EGLANTINE ~*Aku Terluka untuk Sembuh*~

Author : Shee

Desclaimer : Tuhan YME, Orang tua mereka masing-masing, Pledis Ent.

CAST : SEVENTEEN member.

Rated : T

Genre : Romance, School Life, Angst (inginnya), Supranatural.

Summary : Didalam tubuh Jihoon ada satu lagi sisi manusia. Jihoon yang berjuang dengan kematiannya, dan sosok itu mencegahnya mati-matian.

.—begin—.

"Mama, aku pergi dulu."

"Hati-hati dijalan sayang, jangan lupa bekalnya?"

"Hnn"

Setelah anak semata wayangnya keluar dari rumah, ternyata sebuah kotak kecil masih tergeletak diatas meja. bekal yang selalu dibawakannya setiap hari. tidak banyak waktu yang bisa ia miliki, namun demi sang buah hati dia rela bangun lebih pagi dari yang lain untuk sekedar memasak dan membuat bekal dan mempersiapkan segala keperluan anaknya.

"Lee Jihoon."

Jihoon berlari tanpa menoleh ke belakang, dia tahu kalau dia akan kena marah sang mamanya karena ketahuan tidak mau membawa bekal yang sudah disiapkan untuknya.

Alasannya klasik, mamanya tidak terlalu mengerti akan selera anaknya yang umurnya sudah melewati masa pubernya dan sudah kelas 2 SMA. tapi dibalik itu semua dia hanya tidak ingin mamanya selalu repot dengan keseharian itu, kalau penolakan ini terus berlanjut bukan tidak mungkin suatu saat akan berhenti.

Jihoon menggerutu di sepanjang jalan. ia tahu sebesar apapun dia, mamanya masih akan menganggapnya sebagai anak kecilnya. karena memang dia adalah satu-satunya orang yang ada disamping mamanya disaat keluarga appa-nya tidak mau menerima kehadirannya. bagai serangga pegganggu, itu alasan mereka entah apa maksudnya Jihoon tidak mengerti urusan keluarga mereka, dia tidak akan pernah mau berhubungan dengan keluarga appanya, apapun yag terjadi.

Mengingat kejadian mereka berdua diusir dari rumah, itu akan terus terngiang di pikiran Jihoon. mamanya yang berkewarganegaraan Jepang itu memilih meninggalkan semua yang dimilikinya disana termasuk keluarganya demi mengikuti sosok lelaki yang dicintainya. Awalnya hidup terasa mudah dan menyenangkan tapi tidak selamanya seperti itu, dan disinilah mereka sekarang.

Di sekolah,

Sesampainya di gerbang sekolah, dia mulai merasakan lelah, padahal jarak rumah dan sekolahnya tidak sebegitu jauh hanya perlu berjalan lima belas menit. Tetapi dia terhenti karena tetangganya sering menanyainya hal macam-macam. Karena tubuhnya yang pendek dia sering masih disangka anak-anak.

Dikelas, pelajaran berjalan biasa saja tidak ada yang istimewa, gurunya menerangkan muridnya mendengarkan dengan seksama, sebuah rutinitas pada umumnya.

"Jihoon, hari ini tidak membawa bekal.?"

"Aku tidak mau membawanya" Jihoon menjawab santai seperti biasanya pada teman cukup dekat dengannya ini, dia satu-satunya yang mau berbicara dengan Jihoon dikelas ini karena mereka berasal dari satu SMP.

"Kalau kau mau, aku bisa berbagi denganmu" namanya Seungchol, salah satu orang baik dalam hidupnya, karena tidak banyak orang baik yang pernah dia temui. Jihoon termasuk orang yang tidak mudah berteman dengan siapapun. ia ingat bagaimana pertama kali dia bertemu orang baik ini, sama seperti hari ini dia adalah satu-satunya orang yang berani mengajak bicara sosok Jihoon yang tertutup itu.

"Eh, itu Jeonghan." Seungchol langsung mengarahkan pandangannya ke luar kelas, Jihoon mengikuti pandangannya dan tertuju pada sosok cantik yang menjadi primadona, dan Seungchol semenjak kelas satu sudah menyukainya tapi masih belum ada keberanian untuk menyatakan perasaannya.

