Aku dan Hinata dilahirkan di hari yang sama, di musim dingin tepat dua hari setelah natal. Usiaku dan Hinata hanya berbeda beberapa menit, baik ayah maupun ibu tak mempermasalahkan siapa yang lebih dulu lahir diantara kami. Aku pun tak mempermasalahkannya.

Asal terus bersama Hinata, aku tak mempedulikan hal remeh seperti itu.

Dari bisa mengingat, aku selalu bersama Hinata. Di mana ada aku, di situ ada Hinata. Di mana ada Hinata, aku akan ada di belakangnya. Ketika Hinata sakit karena terlalu lama membuat boneka salju, aku akan diam-diam mengambil termometer, memasukkannya ke air panas, lalu memberikannya kepada ayah. Ketika menerima termometer tersebut, ayah hanya akan melihat benda tersebut sekilas dan mengabari sekolah bahwa kami sakit. Ibu tak protes ketika aku meninggalkan tempat tidur dan memanjat ke ranjang Hinata untuk tidur di sampingnya.

Ketika Hinata sakit, aku pasti akan menggenggam tangannya. Wajah Hinata ketika demam sangat merah dan berkeringat. Rasa sakitnya sampai kepadaku, mungkin itulah yang disebut ikatan batin sepasang anak kembar.

"Kau akan baik-baik saja, Hinata."

Dan biasanya Hinata akan tertidur ketika aku mengatakan kalimat tersebut. Tertidur damai sembari mengulum senyum.

.

.

Their Story

.

By: Fuyu no Yukishiro

.

Disclaimer:

Naruto (c) Masashi Kishimoto

MV Adolescene Kagamine Len dan Kagamine Rin

.

Warning:

OOC, AU, Ada pergantian POV (Harap perhatikan kalimat yang dicetak tebal), Incest, Lemon (semoga) Implisit.

.

01 of 03

.

Dalam Fanfiksi ini, Tanggal lahir Sasuke bukan tanggal 23 Juli, tetapi 27 Desember. Mereka adalah kembar identik.

.

.

Happy Reading... :D

Semoga tidak mengecewakan.

Kami memiliki selera yang sama.

Itu mungkin terjadi karena Ibu membiasakan kami dengan warna, model dan gaya berpakaian yang sama. Sebagai seseorang yang memang mendambakan anak kembar, ibu selalu membelikanku pasangan pakaian yang sama dengan Hinata, plus wig yang panjangnya sama dengan rambut asli Hinata. Ibu juga membelikan satu wig yang modelnya sama dengan rambut asliku untuk Hinata.

Terkadang, aku dipakaikan dress yang sama dengan Hinata, plus wig panjang. Ibu akan berteriak kegirangan, memfoto kami, dan memasukkan foto kami ke akun media sosialnya dengan judul 'kedua putri kembar kami. Sasu dan Hina.'

Terkadang, Hinata dipakaikan pakaian lelaki yang sama dengan yang kupakai. Rambut panjangnya adakan diikat rapi sebelum Hinata dipakaikan wig pendek. Ibu akan berteriak kegirangan, memfoto kami, dan memasukkan foto kami ke media sosial dengan judul 'Kedua putra kembar kami. Sasu dan Hina.'

Tapi, ibu jarang sekali memfoto aku dengan pakaian lelaki tanpa wig panjang bersama dengan Hinata yang memakai pakaian perempuan tanpa wig pendek. Saat aku bertanya pada ibu kenapa, Ibu akan tertawa dan mengatakan agar orang-orang lebih penasaran dengan kami. Lagipula jarang ada kembar identik berbeda jenis kelamin, jadi ibu memutuskan membuat orang-orang penasaran dengan jenis kelamin kami.

Nyatanya, memang banyak yang penasaran dengan foto-foto kami. Ibu bilang yang berkomentar di foto-foto tersebut menuntut kenyataan sebenarnya. Apakah kami kembar lelaki atau kembar perempuan. Tapi ibu hanya membalas komentar tersebut dengan tawa dan malah meng-upload foto-foto kami yang lain.

Kelakuan ibu yang seperti itu sama sekali tidak diprotes oleh ayah yang malah menyediakan dana untuk hobi ibu memakaikan kami pakaian yang sama. Awalnya, kami tidak keberatan. Toh baik aku dan Hinata hanya berpikir yang penting kami tidak terpisah. Mau orang mengira kami kembar perempuan atau lelaki bukanlah masalah.

Lama-lama kami mulai risih. Yang pertama merasa risih adalah Hinata. Hinata akan memprotes pada ibu ketika Hinata dibelikan kaos biru yang mirip denganku. Hinata akan memakai pakaian itu sembari menggerutu dan menolak wig yang disodorkan ibu. Dia ingin rambut panjangnya yang terurai. Selepas SD, Hinata sama sekali tidak mau memakai baju yang sama denganku. Ibu menyerah, lagipula kami sudah besar sementara ibu punya bahan baru untuk koleksi foto yang ada di akun media sosialnya.

