkan Luhan untuk segera pergi ke dokter THT.

"Ah, Ne?"

Tuan Oh tersenyum ramah pada Luhan dan melirik kearah dimana orang yang disebut Senuh atau apalah itu berada. "Duduklah disamping Sehun." Oh jadi namanya Sehun? Luhan membungkuk mengiyakan dan segera duduk dengan nyaman disamping Sehun.

Terlihat dari paras Tuan dan Nyonya Oh, sepertinya Oh Sehun itu anak kandung mereka. Kalau begitu, berarti kakaknya akan dijodohkan dengan pria disampingnya ini? Jadi kakak iparnya sedatar ini wajahnya? Hell, sampai kapanpun kakaknya itu memang tidak mendapat nasib baik untuk jodohnya.

"Jadi, apa kita bisa masuk ke intinya Zhoumi-ya?" Tuan Oh membuka pembicaraan dengan wajah yang sangat serius. Mau tidak mau mata Luhan langsung tertuju pada Tuan Oh untuk mendengarkannya dengan saksama.

"Ya tentu saja Seungjoo-ya, silahkan." Papa tersenyum mempersilahkan. Terlihat jelas wajah prihatin dari papa. Sebenarnya ada apa ini? Kakaknya menolak perjodohannya dengan Sehun?

"Aku dan Sooyoung telah menentukan jadwal pernikahan putraku Sehun dan putramu Luhan. Kita akan terbang ke Amerika beberapa minggu lagi. Aku sudah menyiapkannya dengan sangat baik, kurasa begitu." Kali ini Tuan Oh tersenyum dengan– senang?

Aku dan Sooyoung telah menentukan jadwal pernikahan putraku Sehun dan putramu Luhan.

Tunggu, apa Tuan Oh salah menyebutkan nama? Seharusnya "putrimu Luna" bukan "putramu Luhan" kan? Luhan akan maklum kalau mungkin namanya dan kakaknya memang sering tertukar. Tapi tidak terlihat Tuan Oh akan meralat kata-katanya. Atau–

"Aku juga sudah mengantongi surat izin untuk pernikahan ini. Dan ku jamin bahwa pernikahan ini bersifat pribadi. Hanya ada kerabat dekat dan kolega bisnis penting saja yang datang."

"Terimakasih Seungjoo-ya. Maaf aku sangat sibuk akhir-akhir ini jadi tidak bisa membantumu." Papa terlihat kecewa sekali. Tapi setelah itu papa menolehkan wajahnya ke arah Luhan dengan senyuman tipis.

Luhan terdiam ditempat. Nafasnya terasa tercekat, seperti ingin pingsan saat ini juga. Dia? Sehun? Pernikahan? Maksudnya mereka akan menikah? Mereka sama-sama pria bukan?

Luhan melirik ke arah kakaknya meminta jawaban yang setidaknya menenangkannya saat ini. Luhan memberikan tampang memelas pada kakaknya itu tapi kakaknya itu hanya membalas dengan senyuman– bahagia? Atau terpaksa?

Tiba-tiba saja ponselnya bergetar pelan. Ia membuka ponselnya di balik saku jasnya dan tertera pesan masuk dari kakaknya. Untuk apa ia menjawabnya lewat pesan singkat?

From: Luna Baobei

Chiayo Luhan-ah!

.

.

.

Luhan membanting pintu kamarnya dengan sangat keras. Ia melempar gitarnya dengan kencang ke lantai kayu kamarnya. Ia benar-benar kalap sekarang. Ia benar-benar marah. Bagaimana bisa orang tuanya menjualnya pada keluarga Oh?

"Luhanie, buka pintunya sayang. Eomma ingin bicara." Ibunya mengetuk pintu kamarnya terhitung lima kali sedari tadi tapi Luhan enggan melihat wajah papa dan ibunya saat ini. Mereka benar-benar tega.

"Dengar sayang, eomma dan papa sama sekali tidak berniat untuk menjualmu. Kau sama sekali tidak mengerti pokok permasalahannya."

"Tolong menjauh dari pintu kamarku eomma. Aku benar-benar ingin sendiri saat ini. Jangan ganggu aku, demi Tuhan." Luhan menekuk lututnya dan menangis tanpa suara. Ia benar-benar tidak mengerti.

"Luhanie eomma tidak–"

PRANG...

Itu suara kaca pecah. Luhan melempar mp3 player nya ke arah cermin yang berada tepat didepannya. Ia hanya ingin ibunya diam. Tidak berbicara apapun apalagi berusaha untung menjelaskan apa yang terjadi. Ia belum butuh itu untuk saat ini.

