RUN TO ME
A Sasusaku Fanfiction
Naruto © Masashi Kishimoto
.
.
.
Sebelum semuanya terlambat, semua masih dapat berubah. Jika bukan dia, maka aku akan ada di sini. Menunggumu. Atau mengajakmu, berlari.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
CHAPTER 10
Sakura PoV
Aku hanya diam saat Sasuke-kun langsung masuk begitu aku membuka pintu apartemenku. Ia membawa sling bag hitam olahraga ukuran sedang. Aku mengikuti langkahnya menuju kamar tidurku, ia kemudian membuka pintu lemariku. Aku mendadak panik lalu berdiri di depannya, menutupi isi lemari di belakangku.
"Minggir."
Aku menggeleng, "Tidak, kau mau apa?"
"Meletakkan ini." Sasuke-kun mengangkat bahu kanannya yang membawa sling bag.
"Apa itu?" Tanyaku memastikan kalau tidak ada hal aneh yang akan dilakukannya.
"Pakaianku." Jawabnya santai membuatku mengerutkan dahi, "Aku akan menginap malam ini jadi aku membawa beberapa potong pakaian, tapi sepertinya aku membawa terlalu banyak."
Jantungku berdegup cepat. Sasuke-kun tidak bicara apa-apa soal ini sebelumnya. Lagipula baru dua hari lalu hubungan kami kembali baik, ini terlalu mendadak untukku. Masih banyak hal yang harus kami bicarakan.
"Lalu kau mau apa dengan lemariku? Biarkan saja pakaian itu tetap di dalam tasmu, kenapa kau malah mengeluarkannya?" Aku berusaha tidak terdengar gugup meski aku yakin Sasuke-kun bisa melihat itu.
"Aku ingin meninggalkan beberapa pakaianku di dalam lemarimu, apa itu tidak boleh?"
Mataku membulat membuat Sasuke-kun menyeringai. Aku sama sekali tidak mengerti dengan sikapnya. Jika ia meninggalkan pakaiannya dalam lemariku, apakah itu berarti akan ada kemajuan dalam hubungan kami? Apakah itu berarti Sasuke-kun menginginkan hal yang lebih?
Tangan Sasuke-kun mendorongku ke samping perlahan dan aku menyingkir dengan mudahnya. Ia tertawa pelan sambil mulai memasukan beberapa pakaiannya. Sasuke-kun mengamati isi lemariku kemudian melirikku.
"Hei, Sakura." Panggilnya saat aku masih setengah melamun, "Bagaimana jika kau mengenakannya nanti malam?"
Kekagetanku berlanjut saat Sasuke-kun menarik keluar piyama minim dan tipis dari dalam lemariku. Sontak aku langsung merebutnya dan kali ini Sasuke-kun tertawa lepas. Wajahku merah padam dan jantungku berdetak jutaan kali lebih cepat. Aku meremas piyama itu hingga kecil lalu mendekapnya erat. Tuhan, kenapa Kau membiarkannya melihat ini?
"Ini bu-bukan punyaku, ini milik Ino." Kataku dengan kepala tertunduk malu.
"Benarkah?" Tanya Sasuke-kun dan aku hanya mengangguk, tiba-tiba aku merasa sesuatu menyentuh pucuk kepalaku. Aku mendongak, "Syukurlah, tanganku baru saja akan merobeknya."
Sasuke-kun tersenyum dan tangannya mengusap kepalaku lembut, tapi suaranya begitu tajam. Aura yang ia keluarkan terasa berbeda. Aku tahu ia marah, hanya aku tidak tahu mengapa. Aku mencoba membalas senyumnya walau aku yakin wajahku akan terlihat aneh.
"Hampir jam makan malam, apa kau lapar?" Tanyaku.
Sasuke-kun mengangguk dan aku meninggalkannya menuju dapur, aku tidak ingin berada lebih lama di sana karena ia tampak aneh. Aku menyiapkan pasta. Kami makan malam bersama sambil menonton televisi. Suasana hangat dan nyaman inilah yang ingin selalu kuberikan pada Sasuke-kun. Wajahnya yang begitu santai itulah yang selalu ingin kulihat.
Sasuke-kun keluar dari kamar mandi saat aku baru saja selesai mengganti pakaianku. Celana katun hitam pendek dengan kaus abu-abu tipis berukuran besar menjadi pakaianku untuk tidur malam ini. Sasuke-kun tersenyum miring menatapku, ia mengusap wajahnya yang basah dengan handuk kecil.
"Aku harus mengunci pintu dulu." Ujarku cepat. Kegugupan memenuhi diriku tiap kali aku menyadari malam ini kami akan kembali tidur seranjang.
Sebuah pikiran terlintas di benakku. Sudah lima hari berlalu sejak aku bicara dengan Gaara, aku belum mencoba untuk menemuinya lagi. Aku khawatir pada Nenek Chiyo juga pada Gaara tentunya. Ino tahu bagaimana keadaan antara aku dan Gaara, ia berusaha sebaik mungkin membantuku memulihkan kondisi ini tapi Gaara sulit didekati. Aku dan Sasuke-kun juga sudah sedikit banyak membicarakan ini. Kami sepakat akan menemui Gaara bersama, ia harus mendengarkan. Hal itu juga sekaligus akan menjadi buktiku pada Sasuke-kun kalau apa yang ia pikirkan salah.
Hai, ini Gaara. Aku sedang sibuk sekarang, tinggalkan pesanmu.
Lagi-lagi pesan suara. Entah sudah yang ke berapa kalinya dalam lima hari terakhir aku selalu terhubung dengan pesan suaranya. Gaara tidak pernah menjawab teleponku atau membalas pesanku, padahal baru dua hari lalu Ino menjenguk Nenek Chiyo dan memintanya untuk sekali saja menjawab panggilanku. Ia jelas masih marah.
"Sakura?" Panggil Sasuke-kun, ia bersandar di ambang pintu kamar sambil menatapku dengan tangan terlipat, "Kau baik-baik saja?"
