CIC FWC #1C

Prompt C.3 : Love The Way You Lie – Eminem feat Rihanna

.

.

.

-oOo-

.
.

"Road to Nowhere"

.
.

-oOo-

.
.

Main Cast : Chanyeol x Baekhyun

Category : Boys Love/Shounen-ai

Genre : Family, Marriage Life, Dark Romance, Crime

Length : Oneshot

Rate : T

.
.

-oOo-

.
.

HAPPY READING

.
.

-oOo-

.
.

Tak ada satu hal pun di dunia ini yang abadi. Makhluk hidup bersifat mortal, benda mati pun pasti akan lapuk termakan oleh waktu. Namun tak pernah sekali pun terbersit dalam benak lelaki tersebut bahwa cinta mereka pula bersifat fana.

Untuk seorang Byun Baekhyun, Park Chanyeol adalah segalanya. Ia adalah sumber hidupnya. Mataharinya. Napasnya. Denyut jantungnya. Tak ada hal lain yang dapat menggantikan presensi laki-laki itu baginya. Ia pula tak yakin bahwa ia sanggup meneruskan hidup jika Chanyeol memutuskan untuk pergi. Meninggalkannya dalam kesendirian kelam dan membawa seluruh hangat yang selama ini menjadi selimut hati. Atau barangkali Baekhyun akan kehilangan akal hingga seumur hidupnya hanya dihabiskan di pusat rehabilitasi kejiwaan.

Sebegitu dalamnyakah ia mencintai seorang Park Chanyeol? Sebegitu nekatnyakah ia melakukan segala cara untuk tetap mempertahankan eksistensi sang Suami di sisinya?

Benar, mereka telah meresmikan hubungan secara hukum sejak empat tahun silam. Di mana semuanya tak nampak lebih baik dari hari sekarang. Keduanya berjumpa dengan cara yang tidak normal. Tidak jika mata pencaharian pokok mereka sama sekali bukanlah hal yang lumrah.

Tepat tujuh tahun yang lalu—awal mula perjumpaan mereka—Baekhyun dipertemukan oleh seorang pemuda tampan dan bertungkai jenjang. Ia memiliki sepasang netra bulat yang nampak bercahaya. Kesan pertama yang ditangkap tidak lebih dari seorang mahasiswa universitas ternama.

Baekhyun lantas merasa ciut. Ia tak bernyali memperkenalkan diri dan membuka topik percakapan. Namun takdir berkata lain ketika Chanyeol-lah yang merapatkan jarak dengan sebuah senyum miring. Bukan sesuatu yang mencibir, melainkan sesuatu yang membuat jantungnya berdegup dua kali lipat lebih cepat. Seakan-akan ia tengah berlari di lintasan maraton selama berhari-hari hingga tenggorokannya tandus.

Kala itu Chanyeol mengulurkan tangan ke arahnya sembari memperkenalkan diri. Impresi kuat tergurat dalam hati. Mereka memutuskan untuk bertemu sekali lagi, dan tanpa sadar hubungan keduanya pun telah berada dalam zona pertemanan.

Perlahan-lahan Baekhyun mulai mengetahui pekerjaan seperti apa yang digeluti Chanyeol. Ia adalah salah satu anggota dari sebuah komplotan geladak yang kala itu menguasai pasar Asia Timur untuk penyelundupan obat-obatan terlarang. Sang Kepala Komplotan sangat menyukai Chanyeol hingga ia dipercaya untuk menjadi kaki tangannya. Sebagian besar tugas yang ia jalani selalu menempatkan dirinya dalam bahaya. Ia bisa saja tertangkap dan mendekam di balik jeruji besi untuk seumur hidup. Atau bisa juga lelaki tersebut terlibat dalam baku tembak antar gang. Namun tentu Baekhyun tak mampu menyuarakan kecemasannya. Saat itu ia hanyalah seorang teman bagi Park Chanyeol, dan tidak lebih. Lagipula, ia tak ingin menunjukkan perasaan yang sebenarnya. Baekhyun takut jika perasaan itu bertepuk sebelah tangan.

Beberapa bulan kemudian, Chanyeol memintanya untuk menerima ajakan kencan yang ia tawarkan. Tentu Baekhyun kepalang girang untuk menolak. Namun berikutnya ia menyadari, bahwa ia masih memiliki satu rahasia yang harus diketahui Chanyeol sebelum mereka benar-benar resmi berkencan. Lelaki itu masih ingat betul apa yang dikatakan suaminya ketika ia mengakui pekerjaannya saat itu.

.

"Aku seorang lak-laki bayaran." Ujarnya lirih, tak melepaskan pandangan dari sepasang manik cokelat Chanyeol. Ia menggigit bibir bawah, menanti respon lelaki di hadapannya.

Namun hanya keheningan yang menyambut. Chanyeol masih berdiri di sana dengan raut tak terselami. Ia tak dapat mengartikan senyum tipis yang kini dipasang Chanyeol. Tidak pula ketika sebuah anggukan samar menambah kebingungan Baekhyun.

"Aku menjual tubuhku demi uang, Park Chanyeol." Ulangnya, kini dengan nada lebih tegas.

"Aku tahu." Jawabnya kemudian, seakan-akan ia tak acuh pada fakta yang baru saja dipaparkan Baekhyun.

"A-apa? Ba-bagaimana—"

"Koneksiku sangat luas, Byun Baekhyun. Aku tahu di mana kau tinggal, berapa umurmu, dari mana asalmu, dan apa pekerjaanmu."

Lelaki itu semakin terperangah. Ia tak dapat mengatupkan mulut saat senyuman lebar tersungging pada wajah Chanyeol. Ia mengambil satu langkah maju dan meletakan satu tangan di atas bahu kanan Baekhyun.

"Tapi aku menyukaimu. Bagaimana ini?"

Wajah mereka kini hanya bersenggang sekian senti. Baekhyun menelan saliva dengan susah payah tatkala napas beraroma tembakau milik Chanyeol membentur ujung hidungnya.

"Ta-tapi aku tidak pantas—"

"Ayolah, Baekhyun, aku pun bukan orang benar." Ujarnya sembari memutar kedua bola mata. Dan demi Tuhan, Chanyeol tampak begitu menawan meski ia tengah memasang tampang jengah.

Sesaat setelah kalimat persetujuan terlontar dari mulut Baekhyun, detik itu pula ia mendapatkan cumbuan ringan dari Chanyeol. Perpaduan antara aroma tembakau dan pahit Espresso lantas menyentuh indra pencecap Baekhyun. Ia menyukainya. Ia suka bagaimana Chanyeol menggerakan bibirnya dengan penuh hati-hati. Ia suka bagaimana kepalanya bergerak ke samping kiri dan memberikan kesempatan baginya untuk membalas kecupan. Ia suka bagaimana Chanyeol memegang tengkuknya dengan ketegasan. Ia suka bagaimana cumbuan mereka diselingi oleh senyuman girang.

.

Hubungan mereka sejak tujuh tahun lampau tak berjalan sesuai harapan. Pertengkaran terjadi di sana-sini. Namun keduanya tak sanggup berpisah untuk mengakhiri segala penderitaan. Kau tentu tahu bagaimana rasanya ketika kau mencintai seseorang dengan begitu dalam, namun menyadari bahwa sama sekali tak ada harapan dalam hubungan percintaan kalian. Kau tak sanggup melepaskannya, seakan-akan kau hendak mati jika mengetahui bahwa kau tak dapat memilikinya lagi.

Hal itulah yang kini terjadi dalam hubungan Baekhyun dan Chanyeol. Kepribadian mereka bersinggungan satu sama lain. Sejak kecil hidup Baekhyun tak pernah mudah sehingga karakternya terbentuk menjadi seperti itu; keras kepala, mandiri, dan memiliki harga diri tinggi.

Demikian pula dengan Chanyeol yang sejak remaja sudah menjadi anggota komplotan geladak. Perangainya keras dan ia tak takut pada apapun. Sejak menikah, lelaki itu memaksa Baekhyun untuk berhenti dari pekerjaannya. Dan dengan berbagai argumentasi serta beberapa perabot rumah yang hancur akibat pertikaian mereka, akhirnya Baekhyun memutuskan untuk menuruti keinginan Chanyeol. Ia berhenti untuk mempertahankan hubungan mereka. Dan sejak empat tahun terakhir, Baekhyun hanya menerima uang dari sang Suami tanpa melakukan apa-apa.

Ia merasa kecil. Ia merasa tak berguna. Baekhyun bukanlah orang yang berpendidikan. Keluarganya terlampau kekurangan hingga ia harus berhenti menuntut ilmu sejak lulus dari sekolah menengah pertama. Tak ada orang yang ingin memperkerjakannya hingga lelaki tersebut memutuskan untuk menjual diri. Setidaknya ia berjuang untuk mempertahankan hidup dan bukan mengharapkan sesuatu dari orang lain.