"Maafkan eomma. Eomma tidak akan mengganggumu untuk saat ini." Ibunya melangkahkan kakinya menjauh dari pintu kamar Luhan. Luhan tahu pasti ibunya juga sangat terpukul. Luhan kelepasan kali ini.

Ponsel Luhan berdering nyaring. Ia menggeser ikon berwarna hijau dan segera menempelkan ponselnya ke telinga.

"Luhan hyung, mari belajar bersama. Aku ingin menanyakan sesuatu padamu." Itu suara si kecil Baekhyun. Iya, Baekhyun. Byun Baekhyun, adiknya di kampus. Luhan adalah murid paling tua dikelas, oleh karena itu teman-temannya memanggilnya hyung.

"Baek-ah, hari ini aku tidak bisa kemana-mana. Aku sedang sakit." Dihatiku.

"Hyung, apa yang terjadi? Sudah kubilang jangan terlalu banyak minum bubble tea. Minuman itu tidak baik dikonsumsi secara terus menerus." Ya, Baekhyun terlihat seperti kakaknya ketimbang seperti adiknya. Dia sangat over protective sekali. Luhan jadi ingin tertawa mengingat itu semua.

"Tidak, bukan karena itu Baek-ah. Ada sesuatu lain yang menjadi penyebabnya. Tidak apa-apa, bukan sesuatu yang serius. Aku sedang mencoba menyembuhkannya. Kkokjeongmal."

"Jeongmal? Jinjja gwenchanchi?" Baekhyun sekali lagi memastikan bahwa kakak kesayangannya dikampus itu benar-benar tidak perlu dikhawatirkan lagi. Walaupun terdengar dari suara Luhan, Baekhyun tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan Luhan.

"Ne, na jinjja gwenchana." Luhan berusa membuat nada setenang mungkin untuk meyakinkan Baekhyun bahwa ia baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Arra arra. Kalau ada apa-apa tolong hubungi aku tanpa perlu berpikir apakah aku akan membantu atau tidak. Aku akan membantu apapun sebisaku."

Luhan mengangguk dan tersenyum, walaupun Luhan tahu bahwa Baekhyun tidak tahu pergerakannya disini. Setetes air mata lagi-lagi turun dan membasahi pipi putihnya. Kesedihannya belum berakhir rupanya. "Ne, gomawo. Karena kau sudah mengkhawatirkan aku Baekhyun-ah."

"Tidak masalah hyung. Istirahatlah yang banyak. Jangan sampai besok kau tidak masuk kuliah, oke?" Luhan membalas dengan gumaman pelan. Setelah itu Baekhyun memutus sambungan telepon itu lebih dulu.

.

.

.

"Aku berangkat." Luhan menyambar kunci mobilnya dan segera berlalu pergi tanpa menoleh sedikitpun pada ibu, papa, dan kakaknya di meja makan.

Ia benar-benar seperti tidak bernyawa pagi ini. Ia lelah menangis. Seharian kemarin ia mengurung diri dikamarnya tanpa menyentuh makanan. Bukan karena gengsi atau bagaimana. Hanya saja lidahnya menolak makanan yang diberikan oleh ibunya kemarin.

Luhan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia tidak mau mengambil resiko kecelakaan atau malah tiba-tiba tidak sadarkan diri dalam keadaan tengah menyetir seperti ini. Luhan memang putus asa, tapi ia tidak sebodoh itu membunuh dirinya sendiri hanya karena sebuah masalah konyol. Ia tidak mau mati konyol.

Beberapa menit dalam perjalanan, Luhanpun sampai disebuah kampus mewah ternama Seoul. Luhan memang orang kaya, tapi jangan atas namakan kekayaan orang tuanya saat melihat universitas itu. Ia masuk murni karena ke jeniusan otaknya. Terimakasih kepada otak Luhan yang telah bekerja keras selama ini.

Ia berjalan menyusuri basement. Masih sepi. Berarti Luhan datang sangat awal hari ini. Luhan harus segera melihat tanggal dan menandainya. Ini adalah hari bersejarah bagi Luhan karena untuk yang pertama kalinya Luhan memiliki hasrat untuk berangkat lebih awal.

Aku datang sepagi ini? oh astaga aku bangga sekali hahaha...

