Hadiah?
.
By: Gia-XY
.
Summary:
Dari semua hadiah kelulusan yang kuterima, aku dengan sangat yakin akan mengatakan bahwa hadiah darinyalah yang paling aneh.
.
Disclaimer:
Yu-Gi-Oh! Duel Monster Generation NeXt © Takahashi Kazuki & Kageyama Naoyuki
.
Warning(s):
AT, AR, sirine keras petunjuk homo dan roman picisan, OOC, istilah asing, tidak suka jangan baca, dll.
.
Present for Razen-Ayam
.
Untuk Kakanda tersayang, maafkan kepicisan Dinda yang ditularkan ke E-chan. Tentu kita tahu tahu bahwa E-chan terlalu sayang untuk dibuat tidak picisan dan memasang WAJAH MEMERAH. E-CHAN PERLU DIPERMALUKAN SUPAYA SEMAKIN UNYU. HAHAHAHA. #GAK
.
.
.
.
.
Pernah dengar orang baru lulus SMA setelah menerima gelar PhD? Kalau pernah, tambahkan aku ke dalam daftar orang-orang itu.
"Edo! Akhirnya kita lulus saurus! KITA LU—"
"Tutup mulutmu, Bocah Dino. Kau terlalu berlebihan."
Aku menghela napas lelah. Tahun ini aku lulus dari Duel Academia yang bisa kusimpulkan hampir setara dengan Sekolah Menengah Kejuruan.
Entah mengapa, aku agak merasa rendah menerima surat kelulusan bersamaan dengan bocah bernama Tyranno Kenzan ini. Ah, benar juga, aku lupa umurku sebenarnya tidak berbeda jauh dengannya.
"Oh, aku lupa saurus. Katanya, kau itu, 'kan, sudah menerima gelar PhD apalah itu don. Lalu, untuk apa belajar di tempat ini?" Kenzan bertanya malas, tampaknya berniat menyindirku karena aku sempat seenaknya menyebut namanya.
Aku hanya tersenyum kecil penuh rahasia.
"Bukan urusanmu, 'kan? Lagipula, kurasa orang bodoh pun bisa menebak kulitnya."
"Eh?"
Kenzan tampak bingung dengan pernyataanku. Sebelum ia berubah ke mode penasaran dan banyak bertanya, aku buru-buru angkat kaki dari ruangan besar yang menampung murid-murid seangkatanku dan Kenzan yang baru saja lulus.
Semuanya melelahkan, jujur saja. Menyisihkan waktu di sela-sela pekerjaanku yang banyak hanya untuk menerima surat kelulusan akademi bergengsi yang berada di bawah naungan Kaiba Corporation. Memang sulit menjadi Pro Duelist terkenal yang terus berambisi untuk belajar.
Sejujurnya, alasanku belajar di sini sebenarnya awalnya bukan untuk belajar. Alasan asliku jauh lebih bodoh dari untuk sekadar belajar ulang soal Duel Monster.
Alasan awalku, aku hanya ingin mendekati seseorang dan menunjukkan bahwa aku lebih berguna darinya dengan mengalahkan orang itu. Ujungnya, aku malah belajar sesuatu dari orang tersebut. Aku jadi sadar betapa lemah dan dangkalnya diriku, serta soal mengapa Saiou Takuma lebih menginginkan orang itu—Yuuki Juudai—dalam rencana gilanya—yang saat itu tidak kuketahui seluk-beluknya. Tunggu, apa itu benar-benar Saiou, ya? Ah, abaikan.
Akhirnya, aku memutuskan tetap belajar di akademi itu—walau waktuku belajar di kelas tidak sama dengan murid normal karena jadwal kerjaku. Niatku, keluar dari akademi setelah Juudai lulus. Namun, entah mengapa aku tidak bisa melaksanakan niat itu ketika waktunya tiba. Bisa dikatakan, ada alasan lain yang menahanku.
Sebenarnya kalau disimpulkan, bisa dikatakan bahwa aku hanya ingin merasakan perjuangan yang dihadapi kakak-kakak kelasku ketika belajar di akademi ini sampai akhir. Itu sederhananya. Kalau kujelaskan lebih dalam, agak merepotkan. Lebih baik aku tutup mulut soal detailnya.
Setibanya di atas kapal pribadiku, aku mengerjap heran.
Tidak, tidak. Tidak ada yang aneh dengan kapalku. Mereka baik-baik saja. Hanya saja … ada sesuatu … di atas meja yang biasa kugunakan untuk makan …. Padahal, terakhir kuingat, meja itu bersih dari apa pun.
Setelah menormalkan ekspresi wajah, aku berjalan ke arah meja itu, kemudian menelaah isinya.
Bunga, cokelat, amplop surat, kotak putih, boneka … D Cubic …? Jelas ini bukan benda-bendaku. Aku merasa benar-benar tidak memiliki benda-benda ini.
Aku menghela napas melihat benda-benda yang memenuhi mejaku. Penasaran, aku mulai "menggeledah" benda-benda itu. Dimulai dari cokelat ….
Oi, Edo. Kudengar kau sudah mau lulus. Eh, salah. Kalau cokelat ini sampai, kau dan Kenzan pasti sama-sama sudah lulus. Aduh, aku bingung harus komentar apa. Pokoknya, selamat untuk kelulusanmu—aku benar-benar yakin kau pasti lulus. Setelah ini kau akan fokus ke Liga Pro, ya? Aku sendiri sedang bertualang mencari jati diri, sih. Oh, ya! Kalau bertemu lagi, ayo, kita duel! Skor kita masih 1-1!
十
Kartu kecil ditempel dari dalam di penutup kotak cokelat yang bening. Surat dengan sedikit bumbu agak bodoh ini, jelas Juudai, 'kan? Kanji "sepuluh" yang merupakan salah satu unsur kanji nama Juudai menjadi petunjuk yang memperkuat tebakanku.
Dari bungkus cokelat-cokelat kecil di dalamnya, aku tahu kalau ini cokelat dari Belgia. Kurasa ia sedang ada di Belgia saat memesan cokelat ini. Kuasumsikan ia sedang berkeliling dunia—karena aku yakin Juudai bukan tipe yang suka menetap di satu tempat kalau ia sudah berkata "bertualang".
Heh, Saiou, lihat. Orang yang kaubangga-banggakan kemampuannya sekarang malah hidup menggelandang, mencari jati diri. Aku miris rasanya membayangkan orang yang mengalahkanku malah memilih jalan seperti ini. Mengapa Juudai tidak masuk Liga Pro saja? Dengan kemampuannya, ia bisa hidup enak kalau masuk Liga Pro. Kadang aku masih tidak habis pikir saat tahu jalan hidup yang dipilihnya.
Yah, semua orang punya pilihan sendiri. Bukan hakku menilai mereka.
Setelah kembali meletakkan cokelat kiriman Juudai, aku berganti mengambil amplop di atas meja dan membukanya.
Selamat atas kelulusanmu, Edo. Mungkin kita tidak terlalu akrab—apalagi kesan pertamaku tentangmu sejujurnya agak buruk. Namun, kurasa kau banyak berkembang selama tiga tahun belajar di Duel Academia—maaf, aku seenaknya memantau perkembanganmu dari Duel Collage tempatku belajar. Aku senang karena ada orang sepertimu yang ingin terus belajar walau sudah bergelar tinggi, jadi kurasa layak saja untuk memberimu sedikit hadiah kelulusan.
Kalau kita bertemu lagi, aku sangat ingin berdiskusi banyak denganmu.
Melihat kanji nama "Tenjouin Asuka" tertera di amplop biru tersebut, kurasa aku tidak perlu lagi menebak siapa mengirim surat yang ada di tanganku.
Di dalam amplop, sebuah gantungan kunci disertakan bersama lipatan kertas surat tadi.
Mungkin orang pikir itu benda yang terlalu kecil untuk diberikan sebagai hadiah kelulusan, namun tidak untukku.
… Bukannya aku suka kucing yang jadi maskot gantungan itu, sih …. Aku hanya menghargai usahanya mengirimiku hadiah dan surat ….
Serius, aku bukan pecinta kucing! Sama sekali bukan!
Sambil menahan segala emosi yang sangat tidak Edo Phoenix sekali, aku memasukkan gantungan kunci itu bersama surat yang sudah kulipat kembali, kemudian mengambil boneka D Cubic yang bersantai di atas meja. Kupandangi baik-baik boneka itu, mengerjap sebentar, kemudian mulai memeriksa bagian luar boneka, mencari jejak pengirimnya.
Tidak perlu waktu lama, aku menemukan sesuatu di leher boneka itu.
Liontin perak aneh uang seharusnya tidak ada di visualisasi monster D Cubic menangkap perhatianku. Dengan hati-hati, aku mendekatkan liontin itu ke pandanganku, kemudian menyadari bahwa benda itu bisa dibuka dengan menekan tombol di sampingnya.
Setelah menekan tombol itu san membuka penutup liontin, fotoku berempat dengan Manjoume Jun, Marufuji Shou, dan Tenjouin Fubuki terpampang di sana.
Ini pasti pemberian ketiga orang itu. Entah mengapa, aku yakin ini ide Fubuki.
Kalau tidak salah, foto ini diambil ketika aku datang ke Duel Academia beberapa hari setelah sampainya murid pertukaran pelajar dari kampus lain. Waktu itu, aku tidak sengaja masuk ke kawasan Asrama Osiris Red ketika Fubuki heboh mengajak Asuka berfoto bersama—diikuti dengan Manjoume, Juudai, Shou, dan Johan yang menjadi figuran tidak jauh dari kedua bersaudara Tenjouin itu. Akhir-akhirnya, aku malah diseret dan dipaksa ikut berfoto dengan mereka karena Juudai menyeretku. Memang anak setan murid Osiris Red satu itu ….
Informasi saja, bukan sekali-dua-kali saja tombol kamera dipencet ketika benda itu ada di tangan Tenjouin Fubuki. Itu benar-benar pengalaman yang sangat melelahkan dan kurasa aku tidak ingin sering-sering mengalaminya.
Kuletakkan boneka itu di atas meja, kemudian beralih ke buket bunga besar berwarna-warni dari segala macam jenis yang mendominasi meja. Hal yang kulakukan selanjutnya tentu mencari identitas pengirimnya di antara rangkaian bunga di dalamnya. Beruntungnya, ada sebuah kartu violet berukuran sedang yang tidak lama kemudian kutemukan.
Edo, selamat, akhirnya kau selesai menempuh perjalanan di Duel Academia. Walau penyebab awalmu masuk akademi karena campur tanganku—apa itu benar-benar aku?—kurasa kaupunya alasan sendiri untuk tetap melanjutkan pendidikan di sana. Aku sadar, kau bukan lagi anak kecil yang selalu bergelayut manja di pelukanku dan Mizuchi. Kau bisa menentukan nasibmu sendiri. Karena itulah, aku tidak pernah menanyakan alasanmu.
