Disclaimer : Kuroko No Basket segala versi adalah milik Fujimaki Tadatoshi. AoKaga milik kita bersama. Asek asek Joss!

a/n : fiksi ini diketik secara waras & sadar untuk memeriahkan tanggal keramat 10 Mei sebagai hari jadi Aokaga. Dibeta oleh Kirio yang sekarang ganti akun jadi Holyverde

.

OVER FREEDAY

A fiction by Nezumi

.

Saat memantapkan hati untuk masuk kepolisian dulu, Aomine pikir itu adalah hal yang teramat sangat keren. Referensinya adalah film Bad Boys yang dimainkan Will Smith, ia merasa cocok apalagi kulitnya juga gelap. Borgol, pistol, rompi anti peluru, pengejaran, tembak-tembakan dan hal lainnya ternyata cuma imajinasi. Nyatanya sekarang, Jumat malam, ia masih berkutat di belakang meja dengan segerombolan remaja penuh bilur di depannya.

"Mereka yang mulai." Preman berambut gondrong bersuara.

"Mereka yang mengancamku duluan." Siswa berkacamata tidak terima.

"Kau yang memukulku duluan!" Giliran preman bertindik di hidung berteriak.

BRAK

Aomine bisa saja membanting bangku atau monitor komputer sekalian, tapi mengingat posisi dan jabatan sebagai abdi negara yang telah disumpah untuk melindungi masyarakat, ia lebih memilih untuk menggebrak meja. Tidak peduli beberapa berkas ditumpahi kopi karenanya.

"Senpai…"

Memutar mata jengah, Aomine paham bahwa Yamazaki—juniornya—hanya mengingatkan untuk tetap tenang. AKU SUDAH TENANG, kira-kira itu yang ekspresi Aomine katakan.

Menggaruk pelipis, Aomine menatap mereka. Tiga cowok berseragam SMA dan tiga cowok berpenampilan mirip preman. Mereka semua awut-awutan walau kelompok preman terlihat lebih babak belur.

"Kronologisnya bisa diulang?" ucap Aomine tenang, tapi mengintimidasi.

Salah satu yang berseragam SMA menegakkan tubuh "Tadi saat aku pulang sekolah, mereka menghadangku, memalakku—"

"Kami tidak memalak! Dia duluan yang memukulku!"

Siswa tadi tiba-tiba berdiri, bangku yang diduduki sampai ambruk "Tapi kau mengancamku BRENGSEK."

BRAK

Meja digebrak lagi. Matsuoka yang sedang menyeduh kopi sampai tangannya tersiram air panas.

Aomine menunjuk gerombolan siswa "Yamazaki, masukkan mereka ke sel 1—"

"Tapi pak!"

"—dan mereka ke sel 2." tangannya ganti menunjuk gerombolan preman.

"Siap, Senpai." Yamazaki menyeret gerombolan preman lebih dulu ke dalam sel.

"Pak polisi, tolong jangan penjarakan kami. Kami tahu kami salah. Tapi mereka duluan yang memulai." Siswa berkacamata untuk ke sekian kali berusaha membujuk Aomine.

Aomine menggaruk leher, ingat dirinya belum mandi dan kasus ini sungguh membuat harinya makin menjengkelkan. Ia menarik lengan siswa itu, membaca nama badge sekolahnya.

Rakuzan?

Setahunya sekolah itu begitu ketat dalam hal tata tertib. Sekolah yang begitu elit dan berprestasi di segala bidang, memang tidak seharusnya berurusan dengan kepolisian.

"Sudah, masuk sel dulu sana. Aku akan menghubungi sekolah kalian. Kita tunggu guru—"

"Guru?"

"Oh God! Jangan! Tolong pak, jangan telepon sekolah. Hubungi saja rumah kami masing-masing, asal jangan sekolah kami."

Kening Aomine mengkerut. Ia bingung dan penasaran. Kenapa anak-anak ini begitu takut dengan gurunya? Rakuzan sekolah SMA biasa, tidak mungkin menerapkan sistem kemiliteran…kan?

Yamazaki kembali, bersiap menyeret mereka. Namun salah satunya berbalik menghadap Aomine, dengan tangan disatukan di depan dada. Memohon dengan amat sangat.