Aku mengangguk kemudian berjalan menghampirinya, "Aku mencoba menghubungi Gaara." Kataku sambil mengangkat tangan kananku yang menggenggam ponsel.
"Dia menjawab?" Tanyanya dan aku menggeleng.
Sasuke-kun menghela nafas lalu meraih tanganku, menarikku perlahan ke atas ranjang. Aku senang ia tidak terlihat marah atau kesal saat aku bicara mengenai Gaara. Sasuke-kun berbaring lebih dulu, tangannya menepuk bantal di sebelahnya. Meski aku sangat gugup dan berdebar tidak karuan, aku tetap berbaring di sisinya.
Sasuke-kun memelukku yang membelakanginya. Kepalanya berada di atas kepalaku, bibirnya menyentuh telingaku. Kulitku meremang tiap kali ia menghembuskan nafasnya. Tangannya melingkari perutku. Tubuh Sasuke-kun begitu hangat, atletis juga harum. Aku menyukainya.
"Kita akan menemuinya besok." Ujar Sasuke-kun pelan membuatku reflek menoleh.
"Sungguh?" Tanyaku dan ia mengangguk, "Kau yakin? Aku tidak ingin memaksamu."
"Aku ingin kau menghadapinya bersamaku. Aku memang tidak bisa bicara banyak, jika ia tidak ingin mendengarkanmu apalagi aku. Hanya saja, biarkan aku menemanimu. Sabaku harus mengerti kondisinya." Jawabnya sambil menatap mataku.
"Maaf harus melibatkanmu."
Sasuke-kun mendengus, "Sejak awal bukankah aku memang bintang utamanya?" Tanyanya menyindir dan aku terkekeh, "Tapi jika dia benar menyukaimu aku tidak akan segan menyuruhnya menjauh."
Tubuhku sedikit menegang mendengarnya, ditambah dengan sorot mata Sasuke-kun yang serius. Kami belum membicarakan bagian ini, bagian soal bagaimana jika Sasuke-kun yang benar dan aku yang salah. Aku masih setia dengan pikiranku soal kekhawatiran Gaara padaku.
"Gaara tidak mungkin menyukaiku." Kataku berusaha meyakinkannya.
"Jika, Sakura. Aku bilang jika. Itu berarti ada kemungkinan." Koreksinya, "Jangan membantahku, kau tahu aku tidak suka itu." Potongnya saat aku baru saja membuka mulutku untuk mendebatnya.
Lalu aku tersenyum kecut padanya. Sasuke-kun menatap malas padaku yang selalu bersikap keras kepala padanya. Tak berapa lama tatapan matanya berubah dan sistem peringatan dalam tubuhku berbunyi saat wajah Sasuke-kun mendekat. Ini tidak bisa kubiarkan, jika aku membiarkannya menciumku sekarang entah apa yang akan terjadi nanti.
Tangan Sasuke-kun mengusap perutku perlahan, tangan lainnya menahan wajahku agar tetap berada dekat dengannya. Aku menutup rapat bibirku saat ia menyeringai padaku. Sepertinya Sasuke-kun mengetahui kegugupanku dan ia menikmatinya. Saat jarak wajah kami semakin menipis, terdengar bel pintuku berbunyi.
"Biarkan saja." Bisik Sasuke-kun saat aku hendak bangun.
"Tapi―"
Sasuke-kun menggeleng, "Tidak."
Aku hanya mengangguk dan mulai memejamkan mataku saat bibir Sasuke-kun mendekat. Aku akan menahan diri, aku pasti bisa. Atau setidaknya, aku akan mencobanya. Tapi lagi-lagi bel pintuku berbunyi. Kali ini berulang kali hingga terdengar sangat berisik. Sasuke-kun bangun dan menatap tajam ke arah luar.
"Siapa itu?!" Teriaknya kesal.
Aku tertawa kecil berusaha menenangkannya, "Biar aku membukanya. Kau tunggulah di sini, ne Sasuke-kun?" Kataku sambil menyentuh lengannya.
Aku berjalan ke pintu depan, memutar kunci lalu membukanya. Mataku terbelalak.
"Kenapa lama sekali?!"
Ino masuk dengan hentakan kasar, ia membuka mantelnya dan melemparnya asal ke atas sofa. Ia melepas high heelsnya dan meninggalkannya begitu saja. Raut wajahnya kesal dan ia membuka lemari pendinginku dengan kasar, mengambil satu botol jus jeruk dan langsung meminumnya seperti orang kesetanan.
"Apa-apan isi lemari es ini? Kenapa kau tidak menyimpan satu beer pun?" Tanyanya sinis lalu menatapku kesal membuatku sedikit kaget, ada yang aneh dengan Ino, "Kenapa pakaianmu? Kau sudah ingin tidur? Kau pikir berapa umurmu? Ini baru pukul sepuluh."
Aku mendekat perlahan, "Ino, kau baik-baik saja?"
Ia menggeleng, "Tentu. Tentu aku baik-baik saja, sangat baik." Jawabnya diakhiri dengan tawa keras yang terdengar dipaksakan.
"Sungguh?" Tanyaku memastikan. Jelas aku melihat matanya merah, ia mungkin menangis tadi. Tingkahnya aneh, aku tidak pernah melihat Ino bertingkah seperti ini kecuali saat… Oh, mari kita buktikan tebakanku.
Ino menggeleng, "Tentu saja tidak. Aku bertengkar dengan Sai." Katanya pelan lalu wajahnya tertunduk.
Ini bukan tebakan yang sulit. Benar 'kan, Ino?
Aku memutar mata sebelum berusaha tersenyum dan membelai pelan punggung Ino, "Kau mau menceritakannya?"
Ino mengusap air matanya yang menetes, "Sai pasti sedang mencariku, aku tidak ingin bicara apalagi bertemu dengannya sekarang. Kumohon, biarkan aku menginap di sini malam ini." Pintanya sambil menatap memohon padaku.
Aku kaget sekaligus bingung untuk menjelaskan padanya, "Ino, aku…"
"Tidak."