Ia mendesah keras tatkala jam tua di sudut ruangan berdenting dua kali, menandakan waktu telah menunjukkan pukul dua malam. Chanyeol masih belum pulang. Kendati ini bukan sesuatu yang aneh, namun mengetahui bahwa lelaki itu akan melakukan suatu misi besar-besaran dalam penyelundupan obat-obatan terlarang ke pasar Amerika membuat Baekhyun cemas bukan main. Ini adalah kali pertama mereka akan melakukannya. Tentu bukan hal yang mudah dan bahkan Baekhyun dapat kehilangan Chanyeol jika misi ini gagal.

Lelaki itu tersentak dari lamunan tatkala ia mendengar derum kendaraan di depan rumah. Lantas tungkainya melangkah lebar menuju jendela dan mengintip dari balik tirai merah kesukaannya.

Chanyeol keluar dari BMW X4 berwarna hitam yang nampak familier. Well, sejak sebulan belakangan lelaki itu akan mengantar Chanyeol pulang setelah mereka membicarakan mengenai rencana penyelundupan. Banyak hal yang perlu diobservasi serta ditangani dengan matang sebelum misi dimulai. Itu sebabnya Chanyeol lebih banyak menghabiskan waktu di luar bersama lelaki pemilik mobil mewah tersebut ketimbang dirinya. Ia adalah parner yang akan melakukan misinya bersama Chanyeol.

Baekhyun lantas kembali ke ruang tengah. Ia berdiri di sana sembari melipat tangan di depan dada, menanti kedatangan Chanyeol. Dan ketika daun pintu berayun terbuka, sontak ia disambut oleh wajah letih sang Suami.

"Kau belum tidur?" tanyanya sambil lalu. ia melempar tas ransel ke atas sofa dan menghentikan langkah tepat di hadapan Baekhyun.

"Aku menunggumu."

Senyum samar tersungging pada wajah Chanyeol. "Terima kasih. Tapi aku akan lebih senang lagi jika menemukanmu sedang terlelap di atas tempat tidur."

"Agar tidak mendengar omelanku?" tanyanya dengan satu alis berjingkat.

Chanyeol menyasap wajah, tampak kesal. "Oh, tidak lagi, Baek."

"Aku tidak suka kau menghabiskan banyak waktu dengan Kai."

"Dengar, Kai hanya parner kerjaku, oke? Kami tidak ada hubungan apa-apa."

"Oh, ya? Bagaimana jika kukatakan bahwa Kai menyukaimu?"

"Ini tidak masuk akal!" intonasi suaranya meninggi. "Apa kau punya bukti?"

"Aku tahu, Yeol. Aku bisa melihatnya!"

"Hei, itu tak cukup mendasar untuk mengasumsikan bahwa Kai menyukaiku. Hubungan kami tak lebih dari parner kerja." Chanyeol berusaha meyakinkan Baekhyun. Kini intonasinya sudah jauh lebih tenang dan ia meletakkan kedua tangan di atas bahu sang Suami.

"Tak menutup kemungkinan bahwa perasaan lain akan tumbuh." Ujarnya datar, dengan raut terluka. Kenyataan bahwa Chanyeol sama sekali tak mempertimbangkan perasaannya justru hanya menambah luka di hati Baekhyun.

"Damn it, Baek!" bentak Chanyeol sembari meragut surai cokelatnya. Ia tampak frustasi. Segala hal yang tengah ia hadapi saat ini benar-benar menguras habis seluruh kesabaran. Menjalani misi yang dipercayakan Suho—bos tertinggi dari komplotan mereka—sama sekali bukan hal yang mudah. Lalu kini harus ditambah lagi dengan pertentangan Baekhyun. Tak bisakah mereka tak bertikai untuk kali ini saja?

"Setidaknya pikirkan perasaanku. Aku tahu misi ini sangat penting bagimu. Tapi apa aku sama sekali tidak penting? Demi Tuhan, kita sudah menikah selama empat tahun tapi tak pernah sekali pun kau mendahuluiku dari pekerjaan." Ujar Baekhyun, tak mampu menyembunyikan getaran pada suara.

Chanyeol menengadahkan kepala sembari mengembuskan napas berat. Wajahnya memerah dengan kedua mata berair—menandakan bahwa ia tengah berjuang membendung amarah.

"Kau tahu aku mencintaimu." Lirihnya kemudian, kembali mempertemukan manik mereka.

"Kalau begitu tunjukkan. Buktikan padaku."

"Dan kau ingin aku melepaskan misi ini?" tanyanya tak percaya.

"Jika hanya itu satu-satunya cara untuk menjauh dari Kai—"

"Kau sinting, Byun Baekhyun." Tukasnya. "Kau sinting!" ia mengacungkan telunjuk tepat di depan wajah Baekhyun.

Tangan gemetar Chanyeol merogoh saku celana dan mengeluarkan sekotak batang nikotin. Ia menyelipkannya di antara himpitan kedua bibir dan membakar ujung rokok.

Asap tersebut kini tengah memenuhi paru-parunya. Ia mendiamkannya selama sekian detik di dalam sana, lalu meniupkan kepulannya ke depan wajah Baekhyun. Tangan kirinya tengah memegang kening yang berdenyut sementara pandangannya hanya terarah pada sosok lelaki mungil di hadapannya.

"Kaupikir aku bisa mengundurkan diri begitu saja? Kau tahu ini bukan hanya sekadar pekerjaan. Mereka sudah seperti keluarga bagiku. Kami sudah berjanji untuk tak mengkhianati satu sama lain. Dan mengundurkan diri dari misi yang dipercayakan adalah sebuah pengkhianatan." Ujarnya cepat.

"Persetan!" Baekhyun mengibaskan tangan. "Aku hanya mencemaskanmu, Park Chanyeol. Apa yang harus kulakukan jika kau tidak kembali nanti? Aku bukan hanya mencemaskan kedekatanmu dengan Kai, tapi bagaimana jika mereka menangkapmu?"

Lantas Chanyeol terbungkam. Batang nikotin itu hanya terhimpit di kedua jemari, sementara ia tak berniat untuk menghirup asap beracunnya. Raut wajahnya kini mulai mengendur setelah ia menyadari bahwa hal ini pula tak mudah bagi Baekhyun. Chanyeol tahu bahwa ia tak pernah merasakan ketenangan sejak mereka bersama. Namun lelaki itu pun terlampau mencintai pekerjaan serta teman-temannya di sana. Ia takkan mampu jika harus dihadapkan pada pilihan; Baekhyun atau teman-temannya.

Batang nikotin tersebut terjatuh ke atas lantai yang lantas diinjak oleh sepatu kulitnya. Chanyeol mengambil langkah merapat dan melingkarkan kedua lengannya pada pinggang sempit Baekhyun.

"Aku akan kembali." tuturnya lirih.

Lelaki itu mendengus. "Aku kalah, bukan?"

"Maaf. Aku akan menyelesaikan misi ini secepat mungkin."

Satu bulir air mata menganak sungai di permukaan wajah Baekhyun. Ia menarik napas tajam dan membalas pelukan suaminya.

"Aku benar-benar merasa bodoh, Park Chanyeol. Katakan sebuah alasan mengapa aku masih tetap bertahan menjadi suamimu."

"Karena kau mencintaiku. Sama dalamnya seperti perasaanku."

Dan detik itu pula, isakan pertama meluncur dari celah bibir Baekhyun. Ia memukul punggung Chanyeol dengan kepalan tangan, menyalurkan seluruh kekesalan kepada lelaki tersebut.

"Kenapa kau selalu membuatku menjadi seperti ini?"

"Maaf, maaf."

Hanya kata itu yang diucapkan Chanyeol selama ia menanti hingga kesedihan Baekhyun mereda. Mereka terpaku pada posisi tersebut sekian menit lamanya, hingga kemudian lelaki yang lebih pendek memutuskan untuk menarik diri. Ia menatap lurus ke dalam mata sang Suami. Berusaha menyelami pikirannya, namun sama sekali tak menemukan jawaban. Sejak dulu Chanyeol adalah sebuah misteri tak terpecahkan. Kendati tujuh tahun terlampaui, Baekhyun pun masih tak dapat menebak jalan pikirannya.

"Aku akan pergi. Hingga misi tuntas, aku akan pergi. Mungkin akan lebih baik jika kita tak bertemu."

"Kau akan menceraikanku?"