"Pak, tolong jangan guru kami Pak. Lebih baik kami menulis surat pengakuan berapa ratus lapis atau denda atau apa saja asal—"

Tersenyum licik, Aomine melipat tangan di dada "Aku malah makin ingin melihat reaksi gurumu."

Dan mereka hanya bisa lemas diseret Yamazaki ke dalam sel.

Matsuoka menghampiri meja Aomine yang sedang mencari data nomor telpon di layar komputer "Bukankah sudah jelas biang keroknya, Senpai?"

Aomine mengangguk, tangannya beralih ke gagang telpon.

"Lalu kenapa—"

"Azas praduga tak bersalah, Matsuoka. Tidak lihat yang babak belur siapa?" Aomine kemudian menjepit gagang telpon di antara bahu dan telinga kiri "Sekolah Rakuzan?"

"Benar, sekolah Rakuzan di sini. Dengan siapa? Ada perlu apa?"

"Dengan kepolisian Kyoto. Bisa bicara dengan wali kelas dari siswa…" Aomine membuka catatan nama siswa tadi "Moritaka Saiko, Takagi Akito dan…Ogami Rei?"

"Wali kelasnya…. Sudah pulang sore tadi. Maaf ini siapa? Ada apa dengan siswa kami?"

"Oh begitu. Kalau begitu bisa tolong sampaikan, supaya segera datang ke kantor polisi?"

"Ano… ada apa sebenarnya? Mendesak sekali?"

"Tidak, em… iya mendesak. Tapi tidak perlu dikhawatirkan. Jadi saya minta tolong untuk segera sampaikan itu padanya. Terima kasih."

Telpon ditutup. Aomine menghela napas, tidak paham kenapa harus menutupi keadaan sebenarnya. Rupanya ia harus bertahan lebih lama di kantor untuk menunggu wali kelas anak-anak badung itu.

.

.

Sejam kemudian…

Wali kelas yang disebut akan segera datang, belum juga muncul. Aomine yang sudah terlanjur kelaparan beranjak ke pantry kantor, membuka lemari atas untuk mencari persediaan ramen cup yang tersisa. Sungguh rasanya ingin segera pulang, mandi lalu tidur. Ia benar-benar kurang tidur karena semalam disibukkan dengan penggerebekan rumah bandar narkoba.

"Ano… saya adalah wali kelas dari siswa Moritaka Saiko dan dua lainnya." Terdengar suara dari dalam ruangan.

"Ah, akhirnya datang juga dia" Aomine keluar pantry sambil mengaduk-aduk cup ramen-nya.

Sampai di ruangan, ia mendapati seorang lelaki duduk di depan meja Yamazaki. Walau terlihat dari belakang, bohong jika Aomine mengatakan bahwa dia tidak mengenali tubuh tinggi berbalut kemeja hitam itu.

"Ah itu dia, Senpai! Ini wali kelas siswa yang tadi." Yamazaki menegur Aomine, membuat lelaki tadi menoleh dan…

"Bakagami…"

"Ahomine…"

"Guru?"

"Polisi?"

"Pasti ada kesalahan." Ucap Aomine tidak percaya.

"You gotta be kidding me." Balas Si Wali kelas.

Yamazaki melihat mereka berdua bingung. Jadi mereka saling kenal? Temankah? Seniornya itu hampir tidak pernah terlihat bersama seorang teman, kecuali seorang wanita berambut pink yang cerewet minta ampun. Tapi dari ekspresi dan panggilan 'sayang' mereka, Yamazaki tahu bahwa wali kelas beralis belah itu adalah orang yang tidak biasa bagi Aomine.

"Duduk." Menaruh cup ramen di pojok meja, Aomine menunjuk salah satu bangku.

"Kalau aku tahu hanya akan bertemu denganmu, tidak perlu repot mencari pakaian formal tadi." ucap Kagami menarik bangku, lalu duduk.

Aomine menatap kesal "Tidak ada ketentuan dress code untuk masuk kantor polisi."

Kagami menggedik bahu "Aku kan guru, wali kelas dari anak-anak yang sedang kena kasus."

"Nah, aku masih belum percaya bagian itu."

"Nah, aku juga masih belum percaya. Jangan-jangan kau hanya cosplayer."

Aomine berdecak, beralih pada Yamazaki "Keluarkan anak-anak tadi."

"Semua?"

"Semua."