Sekali-kali, kunjungilah aku dan Mizuchi. Kami merasa sepi karena kau terlau sibuk bekerja. Kurasa sudah lama sejak terakhir kali kita berkumpul bertiga dan saling bercerita. Kalau DD sudah sadar, mungkin kita bisa mengajak DD … kalau kau bersedia tentunya …. Tolong jangan remehkan kepekaanku, ya, Edo.
Peluk hangat,
Saiou Takuma dan Mizuchi
Aku tanpa sadar tersenyum kecil melihat kartu yang kutemukan. Rupanya mereka masih peduli padaku. Tulisan di surat itu jelas sekali oleh Saiou Sulung. Kalau diriku bukan Edo Phoenix, aku mungkin akan menangis karena kehangatan ini.
Melihat nama DD disebutkan di bagian akhir surat, aku mau tidak mau harus tersenyum miris.
World Duel Champion dengan nama panggung DD, ayah angkat sekaligus pembunuh ayah kandungku yang sama-sama sempat dirasuki Cahaya Kehancuran yang juga sempat merasuki Saiou. Waktu itu, aku memang meninggalkannya di tengah kapal yang terbakar setelah memenangkan duel darinya. Rupanya DD tidak meninggal setelahnya.
Aku tidak tahu detail cerita bagaimana ia selamat, namun dapat dipastikan bahwa kepingan Cahaya Kehancuran sudah tidak ada bersama dirinya dan ia sedang berjuang di tengah koma.
Bisa dikatakan, aku menyesal karena meninggalkan DD karena dendam anak kecilku saat itu …. Benar, ia yang membunuh ayahku, sampai kapan pun dosanya tidak bisa termaafkan jauh di dalam diriku. Hanya saja, DD tetap orang yang merawatku. Dulu aku tidak ingin mengakuinya, namun aku selalu merasakan ketulusan setiap DD menemaniku di sela-sela jam kerjanya yang padat. Aku yakin, ketulusannya itu bukan berasal dari Cahaya Kehancuran ….
Aku mengembalikan bunga itu ke atas meja dengan hati-hati supaya kelopaknya tidak ada yang rusak. Dalam hati, aku sudah berencana memindahkan rangkaian bunga itu ke vas setelah ini dan menelepon kedua pengirimnya esok hari—berhubung kurasa hari ini aku sepertinya tidak akan sempat melakukan hal itu. Tidak lupa aku merencanakan untuk menjenguk DD yang ada di rumah sakit. Begini-begini, aku tetap anak angkat yang tahu diri, menemani orang tua di saat mereka dalam keadaan sulit.
Terlalu sibuk dengan pikiran dan emosiku, hampir aku melupakan benda terakhir yang sama sekali belum kusentuh.
Kotak putih yang entah apa isinya.
Ingin cepat-cepat menyelesaikan urusanku dengan benda-benda di atas permukaan meja putih kesayanganku, aku pun mengambil kotak itu, kemudian tanpa pikir panjang membukanya.
Di dalamnya, kutemukan sesuatu yang bulat—dan mungkin bening. Kukeluarkan benda yang ternyata pajangan bola kristal tersebut, kemudian menyadari keberadaan kertas yang diselipkan di dalam kotak.
Setelah meletakkan bola kristal beralas itu dengan hati-hati ke atas meja, aku mulai mengeluarkan benda lain di dalam kotak.
Ternyata itu bukan sekadar kertas, melainkan amplop tosca—lagi-lagi.
Di belakang amplop itu, tertulis ~J. A.~ dengan tinta emas. Tulisannya cukup berseni, dan aku harus sedikit memutar otak tentang siapa orang berinisial J. A. yang akan mengirimiku hadiah kelulusan macam ini.
Hanya satu orang berinisial J. A. yang mengunjungi otakku, namun aku agak tidak yakin dengan tebakanku. Pasalnya, orang itu kurang akrab denganku. walau tebakanku bisa saja benar …. Tetapi ….
Aku menghela napas berat, memotong pikiranku sendiri.
Tidak ingin penasaran terlalu lama larut dalam kebingungan dan rasa penasaran, aku pun membuka amplop biru itu dan mengeluarkan kartu di dalamnya.
Halo, peringkat 4. Akhirnya lulus, ya? Walau kata pencipta permainan Duel Monster, peringkat duelist-mu di atasku, aku tetap kakak kelasmu dari kampus lain. Karena itu, kuucapkan selamat atas kelulusannya. Kurasa kesempatan kita bicara saat aku masih di kampus pusat benar-benar sedikit. Kau sembunyi di mana saja, sih, sampai aku tidak dapat menemukanmu? Padahal, sudah lama aku penasaran denganmu karena kau merebut peringkat di atasku, tetapi orang yang membuatku penasaran malah seakan disembunyikan dewa dariku. Kalau ada kesempatan, aku benar-benar ingin menagih duel di dunia Liga Pro. Jika kesempatan itu datang, aku pasti menang! Tunggu saja, ya!
Kartu berwarna hijau berbingkai tinta perak mengkilap itu akhirnya memecahkan misteri tentang siapa orang terakhir yang repot-repot mengirimi barang pcah belah untuk hadiah kelulusanku.
Johan Anderson. Lawan yang selalu ingin kuhadapi, namun tidak ada kesempatan. Kurasa Pegasus juga memberitahunya soal peringkat kami di dunia duel resmi.
Tadinya, kupikir pengirimnya bukan kembaran Juudai bernama Johan Anderson ini walau hanya namanya yang terpikir dalam benakku jika inisial J. A. disebut. Seperti katanya, kami memang kurang akrab dan hampir tidak pernah berbicara satu sama lain. Bukannya aku tidak mau, namun tampaknya aku tidak diizinkan oleh takdir untuk sering-sering bertemu langsung dengannya di dunia nyata.
Baguslah, ternyata perasaannya sama denganku. Tinggal tunggu waktu saja jika kesempatan duel benar-benar dihibahkan untuk kami.
Merasa akhirnya semua hadiah yang—aku yakin diantar oleh jasa pengiriman barang—selesai kuperiksa, aku menghela napas panjang sembari meletakkan amplop surat Johan di dalam kotaknya tanpa merapikan barang pemberiannya.
Haruskah semuanya kubawa masuk? Semuanya? Sebanyak ini? Buket bunganya besar sekali pula.
Kalau turun dari kapal, mungkin aku akan menemukan murid yang bisa kuperalat di pulau—seperti Kenzan contohnya. Boleh dicoba sepertinya.
Kubalikkan badanku, berniat kembali ke pulau dan mencari "bantuan". Namun, sosok seorang pria besar—yang entah sejak kapan berdiri di belakangku—menghalangi niat awalku untuk turun dari kapal.
Aku mengerjap beberapa saat. Aku tidak sedang berhalusinasi, 'kan? Bukankah pria itu seharusnya sudah tidak ada di pulau ini dan kembali ke Liga Pro?
Angin darat menerpa, menjadi pengiring kami yang bertatapan satu sama lain. Setelah itu, seringaian mengejek terlukis pada wajah orang di hadapanku.
"Seperti biasa, wajahmu masih terlihat sombong, ya. Phoenix."
Dari bingung, wajahku melukis senyuman kesal. Ejekan itu, aku yakin hanya satu orang yang bisa mengatakannya dengan seringaian khas yang selau membuatku kesal. Rupanya otakku memang masih terlalu normal untuk memberi pemiliknya halusinasi.
Hell Kaiser Marufuji Ryou tampaknya memang sedang berdiri di depanku saat itu juga.
Baru saja aku ingin membalas ucapannya, namun kuurungkan. Benar juga, ini kesempatan bagus. Daripada sibuk mencari bantuan dengan kembali ke pulau, lebih baik aku minta tolong Ryou saja. Lengannya, 'kan, besar.
"Ada apa, Phoenix? Mengapa diam saja? Tidak rindu dengan teman seperjalananmu ini?"
Aku terpaksa menahan kesal saat mendengar Ryou kembali berbicara. Mengapa makhluk satu ini sangat hobi membuatku hilang mood, sih?
"Jangan bercanda. Aku hanya sedang berpikir, orang yang baru-baru ini sembuh dan mulai kembali bekerja bisa berguna atau tidak."
Tidak ada unsur kebohongan sama sekali dalam ucapanku. Dalam hati, aku agak khawatir kalau badannya tidak kuat membantuku mengangkut barang. Ah, tetapi kurasa itu pemikiran bodoh. Badan sebesar itu, mengangkat beberapa barang ringan saja pasti mudah walau ia sedang dalam proses penyembuhan penyakit jantung sekalipun.
Ryou berjalan ke arahku tanpa kuminta, membuatku teringat bahwa ia sudah masuk kapal tanpa izin sebelum ini. Dasar penyusup.
Kulipat kedua lenganku di depan dada ketika Ryou berhenti tepat beberapa sentimeter di hadapanku.
"Sepertinya sudah sehat total, ya?" tanyaku, tanpa sadar memasukkan sedikit unsur sinis di dalam nada bicaraku.
"Ya, hanya saja Kepala Sekolah Samejima tetap memintaku mengek kondisi setiap sebulan sekali ke sini."
Ah, tidak heran aku melihatnya di tempat ini. Pertanyaanku, mengapa ia menyusup ke kapalku?
Sudahlah, itu bisa diurus nanti. Yang penting, aku perlu bentuannya sekarang.
"Kuharap badanmu tidak terlalu lemah untuk membantuku memindahkan barang. Oh, benar juga, kau juga tidak bisa berkata tidak untuk jadi pembantuku selama beberapa menit karena aku tidak menerima penolakan."
Pemaksa, memang. Itu aku. Aku tidak terima orang lain melawanku. Kalau mau melawanku, jilat dulu sepatuku—okay, ini berlebihan. Aku tahu sikapku ini menyebalkan. Aku tidak keberatan dibenci orang. Yah, setidaknya, aku tidak setiap saat bersikap seperti ini.
Ryou menyeringai mendengar ucapanku, membuat firasatku tidak enak mendadak. Kalau sudah begini, pasti ada sesuatu yang menyebalkan di pikirannya.
"Asal aku dapat bayaran yang layak, mengapa tidak?"
… Entah bagaimana, perasaanku benar-benar tidak enak soal "bayaran" yang dimaksudnya ….
~XxX~
Kuletakkan dua cangkir teh di atas meja yang tadinya penuh dengan barang-barang dari para kakak kelas dan "keluargaku", kemudian duduk di hadapan Ryou yang sudah lebih dulu duduk setelah kuberikan kursi sebelumnya.