Luhan tidak mengerti apa yang aneh pada penampilannya. Luhan pikir penampilannya seperti biasa ia saat pergi ke kampus. Dan kalau Luhan boleh sombong, biasanya semua orang menatap kagum tapi sekarang–

"Luhan-ssi, gwenchanayo?" Seorang wanita menyapa Luhan dengan wajah khawatir. Kalau Luhan tak tahu malu pasti saat ini ia sudah tersenyum senang karena wanita ini menanyakan keadaannya.

"A– ah, ne gwenchanayo." Luhan tersenyum tulus. Wanita itu benar-benar cantik hari ini. Luhan benar-benar sangat memujanya. Semua pria memujanya. Ia cantik dan hanya itu yang bisa Luhan katakan.

"Kau terlihat kurang– sehat? Apa semalam kau tidak tidur? Kemarin seluruh mahasiswi membicarakanmu yang tidak masuk sekolah. Ku pikir kau sakit atau apa."

Ya Tuhan! Dia benar-benar mengkhawatirkanku!

Luhan lagi-lagi tersenyum dengan tenang setelah itu menggeleng pelan. Kepalanya pening. Tapi ia tidak ingin terlihat menyedihkan didepan orang-orang banyak. "Aniyo. Na jinjja gwenchanayo Chorong-ssi."

Sekarang Chorong –wanita cantik itu- yang mengembangkan senyum lega ke arah Luhan. "Kalau begitu, jaga kesehatanmu– oppa?" Ia tertawa kecil. Apa karena dia malu memanggil Luhan oppa? Apa kabar dengan jantung Luhan?

Luhan mengusak rambut Chorong gemas. Wajahnya itu benar-benar manis seperti anak kecil. Berbeda sekali dengan kakaknya. Benar-benar boros muka. Ups, seharusnya dia tidak boleh menjelek-jelekkan calon kakak iparnya.

"Ne, gomapta Chorongie~" Setelah itu Chorong berlalu pergi. Ia beralasan sedang ada praktik atau apalah itu. Luhan tahu, Chorong malu. Ia pergi dengan pipi memerah dan tersenyum malu tadi.

Aku benar-benar menyukaimu Chorong-ah.

.

.

.

"Apa kampus kita memiliki murid zombie?" Dua orang pria berceloteh ria dikursi belakang. Anak-anak itu memang berisik sekali, tidak bisa diam. Untung saja salah satu dari mereka memiliki kebangsaan yang sama dengan Luhan, China. Oleh karena itu Luhan diam saja dan tidak memberi bogem mentah pada mereka.

"Mungkin saja kampus kita berpindah fungsi menampung murid zombie? Bagaimana ini. Aku takut sekali." Satu manusia lagi menyahutinya. Ia tahu suara siapa itu. Tapi Luhan tidak mau ambil pusing. Ia menempelkan kepalanya di meja. Ia lelah.

"Luhaen, ada apa denganmu? Kau benar-benar sakit ya?" Itu suara Baekhyun. Ia rindu makhluk mungil itu. Ia ingin disemangati kali ini. Luhan tahu persis Baekhyun bisa berubah menjadi sangat dewasa saat Luhan sedang down.

Luhan mengangkat kepalanya dan menoleh ke asal suara. Sebenarnya Luhan benar-benar ingin mencari cermin. Ia ingin tahu seperti apa wajahnya sampai-sampai anak-anak lain melihatnya– iba?

"Aku sudah baik-baik saja Baek-ah. Tidak apa apa." Luhan lagi-lagi menampilkan sebuah senyum palsu. Ia tidak ingin terlalu dikasihani, sekalipun dengan Baekhyun. Ia masih memiliki harga diri.

"Baik-baik apanya? Kau seperti mayat hidup hyung. Lihat wajahmu." Baekhyun meyodorkan sebuah cermin kecil. Tapi, sejak kapan Baekhyunnya memiliki cermin?

Luhan mendelik ke arah Baekhyun sebelum melihat ke arah cermin. "Sejak kapan kau memiliki cermin dan membawanya ke sekolah? Seperti perempuan saja." Luhan hanya berguarau. Tapi wajah Baekhyun berubah menjadi– tersinggung?

"Eyy, Baekhyun-ah. Aku hanya bercanda. Siapapun boleh memiliki cermin, hehe. Jadi pinjamkan aku sebentar?" Luhan meminta cermin itu dari tangan Baekhyun. Baekhyun memberikan setelah itu buru-buru pergi dari hadapan Luhan.

Ada apa dengannya?

Luhan tidak ambil pusing dan langsung melihat cermin pemberian Baekhyun, yang ternyata– astaga! Apakah ini dia?

.

.

.