"Jadi ada apa sebenarnya?" baru kemudian Kagami terlihat serius.

Aomine sempat tercekat mendengar nada bicara itu. Tenang, dalam, dewasa. Empat tahun memang banyak berpengaruh rupanya.

Aomine menarik menarik berkas di tumpukan paling atas mejanya "Moritaka Saiko—siswamu— dihadang di salah satu gang, oleh beberapa bocah. Pemalakan. Ia melawan, kemudian dihajar. Teman-temannya yang sedang berada di dekat situ melihatnya, dan membantu. Mereka kemudian berkelahi 3 lawan 3."

"Seperti ini harus berurusan dengan polisi?"

"Aku dan Yamazaki yang sedang patroli dekat situ melihat dagangan seorang ibu di kiosnya rusak gara-gara mereka."

"Oh…" Kagami mengangguk-angguk "Tapi muridku tidak salah. Self defense, tidak bisakah dianggap begitu?"

Canggung, Aomine berusaha menepis perasaan itu. Tapi memang begitu nyatanya. Biasa berdebat di sela one on one dulu, siapa sangka akan berdiskusi dewasa membahas kenakalan remaja begini? Ditambah kenyataan bahwa lawan bicaranya terlihat lebih dewasa (baca : tampan) dari waktu terakhir bertemu.

Aomine menghela napas "Kita lihat apa yang akan kau katakan nanti."

Yamazaki muncul dengan enam orang remaja tadi. Kagami yang melihat ini tercengang karena ia pikir, yang akan mengalami banyak bilur adalah muridnya, bukan sebaliknya.

"Jadi, apa menurutmu?" Aomine minta pendapat Kagami.

Ketiga murid Kagami menunduk, entah menyesal entah takut. Tapi Aomine bisa melihat bahwa Kagami penyebabnya. Mereka bertiga sama sekali tidak menunjukkan tampang begini sebelum wali kelasnya datang tadi.

"Wali kelas kalian sudah datang, ada yang ingin dikatakan?"

Mereka diam, masih menunduk.

Kagami bangkit, berdiri di depan mereka dengan melipat tangan di dada "Sepertinya aku gagal menjadi wali kelas yang baik ya." ucapnya dengan nada (sok) prihatin "Sebaiknya aku mundur saja dari posisi wali kelas kalian."

Aomine kaget. Kagami yang dikenalnya bukan seorang yang sebegitu gampangnya menyerah. Dalam basket, istilahnya selama kaki masih tersambung, akan terus bertarung. Ini? Menghadapi bocah-bocah yang bahkan tubuhnya setinggi Akashi, ia sudah menyerah?

"Jangan, Sensei. Kami tahu kami salah." Takagi buka suara. Bukan hanya terlihat, tapi ia juga terdengar sangat menyesal.

"Sensei, lebih baik hukum kami apapun asal Sensei tidak mundur menjadi wali kelas." Moritaka mendongak, menatap gurunya yang jelas lebih tinggi.

"Sensei, kami bersedia menerima apapun hukuman yang kau berikan." Ogami, yang sejak diseret naik mobil patroli diam, kini ikut bersuara.

Ini bukan sekedar takut. Ketiga siswa itu bukan takut pada Kagami, tapi takut bahwa gurunya tidak lagi peduli pada mereka. Ini semakin membuat Aomine penasaran. Apalagi, kenyataan bahwa tatapan mata ketiga bocah itu pada Kagami terlihat begitu… apalah, yang jelas Aomine kesal karenanya.

"Betul, kalian menerima apapun hukumanku?" Kagami bersuara pelan, lembut, tapi menantang. Aomine saja dibuat merinding mendengarnya.

Tanpa komando, ketiga siswa itu berlutut. Kagami mengambil koran terbitan kemarin yang tergeletak di atas meja Matsuoka, menggulungnya dan…

PLAK

PLAK

PLAK

Sudah lama Aomine tidak melihat adegan begini, adegan yang dulu hanya dilakukan oleh coach tim Seirin, kini menurun pada Kagami. Ia tanpa ragu menghajar siswanya dengan gulungan koran sampai wajah mereka merah. Dan semua yang ada di ruangan ngeri jadinya.

Kagami berbalik, menatap Aomine "Menugaskan mereka kerja sosial di toko tadi selama sebulan, apa cukup?"