Perlahan, kami berubah.

Dulu, yang berbeda dari kami hanya terletak pada warna mata. Aku mewarisi mata hitam dari ibu, sementara Hinata mewarisi mata perak-lavender dari ayah. Sisanya, baik dari warna kulit, warna rambut, dan tinggi badan kami nyaris sama.

Sekarang, ketika aku dan Hinata menginjak kelas satu SMA, perbedaan kami terlihat sangat jelas. Hinata mengecat rambutnya menjadi agak keunguan, Tinggi Hinata hanya seratus lima puluh sentimeter, lebih pendek dari rata-rata tinggi orang Jepang seperti yang terjadi pada sepasang kembar identik berbeda gender* seperti kami. Sementara, aku tetap mempertahankan warna rambutku yang hitam, dan tinggiku sudah menembus angka seratus tujuh puluh lima di awal bangku SMA. Karena penampilan dan tinggi badan yang jauh berbeda, sekilas, orang-orang akan mengira kami orang lain jika mereka tidak tahu kami memiliki marga yang sama.

Lalu, perubahan lainnya adalah perasaan yang menggangguku ketika di suatu hari di musim dingin, di malam natal yang biasa kami lewati bersama, Hinata sudah rapi dengan pakaian dan dandanan terbaiknya lalu seorang pria bertampang bodoh menjemputnya dan mereka meninggalkan rumah kami sembari bergandengan tangan.

Aku ... tidak suka.

Aku tidak suka melihat wajah Hinata yang merona ketika cowok bodoh itu membisikinya sesuatu. Aku tidak suka ketika melihat tangan Hinata digenggam pria lain selainku. Aku tidak suka ketika melihat Hinata yang trtawa bahagia bersama pria lain selain diriku. Aku tidak suka ketika Hinata lebih memilih menghabiskan malam natalnya bersama pria lain selain bersamaku.

Jangan lihat dia. Jangan tersenyum bahagia seperti itu. Jangan tunjukan sisi manismu padanya. Jangan biarkan dia menyentuhmu. Jangan. Jangan.

Jangan pergi dariku! Jangan ambil dia dariku! Dia milikku!

Aku tersentak ketika satu kalimat itu terlintas. Punggung Hinata dan pria bodoh itu sudah lama hilang dari pandanganku. Jantungku berdegup kencang. Otakku mengulang kembali satu kalimat terakhir yang perlahan menarik kesadaranku pada hal yang seharusnya tidak boleh kusadari.

Perasaan mendominasi ini tidak mungkin nyata. Perasaan yang dalam seperti ini tidak seharusnya kumiliki. Perasaan menyakitkan ini ...

Tubuhku lemah. Rasa sakit menyerang begitu kuat. Tenggorokanku tercekat. Hatiku memaksa untuk mengaku, sementara logika memaksaku untuk melupakan perasaan yang baru kusadari.

Tercekat, aku menunduk. Perasaan nyata yang menyakitkan ini baru sekali kurasakan. Aku, Hyuuga Sasuke, di usiaku yang sebentar lagi menginjak tujuh belas tahun, menyadari sebuah dosa yang secara ajaib tumbuh dengan begitu besar setelah aku menyadari keberadaan dosa tersebut.

Tuhan ...

Tuhan ...

Tuhan, aku mencintai saudariku sendiri.

Aku mencintai Hyuuga Hinata.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Hinata POV

Bunga sakura berguguran di hari pertama aku naik ke kelas 2 SMA.

Kami pulang cepat karena jadwal hari ini hanya upacara pembukaan, pembagian kelas dan perkenalan anggota kelas. Kembaranku, Sasuke-kun, memutuskan untuk mengurung diri di perpustakaan, membuatku yang tak begitu suka buku memutuskan untuk pulang terlebih dulu.

Hari ini, kali pertama aku pulang tanpa Sasuke-kun.

Aku dan Sasuke-kun selalu bersama karena kami kembar. Ibu dan ayah tidak memberitahu kami siapa yang terlahir lebih dulu. Karena itu, baik aku dan Sasuke-kun, sampai tidak tahu siapa yang menempati posisi kakak, dan siapa yang menempati posisi adik. Biarlah, toh bagi kami, asal kami selalu bersama-sama, itu sudah lebih dari cukup.

"Mulai sekarang, kau pulang dengan kekasihmu saja."

Aku teringat kalimat yang Sasuke-kun katakan padaku tadi. Sepasang mata hitamnya menatapku dalam dan gelap. Aku tak mengerti kenapa, sejak beberapa bulan yang lalu, Sasuke-kun menghindariku.