Luhan menepikan mobilnya. Ia merasakan ponselnya bergetar putus-putus. Sepertinya ada beberapa pesan singkat. Ia lalu membuka kunci layarnya dan benar. Semua pesan terkirim dari ibu dan kakaknya.

From: Luna Baobei

Luhanie, eodiga? Jangan pulang telat oke?

-o-

Luhan-ah, sebelum pulang belikan jiejie bubble tea oke?

-o-

Luhanie, ini kan jam pulangmu? Kenapa tidak membalas pesanku?

From: Momster

Luhan sayang, eomma minta maaf. Malam ini kita makan malam bersama ya. Jangan pulang larut.

-o-

Luhan, tadi keluarga Oh menelepon kerumah, dia bilang apakah Luhan mau menemui Sehun sekali saja? Apa jawabanmu?

-o-

Baik Luhan, eomma tidak akan membicarakan itu lagi. Maaf

Luhan benar-benar tidak ingin pulang malam ini. Ia ingin menginap diluar saja. Suasana hati Luhan benar-benar sedang tidak baik. Sepertinya ia butuh secangkir kopi dan beberapa buah roti sore ini.

"Americano satu?"

.

.

.

Luhan tengah menyesap kopinya dengan santai sambil sesekali melihat ke arah jalan raya. Seoul sedang padat hari ini. Semua orang berebut ingin menyeberang, sampai-sampai beberapa mobil terpaksa mengalah dengan pejalan kaki. Memangnya sedang ada apa sampai sebegitu ramainya?

Beberapa musik mungkin bisa menenangkan pikiranku.

Cling..

Lonceng tanda pelanggan berbunyi. Seseorang baru saja masuk ke dalam caffe. Luhan tidak terlalu perduli. Yang ia pedulikan hanya kopi, roti, dan musiknya saat ini dan tidak ada yang lain. Namun Luhan mengambil pilihan yang salah.

"Melamun itu tidak baik untuk masa depan dude." Seseorang yang Luhan kenali sebagai suara pria membuyarkan lamunan Luhan yang sedang menghadap ke jalan raya sama seperti awal saat ia datang tadi dan Luhan belum beranjak sampai suara itu menyita perhatian Luhan untuk menengok ke asal suara.

Luhan mengernyit bingung. Ia berpikir pernah melihat manusia ini dimana? Atau mungkin Luhan pernah kenal saat sedang berada di London? Atau mungkin pelanggan tetap caffe ini sampai-sampai Luhan hafal dengan wajahnya?

"Sehun. Oh Sehun. Kau pasti belum cukup tua untuk melupakan wajahku yang dua hari lalu kau temui dirumahku." Pria itu tersenyum tipis. Bagi Luhan itu sebuah ejekan. Luhan memang orang yang pelupa. Tapi ia tidak perlu menghinanya mengatakan Luhan seperti apa tadi? Lansia?

"Aku tahu. Aku hanya heran untuk apa kau datang ke mejaku. Tempat ini cukup luas. Ku kira tidak baik orang yang belum mengenal duduk bersama. Aku agak hmm–" Luhan menggantungkan kalimatnya meneliti wajah orang dihadapannya dengan saksama dan melanjutkan "–kurang nyaman? Maaf."

"Kau pikir aku orang lain? Kau kan sudah mengenalku. Menghafal wajahku. Mengetahui siapa orang tuaku. Ku pikir itu sudah cukup untuk dikatakan akrab. Bukankah begitu?"

"Maaf, aku tidak berminat berbicara denganmu asal kau tahu saja."

Sehun lagi-lagi tersenyum. "Tapi setidaknya pertemuan yang dirancang secara kebetulan ini bisa memperjelas hubungan kita Luhan-ah."

Hubungan? Hubungan yang mana!

Luhan mengangkat sebelah alisnya bingung. "Hubungan? Sejak kapan kita– berhubungan? Bahkan aku baru menemuimu satu–"

"Tidak! Dua kali dengan pertemuan hari ini." Sehun menyela. Lebih tepatnya mengoreksi perkataan Luhan yang belum sempat terucapkan.

"Ya, terserah." Luhan tidak ingin ambil pusing. Ia lagi-lagi menyesap kopinya dengan tenang sambil memandang jalan raya. Tapi tunggu– seperti ada seseorang yang menarik perhatian Luhan.

"Chorongie?" Luhan berbicara pelan nyaris berbisik dengan mata membulat. Chorong sedang berada di daerah yang sama dengan Luhan. Alangkah baiknya kalau Chorong masuk dan bergabung. Agar Sehun sialan ini bisa pergi dari hadapan Luhan.