Aomine mengangguk pelan. Mata Kagami terlalu tajam menusuk.

Kagami beralih pada tiga ABG preman "Aku sudah menghukum muridku karena menghajar kalian, masih ingin protes?" pelan, tenang mengintimidasi.

Gerombolan itu tidak berani menatap Kagami.

"Kutanya, APA KURANG PUAS?"

"TIDAK SENSEI." jawab mereka serempak.

Kagami berdecak "Sejak kapan aku jadi sensei kalian?"

Aomine berkedip dua kali. Sudah empat tahun tidak bertemu dengan Kagami, siapa tahu bahwa ternyata ia masih sama? Profesi guru sama sekali tidak mengubah tabiatnya yang memang galak, tidak mau kalah dan keras kepala.

"Jadi?" Kagami kembali duduk, membuyar cengang Aomine "Mulai minggu depan, kupastikan siswaku mengerjakan hukumannya. Bisakah mereka pulang?"

"Ah? Oh…iya." Aomine menggaruk kening, canggung "Mereka boleh pulang." ia beralih pada Yamazaki "Kembali masukkan mereka ke sel." tunjuknya pada gerombolan preman.

Siswa-siswa Rakuzan itu menunduk hormat sebelum meninggalkan ruangan. Sedangkan gerombolan preman tadi misuh-misuh kembali digiring ke sel.

"Thanks a lot" Kagami tersenyum lebar.

Aomine makin canggung karenanya. Ia mengangguk, bergerak serampangan, roda kursinya mundur dan…

BRUK

"Sialan!" Aomine tercengang melihat cup ramen-nya terbalik di bawah meja. Salahkan sikunya, salahkan roda kursinya, salahkan senyum Kagami.

"Itu makan malammu?" tanya Kagami bernada prihatin.

Aomine mengangguk. Malu, entah kenapa harus malu mengakui bahwa gizinya tidak terpenuhi.

"Bagaimana jika kutraktir makan? Aku tahu kedai enak dekat sini."

"Makan malam?" Aomine memastikan.

"Iya. Sudah jam delapan malam, jelas makan malam. Ucapan terima kasih karena tidak menjelaskan hal ini pada pihak sekolah"

Ini serius? Makan malam? Bersama Kagami?

"So?" Kagami menegur Aomine yang terlihat terlalu banyak berpikir.

"Ayo!" Aomine buru-buru bangkit dari kursinya, menghampiri Kagami sebelum kemudian sadar "Eum, sebaiknya kususul saja. Ada beberapa hal yang harus kuurus dulu."

Kening Kagami mengkerut "Susul?"

"Iya." Aomine menyobek kertas dari buku catatannya di atas meja "Tuliskan alamatnya, aku akan ke sana 30 menit lagi. Tidak apa-apa kan?"

Kagami tersenyum lagi.

Aomine canggung lagi. Ia buru-buru lari keluar ruangan, meninggalkan Kagami yang sibuk menulis di atas kertas itu.

Selesai menulis, Kagami beralih pada Matsuoka "Kertasnya kuselipkan di bawah wadah pulpen ya." Ucapnya meninggalkan kantor polisi.

.

.

Aomine tidak pernah sepanik ini. Ia pernah panik, beberapa kali, berkali-kali, tapi tidak pernah sepanik ini. Bahkan, ujian ketangkasan menembak bertahun lalu rasanya tidak begini panik. Ia berlari ke belakang kantor, menuju kamar mandi. Niatnya mandi, tapi ingat tidak punya peralatan mandi. Ia balik lagi menghampiri Matsuoka.

"Pinjam alat mandimu."

"Sabun mandi? Senpai, masa karena bertemu sebentar sudah tidak tahan begitu?" Matsuoka tersenyum. Itu bukan pertanyaan, jelas saja itu ledekan.

"Kalau tidak mau meminjamkan ya sudah. Aku beli saja." Aomine kesal. Sudah tahu buru-buru, malah dipersulit. Tidak mungkin baginya balik ke apartemen dulu untuk bersiap, akan lebih makan waktu.

"Ei, Senpai jangan kesal begitu. Nanti gantengnya hilang." Matsuoka makin menjadi. Ia membuka laci mejanya, melempar wadah kecil berisi peralatan mandi.