Sebuah suara menginterupsi percakapanku dan Ino, sudah pasti itu Sasuke-kun. Ia lagi-lagi berdiri bersandar di ambang pintu kamar. Ino nyaris menjatuhkan jus jeruk yang masih dipegangnya. Matanya melebar dan mulutnya terbuka. Ia menoleh perlahan padaku dan aku hanya bisa tersenyum kikuk.
"Apa yang dilakukannya di sini, Sakura?" Tanya Ino pelan.
"Menginap." Jawab Sasuke-kun cepat meski Ino bertanya padaku dan tidak menatapnya.
Kepala Ino berputar untuk melihat Sasuke-kun. Aku menggeleng perlahan dan menatap Sasuke-kun yang juga sedang menatapku. Aku mengernyitkan dahi sementara ia hanya mengangkat bahu, tidak peduli dengan yang terjadi.
Aku belum bercerita sejauh ini pada Ino. Ia tidak tahu kalau aku dan Sasuke-kun sudah mengalami beberapa kemajuan. Jadi ekspresi yang ditunjukannya sekarang, sangatlah wajar.
"Maafkan aku, Ino." Ujarku mendekat padanya.
Ino menggeleng, "Tidak apa. Aku akan tidur di sofa."
"Kau mendengarnya dengan baik, Yamanaka. Aku bilang tidak." Sasuke-kun kembali menyela percakapan kami, "Kau pulang ke tempatmu. Jangan ganggu aku dan Sakura."
"Apa?!" Ino mendelik pada Sasuke-kun, "Dengar Uchiha, ini apartemen Sakura. Hanya dia yang berhak memutuskan. Jangan berani melarangku menginap di rumah sahabatku sendiri, kecuali kalian ingin…" Tiba-tiba Ino tersenyum jahil dan melirik bergantian padaku dan Sasuke-kun.
Sadar dengan yang dipikirkan Ino, aku langsung menggeleng cepat dan membantahnya. Sementara Sasuke-kun hanya menunduk dengan tangan yang menutupi mulutnya. Kenapa dia hanya diam saja?
"Tidak, tidak. Kau berpikir terlalu jauh. Kami tidak―"
"Kenapa wajahmu merah, Sakura? Katakan saja maka aku akan pergi, tapi jangan lupa berikan aku kenang-kenangannya." Goda Ino dan ia merangkul lenganku rapatku.
Kegugupanku menjadi-jadi dan pipiku semakin memanas. Mataku menjelajah ke segala arah sementara Ino hanya terkikik riang. Entah kemana mood buruknya. Aku lebih memilih menghadapi Ino yang tadi.
"Kekasihmu ada di sini." Suara Sasuke-kun kembali terdengar, ponselnya menempel di telinga kanannya. Kali ini ia berbicara dengan seseorang di telepon, "Di mana? Apartemen Sakura. Akan kukirim alamatnya padamu."
Ino terkejut dan melotot pada Sasuke-kun, "Kau menghubunginya?!" Tanyanya kesal dan Sasuke-kun hanya mengangguk.
Tanpa kembali mendebat Sasuke-kun, Ino lalu panik. Ia mengambil high heelsnya, memakainya dengan terburu-buru sambil duduk di sofa. Aku mencoba menenangkannya sementara Ino berulang kali bergumam 'berengsek'. Mataku menatap tajam pada Sasuke-kun, menyalahkannya atas apa yang ia lakukan tapi ia hanya membalasnya dengan tatapan tidak peduli.
"Santailah, Ino. Apa buruknya jika Sai tahu kau di sini?" Tanyaku saat Ino mulai berdiri dan memakai mantelnya.
"Sangat buruk. Kami akan kembali terlibat pertengkaran dan aku lelah dengan itu semua." Ino baru saja akan membuka pintu saat suara bel terdengar, "Kami-sama, itu pasti Sai. Aku harus sembunyi."
Sasuke-kun berjalan dengan santainya menuju pintu, ia membukanya dan menampilkan sosok Sai dengan raut cemas. Ino yang dilanda kepanikan justru tidak beranjak dari tempatnya. Matanya bertemu dengan mata Sai.
"Ino." Ujar Sai.
"Masuk dan bawalah kekasihmu itu pergi dari sini." Kata Sasuke-kun lalu ia berdiri di sampingku.
Sai mengangguk dan menghampiri Ino. Keduanya saling menatap. Sai mengulurkan tangannya tapi Ino memalingkan wajahnya dengan bibir mengerucut.
"Tidakkah mereka penuh dengan drama?" Bisik Sasuke-kun di telingaku. Aku menatapnya dan hanya terkekeh pelan.
Sai berhasil menggenggam tangan Ino, "Maafkan aku. Ayo, aku antar kau pulang."
"Um." Ino mengangguk perlahan.
Sai menatap Sasuke-kun, "Terima kasih sudah menghubungiku, Sasuke, dan maaf sudah melibatkan kalian."
"Tidak, kau tidak perlu sampai seperti itu." Jawabku cepat.
"Baiklah." Sai tersenyum padaku lalu matanya kembali pada Sasuke-kun, "Omong-omong, apa yang kau lakukan di sini? Dan ada apa dengan pakaian kalian berdua?"
Mataku membulat saat baru menyadarinya. Seingatku, tidak ada yang tahu soal hubunganku dengan Sasuke-kun kecuali Ino. Oh, tidak. Apa yang harus kami katakan pada Sai? Tapi Sasuke-kun tampak tenang dan tidak terpengaruh dengan pertanyaan Sai.
"Menginap." Kata Sasuke-kun, membuat senyum aneh terukir di wajah Sai.
"Menginap?" Ulang Sai dan ia menatapku juga Sasuke-kun bergantian, dari bawah ke atas.
Tiba-tiba Ino tersenyum riang, "Ya, Sai. Mereka akan tidur bersama malam ini."
Apa-apaan pasangan ini? Mengapa mereka senang mengurusi urusan orang lain? Bukankah mereka sedang bertengkar tadi? Dasar pasangan aneh!