Awalnya, kukira Sasuke-kun kesal karena aku merayakan natal bersama Naruto-kun. Tapi, rasanya tidak. Sejak saat itu, Sasuke-kun perlahan menjauh. Dimulai ketika Sasuke-kun meninggalkanku ke sekolah dengan alasan Sasuke-kun mengikuti kegiatan klub yang mengharuskannya latihan pagi. Lalu, Sasuke-kun yang memilih pergi makan siang ke kantin daripada menghabiskan waktu istirahat siangnya bersamaku di taman, dan sekarang, Sasuke-kun yang menyuruhku untuk pulang duluan.

Perlahan tapi pasti, aku merasa sesak.

#Their Story (c) Fuyu no Yukishiro#

"Aku akan pindah kamar."

Malamnya, kalimat itu kudengar dari muluntya. Aku menatap Sasuke-kun dengan perasaan kaget luar biasa.

Tujuh belas tahun lamanya kami tidur di kamar yang sama. Aku tidak merasa pernah melakukan hal buruk sehingga Sasuke-kun mendadak ingin pindah kamar, dan pembicaraan ini sama sekali tidak pernah ada sebelumnya.

"Kenapa?" Aku bertanya meminta kejelasan. Suaraku terdengar bergetar, sepasang mata lavender warisan ayah berkabut, tak sanggup menatap refleksi diriku di sepasang oniks yang menatapku dengan sorot yang berbeda seperti biasanya.

Sasuke-kun masih diam membisu. Kami masih bertatapan untuk waktu sekian puluh detik sebelum Sasuke-kun mengalihkan pandangannya, dan bergerak mengambil beberapa buku yang disimpan di meja belajar.

"Aku sudah bilang pada ayah dan ibu. Aku akan menggunakan kamar tidur untuk tamu."

Sasuke-kun berbalik. Menolak menjawab pertanyaanku, dan aku tak sanggup memaksa Sasuke-kun untuk memberitahu alasannya karena entah karena apa, aku merasa takut.

Rasanya, jika aku memaksanya, lalu aku mengetahui apa alasan Sasuke-kun yang menjauh, aku takut ada yang berubah.

Perubahan yang tidak semestinya terjadi.

.

# Their Story (c) Fuyu no Yukishiro#

.

"Hinata-chan?"

Aku mengerjap. Sesosok pria berambut pirang menatapku penuh perhatian.

"Ah," aku bergumam tak jelas. Memaksakan diri untuk tersenyum. Pria yang duduk di sampingku adalah Uzumaki Naruto-kun, kekasihku. Kami mulai berkencan awal desember lalu. "Gomenne, Naruto-kun. Kau mengatakan sesuatu?"

Aku merasa bersalah karena sedari tadi perhatianku tak fokus pada Naruto-kun. Kami berada di taman belakang sekolah, menikmati bekal yang kubuat tadi pagi.

"Hanya mengatakan bahwa aku sangat menyukai telur gulung buatanmu, Hinata-chan," katanya dengan senyuman ceria. Wajahku memerah, hatiku perlahan menghangat. Dari pertama mengenalnya di kelas satu, aku memang sudah menaruh minat pada Naruto-kun. Aku sering mendapati Naruto-kun yang sedang berlari, dan selalu terpana pada sosoknya yang berlari secepat kilat. Di mataku, Naruto-kun tampak berkilauan.

Apakah ini cinta atau bukan, sebenarnya aku tak mengerti sama sekali. Dalam tujuh belas tahun hidupku, hanya ada satu pria, dan itu adalah Sasuke-kun. Kami terlalu terbiasa satu sama lain. Aku terlalu terbiasa dengan perlakuan istimewa yang diberikan Sasuke-kun kepadaku, dan aku merasa aku tak membutuhkan pria lain jika Sasuke-kun ada bersamaku.

Hanya saja, ketika Naruto-kun yang hanya kulihat dari jauh tiba-tiba mengajakku berkencan, aku merasa seolah ribuan kupu-kupu berterbangan di perutku, jantungku berdegup kencang dan aku merasakan pipiku memanas.

Kusimpulkan bahwa aku juga menyukai Naruto-kun dan memutuskan untuk berkencan dengannya.

Aku selalu senang mendapatkan perhatian lebih dari Naruto-kun. Rasanya menyenangkan ketika mendapat email yang hanya berisi ucapan selamat tidur dan perhatian darinya. Jantungku selalu berdetak lebih cepat ketika kami bergenggaman tangan. Aku selalu suka melihat senyumnya, mengingat bau parfumnya.

Tapi lama kelamaan, perasaan itu semakin hilang.

"Hinata-chan."

Aku kembali tersentak. Mengatakan maaf dengan perasaan menyesal karena lagi-lagi aku melamun. Naruto-kun hanya tersenyum, kembali berbicara dan aku kembali mendengarkannya. Sesekali menanggapinya dengan ikut tertawa atau melemparkan beberapa tanggapan.