Aomine menangkap, kembali ke meja, ia mengambil sikat gigi dan handuk kecil dari dalam laci. Selama ini, tidak pernah ia repot-repot mandi di kantor, seasem apapun badannya. Baru saja akan melesat ke kamar mandi, Yamazaki muncul di sampingnya.

"Bajunya bagaimana? Tidak mungkin kau kencan dengan seragam dinas kan?"

Aomine mendesah. Benar. Baju bagaimana? Dan sekali lagi, tidak seperti polisi lain yang paling tidak menyimpan dua baju di lemari, Aomine sama sekali tidak pernah berpikir ke sana. Menyesal rasanya.

"Tidak mungkin juga untuk beli dulu. Terlalu lama." Aomine menggaruk kepala. Efek lima hari belum keramas baru terasa.

"Sudah sana Senpai mandi dulu. Aku tahu pemecahan masalahnya." Yamazaki mendorong Aomine ke belakang, melewati sel preman tadi.

"Pak polisi! Kapan kami dibebaskan?"

"Bukannya kalian tidak sekolah? Harusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sudah tidur saja! Besok atau lusa baru kupanggil orangtua kalian."

"Mandi, Senpai." Yamazaki kembali mendorongnya ke kamar mandi.

Aomine bukan tipe orang yang suka wisata kuliner. Kebanyakan jadwal makannya dihabiskan di kedai dekat kantor atau dekat apartemen. Sisanya malah mengandalkan Delivery Order. Jadi, ketika memasuki restoran bergaya tradisional dengan sekat di setiap meja lesehan, ia gugup. Apalagi mengingat siapa yang akan mentraktirnya.

"Aomine!"

Panggilan membuat Aomine melirik sekilas ke kaca restoran, sekedar mengecek penampilannya. Ia bersyukur, punya bawahan yang agak-sedikit-lebih pintar darinya. Mereka ingat bahwa Aomine pernah meninggalkan laundry-an di lemari dapur, berisi jeans dan polo shirt warna hitam. Sedangkan, si empunya sendiri masih bingung, apa benar pakaian itu miliknya?

"Hoi." Aomine melepas sepatu, duduk lesehan di depan Kagami yang sedang mengaduk mangkuk sup.

Kening Kagami mengerut "Kupikir kau akan pakai seragam."

"Kupikir kau tidak ingin dianggap menyuap petugas."

"Kupikir kau hanya sedang cosplay."

Aomine mendengus. Walau dalam hati ia bersyukur berulang kali. Pembicaraan berjalan seperti dulu.

Kagami tertawa "Seriously Aomine, polisi?"

Lupakan istilah kupu-kupu di perut, rasanya seisi suaka margasatwa sekarang menyeruduk Aomine. Melihat Kagami tertawa sangat tidak menyehatkan bagi fisik dan psikisnya.

"Kau sendiri, guru?"

"English merangkap basket coach."

"Kelihatannya malah guru favorit."

Bahu Kagami bergedik "Tampan dan perhatian, kurang apalagi?"

Aomine menggeleng. Bukan tidak setuju, karena justru tidak bisa membantah. "Ada hal lain yang mereka lihat darimu."

"Hal lain? Moritaka dan Takagi sedang mengejar proyek manga mereka, sedangkan Ogami ikut seleksi tim karate nasional. Aku hanya memastikan daftar hadir mereka selalu komplit. Karena itu mungkin."

"Wuah, kau menyalahgunakan jabatan."

"Aku hanya tidak ingin menekan mereka. Kita pernah di posisi itu, dan tahu bagaimana rasanya."

"Dan aku tahu seberapa parah nilai tertekanmu." Komentar Aomine, Kagami melirik kesal "Dan, tiba-tiba kau jadi guru?"

Alis Kagami mengkerut "Tiba-tiba? aku punya basic, dan setidaknya tiga tahun kuliah" ia menunjuk wajah Aomine dengan sumpit di tangan "Justru kau Aomine Daiki officer lebih mengejutkan waktu aku mendengarnya."

Gantian alis Aomine yang mengkerut "Kau sudah tahu sebelumnya? Aku polisi?" entah harus senang atau justru nyesek dengan kenyataan ini.

"Yup. Walau masih heran, bagaimana kau melewati psikotes dan academic test. Pinjam pensil Midorima?"