"Ino!" Ujarku setengah berteriak. Dia seharusnya menjaga mulutnya. Ia berjanji untuk tidak mengatakan soal aku dan Sasuke-kun pada siapa pun.
Wajah Ino berubah serius, ia menggigit bibirnya. Ia sadar lagi-lagi mulutnya bicara di luar kendali. Tapi Sai hanya tertawa melihat kegugupanku.
"Santai, Sakura. Ino sudah menceritakan segalanya padaku."
Aku terkejut mendengar ucapan Sai dan aku lihat Sasuke-kun sama terkejutnya. Ino hanya berusaha tersenyum dan mengatakan 'maaf' tanpa mengeluarkan suara. Tanganku terkepal karena kesal. Bagaimana bisa ia menceritakannya pada Sai? Sahabat macam apa dia?
"Menurutku itu bagus. Akhirnya kau meruntuhkan tembokmu, Sasuke."
"Aku tidak butuh komentarmu, Sai. Aku menghubungimu untuk membawa kekasihmu pergi dari sini." Jawab Sasuke-kun sinis, tapi wajah Sai masih saja tersenyum.
"Ya, ya. Baiklah." Sai menatapku, "Saran untukmu, jangan biarkan Sasuke-kun terobsesi padamu. Dia overprotective. Dia tidak senang jika miliknya disentuh atau bahkan dilihat sembarangan oleh orang lain."
"Sai!" Bentak Sasuke-kun.
Sai mengangkat bahu dan masih tersenyum aneh. Saat mereka sampai di ambang pintu, Ino berhenti sejenak melihatku.
"Aku menemui Gaara lagi tadi. Ia tampak lelah dan masih tidak ingin membicarakanmu. Tapi keadaan Nenek Chiyo mulai membaik dan ia menanyakan tentangmu."
Aku mengangguk, "Terima kasih, Ino. Aku dan Sasuke-kun berencana menemuinya besok."
"Um, baiklah. Kabari aku perkembangannya."
"Ya, tentu."
"Kami pergi, Sakura, Sasuke."
Aku membalas lambaian tangan Ino juga Sai, sementara Sasuke-kun hanya mengangguk. Selepas keduanya pergi, Sasuke-kun kembali ke kamar dengan santai seolah tidak ada keributan yang terjadi. Aku mengikutinya dengan cepat. Saat Sasuke-kun naik ke atas ranjang dan mulai menarik selimut aku menahannya. Ia menatapku bingung.
"Katakan sesuatu." Ujarku.
"Hn?"
"Sai tahu soal kita."
"Salahkan sahabatmu soal itu."
Aku mendengus, "Lalu Itachi? Dia pasti juga tahu soal kita."
Sasuke-kun menghela nafas, satu tangannya menyentuh puncak kepalaku, "Dengar, Sakura. Siapa pun yang melihat kita di pesta Itachi dan Izumi waktu itu pasti tahu. Hanya saja kita tidak berkewajiban menjelaskan pada mereka semua."
"Tapi―"
"Jangan terlalu dipikirkan. Aku tidak akan membiarkan siapa pun melukaimu."
Senyum Sasuke-kun membuat kekhawatiranku menghilang. Aku mengangguk perlahan lalu ia menarikku ke dalam pelukannya. Kami benar-benar telah mengalami kemajuan. Cara Sasuke-kun menjagaku agar tetap berada di dekatnya membuatku merasa dibutuhkan. Aku harap Sasuke-kun juga merasakan bagaimana aku sangat ingin bertahan bersamanya.
.
.
.
.
.
Esok harinya seusai sarapan, aku dan Sasuke-kun menuju rumah sakit. Sebelumnya kami mampir untuk membeli buah-buahan juga seikat bunga lili favorit Nenek Chiyo. Sasuke-kun mengusap lembut kepalaku saat kami sudah berdiri di depan pintu kamar rawat Nenek Chiyo.
Aku mengetuk sebelum membuka pintu. Gaara sedang duduk di sebelah Nenek Chiyo dan tangan mereka saling menggenggam. Ia terkejut dengan kedatanganku, begitu pun Nenek Chiyo. Hanya saja wanita berusia tujuh puluh tahunan itu langsung tersenyum saat melihatku, sedangkan Gaara hanya berwajah datar namun kemudian berubah serius saat menyadari kehadiran Sasuke-kun di belakangku.
"Sakura!" Nenek Chiyo memanggilku semangat, tangannya terbuka menyambutku. Aku menghampirinya lalu memeluknya, "Nenek sangat merindukanmu, kenapa baru datang?"
"Maaf, ada banyak hal yang tidak bisa aku tinggalkan." Kataku berbohong pada Nenek Chiyo, ia tidak perlu tahu yang terjadi antara aku dan Gaara. Itu hanya akan membebaninya dan aku menghindari itu, "Untukmu."
"Oh, terima kasih, Sayang." Nenek Chiyo menerima bunga lili yang kuberikan, "Gaara memang mengatakan padaku kalau kau sangat sibuk tapi Nenek kira dia berbohong. Biasanya kau selalu menemani Gaara saat Nenek sakit."
Mataku melihat Gaara yang menunduk menghindari tatapanku. Jadi dia juga berusaha menutupi kondisi kami? Aku tersenyum lalu duduk di tepi ranjang, tanganku mengusap punggung tangan Nenek Chiyo.
"Aku sungguh-sungguh minta maaf, Nek."
"Tidak apa, Sayang." Nenek Chiyo mengerutkan dahi pada Sasuke-kun, matanya melirikku disertai senyum jahil, "Siapa pria tampan itu?"
Sasuke-kun berjalan mendekat lalu membungkuk memberi salam, "Aku Uchiha Sasuke, senang bisa bertemu denganmu."
Nenek Chiyo terkekeh, "Sopan sekali. Apa kau kekasih Sakura?"
"Nenek…"
"Iya, aku kekasihnya." Potong Sasuke-kun dan pandanganku langsung menuju Gaara yang menatap sinis pada Sasuke-kun.