"Terima kasih atas bantuannya, walau tadi kau hampir saja merusak barang dari Johan." Tidak lupa senyuman bisnis kulukis ketika mengucapkan terima kasih pada Ryou.
Terima kasih sekaligus sindirian, sekali dayung dua pulau terlewat. Memang tidak enak kalau murni mengucapkan terima kasih pada Hell Kaiser Marufuji Ryou yang menyebalkan.
"Oh, maaf, tadinya kukira itu sampah, jadi aku kurang hati-hati."
Aku tersenyum meledek sambil melemparkan pandangan merendahkan.
Sampah apanya? Selain jantung, matanya perlu dicek sekalian kurasa. Pasti ia hanya tidak terima aku menerima barang bagus.
"Sejak kapan kau seakrab itu dengan Johan sampai ia memberimu hadiah kelulusan?"
Aku mengerjap mendengar pertanyaan Ryou.
Lucu, tadinya, kukira Ryou berniat menyindirku. Namun, pikiran itu lenyap tidak berbekas melihat wajah Ryou yang tanpa senyum. Sama sekali tidak senang seprtinya. Apa ia sedang bertanya serius?
Mengapa juga ia peduli dengan hubunganku dan Johan?
"Hanya masalah perbedaan posisi, kok, makanya kami saling … mengenal …? Ah, sudahlah, tidak penting juga untukmu." Aku menjawab acuh tak acuh.
Ryou tidak perlu tahu kalau aku sangat ingin berkompetisi dengan Johan, 'kan? Seperti ia peduli saja. Ia, 'kan, hanya peduli soal diri sendiri dan lawan yang kuat.
"Lalu, bunga yang tadi?"
"Itu dari Saiou dan Mizuchi."
"Boneka?"
"Salah satu teman akrabmu, adikmu, dan mantan asistenku."
"Cokelat?"
"Juudai. Sepertinya ia lewat Belgia saat tahu tanggal kelulusanku."
"Surat?"
"Asuka. Aku merasa ia sedang memantau perkembangan jiwaku."
"Heh, apa-apaan itu?"
Ryou menyeringai, seakan meledekku. Ia pikir aku sakit jiwa?! Lalu, apa-apaan ini? Mengapa ia menanyai pengirim barang-barang tadi seakan ingin tahu siapa saja yang mengupkan "selamat" atas kelulusanku? Itu sama sekali bukan urusannya, bukan?
"Kau tidak merasa aneh Fubuki dan Asuka memberimu barang?" Ryou bertanya seakan tahu apa yang ada di pikiranku. Aku pun terdiam.
Mendengar pertanyaan Ryou, aku jadi terpikir. Jujur saja, aku merasa merasa aneh. Walau mereka teman-teman Juudai-yang cukup kenal denganku, tetap saja itu tidak menjadi alasan buat mereka susah-susah membelikan barang untukku. Apalagi Asuka sampai repot memantau perkembanganku.
"Kudengar, Tenjouin dan Phoenix itu punya hubungan darah."
Aku mengerjap, menatap Ryou heran.
Mengigau apa ia di siang bolong seperti ini?
Ia menyeringai puas melihat ekspresiku yang seakan mengatainya … sekaligus bingung.
"Wajar saja kalau sebagai keturunan terakhir, kau tidak tahu. Terjadi perebutan kekuasaan di pihak Tenjouin sampai keluarga Phoenix memutuskan tali kekeluargaan mereka dengan keluarga Tenjouin. Keluarga Fubuki dan Asuka sendiri sebenarnya menjadi korban di generasi sebelumnya."
Aku tediam, berusaha mencerna perkataan Ryou. Ia sedang membohongiku atau apa? Seingatku ini bukan 1 April.
Namun, kurasa Ryou bukan tipe orang yang suka berbohong dalam hal seperti ini. Jujur saja, di mataku sendiri, Ryou terlihat seperti orang yang lebih suka mengelabui dengan tidak berkata detail daripada berbohong. Berbohong seakan di luar kamusnya.
Memutuskan untuk percaya pada ucapan Ryou, aku menghela napas pendek.
Sepertinya apa yang terjadi di keluarga besarku akan merepotkan kalau dijelaskan. Tanpa harus bertanya pun, aku sudah tahu ketika Ryou menghentikan penjelasannya. Yah, kurasa ini bukan bagiannya untuk menjelaskan, sih.
"Apa Tenjouin Bersaudara yang memberitahumu?"
"Fujiwara tahu dari Fubuki."
Aku mengernyit. Fujiwara Yuusuke yang masuk satu angkatan di bawahku karena kasus seperti Tenjouin Fubuki maksudnya?
Bukannya aku tertarik dengan informasi keluarga besar, tetapi karena aku lumayan akrab dengan Fujiwara, kurasa tidak ada salahnya jika aku menanyainya sedikit setelah …. Tunggu, Ryou tahu soal keluargaku dari Fujiwara yang tahu dari Fubuki. Mengapa … ini rasanya seperti ….
"Oh, pencurian informasi diam-diam." Aku berkata sambil mengangguk paham.
Aku menghela napas sambil tersenyum mengejek. Sangat Ryou sekali. Kurasa ia memaksa Fujiwara memberitahunya. Mana ada orang yang dengan sukarela membicarakan persoalan orang lain tanpa sepengetahuan orangnya.
"Aku hanya bertanya apa ia tahu sesuatu tentangmu, kemudian Fujiwara bercerita lancar tanpa kuminta." Bela Ryou yang tampaknya tidak ingin mengaku salah.
Memang aku peduli Fujiwara yang bercerita sukarela atau ia yang memaksa? Untuk apa juga Ryou mencari tahu tentangku? Dasar aneh.
"Untuk apa bertanya pada Fujiwara? Kalau memang kau penasaran denganku, tanya saja langsung padaku, susah sekali."
"Mana ada penguntit yang menguntit di depan orang yang dikuntitnya."
Aku mengangguk-angguk setuju.
"Benar juga, sih—HAH?!"
Aku memandang Ryou kaget, sementara yang kupandang malah memandangku dengan tatapan datarnya.
Ia menguntitku dan mengaku?! Dunia sudah mau hancur atau apa?!
"Aku sebenarnya berniat mencari kelemahanmu. Selain hal-hal yang menyangkut ayahmu atau keluarga angkatmu, kau seakan selalu tenang.
Aku menghela napas lega. Aku sangat bersyukur alasan Ryou masih bisa diterima oleh akalku. Natur kami memang selalu menghina, jadi tidak heran kalau kami senang mengetahui kelemahan satu sama lain.
Lagipula, tidak ada yang berniat benar-benar menguntitku kecuali para penggemar atau orang yang mendendam padaku.
Ah, mendendam, ya ….
Aku menatap pria yang duduk sambil meminum teh di depanku baik-baik.
Ia masih mengenakan pakaian serba hitamnya Hell Kaiser. Rasanya, melihat Ryou yang sekarang, aku tidak percaya kalau ia adalah orang yang sama dengan kakak kelas teladan yang kuhadapi dulu.
Kaiser Marufuji Ryou bukan orang yang bisa menyeringai senang saat melukai orang lain. Kurasa ia bahkan tidak pernah menghina orang lain sembari menyringai lebar dulu. Dari orang yang menghargai duel, Kaiser Ryou berubah Hell Kaiser Ryou yang lebih menghargai kemenangan tanpa ragu menyakiti diri dan lawannya.
… Apa aku yang membuatnya seperti itu, ya?
"Ada apa?"
Menyadari aku menatapinya, Ryou meletakkan cangkir tehnya, kemudian bertanya. Aku hanya tersenyum kecil.
"Tidak. Aku rasa, sosok kaiser-mu yang dulu lebih enak dilihat."
Kalau boleh jujur, mungkin aku sedikit merindukan sosoknya yang hanya kulihat beberapa kali di TV dan sekali di depan mataku sendiri itu. Rindukah …? Ah, kata itu agak aneh untuk lidahku rasanya …. Mungkin … sekadar ingin melihat kembali …? Itu rasanya juga tidak pas ….
Ryou menyeringai mengejek mendengar kata-kataku. Untungnya aku sudah tahu seperti apa reaksinya kali ini, jadi aku tidak perlu emosi melihatnya.
"Ternyata kau itu senangnya dengan orang lemah, ya?"
… Sayang, komentarnya setelah ini tampaknya sukses membuat emosi tertahanku kembali ingin membuncah.
"Kau ini sedang menghina diri sendiri sekalian, ya?" Sembari menahan emosi, kubalas ejekannya karena sebal.
"Yah, mungkin." Ia menjawab acuh tak acuh.
… Pria menyebalkan ….
Sambil menahan kesal, aku meminum tehku dengan cepat. Hilang sudah niatku menikmati teh pelan-pelan bersamanya. Orang ini memang paling berbakat membuatku naik darah. Untung saja aku belum pernah terlepas menghajarnya seperti aku menonjok Manjoume dulu.
"Tanganmu, Phoenix."
Aku meletakkan cangkir tehku, kemudian mengerjap beberapa kali dan menatap Ryou heran.
Tanganku? Ada apa dengan tanganku?
"Kemarikan tanganmu." Ryou memperjelas perkataannya sebelumnya.
Aku mengernyit.
"Untuk?"
"Kemarikan saja, jangan banyak tanya."
Merasa Ryou sedang tidak ingin berdebat denganku, aku pun melakukan perintahnya Kuulurkan tanganku ke arahnya dengan ekspresi heran. Telapak tangan kubiarkan terbuka.
Ia tidak akan macam-macam, 'kan?
"Aku merasa sampah ini cocok untuk hadiah kelulusanmu."
Ryou meletakkan sesuatu di atas tanganku. Tepatnya, menjatuhkan sesuatu.
Aku mengerjap beberapa kali ketika melihat Ryou kembali meminum tehnya dengan tenang. Kutarik kembali tanganku, kemudian melihat apa yang ada di atasnya.
Bintang …? Bukan, sepertinya bukan miniatur bintang biasa.
Dengan tanganku yang satunya, aku mengambil bintang kecil keemasan itu, kemudian mengamatinya baik-baik.
Hah? Kancing?
… Akh, aku jadi teringat cerita anak-anak sekolah normal. Meminta kancing kedua orang yang disukai atau apalah itu ketika hari kelulusan. Em, apa kancing ketiga, ya? Ukh, itu tidak penting ….
Ryou tidak sedang mengerjaiku dengan cerita itu, 'kan?
"Aku tidak menyangka bahwa hadiah itu akan benar-benar cocok denganmu." Ryou kembali berkomentar tanpa diminta, membuatku semakin heran.
Mengapa ia berucap seperti itu?
Tunggu sebentar ….