"Tentu saja tidak!" pekiknya dengan kedua mata membeliak. "Aku hanya berpikir jika ini adalah jalan terbaik. Dan jangan kuatir, aku takkan menyukai Kai. Aku takkan tertangkap. Aku akan kembali dengan selamat. Pegang kata-kataku dengan baik, Byun Baekhyun."

Lelaki itu menggeleng cepat. "Tidak, jangan lakukan ini."

"Baek," ia menangkup sisi wajah Baekhyun. "Baek, dengar. Aku tidak yakin bahwa aku dapat menyelesaikan semuanya jika kita tetap seperti ini. Aku janji setelah seluruhnya tuntas aku akan memperbaiki hubungan kita. Jadi kumohon, biarkan aku menjalani misi ini dengan tenang."

Sontak ia menepis tangkupan tangan Chanyeol dari pipinya. Amarah kini kembali memuncak, siap memecahkan tengkorak kepala. Apakah ia masih belum mengerti juga?

"Aku tidak butuh apapun, Park Chanyeol. Yang kuinginkan hanya kau, tetap berada di sisiku. Batalkan misi itu dan menjauh dari Kai."

Chanyeol mendecakkan lidah. Sekali lagi, emosinya terpancing. Ia mengangkat kedua tangan di udara, seakan-akan lelaki itu tengah mendeklarasikan kekalahan.

"Aku pergi." Tukasnya rendah.

"Pergi saja! Pergi dan jangan menampakkan wajahmu lagi di hadapanku!"

Baekhyun tak benar-benar mengamini ucapannya. Itu hanya sebuah ultimatum kosong, dan Chanyeol pula paham. Ia tahu bahwa setiap kalimat ancaman yang keluar dari mulutnya takkan benar-benar terjadi. Karena Chanyeol pasti akan kembali kepadanya. Karena Baekhyun sama sekali tak memiliki opsi lain selain memaafkan dan menerimanya kembali. Karena mereka terlalu mencintai.

Malam itu, Chanyeol keluar dari rumah dengan bantingan pintu yang menggema di penjuru ruangan. Dan Baekhyun hanya dapat berharap bahwa tak ada hal buruk yang terjadi pada suaminya.

.

XX

.

Selama dua puluh tujuh tahun hidupnya, Chanyeol tak pernah sedikit pun berharap berada dalam situasi seperti ini, dihadapkan pada dua pilihan tersulit sepanjang hidupnya. Dan jika Chanyeol dipaksa harus memilih satu diantaranya, maka ia bersumpah hal itu akan menjadi daftar terakhir yang dilakukannya. Namun seperti kata pepatah; hidup itu pilihan. Maka Park Chanyeol harus tetap memilih walaupun harus menyakiti salah satunya.

"Ada apa dengan wajahmu?" Tanya Kai, sahabat rangkap parner kerja Chanyeol dalam misi kali ini. Pemuda berkulit gelap itu mengernyitkan alis melihat raut wajah lelaki di sebelahnya. Pasalnya Chanyeol sama sekali tak merespon perkataannya.

"Tidak ada."

"Hei, Bung, aku bukan orang bodoh yang tidak menyadari perubahan wajahmu. Katakan, apa masalahmu."

"Ini soal Baekhyun."

"Suamimu? Ada apa lagi?"

Helaan napas pun keluar dari celah bibir Chanyeol, merasa lelah dengan semuanya. "Baekhyun memintaku berhenti dari pekerjaan ini. Entahlah, aku merasa kekhawatirannya itu tidak mendasar. Bagaimana mungkin aku meninggalkan kalian yang sudah seperti keluarga bagiku?"

Tak ada respon berarti dari Kai, yang dilakukannya hanya mengisap batang nikotin yang terselip di kedua belah bibirnya. Ekspresinya tak terbaca. Dan itu justru membuat Chanyeol bertambah pusing. Ayolah, tidak bisakah sahabatnya itu merespon semua perkataannya? Ingin rasanya Chanyeol melubangi kepala Kai saat ini juga.

"Hanya itu?" cetusnya

"Hanya itu? Kau bilang 'hanya itu?' seletah sekian menit tidak mengeluarkan sepatah kata? Kau sinting atau bodoh, Kai? Kau tidak terkejut sama sekali?"

"Di bagian mananya yang harus membuatku terkejut? Baekhyun yang memintamu untuk berhenti dari dunia ini? Atau tatapan matamu yang mengatakan kalau kau ingin melubangi kepalaku?" ujarnya sarkartis seakan bisa menebak apa yang tengah dipikirkan pemuda satunya. Dan itu cukup membuat Chanyeol terkejut. Apakah diam-diam Kai mempunyai indra keenam? "Kita sudah lama bersahabat dan menjadi rekan kerja, jadi aku hapal luar dalam dirimu termasuk arti tatapnmu itu." Kembali Kai seakan menjawab pemikiran Chanyeol dengan intonasi datar. "Kupikir itu wajar. Seorang suami, kekasih, atau apapun itu namanya meminta pasangannya untuk berhenti dari pekerjaan yang bisa merenggut nyawanya kapan saja. Tidak ada yang tidak mendasar dari kekhawatirannya. Baekhyun hanya tidak ingin kau celaka, bodoh."

"Aku tahu, hitam. Tapi aku tetap tidak bisa meninggalkan semuanya. Kalian sangat berarti untukku."

"Lantas, apa kau rela meninggalkan Baekhyun?"

"Aku lebih baik mati daripada harus kehilangannya."

"Dengar, Yeol. Aku tidak memaksamu berhenti dari pekerjaan gelap ini, dan aku pun tidak memintamu untuk tetap berada di dalamnya. Itu semua tergantung padamu. Aku, atau bahkan, seluruh komplotan pun tahu, Baekhyun sangat mencintaimu seperti kau mencintainya, dia hanya mencemaskanmu. Pasangan mana yang rela melihat pasangan satunya bekerja mempertaruhkan nyawa. Tidak ada yang bisa menjamin, apakah kita masih selamat setelah misi ini, lolos dari kejaran orang-orang yang berkedok polisi, atau justru pulang hanya tinggal jasad. Itu semua bisa terjadi."

"Ini membuatku gila."

"Seharusnya kau bersyukur masih ada orang yang mengharapkan kepulanganmu. Tidak seperti aku dan lainnya. Tapi terlepas dari itu, ada apa dengan kopormu? Jangan bilang kau berencana tinggal di tempatku!"

"Aku sudah menentukan keputusanku, asal kau tahu."

"Kau laki-laki terbodoh yang pernah kukenal dimuka bumi ini, brengsek!"

"It's me."

"Bagaimana dengan Baekhyun? Kau tidak meninggalkannya, bukan? Karena jika itu benar aku bersumpah akan menguburmu hidup-hidup."

"Sudah kukatakan. Aku lebih baik mati daripada kehilangannya."

"Lantas?"

"Tentu saja aku mempertahankannya, hanya saja saat ini aku perlu menjauh darinya demi misi kita kali ini. Agar aku lebih bisa berkonsentrasi. Kau tahu bagaimana buruknya ia saat sedang marah."

"Dan kau memilih rumahku sebagai tempat pelarianmu?"

Chanyeol hanya mengangkat bahunya menjawab pertanyaan kai.

"Kau benar-benar sinting." Cecarnya

"Tapi aku akan kembali padanya, Kai, hanya pada Baekhyun. Karena dialah tempatku pulang."

"Semoga kau menepati janjimu itu, Park." Ujarnya sembari meneguk minuman beralkohol di tangannya. Sementara Chanyeol hanya memandang Kai dengan ekspresi tak terbaca. Pemuda itu sadar betul bahwa misi kali ini lebih berbahaya.

Aku pasti kembali.

.

XX

.

Keesokan harinya, hanya kekosongan yang ditemui Baekhyun di sisi ranjangnya. Tidak ada dekapan hangat sang suami, tak ada wajah terlelap Chanyeol dan tak ada bibir yang memberikan ciuman padanya. Chanyeol benar-benar pergi dan Baekhyun merasa hampa. Kendati ini bukan kali pertama ia melakukannya, namun kenyataan tersebut justru tak pernah membuatnya terbiasa.

Kini tungkai tersebut melangkah memasuki kamar mandi, menatap pantulan wajahnya di cermin. Pemuda mungil tersebut dapat meilhat kondisi fisiknya saat ini. Tampak kacau dengan lingkar hitam di sekitar mata, belum lagi mata sipitnya yang sembap. Entah berapa lama waktu yang dihabiskannya untuk menangis, menangisi si Bodoh Chanyeol. Setelah dirasa cukup membenahi kekacauan, ia pun kembali melangkahkan kakinya ke dapur untuk membuat sarapan.