"Kenapa dengan Jeonghan?"

Ada nada tidak suka dalam perkataan Jihoon, entah apa alasannya tapi dia tidak menyukai Seungchol yang menghabiskan banyak waktunya untuk membuat orang itu melihatnya. Dia melihat sosok Jeonghan sebagai orang yang memanfaatkan kesukaan orang lain kepadanya. Jihoon takut kalau Seungchol akan menjadi salah satunya.

"Kau tidak tahu, aku selalu mengaguminya selama ini?"

Tidak sedikit yang Seungchol habiskan agar dia sekedar mau tersenyum kearahnya, bagi Jihoon dia terlihat seperti pelacur yang hanya mau melihat orang yang membawa uang untuknya, memang agak kasar tapi itulah yang sebenarnya.

Seungchol, lelaki tampan itupun langsung menghampiri Jeonghan. Sementara Jihoon Cuma bisa melihat dari kejauhan, Seungchol akan segera meninggalkannya seketika dia melihat Jeonghan ada disekitar sana.

Jihoon itu sebenarnya orang yang sangat lemah maksudnya diukur fisik. Tapi dia tidak ingin kelemahannya ini sampai diketahui orang, jadi dia selalu berusaha untuk terlihat kuat, dengan cara tidak membiarkan orang mendekatinya. tapi usahanya selalu gagal dan semua tahu kalau Jihoon adalah orang yang lemah dan tidak bisa diandalkan.

.

.

.

"Kemari sebentar, mau kemana pagi-pagi buru-buru seperti itu?" terlihat orang yang memang biasanya suka mengganggu Jihoon. mereka adalah tiga sekelompok remaja yang sebenarnya butuh banyak perhatian tapi tidak pernah mereka dapatkan, Seungkwan, Hansol dan Chan. tapi kali ini hanya Seungkwan dan Chan yang dia temui, Dan yang paling tidak suka terhadapnya adalah Seungkwan.

Jihoon hendak bersiap melangkah pergi, hal ini sudah menjadi bagian dari kehidupannya. dan aneh atau tidak dia sudah terbiasa dengan itu semua. Dia terbiasa dengan kata-kata umpatan yang sering dilontarkan padanya, menurutnya itu masih lebih baik daripada ditusuk dari bekalang oleh orang yang berkata manis.

"Eits Mau kemana?"

"Aku ingin pergi ke kelas. ."

"..."

"Tidak dengan dandanan seperti ini, tidak kah kau kurang menambahkan sesuatu?"

Setelah itu dia dilepas untuk sesaat, dan menanti saat yang tepat untuk mengurusnya bersama teman-teman lainnya.

Dia segera meninggalkan Jihoon yang tersungkur dilantai, pergi dengan angkuhnya, semua orang melihat tapi tidak ada yang berani mengganggu atau repot-repot untuk mengadukannya pada guru, entah kenapa walau mereka lapor dua tiga hari setelahnya mereka bisa melakukan hal yang lebih kejam pada orang yang melaporkannya.

Baru akan melangkah kembali ke kelasnya, dia sudah dihadang 3 orang yang juga tidak menyukai dia, mereka kelompok selanjutnya yang selalu membully-nya. Soonyoung, Seokmin dan Jun.

Dia tahu, kenapa teman-temannya disana tidak suka dengan dia yang sikapnya terlalu sering dijadikan bahan guyonan, Jihoon tidak pernah menajuhi mereka. tapi mereka lah yang paling sering mengganggunya. mereka terkenal disekolah sebagai mengintimidasi anak yang bertubuh lebih kecil dari mereka. dan tidak pernah melewatkan kesempatan untuk mengolok-ngoloknya di depan banyak siswa disana. Mereka memukul dan menendangnya untuk bersenang-senang.

"Heh, Sini ..!" Seokmin langsung menarik dasi Jihoon, dan membawanya ke dalam kamar mandi, tubuh mungil Jihoon dihempaskan melawan dinding dan jangan ditanya sakitnya. di tempat itu tidak akan ada guru yang mengetahui, hanya ada beberapa anak, tapi mereka membiarkan karena kalau sampai mereka menolongnya, mereka akan menjadi penggantinya.