"Kau bilang apa?" Sehun mempertajam pendengarannya. Sepertinya Luhan berbicara sesuatu tadi. Seperti nama orang?

"Tidak, tidak ada." Luhan menjawab pertanyaan Sehun dengan mata yang masih tertuju keluar jendela caffe. Ia makin tersenyum lebar saat Chorong berjalan mendekati caffe. Dewi fortuna sepertinya sedang berpihak padanya.

Luhan memperhatikan Chorong berjalan sampai sebuah lonceng berbuyi menandakan pelanggan baru. Luhan melambaikan tangannya bermaksud memberi tahu bahwa ia berada disini juga.

"Oppa!" Chorong membuat gesture "oppa" dengan bibirnya tanpa suara dan ikut melambaikan tangannya ke arah Luhan.

"Oh jadi gadis itu? Dia kekasihmu?" Kini Sehun yang berbicara. Astaga Luhan sampai lupa kalau masih ada manusia asing itu dihadapannya.

"Kau tidak perlu tahu."

"Aku harus tahu. Karena aku calon sua–" Luhan buru-buru membekap mulut Sehun dengan tangan kanannya. Bisa-bisanya Sehun mengumbar-umbar hal itu ditempat umum. Apalagi Chorong tengah berada tepat dibelakang Sehun sekarang.

"Oh, apa aku mengganggu? Kalian sedang ada urusan bisnis ya?" Chorong terkejut melihat manusia dihadapan Luhan.

Bisnis apanya!

"Ya, kita sedang membicarakan bisnis penting. Jadi bisakah kau menunggu sebentar sampai aku mengembalikan Luhanmu?" Sehun membalas pertanyaan Chorong dengan datar. Yang dijawab malah tersenyum malu saat mendengar Sehun berkata "Luhanmu" tadi. Seakan-akan dia dan Luhan adalah sepasang kekasih. Chorong benar-benar tersipu sekarang.

"A-aniyo. Gwenchanayo. Kalian bisa berbicara sampai selesai. Lagipula aku juga tidak lama disini. Luhan oppa, aku pergi dulu. Annyeong."

Luhan tersenyum tulus. "Ne, jalga!."

Setelah itu Chorong menuju tempat kasir dan terlihat sedang memesan beberapa menu makanan.

.

.

.

"Jadi seperti itu? Tapi tetap saja aku tidak mau dijodohkan denganmu! Apalagi kau pria. Aku tidak mau. Bagaimana aku bisa punya keturunan nanti." Luhan mengerucutkan bibirnya sebal. Ibu dan papanya tidak membicarakan ini sebelumnya.

"Jangan egois. Setidaknya turuti dulu permintaan orang tua kita. Setelah itu selesai."

"Selesai? Maksudmu kita bisa bercerai dan aku bisa menikah lagi dengan wanita yang ku suka?" Luhan bertanya dengan mata berbinar. Kalau Sehun bilang iya, Luhan bisa mempertimbangkan semuanya.

"Kalau kau bisa membuat ini mudah di hadapan orang tuaku. Aku tidak bisa berjanji kita bisa bercerai. Eomma sangat menyukaimu sejak dia melihat fotomu dirumah."

Apa? Jadi dengan sembunyi-sembunyi mereka menguntit Luhan. Dan Luhan sama sekali tidak tahu? Oh, damn it!

"Ne? Fotoku? Kapan kalian melihat fotoku? Bertemu saja tidak pernah bagaimana kalian bisa mengetahui fotoku?"

"Itu urusan kami. Kau tidak perlu tahu." Sehun tersenyum menang. Ia sangat suka dengan wajah Luhan saat sedang kesal seperti ini. Mengerucutkan bibirnya membuat Sehun gemas saja.

"Kau pembual Oh Sehun. Shireo! Aku masih normal dan masih menyukai wanita." Luhan segera beranjak pergi dari hadapan Sehun dan segera keluar dari pintu caffe. Ia muak. Benar-benar muak.

Sehun lagi-lagi tersenyum. Ia tidak mengerti kenapa tingkah Luhan yang seperti menolaknya itu malah membuat Sehun bahagia? Apa Sehun sudah memprediksikan sesuatu? Seperti, Sehun sudah tahu bahwa nanti Luhan akan menyerah dan mau menikah dengannya?

"Yak! Luhan-ssi, chakkamanyo!" Sehun segera berlari keluar mengejar Luhan. Ia benar-benar ingin mendapatkan rusa itu. Secepat mungkin.

.

.

.

.

.

TBC