Bintang, kancing, cocok denganku …. Kalau ia bilang tidak menyangka, itu antara ia mengejekku atau memang ia baru merasa seperti itu barusan. Kalau tidak salah, Ryou tadi memberikan benda ini setelah kami membahas tentang ….
"Ryou, tidak apa-apa benda ini diberikan padaku?" tanyaku ragu sambil memandangi kancing bintang yang masih kupegang dengan ketiga jariku.
"Aku sudah tidak butuh, dan kurasa itu lebih cocok denganmu sekarang," balasnya sambil menyeringai tipis.
Aku terdiam, tidak tahu harus bicara apa.
Bukan, bukannya aku tidak senang Ryou memberiku benda kecil sebagai hadian atau apa. Bukannya aku senang juga ia memberiku barang. Hanya saja …
… kancing bintang ini … adalah tanda kelulusan Kaiser Marufuji Ryou yang disematkan sebagai ganti kancing seragamnya …. Kalau begitu, ini seharusnya benda penting, 'kan?
"Aku tidak tahu kalau kau itu penggemar Si Lemah Kaiser. Kukira kau hanya mengagumi ayahmu dan World Champion."
Aku berkdut kesal mendengar komentarnya.
"Enak saja! Siapa yang penggemarmu, hah?! Lalu, darimana kautahu soal mereka berdua?!"
"Shou tahu dari manajermu yang namanya Saiou atau apalah itu."
Aku tersenyum kesal. Lagi-lagi ….
"Pencurian informasi diam-diam …."
"Aku sudah mendengar itu dua kali, Tensai-kun."
Aku tertawa meledek.
Apanya yang kelemahanku? Informasi pertama lumayan karena aku sendiri tidak tahu banyak soal kerabatku, informasi kedua? Sudah seperti penguntit tingkat akut. Lagipula, aku hanya penggemar DD sampai sebelum aku tahu ia pembunuh ayahku—mungkin ….
"Daripada untukku, lebih baik benda ini kaupakai sendiri, bukan?"
"Aku bukan bintang lagi. Aku kegelapan."
Apa-apaan? Kegelapan apanya. Setan lebih cocok rasanya, dasar narsis.
"Kaupikir aku bintang?"
Aku bertanya dengan tujuan mengekspresikan kekesalanku atas kenarsisan Ryou. Namun, reaksi Ryou agak tidak terduga untukku.
"Iya." Ia menjawab dengan tenang, seakan tidak ada yang aneh dalam jawabannya yang hanya satu kata tanpa keraguan itu.
Aku terdiam, menatap Ryou heran. Apa ia baru saja berkata "iya"?
"Berusaha menolong orang lain layaknya bintang harapan, … itu, 'kan, kelakuan orang lemah. Akhirnya, bintang juga akan tetap jatuh."
Ryou berucap meremehkan sambil menatapku seakan sedang merendahkan.
Marufuji Ryou sialan ….
"Siapa yang menolong orang lain, heh?"
"Kau."
"Kapan? Di mana?" Aku bertanya penuh tuntut.
"Setiap saat dan di mana pun. Pertama Saiou Takuma, lalu Saiou Mizuchi, kemudian Johan Anderson, setelah itu Yuuki Juudai dan Austin O'Brien, terakhir Manjoume Jun. Oh, bahkan kau juga sempat mengkhawatirkan Shou di dimensi lain." Ryou menjawab dengan lancar, membuatku harus terdiam beberapa saat.
… Memang aku menolong mereka …?
Tidak, tidak. Aku bukan menolong.
Kalau Saiou, aku mungkin memang berusaha menolongnya atas dasar rasa persahabatan dan kekeluargaan. Mizuchi hampir sama, tetapi setengahnya untuk kepuasanku sendiri karena aku penasaran apa yang terjadi pada Saiou.
Soal Johan, aku berusaha menolongnya karena merasa harus membalas Juudai yang sudah menolong Saiou. Soal Juudai dan Austin O'Brien, aku hanya mencegah dunia hancur di tangan penguasa semacam Haou. Dunia hancur, aku juga hancur, Ryou juga. Tentu saja semua manusia juga!
Kalau Manjoume, aku hanya diminta tolong gurunya. Yang kulakukan, 'kan, hanya mempekerjakannya.
Soal Marufuji Shou, tidak heran kalau aku curiga orang lemah tidak bisa bertahan di dimensi antah berantah. Aku bukannya mengkhawatirkannya!
… Intinya, aku tidak merasa aku benar-benar sedang menolong di semua saat itu.
Namun, kurasa ada baiknya aku tidak mendebat Ryou. Entah mengapa aku sedang malas mendengar sindirannya.
Di sisi lain, aku malah semakin curiga dengan Ryou.
"Kau benar-benar penguntit, ya? Kalau soal permasalahan di dimensi lain, aku mengerti kita selalu bersama sampai aku—" Aku terdiam sejenak. Apa? Meninggal? Mati? Lenyap? Menghilang? "—pergi duluan …."
Aku terdiam sebentar, menelan ludah ketika sedikit mengingat duelku dengan Amon Garam yang sempat mencabut nyawaku. Namun, tidak lama kemudian, aku kembali melanjutkan ucapanku setelah sukses menata kembali pikiranku.
"Soal Manjoume mungkin kau mendengar dari Shou. Tetapi, masa iya soal Saiou dan Mizuchi juga diceritakan Shou?" tanyaku sembari memandang curiga pria besar di hadapanku.
"Tidak, aku yang bertanya pada Shou—"
"Berapa orang yang kautanya soal diriku, hah?" potongku.
"Entahlah." Ryou menjawab cuek, seakan tindakannya menguntitku bukanlah masalah besar—tepatnya, seakan ia tidak masalah mengakui tindakannya di hadapanku.
Aku menghela napas pasrah melihat wajah datar Ryou ketika menjawab.
Anggaplah "entahlah" itu maksudnya tidak terhitung ….
Aku sangat yakin saat itu juga bahwa Ryou bisa menjadi penguntit berbakat kalau ia mau.
"Yah, pokoknya, terima kasih. Kancing ini akan kusimpan. Kalau menyesal memberikannya padaku, silakan minta kembali kapan pun."
Niatku, sih, berkata begitu tanpa terlihat tertarik dengan barang pemberian Si Hell Kaiser. Hanya saja, aku tetap penasaran. Apa jangan-jangan yang ia beri barang palsu sementara yang orisinalnya masih terpasang manis di baju seragamnya dalam lemarinya.
Pada akhirnya, bukannya menyimpan kancing itu, aku malah menatapinya dengan seksama.
"Hmph—Phoenix, itu asli, tidak perlu kau tatapi begitu …."
Waktu aku mengangkat wajahku, Ryou sudah menutupi mulutnya sambil menundukkan wajahnya.
Ha? Ada apa dengannya?
"Oi, Ryou, kau tidak apa-apa? Mau kubawa ke Ayukawa Sensei?" tanyaku tenang dengan nada bicaraku yang biasa—walau sebenarnya aku agak khawatir ia ambruk … di atas kapalku ….
… Parah-parah, kalau malah muntah …. Jangan sampai!
Bukannya aku khawatir pada Ryou, aku hanya khawatir kalau harus membawanya kalau ia ambruk …. Maksudku, ia, 'kan besar—jauh lebih besar dariku. Kelihatannya berat kalau aku harus membawanya sampai ke bangunan bagian kesehatan …. Bisa-bisa, Ryou meninggal duluan sebelum kami sampai ke sana ….
Lama kelamaan, gelagat Ryou menormal. Tampaknya ia sudah baik-baik ….
Aku mengernyit heran.
Mengapa dia seperti menghapus sesuatu di ujung matanya dengan wajah puas begitu?
"Ekspresimu tadi itu …. Edo Phoenix memang tidak pernah gagal membuat orang lain tidak bosan, ya?" Ryou berkata dengan senyuman meledek.
Aku semakin bingung.
Ekspresi yang mana maksudnya? Memang aku berekspresi seperti apa?
"Kau ini sebenarnya senang tetapi tidak mau mengaku. Sebegitu sukanya pada Kaiser?"
Perlahan, aku merasa wajahku memanas.
Tunggu! Jadi, Ryou sedang membahas reaksiku saat mencurigai keisengannya yang mendadak memberiku kancing kehormatannya sebagai hadiah kelulusan?! Ia tadi menahan hasrat untuk menertawaiku?!
"Berisik! Jangan berkata seakan aku ini penggemar beratmu atau apa! Aku hanya curiga jangan-jangan kau memasang penyadap atau semacamnya di benda ini!" Aku berseru sembari menunjuk kancing pemberiannya.
Benar! Lagipula, ia sudah mengaku bahwa dirinya penguntit! Apa salahnya mencurigai seperti itu?!
"Terserah kau sajalah, Phoenix. Aku tampaknya tidak bisa menggaggumu lebih lama karena kau harus segera bersiap mengikuti pesta perpisahan malam ini." Ryou berucap sambil berdiri dari tempatnya.
Saat kulihat ke cangkinya, teh yang kusediakan untuknya sudah habis tidak bersisa.
"Sampai nanti, Phoenix. Omong-omong, aku akan menagih bayaran kuliku nanti."
Setelah menyeringai tipis, ia pergi meninggalkan kapalku. Entah aku harus bersyukur atau tidak mengtahui Si Pengganggu sudah pergi. Lalu, aku juga baru ingat ia meminta bayaran atas bantuannya memindahkan barang sebelum ini.
Mungkin hanya perasaanku, tetapi aku merasa sangat panas di tempat dudukku. Bergerak saja rasanya sulit. Sesuatu di dalam diriku sekan menahanku bergerak dan kurasa sesuatu itu sangat konyol.
Ini pasti karena Hell Kaiser sialan itu ….
"… Ternyata aku memang sebaiknya tidak dekat-dekat dengannya …."
~XxX~
"Edoooo! Selamat atas kelulusanmu!"
"Halo, Edo. Selamat atas kelulusanmu.
Baru saja aku sampai di ruangan di mana pesta perpisahan dilaksanakan, Saotome Rei sudah menghampiriku bersama Kenzan dan Fujiwara Yuusuke. Lagi-lagi, ucapan selamat lulus kuterima. Terlalu banyak ucapan selamat lulus hari ini. Padahal, dulu tidak ada yang pernah memberiku selamat selain Saiou bersaudara dan DD.
"Edoo! Kau dari mana saja don?!"
Sementara Kenzan mulai memarahiku, Fujiwara tertawa kering. Dugaanku, Kenzan sudah menyusahkan Fujiwara dengan ocehannya selama aku "menghilang".
"Terima kasih, Saotome, Fujiwara. Kenzan, aku hanya membereskan kapalku."