"Apa lagi ini? apa aku melakukan kesalahan lagi?" tanya Jihoon tidak menunjukkan rasa bersalah yang mereka inginkan.

Soonyoung dan Jun sudah menunggu di pintu kamar mandi dengan wajah yang tidak kalah kesalnya ingin segera menghajar Jihoon. mereka ingin segera menghiasi wajah polos itu dengan seni dari kepalan tangan mereka.

"Jangan merasa kamu tidak bersalah, kenapa masih dengan wajah datar itu."ujar Seokmin.

"Ditanya jawab singkat, kamu ingat apa yang kamu lakukan pada kami sebelum ini dengan wajah datar seperti itu juga, aku semakin membenci wajah ini." tambah Jun kini sudah memegang kedua tangan Jihoon di belakang.

Tidak terdengar pembicaraan lagi setelah itu, hanya suara dentuman dan pukulan dan beberapa tendangan yang terdengar dari luar, bahkan orang-orang yang hendak menggunakan kamar mandi mengurungkan niat mereka.

.

.

.

Jihoon pulang sekolah dengan menuntun sepedanya lambat sambil terus memegangi beberapa lukanya supaya darahnya tidak mengalir deras. Seragamnya sudah basah entah karena basah disiram mereka dengan air toilet atau keringatnya sendiri. sudah lebih dari setahun dia menjalani rutinitas ini tanpa banyak orang yang tahu atau peduli, dengan wajah datarnya semua orang disekitar sekolah mengira hanya kenakalan anak SMA biasa.

Di dekat sungai Jihoon berhenti sebentar dia membersihkan lukanya dan membasuh baju seragamnya besok masih harus dipakai lagi, dia tidak ingin mamanya mengetahui ini semua, memang agak sukar untuk proses pembekuan darahnya tapi bukan berarti tidak bisa berhenti sama sekali. Mungkin membutuhkan waktu yang cukup lama.

Setelah luka itu sedikit membaik Jihoon memutuskan untuk pulang. Dia sudah bisa seperti ini Cuma bisa meratapi kelemahannya.

Dia tidak pernah bercerita ke Seungchol soal pembullyan ini. dia cuma bilang kalau mereka hanya sering adu mulut, dan untuk penyakit yang di deritanya dia tidak akan pernah bilang. penyakit yang selama ini membuat sistem imun ditubuhnya terus melemah dan membuatnya jadi orang terpuruk.

"Kalau aku pulang, pasti mama menanyakan semua ini, lebih baik jangan pulang dulu ."dia membawa sepedanya lagi dan entah menuju kemana.

Ada sebuah gedung tua yang berada di pinggir jalan, padahal perasaan dia sering melewati jalan di sekitar sini tapi tidak pernah dia jumpai ada rumah yang sebobrok ini. ada sesuatu yang sepertinya menyuruhnya masuk, tapi dia tidak mau mengambil resiko dan berniat membiarkannya.

Tanpa sadar ditengah melamunnya ada bola yang menggelinding masuk kedalam halaman rumah itu, Jihoon melihat anak-anak mencoba mengejarnya.

"Hyung. tolong ambilkan bola kami, kalau kami masuk kesana eomma akan memarahiku.!" ada salah satu anak laki-laki yang berpenampilan lusuh meminta bantuan Jihoon.

Tanpa sadar Jihoon menuruti permintaannya, dan dia juga tidak sadar kalau dia sekarang sudah masuk pintu utama rumah besar nan menyeramkan itu. Ternyata dalamnya lebih megah daripada luarnya yang bobrok. mungkin masih ada yang menggunakan tempat ini untuk suatu hal.

JDUARRR

Jihoon langsung menunduk takut, karena mendengar suara petir yang begitu kerasnya disertai dengan kilatan, seisi rumah menjadi gelap. Padahal dia yakin saat masuk kesini tadi cuacanya panas sampai dia harus melepas jaketnya, tapi sekarang tiba-tiba datang badai. Dan dia tidak bisa menemukan arah dia datang.

Dia bahkan tidak tahu kemana pintu keluar, perasaan dia belum terlalu jauh masuk rumah ini. Tapi saat dia meraba-raba sekitarnya tidak ditemukan yang namanya pintu.