"Benarkah? Wah beruntungnya dirimu, Sakura." Nenek Chiyo menoleh pada Gaara, "Apa kau sudah bertemu dengan Sasuke-san, Gaara? Dia baik, 'kan."
Gaara mengangguk lalu berdiri, "Sebaiknya aku membeli minuman untuk kalian."
Gaara jelas tidak menyukai kehadiranku juga Sasuke-kun. Ia keluar begitu saja tanpa menunggu jawaban dariku atau Nenek Chiyo. Mengerti dengan kegelisahanku, Sasuke-kun menatapku seolah memberi tanda agar aku mengejar Gaara. Aku mengangguk padanya.
"Nenek, sebaiknya aku membantu Gaara. Kau tidak apa ditemani dengan Sasuke-kun?" Tanyaku.
Nenek Chiyo tersenyum lebar, "Tentu. Malahan Nenek sangat ingin mengobrol dengannya." Ia melihat Sasuke, "Tadi kau bilang namamu Uchiha, apakah kau keluarga Uchiha yang itu? Pemilik swalayan itu?"
"Hn, itu benar."
"Begitukah? Wah, hebat."
Aku kemudian meninggalkan Sasuke-kun dan Nenek Chiyo yang sudah mulai terlibat percakapan. Aku sangat berterima kasih pada Sasuke-kun, dibalik sifat dinginnya ia rela menjadi teman bicara seorang wanita tua. Wajah dan nada bicaranya pun sangat jauh dari kesan angkuh yang biasa ia tampilkan. Sisi lain dari diri Sasuke-kun yang baru aku sadari.
Gaara duduk di kursi lorong rumah sakit yang hanya berselang beberapa kamar dari kamar Nenek Chiyo. Ternyata benar, itu hanya alasannya saja untuk membelikan kami minuman. Karena yang aku lihat ia hanya duduk menunduk dengan kedua tangan di sisi wajahnya.
Aku mendekat perlahan lalu duduk di sebelahnya, "Gaara."
Ia diam. Tidak bergerak atau pun menjawab sapaanku. Tanganku bergerak gelisah meremas tas di atas pangkuanku. Kami diam beberapa saat tapi aku bersyukur ia tidak berusaha pergi.
"Aku minta maaf." Kataku lagi.
Gaara menggeleng, "Tidak, akulah yang seharusnya meminta maaf." Akhirnya kepalanya terangkat dan ia mau menatapku, "Aku begitu egois karena menghakimi Uchiha dengan pemikiranku."
Air mataku mengancam menetes saat melihat senyum Gaara kembali terukir di wajahnya. Aku mengangguk dan meraih tangannya. Kami mengaitkan jari-jari kami.
"Kau sangat berarti untukku, begitu pun Sasuke-kun. Aku juga egois karena memikirkan ini sendirian. Banyak hal terjadi dan aku memutuskan untuk berada di sisinya. Tapi aku ingin kau tahu, aku menyayangimu. Kau sahabatku." Ujarku terisak karena air mataku telah mengalir.
Gaara menyeka air mataku, ibu jarinya mengusap pipiku, "Aku sudah bersikap menyebalkan karena berpikir Uchiha tidak akan membuatmu bahagia. Kebahagiaanmu, hanya dirimu sendiri yang tahu."
"Aku tidak memintamu untuk menyukai Sasuke-kun, aku hanya ingin kau mencoba mengenalnya." Pintaku yang dijawab dengan tawa kecil Gaara.
"Tentu. Lagipula dia Uchiha Sasuke, siapa yang tidak mengenalnya?" Canda Gaara dan aku tertawa sambil masih terisak, "Aku begitu mengkhawatirkanmu sampai-sampai aku lupa kalau kau berhak untuk memilih dan bahagia."
"Gaara." Air mataku mengalir lebih deras karena begitu merindukannya, sosok sahabat yang aku rindukan telah kembali.
"Kemarilah, Sakura. Biar aku memelukmu." Gaara meraih punggungku, kepalaku bersandar di dadanya. Tangannya mengusap kepalaku, "Kau pun sangat berarti untukku. Maafkan aku."
Gaara membiarkanku menangis di dadanya. Aku tidak peduli pada orang-orang yang melihat kami. Aku begitu bahagia karena berhasil memperbaiki hubungan kami. Aku senang karena aku tidak kehilangannya.
Beberapa saat kemudian usai membeli minuman, kami kembali ke kamar Nenek Chiyo. Gaara bercerita soal Ino yang datang menjenguk bersama Sai dan sering terlibat pertengkaran kecil. Aku tertawa saat mendengar Gaara mencoba menirukan gaya bicara Ino.
"Tadaima." Ujar Gaara saat membuka pintu.
Nenek Chiyo juga sepertinya terlibat obrolan seru dengan Sasuke-kun. Wajahnya berseri, ia lalu tersenyum menyambutku juga Gaara.
"Kenapa lama sekali?" Tanya Nenek Chiyo.
"Maaf, rumah sakit sangat ramai hari ini." Jawab Gaara.
Mata Sasuke-kun menatapku penuh selidik. Aku merasa bersalah meninggalkannya terlalu lama, tapi bukankah itu tujuannya menemaniku? Tiba-tiba Sasuke-kun terkejut saat Gaara memberinya segelas kopi.
"Sakura bilang kau lebih suka kopi daripada jus buah." Ujar Gaara.
Dengan wajah yang masih terkejut, Sasuke-kun menerimanya bahkan mengucapkan terima kasih. Hatiku terasa hangat melihat interaksi mereka. Tidak ada lagi pertengkaran juga perdebatan diantara kami semua.
Sudah hampir siang, aku dan Sasuke-kun memutuskan pulang. Usai berpamitan pada Nenek Chiyo, Gaara mengantar kami hingga ke depan lift. Ia menatapku dengan senyumnya.
"Aku akan sering berkunjung."
Gaara menggeleng, "Nenek Chiyo pulang lusa, kau bisa datang ke rumah kami."
"Tentu."
Kemudian kami berpelukan dan aku bisa melihat ekspresi dingin di wajah Sasuke-kun. Aku tidak tahu apakah memeluk sahabatmu adalah hal terlarang baginya.