Di ruangan itu, kembali kekosongan menyerangnya, bahkan kian terasa. Biasanya ada Chanyeol yang akan selalu membantunya memasak, menyiapkan dua porsi sarapan, tapi kali ini semua hanya kenangan. Entah sampai kapan semua ini harus ia lalui. Byun Baekhyun sangat merindukan Park Chanyeol.

Kunyahan tak bersemangat menjadi teman sarapan Baekhyun, pikirannya mengawang jauh. Kekehan kecut pun meluncur di sepasang bibir tipisnya.

"Chanyeol benar-benar pergi, kupikir itu hanya mimpi buruk." Gumamnya sembari mengingat pertengkaran mereka di malam sebelumnya. Setetes air mata pun jatuh membasahi pipi Baekhyun dan secepat kilat ia pun menghapusnya.

Dengan perasaan berkecamuk, lelaki itu pun menyingkirkan makanan yang baru beberapa sendok ia telan. Baekhyun hanya membutuhkan Chanyeol-nya.

'Aku akan kembali dengan selamat. Pegang kata-kataku dengan baik, Byun Baekhyun.'

Kalimat itu terus berputar di kepala Baekhyun bak sebuah mantra penenang. Ia tahu, Chanyeol selalu menepati janjinya dan kali ini pun ia pasti melakukannya. Namun, tak selamanya Dewi Fortuna selalu berpihak pada suaminya. Pernah beberapa kali Baekhyun menemukan Chanyeol pulang dengan tubuh penuh luka, dan itu cukup menyadarkan pemuda tersebut bahwa profesi yang dijalani Chanyeol sangat berbahaya yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawanya.

"Kenapa kau tak mau menuruti permintaanku sekali saja, Yeol? Jika sesuatu yang buruk terjadi padamu, lantas bagaimana aku bisa menjalani sisa hidupku?"

Bukan cuma sekali ini Baekhyun meminta Chanyeol berhenti dari pekerjaannya, tapi pemuda tinggi itu selalu mempertahankan pendapatnya. Dan jika sudah begini, Baekhyun hanya bisa pasrah karena ia tahu, ia akan selalu kalah.

Linangan air mata terus membasahi wajah lelaki itu, segala macam keluh kesah telah ia keluarkan, namun tak ada satu pun yang mampu membuatnya tenang. Dengan menyandarkan punggung sempitnya di sandaran sofa, Baekhyun pun mulai berpikir langkah apa yang harus ia ambil setelahnya. Dan setelah tiga puluh menit berperang dengan akal sehatnya, pemuda mungil itu akhirnya mengambil suatu keputusan penting. Keputusan yang mungkin akan membawanya kepada kemurkaan sang suami.

"Baiklah, Chanyeol. Jika kau tetap bersikeras mempertahankan pekerjaanmu, maka aku pun akan melakukan hal yang sama."

.

XX

.

"Sial! Mereka akan melakukan pemeriksaan di hari misi." Umpat Kai sembari menendang udara.

Chanyeol mengangkat wajah dan menatap lelaki yang baru saja keluar dari kamarnya. Ia tak tampak baik, dan lantas Chanyeol pun menyadari bahwa Kai sama sekali tak terlelap semalaman. Barangkali ia sibuk meretas beberapa situs kepolisian untuk mengetahui jadwal pemeriksaan kapal. Kendati mereka telah membayar mahal kepada perusahaan yang memiliki kapal tersebut, namun tentu mereka tak dapat menjamin jika barang penyelundupan takkan ditemukan.

"Dan itu hanya dua minggu dari sekarang, Chanyeol. Kita nyaris berhasil jika saja polisi-polisi bodoh itu tak memutuskan untuk melakukan pemeriksaan." Imbuh Kai seraya meragut sura gelapnya. Keningnya mengernyit dalam dan sungguh, Chanyeol acapkali bertanya-tanya; bagaimana mungkin ia masih tampak menarik dengan tampang kusut seperti itu?

"Kapan kapal berikutnya berangkat?" tanya lelaki itu, berusaha agar tetap tenang.

"Bulan depan."

"Goddammit!"

Kini keduanya sama sekali tak mampu mengendalikan kepanikan. Wajah Chanyeol lantas memerah dan ia pun mengabaikan roti panggang yang hendak disantapnya sebelum Kai datang dengan informasi tersebut. Tentu mereka tak dapat menunggu lebih lama lagi. Chanyeol sudah berjanji kepada Baekhyun bahwa ia akan menyelesaikannya dengan cepat. Terlebih, jika mereka harus mengulur-ulur waktu, maka besar kemungkinan jika rencana tersebut akan terendus oleh pihak luar. Dan itu adalah hal terakhir yang diinginkan Chanyeol serta Kai. Lagipula, Suho tentu akan kehilangan segalanya jika misi kali ini benar-benar gagal.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Kai, melirik Chanyeol.

Embusan napas berat terhela dari celah bibirnya. Ia melatakkan kepalan tangan di atas meja dan kedua alisnya menyatu tatkala ia menyuarakan jawaban untuk pertanyaan Kai. "Tak ada pilihan lain. Kita akan memajukan waktunya."

"Park Chanyeol, kupikir itu bukan gagasan yang baik. Rencana kita belum cukup matang." Intonasinya terdengar ragu.

"Kita juga tak bisa mengundurnya hingga bulan depan, Kim Jongin!" bentak Chanyeol, tak dapat mengabui tekanan.

Sementara rahang Kai lantas terkatup rapat tatkala ia mendengar nama lengkapnya terlontar dari mulut Chanyeol. Sejak ia bergabung dengan komplotan Suho, lelaki itu telah mengganti namanya guna melindungi identitas asli. Dan sudah menjadi kesepakatan bersama untuk tak memanggil satu sama lain dengan nama asli mereka. Tentu tak semua anggota menggunakan nama samaran. Hanya beberapa yang merasa bahwa keluarga serta kehidupan pribadi mereka perlu dilindungi. Tentu Kai tak mau jika komplotan musuh akan menggunakan keluarganya untuk melancarkan aksi balas dendam. Sementara Chanyeol yang sejak kecilnya tinggal di panti asuhan, ia sama sekali tak memiliki kekuatiran untuk menggunakan nama asli. Satu-satunya kecemasan baginya saat ini hanyalah Byun Baekhyun.

"Kita tak bisa menundanya lagi, Kai." Ujar Chanyeol rendah, kali ini terdengar lebih tenang dari sebelumnya.

Kai menggigit bibir bawah. "Tapi kau tahu bahwa risikonya akan lebih besar, bukan?"

"Setidaknya itu adalah pilihan terbaik ketimbang mengulurnya hingga bulan depan. Mereka takkan menolerir keterlambatan."

Setelah memperhitungkan banyak hal, Kai akhirnya mengangguk setuju. Ucapan Chanyeol memang benar. Mereka yang di Amerika sana takkan menolerir keterlambatan. Itu hanya akan menambah perkara. Atau bahkan menambah musuh bagi komplotan mereka.

"Baiklah, kita lakukan pekan depan."

.

XX

.

Dari: Chanyeol

Subyek: Tunggu Aku

Kau masih ingat janjiku, bukan? Apapun yang terjadi aku tetap akan kembali. Jadi tetaplah menunggu.

Baekhyun nyaris mencampakkan ponsel yang kini tengah berada dalam genggamannya. Setelah tiga hari tak meninggalkan kabar sejak kepergiannya, kini Chanyeol justru mengirim pesan singkat yang sama sekali tak diinginkan Baekhyun. Apakah ia harus mengatakan hal itu kepadanya? Apakah ia harus membuatnya merasa semakin kesal?

Yang Baekhyun inginkan hanya kepulangan Chanyeol. Yang Baekhyun inginkan hanya kabar bahwa ia telah membatalkan misi dan menarik diri dari pekerjaan riskan tersebut. Ia benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan pada rumah tangga mereka. Tentu Baekhyun tak menginginkan perceraian. Tentu pula ia tak ingin berpisah dari sang Suami. Tetapi jika tetap seperti ini, keduanya hanya akan semakin terluka.

Ke: Chanyeol

Subyek: Masa Bodoh

Terserah.

Tak berapa lama kemudian, Chanyeol kembali membalas pesannya.

Dari: Chanyeol

Subyek: Bohong

Aku tahu kau peduli. Aku tahu kau memercayaiku. Aku tahu kau akan menunggu. Jangan menyakiti dirimu sendiri, Baek.