"Aduh.."

Jihoon menyenggol kayu yang memang sudah retak dan mengakibatkan lukanya yang tadi sudah tertutup kini terbuka lagi.

Karena gelap dan diluarpun sedang hujan, dia memutuskan untuk sekalian berteduh sebentar, bahkan dia sudah lupa apa tujuannya kemari.

Perlahan air matanya mulai keluar dan dia menangis, dia tidak menangisi luka itu tapi luka dalam hatinyalah yang dia tangisi. Padahal dia berharap dengan tinggal di kota ini akan membawa banyak perubahan padanya, nyatanya ada banyak orang yang membencinya, dia bahkan tidak tahu dia salah apa. Selama ini dua Cuma berpura-pura tegar dihadapan orang dan berakhir dengan tangisan dalam kesendirian.

Dia pindah ke Seoul bukan tanpa alasan. Di tempat tinggalnya dulu Busan, dia tinggal bersama keluarga besarnya. Dia dan ibunya merasa dikucilkan serta mendapat banyak masalah dan mengakibatkan pindahnya dia disini. lebih tepatnya diusir.

"Kurasa dengan tekanan mental ini ditambah vonis dokter, hidupku tidak akan lama lagi. tapi setidaknya aku menuruti permintaan mereka,.bahwa aku tidak akan berada di dekat mereka lagi. ."

Dia ingat kalau dokter pernah bilang padanya untuk terus hidup dia harus melakukan banyak hal medis. kalau tidak dia tidak bisa melanjutkan hidupnya.

Dia tidak pernah minta dilahirkan sempurna, dia adalah pria yang sederhana hanya menginginkan hal kecil dalam hidupnya. Ingin hidup sebagai pria normal, merasakan jatuh cinta, merasakan bagaimana rasanya cinta pertama, kalau bisa menikah dan meninggal dalam tidur dengan damai dan tidak merepotkan siapapun. sungguh keinginan sederhana yang tidak sesederhana itu.

"Aku bisa membantumu, asalkan kau membantuku. ."

Jihoon menoleh ke penjuru arah, dia hanya mencoba mendengar karena penglihatannya tidak berguna ditempat gelap seperti ini, tapi perasaannya tidak ada seorangpun yang berjalan mendekat kearahnya. lalu suara siapa itu? pemilik tempat ini? atau penunggu rumah ini?

Dia bahkan tidak merasakan ada kaki yang menginjak lantai dan menimbulkan suara berisik.

". . Lee Jihoon"

"Siapa itu?"

Angin berhembus kencang dan mungkin menerbangkan beberapa benda kecil yang ada disana, andaikan saja Jihoon bisa melihat. Jihoon ketakutan dan meringkukkan tubuhnya dan segera meraba-raba sekali lagi untuk mencari jalan keluar.

Lampu yang ada di sebelah Jihoon tiba-tiba menyala dan sekarang malah terlihat menyeramkan karena keadaan yang remang-remang. Dia melihat ke sekelilingnya dan dia bertemu dengan sosok hitam. Sosok hitam itu tidak hanya diam ditempatnya tapi dia terlihat menghampiri Jihoon.

Dia berteriak sekeras mungkin, berharap ada orang yang mendengarnya didalam sini. Seumur hidupnya dia tidak pernah melihat penampakan seperti itu, walau hanya bersosok seperti manusia biasa yang membedakan hanya wajahnya sangat pucat dan tidak terlihat ada darah mengalir disana, serta kakinya yang tidak menapak tanah sedikitpun.

Orang—emhh, mungkin bukan orang yang diteriaki Jihoon malah teriak balik. Akhirnya Jihoon memberanikan diri menatapnya. dan melihat betapa konyolnya dia yang malah ketakutan sendiri.

"Jadi kau bukan hantu?"

"Aku lupa, aku memang hantu. ." jawabnya santai, Jihoon pingsan ditempat.

"Hei bangunlah, aku tidak bermaksud menakutimu, oke aku memang hantu tapi aku tidak pernah menginginkan ini, jadi anggap saja aku bukan hantu " apa bukan orang ini sudah tidak waras atau apalah sebutannya itu, dia tahu pria dihadapannya ini (Jihoon) pingsan tapi dia malah cerita banyak hal yang bahkan mungkin juga Jihoon tidak mendengarnya.

