Dance With Me

.

.

.

"Joaheyeo…"

Aku menatap Sehun tak percaya. Bibirnya bergetar, dan matanya beralih dari menatapku kemudian menatap lantai di bawah kami. Dadanya naik turun tak beraturan. Dan wajah putihnya jadi semerona bunga sakura.

Aku menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. Sangat kikuk tapi sekaligus menyenangkan. Perasaan berdebar dan senang yang berlebihan bertabrakan di dalam dadaku hingga membuatku serasa terbang.

"Na.. Nado Joahe…" kataku pelan dengan penuh kelegaan.

Aku meraih dagu Sehun lalu mengecup bibirnya sekilas. Mengecupnya lagi dan berlanjut dengan lumatan yang dalam dan menuntut. Mengajak lidahnya untuk bermain. Dan ia menanggapiku dengan penuh gairah. Aku mendorongnya, menyesap perpotongan lehernya dan ia mendesah rendah.

"Sehun-ah…" suara itu melengking tinggi diiringi dengan kenop pintu yang terbuka.

Sehun menatap sosok itu horor dengan nafas terengah.

Seorang namja berbadan kurus dan rambut agak panjang yang dikuncir sebagian. Kulitnya seputih milik Sehun.

Namja itu mendesah sebal lalu menarik baju ku ke belakang menjauhi Sehun yang memasang wajah kesal.

Ia menatapku dari kepala sampai ujung kaki. Menyipitkan matanya sejenak lalu memeluku dengan tiba-tiba.

"Hyung! Jangan berlebihan." Sehun berkata datar.

"Aku tidak berlebihan. Aku kira kau benar-benar tidak akan pernah punya pacar. Aku terharu." Namja itu melepaskan pelukannya yang hampir saja membuatku kehilangan nafas. Matanya berkaca-kaca dengan bibir tersenyum lebar.

"Ige mwoya?" tanyaku bingung meski aku hampir paham apa yang tengah terjadi.

"Kau tahu? Adiku normal , meski tidak sepenuhnya normal karena dia memilihmu."

"Nde?"

"Dia ini belum pernah punya pacar ataupun orang yang di sukai. Aku kira dia antisosial atau menderita penyakit mental lainya, apa lagi tata bahasanya yang… ehmm…. Kau tau kan?"

Aku mengangguk paham. Dan mendadak aku menjadi sangat senang karena aku orang pertama yang di sukai Sehun

"Tidak kusangka kau suka namja."

"Hentikan. Hyung." Ucap Sehun dengan wajah memerah.

"Lucunya…" ujar Hyung Sehun sambil memeluk adiknya yang meronta sekuat tenaga.

"Tapi, aku tidak mengijinkanmu melakukan hal yang lebih dari ini."

Aku menerawang bingung. Yang lebih itu yang seperti apa? Dengan perempuan saja aku belum pernah. Dan ini, aku tidak bisa membayangkannya.

.

.

.

Ibu Sehun terus saja tersenyum menatapku seperti melihat tas chanel diskon lima puluh persen. Sangat bersinar dan penuh semangat yang bergairah. Ia terus saja meletakan makanan ke mangkukku hingga kurasa sebentar lagi aku akan muntah jika terus mengunyah.

"Joah…" ucap Ibu Sehun senang.

"Nde?"

"Joahaeyeo Kim Jongin… Kau teman pertama Sehun yang di ajak ke rumah." Aku terbatuk dibuatnya. Apa aku boleh menganggap ini sebagai restu dari ibu Sehun? Anggap saja demikian meskipun kenyataanya tidak begitu.

Aku melirik Sehun sekilas dan ia nampak serius memandang piringnya dengan muka masam. Tapi sesaat kemudian ia tersenyum yang di samarkan menjadi kunyahan ketika mata kami bertemu. Aku tersenyum melihatnya.

.

.

.

Tiga hari berlalu sangat cepat di rumah Sehun. Atau mungkin hanya perasaanku saja yang merasa demikian. Dan hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang terasa bagaikan seabad. Sangat membosankan dan membuatku mengantuk. Di tambah lagi suara Pak Kim yang semerdu itu benar-benar seperti lagu pengantar tidur.

Dan siang yang panjang ini seolah belum cukup untuk membuatku menderita. Tangan cantik Taemin dengan kekuatan besar menyeretku ke ruang latihan. Dengan suara lantang ia menyebutku alfa dari kawanan mereka.

Aku terduduk malas sambil melonggarkan kemejaku ketika mereka mulai pemanasan. Dan itu membuat semua mata menatap tajam ke arahku. Kecuali Sehun tentu saja. Dia menatapku penuh cinta. Begitulah kira-kira.

"Kalau kau tidak ikut, keluar saja!" kata Chanyeol ketus, dan aku hampir saja menonjok hidung besarnya itu kalau bukan karena Taemin menahanku.

"Arraseo… aku keluar."

Ucapku lalu melangkah pergi diiringi makian dari Chanyeol. Sehun menarik lenganku. Menatapku dengan penuh emosi. Antara sebal dan keinginan untuk bercinta(mungkin).