Suasana diantara kami semakin menyenangkan, hingga entah siapa yang memulai, bibir kami saling bersentuhan.

Napasku tercekat. Debaran terasa kuat. Aku menatap Naruto-kun, sepasang birunya menatapku dalam, dan gelap. Perlahan, wajahnya kembali dimajukan. Aku terlena dan membiarkan Naruto-kun mengecup bibirku, melumatnya, dan perlahan menyapa bagian dalam mulutku. Perlahan-lahan hingga semakin cepat. Keringatku keluar, tubuhku semakin lengket dengannya.

Kepalaku terasa pusing dengan perlakuan memabukkan ini, pelan kututup mataku, menghayati lumatan-lumatan yang membangkitkan sesuatu entah apa. Pandanganku menggelap, yang kurasakan adalah ciuman Naruto-kun yang dalam, tangannya yang besar mulai meraba-raba tubuhku, aku merasa tubuhku semakin memanas, lalu aku tersentak.

Yang ada dalam pikiranku, bukanlah sosok lelaki yang kini tengah memeluk dan mengecupku. Bukan sosok berambut pirang yang resmi menjadi kekasihku. Yang ada dalam pikiranku adalah seorang pria berambut hitam bermata oniks yang menatapku dengan ekspresi datar.

Yang ada dalam pikiranku adalah Sasuke-kun.

"Kh!"

Aku melepaskan ciuman kami. Kami saling bertatapan. Di mata Naruto-kun yang sudah terselibungi nafsu, aku dapat melihat cerminanku yang menyesal.

Apa ... ini?

Perasaan apa ini?

#Their Story (c) Fuyu no Yukishiro#

Suara pintu rumah kami terbuka. Aku yang sedang duduk di depan meja makan segera bergerak ke depan. Sudah jam satu malam, ini rekor terlama Sasuke-kun pulang ke rumah. Sepanjang sore, aku gelisah karena Sasuke-kun tak pernah pulang hingga selarut ini. Handphone-nya tidak dapat dihubungi.

"Ke mana saja?" Aku bertanya dengan suara kecil. Tubuhku menghadang Sasuke-kun untuk masuk ke kamarnya yang baru.

Kami saling bertatapan, aku menuntut jawaban, sementara Sasuke-kun menatapku dengan pandangan lelah yang membuat hatiku sakit. Aku merasa Sasuke-kun membenciku, untuk alasan yang tidak aku tahu.

"Bukan urusanmu, kan? Bisa kau minggir dari sana? Aku lelah."

Aku terdiam, ucapan dingin itu menyakitkan. Aku bergerak ke samping, memberi ruang yang cukup untuk Sasuke-kun membuka pintu kamarnya. "Sebaiknya kau tidur."

Setelah satu kalimat itu, Sasuke-kun masuk, dan menutup pintu kamarnya. Membiarkanku tetap berdiri di depan kamarnya.

"Sasuke-kun..." Aku memanggilnya dengan suara yang kurasa keras. Aku merasa sesak. Beberapa bulan ini, melakukan semua hal tanpa Sasuke-kun terasa salah. Aku merasa kosong, dan begitu merindukannya. "Ada apa denganmu? Jika aku berbuat salah kepadamu, aku minta maaf." Tenggorokanku tercekat. Beberapa bulan ini aku berusaha untuk mencairkan suasana di antara kami. Aku meminta maaf meski tidak tahu apa salahku, aku menegurnya lebih sering, menghubunginya, mencarinya, Aku memprioritaskannya daripada Naruto-kun, tapi Sasuke-kun malah terasa semakin jauh.

Ada apa? Kenapa?

Apa salahku?

Aku bergerak menghadap pintu kamarnya, menyentuh daun pintu sambil menangis. "Aku merindukanmu, Sasuke-kun. Kumohon... kumohon kembalilah seperti dulu. Kumohon..."

Sasuke-kun tak membalas perkataanku, tak melakukan tindakan apapun. Tetap di dalam kamarnya seolah tak mendengar apa yang kukatakan, membuatku semakin sakit dan tak bisa berhenti menangis.

Malam itu, aku menangis di depan kamar Sasuke-kun hingga terbuai dalam mimpi.

Dalam mimpi, Aku melihat diriku ketika masih kecil yang tengah bergenggaman tangan sambil tertawa bersama Sasuke-kun.

.

.

.

To Be Continued

.

.

Author Note:

Cerita kedua saya di rating M. Awalnya, cerita ini saya buat untuk event Implisit celebration sayangnya, waktunya sudah terlewat. Akhirnya saya memutuskannya membuat cerita ini menjadi tiga chapter.

Enjoy, semoga suka.

Fuyu no Yukishiro