Wajah Jihoon tiba-tiba tertetesi setetes air dan itu membuatnya bangun.

Dia kembali melihat bukan orang dihadapannya. Kali ini pandangannya melembut. Dia masih bisa melihat sosok itu, dan dia mulai membiasakan dirinya. manik mata mereka saling bertemu dan saling pandang.

"Kau Hantu?" tanyanya, dan bukan orang itupun mengangguk. "Pasti ajalku sudah dekat sampai aku bisa melihat hantu sepertimu." gumam Jihoon.

"Yang ku dengar dari orang-orang disana kurang lebih seperti itu." jawabnya santai.

Jihoon begidik ngeri. Jadi benar dia akan segera meninggal. lalu apa urusan orang ini.

Akhirnya setelah berusaha keras, dan bermodalkan lampu yang menyala tadi dia segera keluar dari rumah itu. Masih dengan perasaan ketakutan, dan tidak menyadari kalau sosok hitam yang bukan orang itu masih mengikuti di punggungnya.

Bahkan sampai dirumah.

"Jihoon, Hujan deras kenapa kamu memaksa pulang. Kalau kamu sakit bagimana. .?" mama Jihoon langsung membawa anaknya masuk dan mengurusnya.

"Bukannya aku memang sudah sakit."

Mama Jihoon cuma diam, dan segera membuat teh panas untuk Jihoon, sebenarnya dia sedih dengan hal yang dialami anaknya, tapi dia lebih sedih lagi dikarenakan Jihoon seperti tidak ingin hidup lama.

Disamping teh itu sudah ada beberapa obat yang harus Jihoon minum setiap hari demi mengurangi rasa sakitnya.

Setelah berganti baju dan mengeringkan badannya, Jihoon berdiri didepan kaca lemarinya, ada yang aneh dengan dirinya, bukan soal penampilan, bersyukur pada hujan deras ini, mamanya tidak menanyakan baju kotor dan muka lusuhnya. tapi sekarang ada yang menarik perhatiaannya terhadap sosok yang tiba-tiba ada di dalam kamarnya, dia kenal sosok itu yang dari tadi dirumah seram itu dan dia malah mengikuti.

Asalkan tidak diikuti malaikat pencabut nyawa itu sudah cukup bagi Jihoon, karena sebentar lagi dia juga akan meninggal jadi dia putuskan untuk membiarkannya.

"Kau mau mengikutiku?"

"Karena kau satu-satunya yang bisa melihatku, jadi kenapa tidak. ."

"JIHOOONNN, , TURUN DAN MINUM OBATMU!"

Teriak mamanya dan tanpa menunggu mamanya mendatanginya ke kamar untuk yang kedua kali dalam sehari, jadi dia langsung turun kebawah.

Dan sosok itu tetap mengikutinya.

"Besok kamu ada jadwal terapi, sayang. nanti mama izinkan ke sekolah. ."

"Kau minum obat? untuk apa?"

Jihoon cuma mendelik ke arah udara kosong kalau menurut sudut pandang mamanya, tapi kita tahu kalau dia tidak sendirian. Dia tidak mau menjawabnya karena mamanya nanti akan bertanya banyak hal, dan tidak akan percaya dengan apa yang diucapkannya.

"Jam berapa?"

.


.

Pagi-pagi sekali, Jihoon bangun dan sudah bersiap-siap, tinggal memakai jaket dan semuanya beres. bahkan biasanya dia sekolah saja tidak berangkat sepagi ini, karena checknya itu memakan waktu lebih lama dari jam pelajaran sekolahnya.

Sesampainya di rumah sakit, dia melihat banyak orang yang putus asa menurutnya, mungkin dulunya tempat ini harus diberi nama Rumah Sehat dibanding Rumah Sakit sehingga harapan sembuh lebih besar, entah kenapa kalau sampai masuk rumah sakit itu dianggap hal yang besar.

Lama Jihoon menunggu, sampai tibalah gilirannya dengan didampingi mamanya.