Sesaat setelah ia membaca susunan kalimat-kalimat tersebut, lantas sebulir air mata melinang di salah satu sisi wajah. Ia tahu bahwa ia tak dapat mengelabui Chanyeol. Lelaki itu mengenal dirinya dengan begitu baik. Luar dan dalam. Baekhyun pun tak memercayai dirinya sendiri bahwa kini ia membenci Chanyeol. Tak pernah sekali pun ia membencinya selama tujuh tahun masa hubungan mereka. Hanya satu jenis perasaan yang senantiasa mendekorasi hati ketika ia sedang bersama Chanyeol; cinta.

Belum sempat lelaki itu membalas, ponselnya kembali bergetar oleh pesan masuk.

Dari: Chanyeol

Subyek: Misi

Kami memajukan tanggal misinya karena suatu hal. Semua akan baik-baik saja, tak perlu cemas.

Namun hati Baekhyun berkata lain. Ia tahu sesuatu yang dimaksud Chayeol adalah hal buruk. Baekhyun tak dapat memungkiri kepanikan tatkala ia menggenggam ponsel kepalang kencang hingga buku-buku jarinya memutih. Wajah lelaki itu bersalin merah dan rahangnya mengokoh.

Chanyeol tak boleh melakukan ini padanya. Bagaimana mungkin ia dapat hidup tenang jika mengetahui bahwa mereka tengah manghadapi kesukaran dalam menjalani misi? Baekhyun ingin menyambangi mansion mewah Suho yang nyatanya adalah markas mereka, dan menjerat leher lelaki itu hingga kehabisan napas karena telah melimpahkan tugas seberat ini kepada suaminya. Pernikahan mereka tak pernah berjalan dengan baik. Dan sekarang mereka pula harus menambah beban dengan adanya misi bodoh ini.

Jemari Baekhyun mulai bergerak gemetar tatkala ia membalas pesan singkat milik Chanyeol.

Ke: Chanyeol

Subyek: Pulang

Kau hanya punya satu pilihan. Pulang, atau aku yang akan membunuhmu dengan tanganku sendiri.

Dari: Chanyeol

Subyek: Menarik

Aku tak keberatan dengan keduanya.

Lelaki itu mendengus—tak menyangka bahwa Chanyeol masih dapat berseloroh di tengah-tengah situasi genting seperti ini. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk tak membalasnya dan melepas baterai ponsel.

Kini ia tengah berdiri tegak di hadapan cermin raksasa di kamar mereka. Maniknya mengamati penampilan fisiknya saat ini. Surai cokelat tersebut terarah rapi. Ia mengenakan kemeja serta celana denim hitam. Tiga kancing teratas dari kemejanya sengaja tak dikaitkan, sementara kedua garis matanya dibingkai oleh eyeliner gelap. Lensa kontak abu-abu terpasang sempurna di manik mata.

Jika Chanyeol mendapatinya berpenampilan seperti ini, maka kata pujian takkan pernah habis terlontar dari mulutnya. Ia tentu tak ingin orang lain melihat kesempurnaan sang Suami. Ia tak ingin berbagi. Dan Byun Baekhyun hanyalah untuk Park Chanyeol seorang.

Tetapi lelaki itu telah membulatkan tekad sejak beberapa hari lampau. Jika Chanyeol bersikeras untuk mempertahankan pekerjaannya, mengapa Baekhyun tidak? Benar bahwa ia tak memiliki banyak pengalaman. Ia pula tak berpendidikan. Namun pekerjaan tersebutlah yang telah menghidupinya selama ini. Kendati ia benci jika tubuhnya dijamah oleh tangan lain selain milik Park Chanyeol, tetapi Baekhyun merasakan kelegaan. Ia akan mendapatkan kepercayaan dirinya kembali dan tak merasa berkecil hati lantaran harus menganggur di rumah dan menerima uang pemberian Chanyeol tanpa perjuangan apa-apa. Itu bukanlah Byun Baekhyun.

Maniknya melirik jam dinding yang tergantung di sisi kamar. Ia menarik napas dalam tatkala mendapati waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Maka setelah mengamati penampilan untuk yang terakhir kali, Baekhyun lantas melangkahkan tungkai guna menyambangi salah satu bar langganannya dulu. Tempat di mana ia mencari nafkah. Tempat di mana ia bertemu Park Chanyeol untuk yang pertama kalinya. Baekhyun hanya berharap bahwa perasaan bersalah takkan bercokol di hatinya setelah ini.

.

XX

.

Namanya Oh Sehun. Lelaki jangkung bersurai pirang dan berahang kokoh. Wajahnya rupawan, bahunya pun bidang. Ia tengah menyesap segelas Kamikaze saat Baekhyun tiba di bar dan mendudukan diri di sisi lelaki tersebut. Tak pernah terbersit dalam benaknya untuk menyapa, namun kini justru ia mendapati diri tengah bercengkrama dengan Sehun.

Well, tentu lelaki jangkung tersebut yang berinisiatif menyapa. Entah merasa tertarik untuk menyewanya malam ini atau hanya ingin berbasa-basi. Baekhyun tak peduli apapun alasannya. Ia hanya senang bahwa malamnya tak sendiri. Setidaknya ia dapat berbicara dengan seseorang dan melupakan seluruh masalah yang kini tengah menimpa rumah tangganya.

"Jadi ini Byun Baekhyun yang sering kali menjadi topik pembicaraan di bar?" tanya Sehun, retoris. "Mereka bilang kau menghilang sejak menikah."

Baekhyun terkekeh. "Aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanku. Well, 'suamiku' yang memutuskan, lebih tepatnya."

"Kau yang punya pilihan. Suamimu tak berhak ikut campur."

"Aku sudah menikah dengannya. Jadi setiap keputusan tentu harus diambil bersama."

Sehun mengernyit tidak setuju. "Kupikir kita menganut pemahaman yang berbeda."

Baekhyun bergedik, meminta Sehun untuk menyuarakan pemahamannya mengenai pernikahan.

"Maksudku, memang benar setelah menikah kau harus memutuskan beberapa hal bersama-sama. Tapi menyangkut pekerjaan, itu adalah pilihanmu. Tak segalanya harus diputuskan bersama. Kau hanya melakukan apa yang kausukai, apa yang kaubisa, apa yang kauinginkan. Itu hakmu. Tak seharusnya seseorang melarangmu hanya karena kalian sudah 'menikah'."

Senyum kecut tersungging pada wajah Baekhyun. Ucapan Sehun terdengar begitu mudah. Tetapi apa yang saat ini dihadapi Baekhyun bahkan jauh lebih sukar. Memiliki suami seperti Park Chanyeol takkan membuat hidupmu normal. Begitupun dengan pernikahan yang mereka jalani. Pekerjaannya, wataknya, serta dominasinya membuat hidup Baekhyun seakan-akan adalah miliknya. Dan barangkali memang begitulah kenyataannya. Mungkin ia telah menyerahkan segalanya kepada Chanyeol. Baekhyun tak peduli mengenai itu semua, asalkan Chanyeol tetap berada di sisinya.

"Aku menghargai pemahamanmu." Ujarnya sembari menganggukan kepala.

Sehun terdiam sejenak, mencermati Baekhyun yang kini memilih untuk menyesap Gimlet-nya guna menghindari tatapan lelaki tersebut. Sejatinya ia ingin mengganti topik. Jika mereka tetap mempertahankan subyek mengenai pernikahan, Baekhyun tak yakin bahwa ia akan melupakan masalah rumah tangganya.

"Lalu bagaimana sekarang?" tanya Sehun kemudian, menyadari bahwa pemuda itu mulai merasa tak nyaman dengan pecakapan mereka.

"Apa maksudmu?"

"Kau kembali ke pekerjaanmu?"

"Bisa dikatakan seperti itu. Aku tak benar-benar kembali. Tapi jika seseorang ingin menghabiskan malam denganku maka aku takkan menolak."

"Habiskan malam denganku, kalau begitu."

Sontak kepalanya meneleng. Ia segera meletakan gelas Gimlet-nya ke atas meja dan menatap Sehun dengan raut terperangah. Apakah telinganya sedang tidak salah dengar? Oh Sehun ingin membayar jasanya untuk malam ini?

Well, sama sekali tak terduga bagi Baekhyun lantaran Sehun tak meninggalkan impresi bahwa ia tipe orang yang akan menyewa jasa laki-laki bayaran guna mengikis sepi.

"Apartemenku?"

"A-apa?"

"Aku akan membawamu ke apartemenku."

"Ta-tapi—"

"Kau adalah orang pertama yang kubayar untuk menemaniku, kalau boleh jujur."

Dan Baekhyun sama sekali tak dapat menolak. Nampaknya Sehun pula orang baik. Setidaknya malam ini ia akan melupakan Chanyeol untuk sejenak dan menghabiskan waktu bersama Sehun.

.

XX

.