"Heh." Hanya segitu protes Aomine. Ia tidak bisa balas meledek Kagami, karena si Merah sudah tertawa lagi di depannya. Cobaan berat bagi Aomine belum berakhir rupanya.

Yakiniku sudah matang. Setelah menempatkan di mangkuk masing-masing, mereka mulai makan. Santai, tanpa buru-buru seperti di Majiba dulu. Seolah memang ingin mengulur waktu.

"Rakuzan? Kupikir kau setia sampai mati pada Seirin." Aomine membuka suara.

"Money, realistis kan?" Kagami menaik-turunkan alis "Isu bahwa Rakuzan sekolah paling elit di Jepang ternyata benar. Tahu aku pernah mengalahkan tim mereka, proses jadi lebih mudah."

"Padahal juga karena Seirin tahu aib raportmu kan?"

"Heh." Kagami baru saja akan membalas ucapan Aomine, tapi ponsel di dalam sakunya bergetar. Panggilan dari Kise.

"Kagamichiii."

Kagami tersedak. Seketika ia mengusap bibir dengan punggung tangan "Oi, Kise. Ada apa?"

"Dengar-dengar sedang bersama Aominechi ya?"

Tanpa loudspeaker, Aomine bisa mendengar jelas suara cempreng Kise.

"Hm, dia di sini. Ingin bicara dengannya?"

"Tidak, tidak. Sampaikan saja padanya untuk membalas pesanku. Geez, itu pesan dari tiga minggu lalu, belum dibalas."

"Okay, kau dengar kan?" Kagami beralih pada Aomine, yang hanya mengangguk malas "Itu saja?"

"Iya, itu saja. Kalian selamat bersenang-senang ya."

"Yeah" panggilan berakhir, Kagami memasukkan lagi ponsel ke dalam saku.

"Bagaimana Kise tahu kau sedang bersamaku?" tanya Aomine.

"Tadi aku menelpon Kuroko sebelum kau datang" Kagami menghabiskan isi terakhir mangkuknya "Hei, besok kau off?"

"Iya, kenapa?"

"Temani aku minum? Entah kapan terakhir kali aku minum"

"Serius? Padahal cuaca dingin begini." Aomine menuntaskan juga isi mangkuknya.

"Tuntutan profesi, tidak mungkin guru datang mengajar setengah tipsy." Kagami mengangkat tangan, memanggil pelayan untuk membersihkan meja mereka sekaligus memesan sake.

Bir sama sekali bukan pilihan untuk malam ini. Dan Aomine tidak lagi memikirkan jatah tidurnya.

.

Tidak berapa lama, meja mereka bukan lagi dipenuhi mangkuk sumpit dan kepulan kuah, tapi beberapa botol sake ditambah dua cangkir berwarna putih.

Seumur-umur, Aomine tidak pernah sedekat ini dengan Kagami. Kalaupun dekat, itupun hanya di lapangan basket, tanding team, atau paling banter mode one on one, itupun mana bisa saling tatap begini. Aomine sampai bisa tahu bahwa alis Kagami terbelah dengan sudut tiga puluh.

"Terakhir kita ketemu empat tahun lalu kan?"

Tanpa menatap Aomine, Kagami tersenyum sambil menuang sake. "Setahun untukku. Aku melihatmu di final turnamen tahun lalu."

"Iya? Cuma… lihat?" tidak menyapa?

"Awalnya sih ingin menyapa, tapi ya…" Kagami menggedik bahu meneguk isi cangkir "…wajahmu kesal, jadi malas mau menyapa."

"Coba kau menyapa, kan…" ucapan Aomine mengambang, tersangkut di tenggorokan.

"Kan…?"

"Sudahlah." Aomine menuang sake lalu meneguknya cepat.

"Kupikir ada yang ingin kau katakan jika bertemu denganku." Ucap Kagami pelan.

Ada. Memang ada yang ingin Aomine katakan, banyak malah. Tapi ia tidak tahu harus mulai dari mana atau bagaimana mengatakannya. Seorang sarkastik sepertinya tiba-tiba bingung bagaimana harus bicara? Hebat. Aomine sampai salut pada dirinya sendiri.

Menuang sake lagi, Aomine melihat Kagami menerawang. Menatap lurus tapi bukan pada matanya.

"Memikirkan sesuatu?"

"Ehem." Kagami meneguk sake, menaruh cangkirnya seperti sedang berpikir sesuatu.