"Oh anda, maaf hari ini dokter spesialis anda yang biasa belum bisa hadir istrinya melahirkan." Ada seorang pemuda yang cukup tampan dan dipercayai dia adalah dokter magang, karena dia juga memakai jas dokter tapi hanya membantu-bantu hal yang kecil saja.

Jihoon dan mamanya mengikutinya kedalam.

Sedari tadi saat ditinggal mamanya kesana kemari, dia terus saja mengobrol dengan sosok hantu yang mengikutinya sejak kemarin, dan beberapa kali dia dianggap orang gila oleh orang yang kebetulan didekatnya.

Tapi ketika masuk ke ruangan ini sepertinya sosok itu sudah tidak mengikutinya lagi.

"Bawang putih?" Tanya Jihoon ketika dia melihat ada kalung bawang putih yang digantung di belakang pintu.

"Oh, dokter kami orangnya naif. dia itu spesialis penyakit dalam, jadi hampir semua pasiennya itu orang yang tidak lama hidup. ini rahasia. Dia terlalu takut."

Dia orang yang baik, dan masih muda jadi tidak terlalu canggung untuk memulai percakapan dengannya.

"Kau juga kan calon dokter spesialis penyakit dalam, .apa kau tidak takut? aku ini termasuk salah satu pasien yang tidak lama hidup itu ?"

Dia tersenyum sebentar mendengar perkataan itu, dia memberikan resep yang dititipkan padanya ke mama Jihoon dan menyuruhnya untuk menebus di apotik.

Demi membunuh waktu, Akhirnya mereka mengobrol dan bercerita panjang lebar soal dokter itu yang memulai cita-citanya semenjak SMA. padahal sebelum itu dia selalu bermimpi menjadi model papan atas. Dan ternyata dia melakukan itu untuk seseorang sungguh kisah cinta yang romantis yang pernah didengar Jihoon.

"Apakah dia kekasihmu, kau tahu kan melakukan hal yang berat demi seseorang itu pasti butuh alasan besar?."

"Aku juga tidak tahu hubungan kami. ." Dia terlihat menerawang dan sedih saat membahas kekasihnya, mungkinkah saat ini kekasihnya dalam keadaan yang tidak baik. Jihoon selama ini selalu berdiam diri dan melihat banyak ekspresi yang lebih banyak mengungkap kebenaran dari pada perkataan mereka, dia sedikit bisa membaca ekspresi seseorang.

"Kau melakukan hal ini untuknya tapi dia tidak tahu?."Jihoon terdiam menatap dokter muda itu.

"Dibandingkan orang yang akan mati dia lebih pantas disebut orang yang akan hidup. ."

"Lalu sekarang apa yang terjadi padanya?"

"Dia meninggal."

"Apa dia juga meninggal karena penyakit sepertiku?"

"Dia meninggal karena menolongku. ." Jihoon terdiam lagi. Meninggal karena menolongnya, entah apa itu. Dan Jihoon masih tidak mengerti dengan apa yang dimaksud dokter muda itu.

.


.

Keesokan harinya, Jihoon kembali lagi ke sekolahnya dan dia memulai rutinitasnya, termasuk rutinitas dengan dua geng pemegang kubu utara dan selatan. Seokmin dan Seungkwan, mereka pimpinannya menurut Jihoon karena mereka yang paling sering membuat masalah duluan setelah itu lainnya akan membantu, Satu geng mengejar kepopuleran, satunya lagi ingin membuktikan kekuatannya pada sekitarnya. tapi yang lebih mengherankan lagi ke dua kubu itu tidak pernah bertengkar saling berebut apapun itu.

"Masih hidup?, kupikir kau tidak masuk karena sekarat? " Seokmin sudah mulai menjahili Jihoon seperti biasanya, Soonyoung sambil makan lolipop dan menaikan kerah di kedua tangannya, Junhui cuma bisa melihat bosan dan mulai main game di ponselnya.

"Kalian perhatian sekali padaku, tidak masuk pun sampai tahu."

"Mungkin memang kata-kata tidak akan mempan padamu ." ujar Junhui.