Kenzan menghentikan omelannya. Namun, tampak sekali ia masih tidak puas dengan jawabanku. Pasti ia sebenarnya masih ingin mengomel.
"Oh, ya, Edo. Sudah bertemu Marufuji?" Fujiwara bertanya.
Aku menoleh ke arah Fujiwara, kemudian terdiam sejenak.
Rupanya ia juga tahu soal keberadaan Ryou di pulau ini. Tidak heran, Ryou pasti menemuinya. Mereka, 'kan, akrab—atau harus kukatakan sempat akrab.
"Temanmu menyebalkan, Fujiwara."
Fujiwara mengrjap heran mendengar komentar singkatku.
Tanpa menunggu balasan, aku berjalan melewati ketiganya dengan cuek.
"Eh?! Tunggu, Edo!"
Kudengar langkah Kenzan yang menyusulku.
Omong-omong, kadang aku merasa aneh mengapa Kenzan terus menempeliku ketika aku datang ke akademi sejak Juudai dan teman-temannya lulus. Agak mencurigakan …. Apa mungkin ia butuh teman? Bukankah ada Saotome dan Fujiwara?
Aku berhenti di depan meja berisi berbagai minuman berwarna, kemudian mengambil yang salah satu gelas kaca berisi cairan biru dan meminumnya habis dalam sekali teguk. Setelah minum seteguk, aku menoleh ke arah Kenzan yang sudah berhasil menyusulku dan berdiri di belakangku.
"Kenzan, apa Juudai sempat mengatakan sesuatu padamu sebelum pergi berjelajah?" tanyaku curiga sembari meletakkan gelas kosong di tanganku kembali ke meja.
Kalau kecurigaanku benar, ini semua karena Juudai. Yah, bukannya aku ingin menuduh, sih.
Oh, lihat. Setelah aku bertanya, Kenzan menghela napas dan tampak bingung menjawab.
"Itu …. Aniki hanya berkata, 'Edo itu mudah kesepian, jadi temani ia, ya,' don."
Aku tersenyum kesal melihat Kenzan yang berusaha menirukan Juudai. Bukan, bukan masalah ia payah menirukan atau apa. Hanya saja, aku tersinggung dengan kata-kata Juudai yang disampaikan Kenzan.
Juudai pikir aku ini apa?! Maaf, deh, kalau aku terlihat seperti anak kesepian!
"Ia mengatakan itu setelah mendengar niatku mengejarmu dan membuat sifat sombongmu itu hilang don. Setelah Aniki mendukung, aku jadi makin semangat saurus!" Kenzan berseru sembari mengepalkan tangannya. Rasanya, api seakan sedang membawa di belakangnya.
Oh, jadi biang keroknya memang anak ini …. Lalu, apa maksudnya mengejar? Mau menjadikanku temannya? Tolong, aku bukan bocah kecil yang perlu banyak teman.
"Kenzan, jangan sampai itu didengar Marufuji, loh. Nanti dikira tantangan duel."
Fujiwara mendadak menghampiri kami bersama Saotome dengan-senyumnya yang biasa.
Mengapa pula Ryou dibawa-bawa? Membuatku tambah kesal saja.
"Eh, memang ada apa dengan Kaiser don?" Kenzan bertanya. Tampaknya ia sama denganku, heran.
"Ah, itu …. Um …."
Fujiwara tampaknya bingung harus menjawab apa. Sementara itu, Saotome menjentikkan jarinya, tampak mengerti.
"Aaah~! Benih-benih yang mulai tertanam sedang menampakkan tunasnya~! Aku dengar, sih, kalian sempat terjebak berdua di dimensi lain. Tidak kusangka, kalian sudah 'akrab', ya, sejak di sana~?"
Saotome menatapi dengan tatapan … berbahaya …? Aku merasa tatapannya tidak jauh dari tatapan para penggemar fanatikku … walau aku tahu Saotome bukan penggemar beratku atau apa ….
Fujiwara tertawa kering. Sementara aku dan Kenzan saling menatap heran.
Benih? Tunas? Apa pula maksudnya? Akrab? Aku dan Ryou? Kurasa akrab dalam kamusnya bukanlah akrab dalam kamusku …. Tidak bisa pakai bahasa yang mudah dipahami sedikit, ya?
"Saotome, sebenarnya apa saja yang kaupelajari selama 2 tahun di sini …?" Fujiwara bertanya dengan wajah prihatin.
"Hubungan terlarang itu indah." Saotome menjawab tanpa ragu dengan wajah bangga.
Kututupi wajahku dengan sebelah tangan, stres.
… Ampuni aku, Takdir …. Sepertinya aku tahu maksud Saotome ….
Sejak kapan juga aku dan Ryou terlihat HOMO?!
Mendadak, lampu ruangan menggelap. Suasana yang tadinya ramai menjadi agak sepi. Yang terdengar hanya sayup-sayup bisikan manusia. Aku mengerjap beberapa saat, kemudian mengerti apa yang mungkin terjadi.
Pasti Kepala Sekolah akan muncul tiba-tiba si tengah ruangan dan mengumumkan sesuatu. Apa pidato? Tidak, jangan. Aku tidak suka mendengar pidato.
Kebanyakan murid menggerombol di tengah ruangan, seakan mengelilingi sesuatu. Kurasa, Kepala Sekolah muncul di sana dan mengumumkan sesuatu. Tidak mungkin sebanyak itu murid yang menggerombol kalau ia berpidato.
Kuakui, suara Kepala Sekolah Samejima memang kencang. Hanya saja, karena murid-murid kembali berisik, isi suaranya tidak dapat terdengar sampai tempat kami.
"Ada apa di sana don?" Kenzan mengernyit. Ia tampaknya mulai gatal untuk menerobos kerumunan.
Saat kulihat, Fujiwara sedang tersenyum kecil—seakania tahu apa yang terjadi di tengah kerumunan.
"Fujiwara?"
Tahu motifku memanggilnya, Fujiwara menghela napas, kemudian menjelaskan—masih dengan senyumannya.
"Tahun ini diadakan pesta dansa di tengah acara perpisahan. Ini acara kejutan."
Pesta dansa? Oh, bagus. Bisa dijadikan alasan untuk keluar ruangan.
"Ditambah lagi, ada aturan yang membuat para pria jomblo yang agresif senang."
"Eh, apa don? Aturan apa don?" Kenzan tampaknya bersemangat bertanya karena rasa penasaran semata—mengingat ia bukan tipe pria jomblo yang agresif.
Pasti aturan menjijikkan.
"Aturannya—"
Sebelum Fujiwara sempat menjelaskan, mendadak, beberapa orang pria dan wanita berlari ke arah kami.
"Eh, ada apa ini?" Saotome mengerjap heran.
Saotome dan Kenzan tampak heran. Sementara itu, wajah Fujiwara memucat.
"Gawat …. Semua … CEPAT KABUR!"
Refleks, kakiku membentangkan jarak berkali-kali, membawaku kabur menjauhi para murid yang mengejar. Aku terpencar dari ketiga orang tadi.
Tunggu …. MENGAPA KEBANYAKAN DARI MEREKA MENGEJARKU?!
"UWAH!"
Suara Fujiwara, pasti ia tertangkap! Walau aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau sampai tertangkap, sepertinya itu bukan sesuatu yang bagus …!
Sembari berlari di ruangan luas ini, aku sadar, terdengar beberapa kali suara duel disk aktif dan beberapa orang terlihat berduel.
Tunggu! Bukannya ini jam pesta dansa?!
"EDO! TUNGGU!"
"EDO-SAMAAA!"
"EDO-SAN! JANGAN KABUR!"
Ini pesta dansa, ajang kompetisi duel, atau acara kejar-kejaran?! FUJIWARAAA!
Berusaha tenang, aku menoleh ke kanan kiri sembari berlari, mencari celah untuk meloloskan diri. Merasa tidak akan bisa lolos kalau masih di dalam ruangan, aku pun berlari ke luar.
"EDOOOOO! JANGAN KELUAR!"
"GYAH! KALIAN PERGI SANA! JANGAN MENGHALANGIKU MENGEJAR EDO!"
"EDO-SAAAAN!"
"EDO-SAMA HANYA PUNYAKU!" Ini bukannya suara pria?!
Seperti dugaan, walau sudah keluar ruangan, mereka tetap berusaha mengejar—dan aku benar-benar penasaran alasan mereka mengejarku. Masa untuk mengajak berdansa? Atau duel?
Aku buru-buru berlari sedikit cepat begitu melihat belokan, berharap ada tempat bersembunyi setelah berbelok dan mata orang-orang di belakang termanipulasi kegelapan.
Begitu berbelok, aku harus berteriak senang dalam hati karena melihat jalan lain yang agak terang—kurasa itu jalan keluar bangunan.
"EDO-SAN?!"
"MANA EDO-SAMA?!"
"PASTI EDO KELUAR BANGUNAN!"
Dalam hati, aku tertawa senang mendengar teriakan-teriakan dan langkah kaki yang menandakan ke mana perginya pengejar-pengejarku.
Sayang sekali, aku memang melihat jalan keluar bangunan. Namun, kurasa semua orang akan mudah menebak jika aku berbelok ke jalan itu. Jadi, aku memilih untuk bersembunyi di balik ruangan kelas yang tidak jauh dari sana.
Setelah merasa di luar sepi, aku mengintip. Yakin di luar tidak ada orang, aku berlari kembali di koridor, membawa kaki-kakiku menuju ke satu tempat yang sejak tadi mendatangi pikiranku selama bersembunyi.
Aku yakin jarang ada orang selain duo idiot yang sudah lulus itu yang suka datang ke sana ….
~XxX~
Jujur saja, aku suka angin. Hanya saja, aku lebih suka menikmati angin dalam ketenangan, maka itu aku tidak pernah menerima ajakan Juudai yang sering ribut untuk singgah di … atap ….
Ya, atap. Tempat yang sangat jarang didatangi. Orang-orang lebih memilih berada di tempat yang lebih rendah. Kalau aku, aku sudah cukup puas dengan kapalku. Untungnya aku tidak jadi buta arah ke atap hanya karena terlalu sering berada di kapal.
Ini tempat sembunyi yang ideal kurasa—
—sampai pandanganku akan luasnya hutan pulau Duel Academia mendadak lenyap … tergantikan dengan kegelapan ….
Aku menghela napas pendek. Aku sangat yakin siapa pun yang menghalangi pandanganku sekarang, ia bukan orang-orang yang mengejarku tadi. Mereka terlalu brutal untuk hanya sekadar menutup mataku begini.
"Siapa ini?" tanyaku penuh selidik.
Tidak ada jawaba walau aku telah menunggu hingga sepuluh detik.