"Apa? Jangan dipikir sendiri, otakmu tidak akan sanggup."

Kagami terkekeh, menatap Aomine "Aku masih terlalu sadar untuk mengatakannya. Kau bisa tanyakan lagi setelah aku benar-benar mabuk nanti."

"Mau tambah snake?"

"Hah?" Kagami memastikan pendengarannya.

"Cemilan." Jawab Aomine.

Kagami terbahak "Snack, Aomine. Snack. Bukan snake. Aku tidak suka ngemil ular. Aduh." Ia sampai memegang perut, nyeri kebanyakan makan sepertinya.

"Iya, iya. Itulah." Aomine tidak mendebat, terlanjur malu. "Mau pesan? Takoyaki atau yang lain?"

"Satu, eh dua porsi."

Aomine memanggil pelayan, memesan tiga porsi takoyaki beda isi sekaligus minta tambah dua botol sake. Jam sudah menunjuk angka 11 saat itu.

"Aomine, coba ucapkan snack, snake, snag, snatch." Kagami menumpu dagu dengan lengannya.

"Snech, snech, snech, snech, aaah tahulah. Aku tidak peduli" Aomine kesal. Ia misuh-misuh meneguk cepat dua cangkir sake.

Kali ini Kagami tertawa keras. Sampai geleng-geleng kepala "Aku tidak tahu harus menertawai pronounce mu, atau kenyataan bahwa seorang Aomine Daiki mau-mau saja disuruh." Lagi-lagi, memegang perutnya.

Sedangkan Aomine malah tercenung. Pipi Kagami yang merah seakan bisa memancarkan sinar gamma, sekujur badan Aomine panas jadinya. Untung saja kemudian pelayan datang mengantar pesanan mereka, memberi sedikit jeda pada suara Kagami yang mulai serak.

"Kau masih sering bertemu dengan yang lain?" tanya Aomine setelah pelayan pergi.

"Seirin, selain itu Kise dan Takao juga." Kagami menyuap potongan takoyaki ke dalam mulut, lalu teringat sesuatu "Ah, cepat balas pesan Kise!"

"Gampang nanti. Ia hanya tanya alamatku, mengganggu saja."

"Lah, kau tidak tahu? Kau pikir Kise akan datang jauh-jauh ke Kyoto Cuma untuk mengganggumu? Ia mau mengirim undangan, Aho!"

Aomine kedip dua kali. Terkejut.

"Undangan apa, dengan siapa, kau pasti tidak tahu kan?" tebak Kagami.

Aomine kedip dua kali lagi. Memang tebakan Kagami benar.

"Ia menikah dengan Kasamatsu, sebulan lagi." Ucap Kagami menyuap lagi sepotong takoyaki.

Aomine tidak tahu. Selama ini, teman lamanya yang masih berhubungan dengannya hanya Momoi. Itupun karena si Pink yang selalu menghampiri di kala weekend senggang. Mungkin Momoi pernah cerita tentang hal ini. Iya, mungkin. Jika Aomine mendengarkan.

"Banyak hal yang berubah." Ucap Aomine lirih.

"Terutama kau." Kagami meneguk lagi sake, entah cangkir ke berapa "Seorang polisi seharusnya lebih tahu kabar teman-temannya. Tapi kau, aku jadi guru pun baru tahu kan?" cecar Kagami yang kali ini benar lagi "Duniamu berputar jauh ya."

Tertohok, Aomine menghela napas, bentuk persetujuan. Sama sekali bukan sifatnya untuk setuju dengan Kagami, tapi ia sadar semua yang diucapkan (mantan) rivalnya ini benar. Dunianya berputar jauh terpental dari poros.

Sejak empat tahun lalu.

"Memang kau pikir salah siapa?" Aomine menatap Kagami tajam "Kau pikir siapa yang pergi begitu saja ke Amerika setelah kelulusan, tanpa bicara apapun?"

Kagami tercekat. Ia terkejut. Ucapan Aomine tadi terdengar seperti penyidik yang sedang mendesak pelaku kriminal untuk mengaku. Dalam kasus ini, Kagamilah sang pelaku kriminal. Dan Kagami sama sekali tidak punya alibi untuk membantah.