Ia memelukku bahkan ketika semua orang mengarahkan pandangan ke arah kami. Mereka semua terkejut kecuali Taemin. Dia selalu tau apa yang terjadi antara aku dan Sehun entah bagaimana carantnya. Mungkin ayahnya seorang biksu atau ibunya seorang dukun.

"Kau tau kapan aku mulai menyukaimu?"

Aku menggeleng.

"Saat pertama kali melihatmu menari."

"Semua orang akan jatuh cinta padaku jika aku menari." Aku menjawab acuh.

"Berhentilah menyombongkan diri, aku berkata serius. Kau terlihat sangat keren, sangat hidup sangat mencintai tarian."

Aku menatapnya bingung. Sejak kapan bibir Oh Sehun bisa mengeluarkan kata-kata semanis ini? Apakah begitu besar efek mencintaiku?

"Aku tidak."

"Iya. Kau mencintai tarian."

"Kau salah…"

"Menarilah bersamaku…"

Ia menatapku serius. Tatapan paling serius dan lembut yang pernah Sehun berikan padaku. Membuatku enggan untuk berkata tidak padanya.

Sehun meraih pipiku dan menecupnya. Di depan pintu ruang tari. Di saksikan oleh semua orang yang berada di sana. Dan sejenak aku merasa tidak rela berbagi pemandangan menggairahkan ini pada makhluk mesum di dalam yang tengah bersorak bar-bar.

.

.

.

Rasanya menyesakkan ketika kau sudah berjuang mati-matian sekuat tenaga dan hasilnya hanyalah juara dua. Tapi anak-anak itu senangnya bukan kepalang. Terus saja menceritakan saat-saat pengumuman padahal sudah dua minggu berlalu sejak kompetisi itu di lakukan.

Aku hanya menanggapinya dengan senyum datar ketika mereka memaksaku untuk ikut berceloteh. Aku tidak suka yang seperti ini. Aku tidak suka bergosip. Lagipula juara dua itu memalukan.

Aku juga sempat bertemu empat mata dengan Jenny kim. Ia menangis sesenggukan sambil memelukku. Tanpa kata, tanpa isyarat apapun. Dan aku memasang wajah datar selama kami bersama. Baru ketika Sehun menghampiriku aku menumpahkan emosiku pada pundaknya. Aku tidak bisa menyembunyikan apapun darinya.

Aku berjalan menjauhi kerumunan anak-anak klub dance. Membelah koridor mencari Sehun. Dan kudapati dia sedang duduk di bangku taman dengan buku tebal dan kacamata bulat. Dia suka membaca. Aku baru tahu itu beberapa hari yang lalu. Dan dia sangat manis jika sudah menatap kumpulan teks di tangannya.

Aku duduk di samping Sehun dan ia sama sekali tidak memandangku. Lalu melingkarkan lenganku ke pingganya. Ia terperanjat kemudian menatapku sebal sambil menggerutu pelan.

"Aku merindukanmu…"

"Kau sudah mengatakanya ratusan kali hari ini." Ia masih fokus pada bukunya.

"Kau menghitungnya?"

"Bisakah kau diam sebentar saja?"

Aku menggeleng, kemudian mengecup bibir plum Sehun. Ia mendorongku lalu memukul kepalaku dengan buku yang setebal alkitab di tanganya. Kacamatanya merosot, dan aku dapat menatap lensa hazel itu tanpa penghalang. Membawaku dalam kenyamanan mutlak yang memabukan.

"Appo…"

"Berhentilah berbuat mesum di sembarang tempat. Dimana otakmu?"

Dia masih sama saja. Masih bersikap kasar dan bermulut pedas. Tapi terkadang menjadi sangat manja jika hanya ada kami berdua. Dan kami sering berdua.

Aku mengeluarkan secarik kertas dari saku celanaku. Lalu meletakannya di celah halaman buku yang sedang Sehun baca. Ia mengambilnya lalu mengernyit tidak paham. Sehun memang agak sedikit telmi.

"Ada yang mengajakku masuk SM," aku berkata bangga sambil memperhatikan raut wajah Sehun.

"Kapan?" perhatiannya teralihkan seratus persen kepadaku.

"Kemarin, waktu lomba."

Ia merobek kartu nama itu menjadi serpihan kecil lalu menatapku sebal," Kau mau terkenal? Ingin punya banyak penggemar? Ingin tebar pesona?"

"Tidak boleh. Kau milikku, lupakan saja SM," lanjut Sehun dengan mimik muka serius.

"Aku … sudah melakukannya…"

Sehun menatapku dengan wajah datar.

"Aku ingin menari…"

"Kau milikku…"

"Arra… ,"

Sehun memelukku erat. Sangat erat. Ia menatap mataku lalu melepas kaca matanya. Menarik kerah kemejaku kemudian mempersempit jarak kami hingga tak ada lagi celah. Ia mengecup bibirku dengan lembut. Sangat lembut seakan takut aku akan meleleh karena kecupannya. Dan hanya perlu hitungan detik sebelum ciuman ini berubah menjadi panas dan menggairahkan.

.

.

.

FIN