Nyatanya, apartemen Sehun berlokasi di daerah Gangnam. Bangunannya menjulang dan tampak mewah. Baekhyun sudah menduga jika ia berasal dari keluarga berada tatkala lelaki itu menawarkan untuk membayar minumannya. Ditambah lagi dengan Bugatti Veyron yang dikendarai Sehun ketika ia membawa Baekhyun ke apartemennya. Entah berapa banyak aset yang ia miliki dan apa pekerjaan orangtuanya, Baekhyun tak ingin tahu. Lelaki itu kemari hanya untuk menjalani pekerjaan.

"Silakan duduk." Ujarnya sembari melempar kunci mobil ke atas meja rendah di depan sofa. Ia kemudian melanglang ke dapur dan membuka lemari pendingin untuk memeriksa persediaan minuman. Seperti biasa, semua tampak lengkap. "Kau mau minum apa?" tanyanya sembari melirik Baekhyun yang kini telah mendudukan diri di atas sofa mewahnya.

"Air putih. Aku sudah terlalu banyak meminum alkohol di bar." Jawabnya enteng.

"Tidak masalah."

Tak berselang lama, Sehun kembali dengan membawa segelas air putih seperti ucapan Baekhyun. Ia memosisikan diri di samping lelaki tersebut, kemudian mengambil remote kontrol untuk menyalakan pemutar musik di sisi teve.

Lantas alunan Jazz Klasik milik John Coltrane memenuhi penjuru ruangan. Musik berjudul Blue Train tersebut menyentak Baekhyun dari duduknya. Matanya menatap Sehun tak percaya. Apakah tampangnya menunjukkan bahwa ia menikmati musik Jazz? Mengapa pula Sehun memutar musik membosankan seperti ini?

"Sejak kecil orangtuaku sudah membiasakanku mendengarkan musik Jazz. Aku tahu kau akan menganggapku aneh. Tapi selama ini hidupku diatur oleh mereka."

Ia merasa sedikit bersimpati dengan Sehun. Agaknya lelaki ini tak dapat menikmati hidup mewahnya dengan leluasa oleh segala aturan ketat yang ditetapkan orangtuanya.

"Byun Baekhyun," panggilnya kemudian.

Baekhyun menaikkan kedua alis, meminta Sehun melanjutkan ucapan.

"Aku hanya ingin kau menemaniku malam ini."

"Tentu saja. Bukankah itu sebabnya aku kemari?"

Lelaki itu menggeleng dengan kekehan ringan. "Tidak, bukan itu maksudku."

"Lalu?" kerutan samar mulai nampak pada kening Baekhyun.

"Temani aku berbicara. Aku butuh seseorang."

Lantas ia terbungkam. Apakah telinganya mengalami gangguan?

"Aku sedang menghadapi banyak masalah. Dan aku tidak tahu harus menceritakannya kepada siapa. Well, kita tidak saling mengenal satu sama lain. Akan lebih baik jika kita tak memberitahu identitas pribadi masing-masing. Aku hanya tahu kau sebagai Byun Baekhyun si Laki-Laki Bayaran, dan kau hanya tahu aku sebagai Oh Sehun yang terkekang. Bagaimana?"

Lelaki itu tampak berpikir sejenak. Ia mencermati wajah Sehun, berusaha menyelami maniknya. Mencari maksud dari semua ini. Baekhyun tak heran jika ia membayarnya hanya untuk menemaninya berbicara. Barangkali ia sedang merasa kesepian, atau ia tak memiliki sahabat untuk membagi beban. Well, tak ada salahnya mendengarkan, bukan?

"Baiklah."

"Dan berapa tarifmu per jam?"

Baekhyun tergelak mendengar pertanyaannya. "Oh, tidak perlu. Lagipula kau hanya butuh teman untuk berbicara."

Salah satu alis Sehun berjingkat. Ia sama sekali tak tak menyetujui ucapannya. "Tuan Byun, aku akan menahanmu di sini dan menyita seluruh waktu yang kaugunakan untuk bekerja. Jadi biarkan aku mengganti itu semua dengan membayarmu."

Baekhyun memutar kedua bola matanya sembari mengibaskan tangan di depan wajah Sehun. "Oh, lakukanlah semaumu."

Setelahnya, tak ada percakapan di antara. Sehun lantas memalingkan wajah dan menatap ke arah teve tanpa fokus pasti. Tentu benda elektonik tersebut tak menyala. Hanya alunan musik Jazz Klasik dari pemutar musik yang menyumbang suara. Sementara Baekhyun masih menanti dengan sabar hingga Sehun siap untuk menumpahkan keluhan padanya.

Lima menit kemudian, lelaki itu berdeham. Baekhyun lantas menegakkan tubuh dan memusatkan pandangan pada raut statis Sehun. Nampaknya ia telah memungut seluruh kepercayaan diri.

"Aku memiliki seorang tunangan dan seorang kekasih."

Demi Tuhan, Baekhyun nyaris menjatuhkan rahang ke atas lantai tatkala Sehun mengatakan fakta tersebut.

"Tunanganku seorang wanita sementara kekasihku seorang pria."

Dan kini mata sipitnya yang kian membulat. Diam-diam ia mencubit lengannya sendiri untuk meyakinkan diri bahwa kalimat tersebut benar-benar keluar dari mulut Sehun.

"Aku tidak bohong. Kami sudah berpacaran sejak SMP dan satu tahun lalu kami memutuskan untuk bertunangan. Tapi enam bulan belakangan aku pun berpacaran dengan lelaki pertukaran pelajar dari Cina. Kami bertemu di kampus, tentu saja. Dan yang membuat segalanya lebih rumit, aku dan tunanganku akan menikah dalam tiga bulan dari sekarang." Terangnya, masih tak menunjukkan raut apapun. Sehun pun sudah terlampau bingung menghadapi semua ini hingga ia tak tahu bagaimana cara mengekspresikannya.

"La-lalu kau menyembunyikan ini dari tunanganmu?"

Sehun menggeleng. "Dia tahu." Lelaki itu terdiam untuk menarik napas dalam sebelum kembali melanjutkan, "dan dia tetap ingin menikah denganku."

"Siapa yang kaucintai?" tanya Baekhyun lirih.

"Keduanya."

alisnya menyatu. "Kau tak bisa melakukan itu, Sehun. Setidaknya pilih salah satu di antara mereka."

"Tunanganku mengatakan jika hanya ini yang bisa membuatku tetap bertahan dengannya, maka ia takkan menentang hubungan kami—aku dan laki-laki itu."

Sesuatu seakan menembus jantung Baekhyun tepat sasaran. Ia menggigit bibir bawah, menemukan bahwa cinta segitiga milik Sehun sama kompleksnya dengan rumah tangga mereka—Baekhyun dan Chanyeol. Kini ia mulai mempertanyakan keabsahan dari kata cinta. Apa definisi sebenarnya? Mengapa justru yang mereka rasakan hanya penderitaan? Mengapa justru mereka menjadi semakin terluka? Semakin dalam ia mencintai maka semakin ganas pula sakit yang menggerogoti hati.

Bukankah cinta adalah sebuah perasaan hangat yang membuatmu nyaman? Perasaan luar biasa yang tak mampu ditemukan definisinya? Tetapi mengapa pernikahannya dengan Chanyeol tak pernah lepas dari pertikaian? Mengapa hubungan Sehun dengan kedua orang tersebut harus dihadapkan dengan situasi dilematis? Mengapa ia dapat mencintai dua orang sekaligus dalam satu waktu?

Baekhyun merasa jika posisinya kini tak berbeda jauh dengan tunangan lelaki tersebut. Mereka terlampau mencintai pasangan masing-masing hingga tanpa sadar justru telah menyakiti diri sendiri. Mempertahankan hubungan yang sama sekali tak memiliki harapan takkan membawamu pada puncak kebahagiaan. Namun Baekhyun tidak akan sanggup melanjutkan hidup jika mereka berpisah pada akhirnya. Seakan-akan hidupnya sudah bergantung kepada Chanyeol. Lelaki itu adalah pilarnya. Penopangnya. Ia takkan dapat berdiri tegak tanpa sokongan sang Suami.

Malam itu, Baekhyun memutuskan untuk angkat kaki dari apartemen mewah Sehun ketika ia mendapati bahwa lelaki tersebut sudah terlelap di lengan sofa. Waktu telah menunjukkan pukul dua dini hari saat tungkainya melangkah membelah sunyi. Kota Seoul tak pernah mati. Beberapa kendaraan masih berlalu-lalang dan lampu-lampu toko dua puluh empat jam pun masih menyala terang.