Merasa tidak akan dijawab, aku menyentuh tangan yang menutupi kedua mataku, berusaha menyingkirkan tangan besar yang menutup mataku niat tidak niat itu.
Sayang, sepertinya orang di belakangku terlalu iseng untuk mengikuti kemauanku.
"Fujiwara?" Refleks, aku menyebut nama Fujiwara, berpikir mungkin orang itu sudah berhasil kabur dan sekarang mencoba mengerjaiku.
Tangan yang menutup kedua mataku seakan semakin kaku. Berarti aku salah? Kalau begitu, siapa? Kenzan terlalu heboh untuk bisa sesunyi ini, Saotome apalagi. Orang lainkah?
Belum sempat aku menjawab lagi, lagu lembut mulai mengalun, membuatku mengernyit.
Apa mungkin itu lagu untuk pesta dansa yang diceritakan Fujiwara tadi?
Terlalu sibuk memikirkan musik yang mendadak mengalun, aku terlambat sadar bahwa orang tadi sudah menjauhkan tangannya dari penglihatanku. Baru aku mau menoleh, ingin melihat sosok yang ada bersamaku, sesuatu kembali menghalangi pandanganku.
Kali ini bukan tangan. Sesuatu yang agak tebal dan lumayan lemas …. Kain?
Ah, sepertinya iya. Orang itu mengikat sesuatu di belakang kepalaku, karena itu aku yakin ini memang kain.
Dengan mata tertutup, entah mengapa tubuhku menjadi kaku mendadak. Rasanya … sulit bergerak …. Aneh …. Padahal aku tidak pernah begini kalau berjalan di tengah malamnya kota ….
Ketegangan mulai menghampiri diriku.
Bayangan soal malam kematian ayah berputar, begitu pula saat kematianku yang pertama setelah kalah dari Amon. Tubuh besar yang tergeletak di hadapanku …. Gua gelap yang menjadi tempat kematianku …. Echo yang menghilang karena aku gagal menyelamatkannya …. Api yang membara di dalam ruangan kapal …. Semua kejadian di tengah kegelapan berputar dan tercampur dalam otakku …. Hal-hal yang bahkan tidak pernah membuatku secemas ini ketika hanya sekadar membicarakannya dengan orang lain ….
… Takut ….
Aku tersentak saat sesuatu menarik tangan kananku sampai diriku berdiri. Setelah itu, bagian belakang tubuhku dipeluk sedikit erat. Kepalaku perlu waktu untuk memisahkan bayanganku dan apa yang benar-benar nyata karena aku tidak dapat melihat apa pun saat itu.
Mendadak, tubuhku diajak berdansa oleh pelaku di hadapanku yang sama sekali tidak dapat kulihat sosoknya. Karena kaget, tidak segaja tangan kiriku, mencengkram bahu orang di hadapaku. Dari sana aku sadar, ia bertubuh besar dan lebih tinggi dariku. Maksudku, jauh lebih tinggi … sampai aku agak kesulitan meraih bahunya ….
Pria … sepertinya …. Siapa?
Aku hanya diam dan berusaha mengikuti ritme pria di hadapanku selama berdansa pelan. Angin malam yang semakin terasa saat berdansa membuat pikiranku tetap bertahan pada kenyataan bahwa aku sedang berada di atap—walau diriku tetap saja agak gelisah karena tidak dapat melihat apa pun. Pikiranku agak tidak tenang karena tidak bisa melihat cahaya sedikit pun ….
Ah, mungkin bukan angin. Yang tetap mempertahankanku di realita … mungkin bukan angin, melainkan … sentuhan tangan pria ini di tanganku …. Mungkin ….
… Rasanya menenangkan ….
Diam-diam, aku menikmati dansa kami yang penuh keheningan.
Dalam hati, aku penasaran. Apa mau pria itu sebenarnya? Jujur saja, ini benar-benar mencurigakan. Mendadak datang dan menutup mataku. Aneh jika disimpulkan pra ini hanya ingin mengajak berdansa tanpa ingin membeberkan identitas karena malu. Gerak tubuhnya sama sekali bukan gerakan pria pemalu.
Tegas juga lembut. Aku juga sepertinya tidak yakin pria ini punya intensi buruk terhadapku.
Siapa sebenarnya ia? Salah satu penggemarku? Itu mungkin saja ….
… Tunggu ….
Tubuh besar, jauh lebih tinggi dariku, tegas …, dan menenangkan ….
Mulutku bergetar, membayangkan satu nama dalam benakku.
"… Ryou?" Refleks, aku menggumamkan nama pria yang muncul di pikiranku itu.
Seakan mendengar bisikanku, pria itu tersentak. Lama-lama, gerakannya terhenti. Aku pun ikut berhenti.
Ada apa dengannya?
Pegangan pada tangan kanan dan belakang tubuhku menghilang. Kemudian, aku merasakan sesuatu menyentuh belakang kepalaku, melakukan sesutu pada ikatan penutup mataku.
"Itu lancang, bukan?" Bersamaan dengan terlepasnya kain itu dari kepalaku, pria itu bicara. Aku mengernyit heran.
Setelah kain itu benar-benar tersingkir dari penglihatanku, aku mengerjap kaget begitu memandangi pria yang kembali berjalan ke hadapanku itu dari belakangku.
"Seharusnya kau memanggilku dengan sebutan 'senpai', bukan?"
… Ryou, … bukan ….
Seragam putih-biru yang seharsnya hanya dipakai murid-murid jenius dari Duel Academia. Senyum tipis yang di benakku sangat bukan milik orang di depanku sekali.
… Haruskah kusebut Kaiser Ryou …?
"Perlu hampir sampai lagu pertama habis untukmu menebak siapa yang bersamamu, ya? Rupanya, kau tidak sejenius yang terlihat."
Kata-kata Ryou seharusnya menyindirku, namun wajah setengah datarnya tidak bisa membuatku berpikir begitu karena ia biasanya selalu memasang seringai menyrbalkan kalau sedang menyindirku. Walau memang tidak dapat dipungkiri kalau aku perlu waktu agak lama untuk berpikir yang bersama aku adalah Ryou karena terbawa dansa, sih …. Dengar saja, lagu sekarang sudah habis dan ini belum sampai semenit setelah aku menebak identitas pelaku yang telah menutup mataku itu. Artinya, aku sudah berdansa cukup lama, bukan?
"… Ryou, ada apa dengan bajumu …?" Aku bertanya sambil melihat penampilannya dari atas sampai bawah.
Berubah drastis dari tadi siang ….
"Anggap saja ini hadiah untukmu. Lalu, bukankah sudah kukatakan untuk memanggilku 'senpai'?" Ryou terkekeh kecil, membuatku kesal.
Ia mau bermain denganku, ya? Atau berencana menghinaku? Menyebalkan ….
"Baik, baik, Senpai. Kuperingatkan saja sekarang, ya. Jangan main-main denganku." Aku memandang tajam Ryou.
Mengingat tabiat Ryou, aku sangat yakin ia sedang menyindirku dengan penampilannya sekarang.
Sesaat kami hening. Bersaman dengan itu, lagu pertama pesta dansa selesai.
Angin malam berhembus sedikit kencang. Aku masih memandang Ryou tajam agak lama, menanti reaksi menyebalkannya yang biasa.
Namun, setelah itu, Ryou malah tersenyum.
Begitu lagu lembut lainnya kembali mengalun, ia berjalan ke arahku, kemudian menarik lembut tangan kananku dengan tangan kirinya, membuatku agak kaget dan malah semain heran dengan kelakuannya.
Ada apa dengan Si Ryou ini, sih?!
"Bukannya kau lebih suka denganku?"
Aku mengerjap bingung, heran dengan kata-kata Ryou. Sementara diriku sibuk berkutat dengan pikiranku sendiri, Ryou menarikku dalam posisi dansa. Saat aku sadar, kami sedang tengah berdansa.
"Ry—"
"Ia selalu berpikir, bagaimana jika Marufuji Ryou dan Edo Phoenix lebih saling mengenal saat ia adalah aku?"
Ryou terdiam sejenak setelah itu, masih dengan senyuman lembutnya, senyuman Kaiser yang mampu membuatku tercengang heran—atau kagum? Senyum yang berbeda jauh dengan seringaian menyebalkan Hell Kaiser.
Setelah sejenak mencerna ucapan Ryou, aku jadi paham. Ryou terus mengulang 'aku' dan 'ia'. Mungkin, masudnya adalah Kaiser dan Hell Kaiser. Mengapa juga Ryou harus berpikir hal-hal remeh seperti itu? Seperti bukan Hell Kaiser saja.
"Kautahu mengapa ia berpikir seperti itu?"
Aku tercengang sejenak. Ryou … seakan bisa membaca pikiranku …. Tepatnya, ia seakan yakin bahwa aku merasa sangat mengetahui soal dirinya—sebagai Hell Kaiser tentunya.
Setelahnya, aku menggeleng.
Kaki kami terus bergerak tanpa henti, mengikuti alunan lagu yang terputar. Sementara itu, senyuman Ryou terlihat semakin jelas.
"Bodoh mungkin. Tetapi, alasannya sangat sederhana."
Aku menatap penasaran ke arah Ryou—sekaligus menatap bingung karena masih tidak mengerti apa yang sebenarnya dilakukan Ryou dengan bersikap menjadi dirinya yang lama. Mungkin di matanya, aku terlihat seperti anak-anak yang bingung, karena itu ia sempat terkekeh kecil.
"Ia hanya berpikir, mungkin akan lebih mudah membuatmu tertarik dengan menjadi dirinya yang berada di tengah cahaya. Tetapi, pada akhirnya, ia tetap bersikap berengsek karena takut menghancurkan apa yang ada."
Sepasang samuderaku melebar tidak percaya, kaget kata "tertarik" keluar dalam alasan yang disampaikan Ryou. Sementara itu, orang yang membuatku kaget malah masih tersenyum kalem seakan tidak mengatakan sesuatu yang aneh.
"Edo." Aku tersentak kaget mendengar panggilan Ryou. Ia bahkan tidak memanggilku dengan nama keluargaku, apa ia benar-benar orang yang sama dengan Hell Kaiser yang kukenal? "Apa kaupercaya cinta pada pandangan pertama?"
Tidak tahu harus menjawab apa, aku hanya memandang sepasang manik teal Ryou sebelum akhirnya memutuskan untuk menggeleng pelan.
"Heh …." Ryou menunduk sedikit, membuatku semakin jelas melihat wajahnya. "Kalau begitu, mungkin kau ini fenomena aneh."