"Sorry." ucap Kagami kemudian memberanikan diri menatap Aomine "Maaf." Rasanya tidak cukup sebahasa ucapan maafnya.

"Empat tahun, Kagami. Aku bahkan tidak berani mencari tahu tentangmu." Karena selama ini Aomine takut jika Kagami ternyata entah di belahan bumi mana sudah bahagia dengan orang lain, sedang dia masih luntang-lantung ditempeli masa lalu.

Andai ada undang-undang yang menyatakan bahwa membuat orang patah hati adalah tindakan kriminal. Aomine bisa memastikan untuk memborgol Kagami sekarang juga.

"Aku hanya tidak tahu. Aku tidak tahu di mana kita berdiri, garis mana yang sudah dilewati, atau…" Kagami menghela napas "…bagimu aku ini apa?"

"Sekarang kau tahu kan? Kau pusat porosku, sekarang tahu kan?" Tatapan Aomine melembut, walau masih sanggup menusuk tembus rangka Kagami.

Kagami tidak menjawab, ia malah menuang sake, meneguknya cepat tiga kali berturut. Matanya yang kelihatan tidak lagi fokus, berusaha tetap terbuka lebar, tapi sulit. Pipinya makin merah, ditambah terdengar beberapa kali cegukan.

"Kepalaku sakit." keluhnya menumpu kepala pada lenganya yang berlipat di meja.

"Kau sudah mabuk." Aomine tidak heran. Seorang yang jarang minum, tiba-tiba menghabiskan tiga botol sake, jelas syarafnya kejang. "Ayo, kuantar pulang. Besok kau mengajar kan?"

Kagami menggeleng kecil "Aku besok bolos saja. Tidak ada jadwal." Bangkit menegakkan punggung sambil cegukan, ia menumpu dagu dengan lengannya, menatap Aomine "Berhubung aku sudah mabuk, aku akan mengatakannya."

Ah iya. Kagami bilang tadi akan mengatakan sesuatu saat sudah mabuk. Dan ini membuat Aomine gugup lagi.

"Hei, Aomine. You were really sexy in your uniform. It really turned me on."

Aomine berkedip. Ia tidak jago Bahasa inggris, tapi tahu benar arti sexy, uniform, turned me on. Yah, setidaknya video porno memberi sedikit manfaat di saat seperti ini.

"I don't know how to put this well, but you make my pants swell."

Pants? Celana? Oh my god. Aomine bisa menangkap sedikit arah ucapan Kagami. Walaupun ingin, tapi ia masih sadar untuk tidak mengambil kesempatan dalam kegilaan begini.

"Kau benar-benar mabuk." Aomine bangkit, beralih ke sebelah Kagami "Ayo kuantar pulang."

"Kau pikir aku akan mengatakan hal seperti ini dalam keadaan sadar dan waras?" mata Kagami makin sayu "Ah iya. Kau tidak paham Bahasa Inggris"

"Makanya—"

"Hai Pak Polisi. Saya mengaku bersalah, saya bersedia bertanggung jawab atas semua kesalahan saya." Bibir Aomine dikecup "Bawa aku pergi ke manapun kau mau. Aku milikmu."

Pipi Aomine tidak lagi coklat, tapi merah tua. Siapa sangka Kagami akan bertindak begini blak-blakan?

"Tempatmu atau tempatku?" Aomine menarik lengan Kagami, memapahnya berdiri.

"Tempatmu. Jadi besok saat bangun, aku bisa menuduhmu yang menggodaku sampai pasrah terkapar di pelukanmu"

Aomine tidak menjawab, jantungnya berdentum terlalu keras. Ending yang bagus untuk hari ini, sekaligus awal sempurna bagi masa depan.

.

.

END

Banyak cameo dalam fic ini : Yamazaki Sousuke & Matsuoka Rin dari anime Free!. Ogami Rei dari anime Code Breaker. Moritaka Saiko, Takagi Akito dari anime Bakuman.

Announcement! Halo Aokaga-Shipper! Kita semua tahu bahwa Aomine & Kagami masih butuh cinta lebih banyak lagi. Yuk sebarkan cinta idiot mereka pada event AOKAGASM bulan Agustus nanti. Siapkan diri dan fanfic kalian mulai sekarang dan jadi bagian Laskar Penyebaran Cinta Aokaga!

Tunggu syarat & ketentuan selanjutnya ya!