Gaara menatap Sasuke-kun, "Jaga Sakura. Aku tidak segan-segan menghajarmu jika kau melukainya."
Sasuke-kun mendengus sinis, "Kau tenang saja, aku akan melindunginya dengan tanganku sendiri." Sebuah seringai terpasang di wajahnya, "Aku juga tidak segan-segan menjauhkanmu jika ternyata kau menyukai kekasihku."
Aku menatap mereka bergantian. Aku kira mereka sudah saling mengerti. Tapi ada apa dengan mata keduanya? Kenapa mereka saling berpandangan tajam? Apa-apaan pembicaaran itu?
Aku tidak mengerti dengan keinginan mereka!
.
.
.
.
.
Sasuke PoV
Sakura belum bicara sejak kami keluar rumah sakit. Aku meliriknya dan ia hanya menatap diam keluar jendela. Mobil kami terhenti di lampu merah. Pikiranku berkecamuk, tanganku meremas kencang setir mobil. Aku ingin bertanya mengenai pembicaraannya dengan Gaara tadi, tapi Sakura mendadak pendiam dengan raut wajah datar.
Aku berdeham bermaksud mengalihkan perhatian Sakura padaku. Kebisuannya membuatku jengkel. Aku tidak mengerti dengan sikapnya itu. Dia baik-baik saja tadi, lantas kenapa sekarang Sakura mengunci mulutnya?
"Ada apa denganmu?" Tanyaku.
"Tidak apa."
"Aku bukan cenayang, Sakura. Jika kau tidak bicara, aku tidak akan mengerti." Mobil kami kembali melaju dan Sakura kembali membisu, "Sakura?"
"Kenapa kau bicara seperti itu pada Gaara?" Tanyanya kesal sambil melihatku.
"Hn?"
"Kenapa kau mengancamnya? Bukankah kita sudah sepakat untuk menjelaskan kondisinya pada Gaara dan membuatnya mengerti?"
"Perhatikan ucapanmu. Dia mengancamku lebih dulu, aku hanya berusaha menjawab ancamannya." Aku mendengus, "Kau masih saja membelanya."
Sakura mengerutkan dahi, "Sungguh? Kita masih membicarakan ini?"
"Aku hanya menuruti keinginanmu."
Sakura menghela nafas kasar dan kembali melihat keluar jendela. Aku menekan egoku untuk mengalah dan mengantarnya menemui Gaara, tapi Sakura malah mempermasalahkan ucapanku pada bocah merah itu. Benar-benar.
Saku celanaku bergetar, ada panggilan masuk di ponselku. Tanganku merogoh mengambilnya. Nama Itachi tertera di layar.
"Nii-san."
"Sasuke, apa kau sibuk?"
"Ada apa?"
"Bisa kau jemput Hana di tempat penitipan anak? Aku dan Izumi masih berada di acara amal. Kau tahu, 'kan? Acara amal tahunan yang digelar oleh Izumi dan teman-temannya."
"Lalu kenapa kau tidak membawa Hana bersamamu?"
"Acaranya berlangsung di Yokohama tahun ini dan Hana juga menolak ikut. Ada kegiatan menyanyi dan menari di tempat penitipan anak. Tolong ya, Sasuke? Hana pulang satu jam lagi."
Aku mendengus gusar, "Merepotkan. Kenapa aku? Kenapa tidak Kaa-san dan Tou-san? Ini hari Minggu."
"Hana ingin kau yang menjemputnya. Dia merindukanmu."
Aku mendecih mendengar alasan Itachi. Kakakku ini, entah kenapa sangat senang menggangguku, "Baiklah, kirimkan aku alamatnya."
"Terima kasih, Sasuke. Oh, satu lagi. Kami mungkin akan sedikit terlambat jadi tolong jaga Hana, ya?"
Itachi langsung memutus sambungan telepon. Dia seenaknya saja padaku. Rencana awal menghabiskan hari Minggu bersama Sakura terpaksa batal. Tapi aku rasa bukan ide buruk mengajaknya bersamaku menjemput Hana. Lagipula kepribadian Sakura dan Hana mirip.
"Apa itu Itachi?" Tanya Sakura dan aku mengangguk, "Ada apa?"
"Dia memintaku menjemput Hana."
Sakura mengangguk, "Kau bisa menurunkanku di halte lalu menjemput Hana-chan."
"Sebenarnya Sakura, aku ingin mengajakmu." Mataku melirik padanya, "Kau mau?"
Sakura berkedip beberapa kali sebelum mengangguk setuju, "Baiklah."
.
.
.
.
.
"Sasuke-jisan."
Hana berlari ke arahku yang berdiri tidak jauh dari ruang bermainnya di tempat penitipan anak. Hanya ada sedikit anak yang dititipkan pada hari Minggu. Salah seorang gurunya menghampiriku yang tengah menggendong Hana dan menciumi kedua pipinya bergantian hingga bocah itu terkikik geli.
"Sensei, kenalkan ini Pamanku. Namanya Uchiha Sasuke." Hana mengenalkanku pada gurunya. Sejujurnya aku terkesan pada kemampuan anak ini.
"Uchiha-san, salam kenal. Aku Hotaru."
Wanita muda dengan rambut coklat panjang itu tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya sekilas lalu berpaling pada Sakura yang berdiri di sebelahku, aku terkejut mendapatinya menatap serius pada Hotaru. Sesuatu dalam diriku bersorak, entah kenapa.
"Hn, salam kenal. Aku datang untuk menjemput Hana, Itachi sudah menyampaikan hal itu padamu?"
Hotaru mengangguk, "Iya, Itachi-san mengatakan hal itu pagi tadi saat mengantar Hana."
Senyum wanita itu masih terpasang di wajahnya. Sakura tampaknya tidak menyukai keramahan Hotaru. Aku sendiri berpikir itu karena Hotaru berprofesi sebagai seorang guru, jadi berusaha akrab dengan keluarga muridmu bukanlah sesuatu yang berlebihan.