Ia menatap ponsel yang kini tergenggam di tangan kanan. Nama Chanyeol terpampang pada layar mungilnya. Baekhyun tengah menimbang-nimbang apakah menelepon sang Suami adalah keputusan terbaik. Apakah sekaranglah waktunya untuk rujuk kembali. Apakah ia harus menyerah untuk yang ke sekian kalinya dan membiarkan Chanyeol menang.

Di menit berikutnya, ia telah menempelkan ponsel tersebut ke telinga, menanti hingga Chanyeol mengangkat panggilan. Alih-alih sapaan bersuara bariton yang didapati Baekhyun, ia justru disambut oleh si Wanita Operator yang menawarkan opsi pesan suara. Tak dapat dipungkiri bahwa Baekhyun kecewa. Ia berharap jika Chanyeol akan menjawab panggilannya.

Well, lelaki itu tak memiliki pilihan lain selain meninggalkan sebuah pesan suara untuk sang Suami.

"Hei," sapanya lirih. "Kau sedang apa?" berjeda sejenak, sebelum akhirnya menyambung, "kuharap semuanya berjalan lancar. Pulanglah segera, aku merindukanmu. Dan Chanyeol, maaf."

Tenggorkannya tercekat tatkala ia mengucapkan kalimat terakhir. Ia tak mampu menutupi rasa bersalah. Sebelumnya Baekhyun pernah berjanji bahwa ia takkan terjun kembali ke pekerjaan kotornya setelah menikahi Chanyeol. Dan kendati lelaki itu tak melayani siapapun dengan tubuhnya, perasaan bersalah masih setia bercokol dalam hati. Hanya saja Baekhyun tak sanggup mengaku.

"Aku mencintaimu."

Selepas melafalkan frasa tersebut, ia lantas mengakhiri pesan. Bulir-bulir air mata melinangi wajah. Napasnya memberat dan dadanya sesak. Ia menginginkan Chanyeol. Ia membutuhkan suaminya. Dan ia akan melakukan segala cara untuk mempertahankan pernikahan mereka.

.

XX

.

Tumpukan kertas, beberapa bungkus rokok, bahkan kaleng bir nampak menghiasi ruangan bergaya Eropa tersebut. Park Chanyeol tak acuh, fokusnya hanya pada komputer jinjing miliknya. Kesepuluh jarinyapun degan lincah menari-nari di atas tombol komputer tersebut. Sesekali pemuda itu mengisap batangan rokok yang tergeletak tak jauh darinya, sekadar memberikan ketenangan. Misi besar-besaran yang akan dilakukan beberapa hari ke depan memaksa Chanyeol untuk kerja ekstra membuat skema penyelundupan obat-obatan terlarang itu. Kesempurnaan dan keberhasilan merupakan harga mutlak bagi pemuda Park tersebut.

"Aku tahu. Kami akan segera menyelesaikannya. Hyung jangan khawatir, serahkan semuanya padaku dan Chanyeol." Suara Kai membelah keheningan. "Hmm, baiklah. Sampai jumpa."

"Ada apa?" Tanya Chanyeol tanpa mengalihkan fokusnya

"Suho Hyung meminta kita menyelesaikan misi ini secepatnya."

"Apa dia pikir saat ini kita sedang bersantai?"

"Ini membuatku tertekan. Suho Hyung ditekan oleh pihak Amerika yang otomatis juga menekan kita. Sialan! Kenapa para polisi sampai melakukan pemeriksaan di hari yang sama?"

"Berhenti mengoceh. Bantu aku menyelesaikan rancangan ini." Titah Chanyeol sembari melempar beberapa gulungan kertas ke arah Kai yang dengan sigap ditangkap.

Pemuda itu memeriksa hasil kerja Chanyeol. Harus diakui bahwa parnernya tesebut berotak brilian. Chanyeol telah mempersiapkan semuanya dengan sangat detil. Namun, di antara rasa kagumnya, Kai terlihat mengernyitkan alis melihat satu nama yang tertera di kertas tersebut.

"Kau gila." Umpatnya

"Hanya itu satu-satunya cara jika rencana A tidak berjalan sebagaimana mestinya." Ucap Chanyeol dengan kepulan asap beracun yang keluar dari bibirnya.

"Tapi menyuap seorang polisi itu tindakan kriminal. Terlebih orang sekelas Kris Wu."

"Sejak kapan pekerjaan kita tidak jauh dari kriminal, Kim Kai?"

"Tapi ini terlalu berbahaya, Park, belum tentu dia mau disuap."

"Come on, kau seperti tidak mengenal Kris Wu saja. Dan apa kaukira semua jabatan dan kehormatan yang dia dapat murni dari kerja keras dan kejujuranya? bullshit. Apapun akan Kris Wu lakukan demi uang"

"Bagaimana jika dia menolak dan malah memenjarakan kita? Kudengar dia sangat berambisi menghancurkan komplotan kita."

"Gampang. Bocorkan saja kepalanya."

"Kau benar-benar brengsek. Tapi itulah dirimu."

"Dengar, aku membuat skema penyelundupan ini bukan dalam waktu satu malam. Semuanya telah kupersiapkan dengan matang, termasuk risiko kecil sekali pun. Harus kuakui risiko kali ini lebih berbahaya dari sebelumnya. Tapi ini lebih baik daripada menunggu jadwal berikutnya dan itu bisa membuat pihak Amerika menyerang kita."

"Baiklah, aku setuju. Di bagian mananya yang harus kuselesaikan?"

"Ini, kau selesaikan bagian ini. Sisanya biar menjadi urusanku." Telunjuk Chanyeol mengarah pada satu titik. "Aku akan menghubungi Suho Hyung dan memintanya menyiapkan paketnya."

"Perlu kuingatkan, Park. Sekarang jam empat pagi. Aku yakin dia tengah terlelap bersama mimpi indahnya."

"Mau taruhan denganku?" tantang Chanyeol dengan senyum miring. Sementara Kai hanya merotasikan kedua bola matanya.

Lelaki jangkung itu pun merogoh saku celananya. Mengeluarkan benda persegi yang sejak kemarin ia abaikan. Bukan tanpa alasan kenapa Chanyeol melakukannya. Dia hanya berusaha menghindari orang-orang yang bisa mengganggu konsentrasinya. Bukankah sudah kukatakan jika kesempurnaan dan keberhasilan adalah harga mutlak.

Baru saja jemarinya hendak memencet deretan angka untuk menghubungi Suho, pemuda itu terlebih dulu mendapatkan pemberitahuan pesan suara. Serta merta pikirannya pun melayang kepada Baekhyun, suami mungil yang begitu dirindukan dan dicintainya. Dengan senyum idiot, ia pun segera membuka pesan suara tersebut.

"Hei, kau sedang apa? Kuharap semuanya berjalan lancar. Pulanglah segera, aku merindukanmu. Dan Chanyeol, maaf." Hening sejenak, lalu, "aku mencintaimu."

Alis chanyeol menukik tajam, merasa ambigu dengan ucapan maaf Baekhyun, tetapi lelaki itu mencoba berpikiran positf dengan beranggapan ucapan maaf Baekhyun berhubungan dengan perihal permintaannya agar sang suami berhenti dari pekerjaannya. Oh, betapa Chanyeol sangat merindukan suaminya. Maka dengan perasaan membuncah, ia pun segera menghubungi Baekhyun.

"Halo!" sapa Baekhyun cepat tepat setelah deringan pertama terputus.

"Hai Baek. Apa yang kau lakukan?"

Baekhyun mendengus keras mendengar pertanyaan absurd Chanyeol, sedangkan Kai berusaha menahan tawa melihat tingkah konyol sahabatnya yang bisa berubah autis jika berhubungan dengan Baekhyun.

"Kau sinting."

"Aku juga merindukanmu."

"Aku membencimu."

"Oh, manis sekali, aku juga merindukanmu."

"Berhenti bersikap idiot!"

"Baiklah. Aku ingin bertemu denganmu sekarang."

"Aku tidak sudi. Lagipula sekarang masih terlalu pagi, bodoh!"

"Kalau begitu aku akan pulang dan memerkosamu hingga kau 'tak bisa berjalan selama seminggu penuh.'"

"Kau brengsek. Di mana aku harus menunggumu?"

"Di tempat biasa. Dan kau harus sampai di sana dalam waktu dua puluh menit, jika tidak bersiaplah menerima hukuman Park Baekhyun."

"Dasar gila." Dan tanpa menunggu balasan dari suaminya, Baekhyun segera memutus sambungan telponnya. Sementara Chanyeol segera melesat membelah jalanan kota Seoul dengan motor Ducati yang selama ini tertidur pulas di dalam garasi rumah mewah Kai.

.

XX

.