Kukernyitkan kedua alisku karena heran. Mengapa mendadak ia berkata begitu? Kalau yang mengucapkannya adalah sosok Hell Kaiser-nya, pasti aku merasa ia sedang menghinaku. Sayangnya, untukku, Kaiser adalah sosok yang lebih sulit dibaca—walau aku tahu yang di depanku ini hanya Hell Kaiser yang berusaha mengaktifkan sisi lamanya. Mungkin … karena aku lebih terbiasa dengan sisi kasar Ryou ….
"Ingat duel pertama kita?" tanyanya.
Mendengar pertanyaan itu, aku merasa agak lega dalam hati karena akhirnya ia kembali memakai subjek dengan mengikutsertakan dirinya.
Aku mengangguk saja. Entah mengapa, keinginanku untuk bicara belum keluar.
"Saat aku mendengar namamu yang menjadi lawanku saat itu, aku merasa tergelitik. Jujur saja, itu pertama kalinya aku tahu soal keberadaan Pro Duelist bernama Edo Phoenix."
Senyuman kesal kusunggingkan. Apa maksudnya aku kurang terkenal, hah? Atau memang ia yang terlalu sibuk belajar sampai tidak mengikut perkembangan dunia Liga Pro saat masih di Duel Academia? Dasar ambigu.
"Saat itu, aku penasaran. Seperti apa Edo Phoenix ini? Aku sangat menantikan hari esok, di mana kita akan berhadapan di arena. Namun, di luar rencana, kita malah bertemu duluan." Ia berucap sambil terkekeh pelan.
Aku harus memutar otakku ketika ia berkata kami bertemu sebelum duel yang direncanakan. Kapan? Di mana? Rasanya aku tidak ingat. Seingatku, kami bertemu pertama kali di arena duel.
Setelah itu, aku baru ingat tentang kejadian di mana aku "menghukum" seorang kriminal di kota. sehari sebelum duel kami.
Pria yang di tempat kejadian itu jangan-jangan … Ryou …? Karena kejadiannya malam hari di gang yang kurang pencahayaan, aku kurang bisa melihat sosok yang menolong penjahat yang "kubantai". Belum lagi, aku berdiri di atas gedung. Rupanya itu Ryou …. Dan lagi, ia sadar bahwa aku pelaku yang menghabisi penjahat itu. Hebat ….
Lagu yang mengiringi langkah kami sudah akan mencapai bagian akhirnya.
"Mungkin yang ini terdengar aneh, namun, apa kaupercaya jika kukatakan aku bersyukur akan kekalahanku darimu?"
Aku hanya diam, sama sekali tidak berniat menjawab.
Ucapan Ryou semakin lama semakin aneh …. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya ingin ia katakan …. Mana ada orang yang bersyukur atas kekalahan.
"Diam sekali malam ini. Apa kau ini putri duyung yang datang ke sini untuk mencariku, ya?"
Aku berkedut kesal ketika Ryou terkekeh senang dengan candaannya.
"Tidak lucu, Ryou Senpai …."
Memangnya karena siapa aku jadi banyak diam begini? Dasar makhluk peka sok tidak peka …!
Saat lagu hampir selesai, Ryou menghentikan dansa kami, lalu melepasku. Sejujurnya, aku merasa sedikit … aneh … ketika ia menjauh dariku.
"Karena tampaknya kau tidak tahu, akan kuberitahu … aturan pesta dansa malam ini …."
Aku mengerjap beberapa kali. Oh, benar juga. Ada aturan khusus untuk pesta dansa yang belum sempat diberitahukan Fujiwara.
"Satu, tangkaplah kalau ingin mengajak." Ryou mengangkat jari telunjuk tangan kanannya dan mengatupkan jarinya yang lain.
Aku tertawa kering.
Tidak heran sebelum ini Fujiwara menyuruhku, Kenzan, dan Saotome kabur. Belum lagi, aku sempat dikejar-kejar banyak orang tadi. Mungkin mereka penggemarku—dan harus kucatat bahwa ada penggemar pria yang sampai ingin berdansa denganku.
Walau malas mengakui, mungkin bisa dikatakan kalau Ryou memang menangkapku malam ini ….
"Dua, kalau ditolak, duel penentuan. Kalau penangkap menang, harus jadi pasangan dansa selama satu lagu. Kalau yang ditangkap menang, penangkap harus bersabar selama satu lagu jika ingin mengajak orang yang sama. Duel pakai sistem limit waktu yang melihat dari life point jika waktu habis." Ryou mengangkat jari tengahnya.
Pantas tadi banyak yang duel di bawah. Rupanya ada banyak yang menolak. Sayang sekali aku tidak bisa duel untuk menolak walau mungkin mau karena duel disk-ku masih di bawah, kuletakkan di meja penitipan …. Pasti meja itu sengaja diletakkan supaya banyak yang tidak bisa menolak ajakan dansa …. Jebakan pintar. Memang tidak ada aturan duel disk harus dititipkan, sih.
Ini pelajaran supaya aku tidak lagi meninggalkan duel disk-ku sepertinya.
Lalu, tadi juga ada jeda agak lama sejak aku dikejar sampai aku mendengar lagu pertama diputar. Begitu juga jeda dari lagu pertama ke lagu kedua. Mungkin itu waktu untuk kejar-kejaran dan duel. Selain itu, tebakanku, lagu diputar sampai ke seluruh pulau.
"Terakhir, tinggalkan kesan baik untuk pasanganmu." Ryou mengangkat jari manisnya sembil tersenyum humor seakan menertawai aturan itu sendiri.
Aku tersenyum kesal.
Yang terakhir paling aneh …. Benar-benar khas Kepala Sekolah sekali …. Tidak heran Ryou bahkan sampai terlihat ingin menertawai aturan itu.
Setelah itu, lagu kedua selesai mengalun. Angin malam kembali mendominasi latar belakang pendengaranku.
"Tampaknya, aku belum meninggalkan kesan baik, ya, untuk Putri Bisu satu ini."
Aku tersenyum mengejek
Memang, benar sekali. Tidak ada kesan baik yang pernah Ryou tinggalkan untukku dari hari pertama kami bertemu dulu sampai dansa ini selesai. Lagipula, apa ia tidak bisa menghentikan panggilan itu? Aku ini laki-laki, bukan wanita!
Ryou maju selangkah mendekatiku, kemudian mendekatkan wajahnya di telingaku. Agak kaget, aku sempat mundur sedikit, namun pria menyebalkan itu malah mendorong punggungku sehingga aku mendekatinya.
Sepasang safirku melebar saat mendengar suara Ryou berkumandang kelas di telingaku, membisikkan deretan kata yang membuatku bingung harus bereaksi seperti apa.
Setelahnya, Ryou melepaskanku. Saat kukira ia akan menjauh dariku, aku malah merasakan sebuah tangan menyingkirkan poniku ke belakang dan sesuatu menempel pada keningku.
… Apa yang terjadi …?
Wajahku memanas, bahkan sebelum aku mengerti apa yang sedang terjadi. Tanganku yang bergetar perlahan mengepal, seakan tahu apa yang seharusnya kulakukan saat itu, tetapi entah mengapa tidak bisa kulakukan.
Ryou sialan …. Ia … ia baru saja mencium keningku …?!
Baru saja aku akan meninjunya, Ryou sudah menjauh cepat sambil menyeringai senang.
"Hadiah Anda selesai, Tensai-kun. Sampai bertemu di Liga Pro."
Ryou berjalan meninggalkanku sementara aku buru-buru memegangi keningku dan memandangi punggungnya seakan ingin membunuhnya.
"Keparat, Ryou!"
Kudengar kekehan Ryou. Sesaat kemudian, ia berhenti, kemudian menoleh sejenak.
"Omong-omong, aku suka wajahmu, Phoenix. Kuanggap itu bayaran atas perbudakan mendadak tadi siang."
Tanpa perlu berpikir lagi, aku tahu apa maksud Ryou. Wajahku refleks semakin panas mendengar ucapannya dan tanganku refleks semakin mengepal kesal.
"Candaanmu tidak lucu …!"
Tawa Ryou semakin keras, kemudian ia kembali berjalan menuruni atap.
"Pertemuan selanjutnya, panggil aku 'senpai' lagi, ya."
Mati saja! Siapa juga yang akan memanggilnya begitu?! Aku harus mencatat kalau yang namanya Ryou memang menyebalkan! Ia tidak akan berbuat baik tanpa keuntungan tersendiri! Ini terakhir kalinya aku sudi dipermalukan begini olehnya!
Aku terduduk lemas, masih sambil memegangi keningku. Tenagaku untuk berdiri tegap seakan dibawa pergi oleh Ryou dalam sekejap begitu ia menghilang dari pandanganku.
"Mati saja kau, Marufuji Ryou …." Aku bergumam, diam-diam masih merasakan wajahku memanas.
Dari semua hadiah kelulusan yang kuterima, aku dengan sangat yakin akan mengatakan bahwa hadiah darinyalah yang paling aneh.
… Lalu, malam itu juga, aku sadar sesuatu. Benar kata Ryou, aku mungkin lebih tertarik pada Kaiser Marufuji Ryou. Namun, tidak bisa dipungkiri, aku lebih dapat menyesuaikan diri dengan Hell Kaiser Marufuji Ryou mau bagaimanapun—betapa pun aku ingin membunuhnya saat ia membuatku kesal atau merasa dipermalukan. Kemudian, begitu sadar …, aku sudah tidak dapat melepaskan pandanganku dari kesuluruhan diri Marufuji Ryou ….
… Di mata semua orang, Yuuki Juudai mungkin adalah orang yang mengubah pandanganku dan mungkin orang yang terlihat lebih berpengaruh untukku, namun aku sadar sesuatu …. Marufuji Ryoulah orang yang memberi warna lebih banyak pada duniaku diam-diam…. Bisa dikatakan, aku seakan buram tanpanya ….
Memalukan mungkin, ketika semua orang berpikir aku lebih akrab dengan Juudai, tetapi sejujurnya, Ryoulah orang pertama yang bisa kupercayai lagi setelah aku trauma akan kejadian DD, Saiou, dan Cahaya Kehancuran. Padahal aku bisa dikatakan adalah orang yang membuat Ryou hancur.
Bukan maksudku Ryou orang terpenting. Bukan begitu. Aku yakin orang terpenting dalam hidupku adalah ayah, dan bahkan Ryou pasti tidak dapat menyamai posisi ayah …, 'kan …?
Ya, ampun. Lebih baik kuhentikan. Ini semua memalukan …! Demi Osiris, kenapa kata-kataku menjadi sepicisan itu?!
Aku menghela napas, berusaha mengatur emosiku. Setelahnya, aku mencari posisi yang nyaman untuk duduk sembari mendengar lagu dansa yang entah sejak kapan sudah diputar lagi.