"Kenapa kau tidak bilang mengerti dan melakukan apapun yang kita perintahkan, sulitkah bagimu? untuk berlaku sopan dan berikan apa yang kami minta?. dan juga kamu jangan terlalu mengandalkan guru, itu tidak akan banyak membantumu.." Tambah Seokmin yang sekarang ngunyah permen karet dan setelah itu dilepeh terus di letakkan di rambut Jihoon. "Jangan pernah berharap kamu bisa hidup tenang selama sekolah disini.."

"Kali ini silahkan pergi, entah kenapa hari ini aku jadi orang yang kita baik hati, tapi tolongnya itu karyaku jangan dilepas sampai sore nanti." ujar Seokmin tersenyum licik dan dia mendorong tubuh Jihoon dan segera pergi. Dia mencoba menghilangkan permen karet di rambutnya tapi kalau bertemu mereka lagi pasti ditambahi.

Jihoon masuk ke kelas dengan perasaan yang suram dia terus menunduk, kemarin dia diperiksa dokter, katanya setelah ini dia berhenti dari aktifitas fisik. Dan dia akan diijinkan dari kelas olahraga.

Saat dia dikelas, dia terus terdiam. sahabatnya, Seungchol malah bercerita banyak hal mengenai dia dan Jeonghan, tapi Jihoon sama sekali tidak mau mendengarkannya.

Dia bahkan tidak menyadari kekhawatiran di raut wajah Jihoon, Tapi Jihoon juga jago acting, dia cuma terlihat seperti orang yang murung seperti biasa dan menolak untuk ditanyai. jadinya Seungchol paham dan tidak mau mengganggunya lagi.

Saat istirahat, dia mencari tempat paling sepi dan akhirnya Jihoon menemukan gudang perlengkapan klub theater jaman dulu sebelum bubar 3 tahun silam. Daripada dia harus menghabiskan istirahatnya di toilet dia memilih ke sini, tidak akan ada yang menemukannya.

Sepi.

Kata ini bukan hanya sekedar untuk menggambarkan keadaan sekitar, namun begitu juga dengan perasaan Jihoon semuanya bagai kosong, memorinya tentang hal-hal menyenangkan di dunia ini rasanya sudah lama hilang. orang-orang yang berada di sekitarnya semua seperti orang asing yang tidak sengaja lewat.

"Tidak punyakah kau sebuah keinginan?"

Sosok hitam itu ternyata masih mengikuti Jihoon, setelah tidak ada beberapa saat, Jihoon pikir dia menghilang karena takut bawang putih dan tidak kembali lagi, nyatanya dia masih bisa mengikuti Jihoon.

"Apa maumu?" Jihoon terkaget.

"Bukannya aku tadi yang menanyakan keinginanmu? dasar manusia."

"Aku tidak ingin apapun, bahkan kehidupan inipun aku tak menginginkannya lagi. kalau kamu mau ambillah." Jihoon duduk di sekitar jendela dan dia melihat ada banyak senyuman disana, teman-temannya selalu terlihat bahagia tanpa dirinya.

"Kau minum obat, kau juga terapi. itu berarti kau ingin hidup. lagipula mengambil nyawa bukan tugas ku"

"Aku minum obat dan terapi itu hanya untuk mama supaya tidak khawatir berlebihan saja. tidak ada keinginan lain."

Tanpa terasa, Jihoon terus mengobrol dengan sosok yang bahkan tidak diketahuinya sama sekali itu. Mau itu hantu atau makhluk apapun, dia bahkan tidak perduli. Kalau ini pertanda kematiannya yang sudah dekat bahkan dia tidak khawatir. Yang benar-benar berada disisinya dan menanyakan keadaannya cuma dia.

Sosok ini tidak pernah mengajaknya bicara kalau sedang banyak orang, lagipula Jihoon juga tidak terlalu suka keramaian.

"Bagaimana kalau kau memikirkan penawaranku?"

"Kau menawarkan apa?"

"Kita pernah membahas ini sebelumnya, Lee Jihoon. ."

"Aku tidak pernah tahu namamu, tapi kau selalu memanggil namaku. ."

.

.

.

Tbc

Sudah terlanjur nulis ya publish aja, baik enggaknya kan bukan saya yang menentukan.

Mohon komentarnya untuk memperbaiki di chap selanjutnya.