"Eh, ada Sakura ba-san juga?" Hana yang baru menyadari kehadiran Sakura menatapnya bingung, "Apa Tou-sanku juga menyuruhmu datang, Ba-san?"
Sakura menggeleng, ia melihatku seolah meminta jawaban atas pertanyaan Hana. Aku menarik tangan Sakura lalu menggenggamnya, ia kaget tapi tidak berusaha menjauh.
"Tidak, Sakura ba-san datang menemani Ji-san." Jawabku.
"Jadi Sakura ba-san temannya Ji-san?" Tanya Hana polos. Tentu saja dia tidak mengerti, usianya baru lima tahun.
"Iya, Sakura ba-san temannya Sasuke ji-san." Sakura tersenyum dan mengusap kepala Hana, "Boleh?"
Hana mengangguk mantap, "Tentu. Aku menyukaimu, Ba-san. Kau cantik dan baik."
Sakura merona mendengar pujian yang dilontarkan Hana. Tidakkah mereka berdua terlihat menggemaskan? Sakura dengan pipi meronanya dan Hana dengan kepolosannya. Aku terkekeh sebelum mengguncang pelan Hana yang masih berada dalam gendonganku.
"Nah, ayo kita pulang. Berpamitanlah pada gurumu." Ujarku sambil menatap Hana lalu Hotaru.
Hana mengangguk lagi, "Sensei, terima kasih. Sampai bertemu besok."
"Hai, mata ashita, Hana-chan." Hotaru tersenyum dan mencubit pelan pipi Hana. Bocah itu tertawa, "Sampai jumpa lagi, Uchiha-san. Anda juga."
Aku mengangguk sementara Sakura hanya menyunggingkan senyum kecil, tangannya terasa menggenggam tanganku lebih erat. Wajahnya tidak mengeluarkan banyak ekspresi. Dia jelas tidak menyukai keberadaan Hotaru.
Kami kembali ke mobil setelah berpamitan pada Hotaru. Hana duduk di kursi belakang sambil bernyanyi riang, Sakura tetap duduk di kursi depan bersamaku beserta kebisuannya. Aku menatapnya dan ia menyadari itu.
"Dia menyukaimu." Sakura bergumam.
"Siapa?"
"Hotari… Hotaro? Entahlah."
Aku menyeringai, "Hotaru?" Koreksiku dan Sakura hanya diam. Dia benar-benar tergganggu dengan wanita itu. Aku menyeringai.
"Ji-san, aku lapar." Hana menatapku lewat kaca spion, "Boleh aku makan pizza untuk makan siangku?"
"Apa pun untukmu, Sayang." Kataku yang disambut teriakan girang Hana, aku tahu anak ini jarang memakan makanan seperti itu mengingat bagaimana Izumi sangat memperhatikan kesehatan, "Kau juga pasti sudah lapar, 'kan?" Tanyaku pada Sakura.
"Um."
Oh, baiklah. Ini sisi lain dari diri Sakura yang tidak aku tahu. Rupanya dibalik sifat ceria juga cerewet yang dimilikinya, ia bisa berubah menjadi sangat pendiam hanya karena merasa kesal. Aku mengabaikan Sakura yang masih irit bicara kemudian membawa mobil kami menuju restoran cepat saji dekat taman di pusat kota.
Aku, Hana juga Sakura duduk di samping jendela besar. Hana memakan pizzanya dengan lahap sambil ditemani segelas milkshake ukuran besar. Aku memesan fettucini dengan roti bawang dan segelas mango squash, sementara Sakura memesan spaghetti meatballs dengan orange juice.
"Ba-san tidak makan?" Hana memperhatikan Sakura yang hanya duduk diam sambil terus mengaduk spaghettinya.
Sakura tersadar dari kebisuannya, "Ah, tentu Ba-san makan. Ba-san memang lebih suka spaghetti yang sausnya tercampur rata begini."
Aku mendengus geli membuat Sakura menatapku dengan raut kesal. Seringaiku kembali terpasang untuk menggodanya tapi ia langsung mengalihkan pandangan dan mulai memakan spaghettinya dengan brutal, hal itu hanya membuatku semakin geli melihatnya.
"Pelan-pelan, Ba-san, Kaa-san bilang kita tidak boleh makan terburu-buru. Itu tidak baik untuk lambungmu." Hana menasehati Sakura yang membuatku akhirnya tertawa.
"Anak pintar." Aku mengusap kepala Hana yang duduk di depanku, di sebelah Sakura, "Perlahan Sakura atau lambungmu akan menjerit kesakitan."
Sakura memutar mata padaku sebelum tersenyum lembut pada Hana, "Maaf, Hana-chan. Ba-san sangat lapar."
Setelah makan siang, Hana berkata ingin bermain sebentar di taman. Aku sulit berkata tidak padanya, lagipula ini tidak terlalu menguras banyak energi. Aku membiarkan Hana berlari riang di taman, melihatnya bermain di kotak pasir, jungkat-jungkit juga ayunan.
Sakura masih saja diam saat aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya di kursi taman, tanganku terulur memberinya sebotol air mineral. Ia menerimanya dan masih tidak bicara.
"Baiklah, aku salah." Aku menyerah, bagiku sudah cukup seharian ini ia berada dalam mode diam.
"Memang." Sakura berkata pelan dengan nada sebal.
"Aku mengancam Gaara, itu salah biarpun dia yang memulainya lebih dulu. Sudah, jangan menutup rapat mulutmu lagi. Memangnya kau bau mulut?" Candaku yang langsung dibalas tatapan sinis Sakura.
"Masih ada satu lagi." Katanya bersungut-sungut.
"Apa lagi?" Tanyaku pura-pura tidak mengerti. Jangan kau kira aku tidak paham dengan sorot matamu pada wanita itu. Katakan padaku, Sakura.
"Kau tahu."
"Tidak."
"Iya, kau tahu."
"Tidak, aku tidak tahu."
"Tahu."
"Tidak."
"Terserah, aku tidak peduli." Sakura berdiri dan aku meraih tangannya sebelum ia sempat melangkah, bibirnya mengerucut dan sorot matanya tampak begitu kesal.