Mendengar bisikan Ryou sebelum ini, aku jadi berpikir. Apa mungkin … Hell Kaiser selama ini mendendam padaku—entah ia sadar atau tidak? Apa Ryou benar-benar menjadi Hell Kaiser karenaku?
Entah mengapa, aku menjadi tegang sendiri membayangkannya …. Apa ini mungkin … rasa bersalah …? Rasanya bukan …. Entah mengapa, aku malah bisa dibilang agak "sedikit" puas mengingat sosok Hell Kaiser. Apa karena aku meninggalkan jejak dalam dirinya setelah duel kami?
"Edo!"
Aku mengerjap sejenak mendengar suara yang memanggilku. Pikiranku yang belum selesai dan semakin lama semakin aneh buyar saat itu juga. Kutolehkan kepalaku ke tangga atap, memeriksa siapa yang memanggil namaku. Di sana, Fujiwara sedang berjalan ke arahku.
"Ya, ampun! Enak sekali, bersembunyi tanpa mengajakku! Ayo, turun! Tidak baik berada di tempat gelap begini!"
Aku tertawa kering dalam hati. Pasti karena ia punya ingatan ketika Darkness mengintip jiwaku, Fujiwara jadi lebih tahu soal keadaan anehku sewaktu aku berada di tempat yang benar-benar gelap. Mungkin aku harus tanya ia nanti.
"Aku ke sana."
Kutumpukan kekuatan tanganku di lantai atap untuk mengangkat tubuhku. Setelah sukses berdiri—walau tidak terlalu tegap—aku berjalan ke arah Fujiwara.
Begitu aku berada di dekat Fujiwara, pria berambut bak rumput laut itu tidak langsung berjalan turun. Ia malah bengong memandangiku.
Apa ada yang aneh?
"Edo … wajahmu merah … sepertinya …. Kalau sedang demam, aku bisa membawamu ke ruang kesekatan."
Aku tersentak kaget. Buru-buru kupegang wajahku.
Sial, masih panas …. Aku harus berkata apa pada Fujiwara?!
" Fujiwara, aku tidak demam …! Aku …."
Otakku berputar, apa yang harus kukatakan tanpa membuat Fujiwara berpikir macam-macam? Ah, sial! Mengapa otakku malah sulit diajak bekerja di saat seperti ini?!
"Ah, begitu rupanya …."
Aku mengerjap, kemudian menatap heran Fujiwara yang sedang tersenyum misterius.
"Aah …. Enak sekali, ya. Kalian benar-benar manusia yang tidak peduli pandangan masyarakat." Fujiwara berkata sambil berjalan turun meninggalkanku.
Bingung dengan ucapannya, aku buru-buru menyusul di belakangnya. Baru saja aku akan bertanya, Fujiwara sudah kembali membuka mulutnya.
"Tadi aku bertemu seseorang yang memberitahu di mana posisimu."
Aku sempat kaget mendengar perkataan Fujiwara, namun kemudian langsung tersenyum kecut. Pasti Ryou.
"Ia mengancamku. Jangan mengejar burung incarannya katanya. Aku tidak mengerti, sih, mengapa ia memperingatiku." Fujiwara melirik ke arahku sambil tersenyum menggoda.
Kuangkat sebelah sisi bibirku, berusaha tersenyum. Fujiwara tertawa kecil.
Tampaknya benar dugaanku …. Ryou …, awas saja …. Kubunuh kalau bertemu lagi ….
Siapa yang ia panggil burung incaran, hah?! Ia pikir aku hewan?!
Kalau bertemu lagi, aku akan menyuruhnya memperbaiki kosakatanya agar tidak orang lain yang salah paham! Mengapa ia tidak bisa menyusun kata-kata sedikt bagus, sih, kalau hanya ingin mengajakku bersahabat?!
.
Tanpa sadar, wajahku memerah lagi setelah itu. Kalau kupikir-pikir lagi, mungkin memang aku dan Marufuji Ryou tidak akan pernah cocok.
Kalau begitu …, apa yang membuat ketertarikanku meningkat dan jantungku berdegup kencang kalau berada di dekat Marufuji Ryou? Rasa persahabatan? Mungkin … bukan, ya …?
Lagipula aku yakin, aku dan Ryou itu bukan tipe yang bisa bersahabat. Kalau yang lain, … aku tidak tahu …. Sama sekali bukan urusanku ….
.
.
"Selanjutnya, tidak akan ada Kaiser ataupun Hell Kaiser. Hanya Marufuji Ryou. Sampai saat itu datang, persiapkan dirimu. Aku akan berhenti mengejarmu tanpa arah, karena Edo Phoenix seharusnya kutangkap."
.
.
.
.
.
Side Note(s):
Tensai-kun: Kalau di-translate seenaknya, artinya "Jenius" atau "Bocah Jenius". "Tensai" artinya Jenius dan "-kun" itu panggilan yang diletakkan di belakang nama lelaki yang lebih muda atau sekadar untuk menunjukkan keformalitasan yang bisa juga dipakai untuk wanita.
Sensei: Panggilan untuk orang-orang yang ahli pada bidangnya, seperti guru atau dokter.
Aniki: Panggilan untuk kakak lelaki tertua.
-sama: Panggilan yang diletakkan di belakang nama orang berposisi tinggi atau yang dihormati
-san: Panggilan yang diletakkan di belakang nama orang yang berposisi lebih tinggi atau untuk menunjukkan kesopanan.
Senpai: Panggilan untuk orang yang levelnya lebih di atas, seperti kakak kelas.
.
.
A/N:
Halo, selamat kembali dari dunia penuh kepicisan Edo Phoenix. HAHAHAHA.
Edo itu terlihat terlalu dewasa untuk umurnya—yang saya yakin di bawah Juudai. Karena itu, tidak salah kalau saya simpulkan ia mungkin tidak pernah mengalami masa remaja. Di sini saya mempersembahkan masa remaja yang terlambat untuknya.
Ah, walau saya rasa saya bisa dibunuh si protagonis cerita ini, sih, setelah ini ….
Rasanya lucu kalau membayangkan Edo mendadak jadi galau bak gadis-gadis remaja. Apalagi wajahnya memerah. Minta dicubit rasanya. Yah, seenggaknya dikau sempat dapat banyak hadiah atas ganti dipermalukan, Edo. Bersyukurlah. Di sini saja lulusan cuma lewat teks di laya HP saja kalau orangnya jauh di seberang Pulau Sumatera sana sementara kamunya di Pulau Jawa. Pulau sama saja kadang masih pakai teks di layar HP. :')
Ah, Ryou, maafkan saya yang membuat dirimu seakan cemburu gitu seakan diri sendiri. Mau gimana? Jujur saja, deh. Kaiser itu memang lebih beribawa. Yah, walau saya merasa Edo ke mana-mana tetap lebih bisa bergaul sama Hell Kaiser pasti. Istilahnya, Kaiser itu hanya sosok buat dikagumi aja. Manusia itu ke mana-mana pasti akan penasaran sama orang lain yang sosoknya agak jauh dan berbeda darinya, 'kan? Edo bukan alien, 'kan? Hahaha.
Omong-omong, untuk yang nontonnya versi Jepang dan sudah menyelesaikan season 4. Pasti kalian tahu kalau Ryou gilanya sudah mulai sembuh di sana. Nah, catatan kecil buat yang bingung, kok, dia masih suka kumat gila sama isengnya di sini. Itu hanya berlaku di depan Edo. Bisa dikatakan Ryou hanya takut—ehem—tidak mau jadi canggung mendadak karena menunjukkan dirinya yang sudah tobat sedikit di depan Edo. Maknya terakhir dia bilang selanjutnya tidak ada Kaiser atau Hell Kaiser, tapi Marufuji Ryou yang sudah waras. MAAF, RYOU. BUKANNYA SELAMA INI DIRIMU TIDAK WARAS, KOK. MAAF! ANDA ITU ORANG PALING WARAS DAN DEWASA DARI SEMUA KARAKTER UTAMA, KOK!
Fujiwara Yuusuke tersayang yang sempat dikira cewek sama adik cowok saya, maafkan kenistaan pengarang yang membuat Anda hampir saja dibunuh. MAAFKAN. SAYA TAHU DIRIMU HANYA UNTUK FUBUKI, TETAPI TANGAN INI GATAL RASANYA SETELAH MEMBACA FANFIKSI FUJIWARA YUUSUKE X EDO PHOENIX. MAAF. MAAFKAAAAAN!
Nah, untuk Kenzan, untungnya dia selamat. Bisa dibilang Kenzan itu polos, 'kan? Kenzan itu Cuma gemes saja untuk narik Edo ke mana-mana dan mengomeli Edo karena kesombongannya, soalnya itu buat Edo jadi dipandang jelek sama orang-orang. Bisa dibilang, radar pendeteksi anak kesepiannya aktif diam-diam saat melihat Edo. Ah~! Sahabat yang baik~!
Ah, dan, maaf …. Karena di mata saya Rei punya potensi untuk jadi fujoshi, saya jadi, … gitu, deh ….
Omong-omong, soal penyakit Ryou yang sampai bikin dia diwanti-wanti jangan duel waktu itu. Menurut imajinasi saya, itu penyakit harusnya bisa diringanin, makanya di sini saya buat Ryou kembali ke Liga Pro. Tolong dicatat dia sudah tidak pakai deck-nya yang lama. Bisa mati beneran kalau itu deck dipakai terus. Seme Edo bisa hilang satu. #Salah
Aduh, udah picisan habis, panjang sekali, ya, ceritanya. Maaf. Kebablasan mengetik. Saya sendiri cek ulangnya sampai kewalahan. 30-an halaman Microsoft Word, tolong. Tadinya mau sampai bagian sebelum pesta saja, tetapi pengarang tergelitik buat lanjutin—untuk memalukan Edo lebih jauh maksudnya. *Ketawa setan*
Jadi, maaf, ya, kalau ada typo terlewat, soalnya HP saya sudah agak tua untuk mengetik dan saya mengetiknya di HP. Maaf sebesar-besarnya. Kalau ada typo, mungkin Edo yang senang kali, ya. Haha ….
Terima kasih sudah membaca sampai selesai. Saya benar-benar mengapresiasi usaha kalian yang meluangkan waktu dan membaca fanfiksi ini walau tidak meninggalkan jejak sekalipun. Bagaimanapun, saya membuat fanfiksi ini untuk memberi hadian kelulusan pada seseorang dan memenuhi kepuasan saya sendiri, bukan untuk dapat banyak jejak.
Untuk Kakanda, selamat karena dirimu sudah LULUS. Semoga dirimu puas dengan fanfiksi picisan di atas. Tidak puas? Protes ke Ryou karena kurang greget mempermalukan permaisurinya. Dari Dindamu yang masih menunggu tanggal 13 Mei 2016. :'3