"Jika Hotaru tersenyum padaku, itu bukan salahku."
"Kau tahu! Dasar!" Sakura melotot lalu memukuli lenganku.
Aku terkekeh kemudian menariknya, mendekapnya di dadaku, "Kau cemburu."
"Tidak."
"Iya."
"Tidak!"
"Akui maka aku akan menciummu sekarang."
Sakura mendorong dadaku menjauh, "Kau gila, ini taman. Hana-chan juga bisa melihat kita." Ia menggeser mundur duduknya.
"Ternyata kau memang cemburu. Kau mengharapkan ciumanku." Aku menjilat bibirku untuk menggodanya lebih jauh dan wajah Sakura sukses merona. Aku sungguh menyukai ekspresi malu-malunya itu, ia tampak jauh lebih cantik.
Tiba-tiba aku mendengar suara tangisan. Aku sontak berdiri saat melihat Hana duduk meringis kesakitan sambil memegangi lututnya. Sakura langsung berlari menghampiri Hana dan aku menyusulnya. Anak itu menangis tapi ia tidak bersuara.
"Hana-chan, kau baik-baik saja?" Sakura bertanya khawatir. Hana di kelilingi anak kecil lainnya yang juga berada di dekatnya, ada beberapa orang tua juga yang datang menghampiri, "Ya, Tuhan. Sasuke, Hana-chan berdarah."
Tanganku memegang tangan Hana yang menutupi lututnya, "Biar kulihat." Itu luka ringan tapi tetap menimbulkan rasa sakit terutama untuk gadis kecil seperti Hana, "Sakura, kau punya tisu?"
"Ini." Sakura dengan sigap memberiku beberapa lembar tisu.
Aku meminta Hana menahan sebentar rasa sakitnya saat aku membersihkan tetes darah yang ada di sekitar lukanya. Setelah itu, aku langsung menggendongnya. Sakura menyeka air mata Hana yang ternyata masih mengalir.
"Anakmu terjatuh saat berlari, Tuan." Seorang Ibu paruh baya menjelaskan padaku, "Mungkin itu karena sepatunya."
Aku baru menyadari Hana mengenakan sepatu dengan heels rendah. Hatiku mengumpat pada Izumi yang selalu mendadani Hana seperti putri kerajaan.
"Tidakkah sebaiknya lain kali kau memakaikan sepatu tanpa hak pada anakmu, Nona?" Ibu paruh bayu itu bicara pada Sakura, mencoba memberi saran.
Sakura tampak bingung, "Ah, iya. Tapi aku bukan―"
"Terima kasih atas perhatianmu." Potongku cepat dan langsung menarik tangan Sakura menjauh.
"Sasuke-kun?"
"Tidak perlu ditanggapi, Hana lebih penting sekarang."
Beruntung aku menyediakan kotak P3K dalam mobilku. Hana benar-benar anak hebat. Ia terus menggigit bibirnya saat aku mengobati lukanya. Sesekali tangannya menggenggam erat tangan Sakura. Terakhir, aku menutup lukanya dengan plester.
"Cukup bermainnya, ayo kita pulang." Kataku pada Hana dan ia mengangguk.
.
.
.
.
.
"Pelan-pelan, Sasuke-kun. Jangan sampai Hana-chan bangun." Sakura memperingatkanku saat aku mengangkat Hana yang tertidur di kursi belakang saat perjalanan pulang.
Aku membawa Hana ke rumahku, karena aku belum menerima kabar dari Itachi atau pun Izumi. Sakura menutup pintu mobil setelah aku berhasil menggendong Hana. Tanganku yang lain terulur untuk menggenggam tangan Sakura. Ia tersenyum menyambut uluran tanganku.
Sakura membuka pintu rumahku dan hal yang tidak pernah aku harapkan terjadi.
"Sasuke?"
"Sasuke-kun?"
Ibuku juga Shion ada di sini. Bagaimana mereka bisa masuk? Aku tidak pernah memberikan kunci serep rumahku pada siapa pun.
Mata ibu terarah pada tanganku dan Sakura yang saling terkait. Sakura berusaha menarik diri tapi aku tetap menggenggamnya erat. Shion juga sama, matanya menatap Hana yang tertidur di gendonganku lalu ke Sakura yang tampak sangat terkejut.
"Kaa-san, apa yang kau lakukan di rumahku?" Tanyaku. Emosiku perlahan naik menyadari kelancangan Ibu juga Shion. Dia memang Ibuku tapi aku sudah cukup dewasa untuk memiliki privasi, mereka telah bertindak terlalu jauh.
"Kaa-san datang menjemput Hana tapi gurunya bilang kau sudah menjemputnya, jadi Kaa-san menunggumu di sini. Lama sekali kau baru sampai, kau dari mana?"
Mataku menyipit. Apa-apaan itu? Tidak bisakah Ibu menghubungiku lebih dulu? Lalu apa ini semacam jebakan yang disiapkan Itachi atau bagaimana?
"Sasuke-kun, kenapa kau bersama Sakura? Kenapa kalian bergandengan tangan?"
Belum aku menjawab pertanyaan Ibuku, Shion menambahkan untuk memperkeruh suasana. Aku mendengus kasar dan menatap sinis padanya. Mataku beralih pada Ibuku. Menatap mereka bergantian.
"Kalian… pergi dari rumahku sekarang juga."
.
.
.
.
.
TBC
.
.
.
Yeay, up lagi! Wah, kayaknya chapter ini lumayan panjang. Semoga gak capek bacanya, ya? Maaf aku gak bisa bales reviewnya tapi aku baca kok semua. Makasih banget-banget untuk kalian semua yang selalu setia baca fict ini, selalu setia di fandom ini. Padahal kayaknya udah mulai sepi :'( Oya, aku memang belum posting cerita di wattpad. Itu karena aku masih ngetik ceritanya. Aku berusaha untuk nuntasin dulu ceritanya baru posting.
Many hugs and kisses for you, guys! :***
Jaa~