Kepulan asap beberapa kali keluar dari sepasang bibir Ceri Baekhyun, ia pun beberapa kali menggosok-gosokkan telapak tangan dan menyentuhkannya ke pipi guna mencari kehangatan di tengah cuaca dingin yang dirasakan. Chanyeol memang menyuruhnya tiba di tempat ini dalam waktu dua puluh menit, tapi kenyataannya Bakhyun justru tiba lima menit lebih cepat. Entahlah, Baekhyun hanya merasa takut entah pada apa. Tidak seperti dirinya yang kerap tidak pernah merealisasikan ancaman yang diberikan, Chanyeol justru kebalikannya.

Kini obsidiannya menangkap sosok Chanyeol yang tengah memarkirkan motor besarnya di pinggir jalan sembari melepaskan helm yang terpasang di kepalanya. Jangan tanyakan apakah Baekhyun mengetahui perihal motor tersebut, karena percayalah tanpa diberitahu sekali pun, Baekhyun tahu dari mana Chanyeol mendapatkannya.

Kegugupan lantas menerjang tubuh mungilnya tatkala melihat senyum menawan Chanyeol yang hanya ditujukan untuk dirinya. Ia pun segera menundukkan kepala agar Chanyeol tak melihat perubahan wajahnya.

"Hai, Baek." Sapa Chanyeol ketika bokongnya mendarat dibangku sebelah Baekhyun dan mendekap tubuh mungilnya. "Aku merindukanmu." Lanjutnya berbisik di telinga Baekhyun. Namun itu justru membuat si Mungil terdiam dengan perasaan yang berkecamuk di dada selama beberapa detik, sebelum akhirnya secara perahan ia membalas pelukan hangat sang suami di detik berikutnya.

Chanyeol nampak heran dengan sikap Baekhyun, tak seperti biasanya sang suami lambat membalas pelukannya. Tapi sekali lagi, Chanyeol mencoba berpikir positif. Mungkin Baekhyun masih marah, pikirnya.

Kemudian yang lebih tinggi melerai dekapannya dan menatap lembut si mungil. "Aku mencintaimu"

Baekhyun semakin gelisah dalam duduknya. "Aku juga mencintaimu, Chanyeol."

"Selama aku tak ada, kau baik-baik saja, 'kan?"

Baekhyun langsung memalingkan wajah, berkilah dari tatapan Chanyeol. Sungguh ia masih belum siap jika harus menghadapi kemurkaan suaminya. Diam-diam pemuda itu pun meremas ujung kemejanya dan hal itu tak luput dari perhatian Chanyeol

"Aku—y-ya, aku baik-baik saja" ujarnya sambil tersenyum lembut yang menurut Chanyeol dipaksakan.

"Kau yakin? Kau terlihat aneh hari ini." Lanjutnya sambil memicingkan mata, dan Baekhyun sadar betul arti tatapan itu. Sebisa mungkin ia menyembunyikan kegugupannya dengan mengangguk cepat.

"Ak-aku, tidak apa-apa, Yeol. Percayalah." Setelahnya ia kembali menundukkan kepala.

Baekhyun tidak pandai berbohong, kalau pandai, maka ia tidak akan pernah bisa membohongi Chanyeol. Segala gerak-gerik yang dilakukan Baekhyun tak luput dari perhatian Chanyeol. Kegelisahan, kegugupan bahkan sikapnya cukup membuktikan bahwa Baekhyun tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Akan tetapi, Chanyeol sengaja bersabar, ingin mencari tahu sampai di mana suaminya membohonginya.

"Aku akan menjalankan misinya dua hari lagi." Baekhyun lantas mendongakkan kepala dan menatap suaminya.

"Kenapa? Jika aku tidak salah tebak, seharusnya kalian melakukannya minggu depan."

"Ada sedikit hambatan, bukan sesuatu yang besar tapi cukup merepotkan. Kepolisian sepertinya mendapat kabar entah dari siapa kalau di hari itu akan ada penyelundupan obat-obatan terlarang, hingga mereka melakukan pemeriksaan di hari yang sama. Karena itulah kami mempercepat eksekusinya."

"Kenapa tidak menunggu di minggu berikutnya?"

"Tidak, Baek, jadwal berikutnya adalah bulan depan. Kami tidak mau mengambil risiko. Pihak Amerika tidak menolerir keterlambatan. Selain itu bukankah aku berjanji padamu untuk menyelesaikan misi ini secepatnya?"

Kata-kata Chanyeol bagaikan sebuah palu besar yang menghantam dada Baekhyun. Perasaan bersalah semakin menyiksanya. Memang setelah ia memutuskan kembali ke dunianya—tidak secara harfiah, tak ada satu pun tangan-tangan jahil yang menyentuhnya. Tapi tetap saja mengingkari janji adalah sebuah pengkhianatan.

"Kau masih ingat janjiku, 'kan, Baek?"

Seakan tersadar dari lamunannya, pemuda itu menganggukkan kepalanya. Setelahnya keduanyapun terdiam selama beberapa menit.

"Sekarang, apa yang tidak kuketahui?" Chanyeol kembali membuka suara.

"Maksudmu?"

"Apa yang sudah kaulakukan selama aku tidak ada?"

"Aku tidak melakukan apa-apa, Yeol. Sungguh."

"Jangan berbohong padaku, Baek. Kau tak pandai melakukannya. Katakan! Apa yang kau sembunyikan dariku? Katakan padaku yang sebenarnya Byun Baekhyun, atau aku akan mencabut nyawamu detik ini juga!" Habis sudah kesabaran Chanyeol, ia muak dengan dengan sikap Baekhyun yang tidak mau jujur terhadapnya.

Mendengar ultimatumnya, Baekhyun merasa ciut. Lantas ia membuka mulutnya untuk mengucakan sesuatu namun setelah sekian detik terlewati, tak ada satu kata pun yang terlontar.

"Byun Baekhyun!" terdapat penekanan di setiap suku kata yang diucapkan.

"A-aku—aku melakukan pekerjaan itu lagi."

Rahang Chanyeol mengeras, tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Sorot matanya tajam seakan mampu menembus kepala lawan bicaranya. Sungguh, jika Baekhyun bukan suaminya, Chanyeol takkan segan membakar pemuda itu hidup-hidup.

"Kenapa kau melakukannya?" intonasi yang diguanakan begitu datar seakan menahan gejolak emosi yang ditahannya.

"Karena aku kesepian. Kau lebih mementingkan teman-temanmu daripada aku."

"What the heck, Baek? Kau membiarkan mereka memegangmu?"

"Tidak ada yang menyentuh tubuhku. Aku hanya menemaninya mengobrol, tidak lebih."

"Itu tidak menutup kemungkinan, tangan kotor mereka tidak menyentuhmu."

"Harusnya kau lebih bisa memahamiku, Chanyeol. Aku kesepian dan mencemaskanmu. Kau sebagai suamiku hanya mementingkan perasaan komplotanmu, tanpa pernah perduli perasaanku." Kini air mata jatuh membasahi wajah rupawan Baekhyun. Chanyeol menyadarinya, dari sekian banyak air mata yang ditumpahkan, inilah air mata yang paling menyakiti hatinya. Perlahan ia pun kembali mendekap tubuh suami kecilnya.

"Maafkan aku, Baekhyun, aku tahu aku salah." Sesalnya." Kumohon, maafkan aku."

"Jerk!" Isak Baekhyun dengan memukul tubuh Chanyeol berusaha menumpahkan kesedihannya. "Pulanglah, Yeol. Aku mohon."

"Tidak untuk saat ini, Baek."

"Kau brengsek."

"Aku tahu."

Chanyeol membiarkan Baekhyun menangis dalam pelukannya. Hati Chanyeol teriris melihat kesedihan sang suami. Ia pun bingung harus meakukan apa, kecuali memberikan usapan-usapan lembut di punggung Baekhyun seakan memberikan ketenangan pada pemuda mungil tersebut serta kecupan-kecupan kecil di kepala lelakinya.

"Aku akan kembali padamu, aku janji. Karena itu tunggulah kepulanganku."

"Bagaimana aku tahu kau akan kembali padaku?"

"Aku pasti akan kembali padamu, Baek. Aku tak memiliki tempat lain selain kau. Jadi percayalah dan tunggu aku."

Baekhyun bukan lelaki bodoh yang tak tahu maksud dari deretan kalimat yang diucapkan Chanyeol. Maka ia pun mengangguk, memantapkan hatinya bahwa Chanyeol akan selalu kembali padanya, walau sekelumit kecemasan masih bercokol di dadanya.

"Tepati janjimu, Tuan Park, jika tidak aku bersumpah akan segera menyusulmu detik itu juga."

"Maka aku akan senang menerimamu."

Selanjutnya ia pun membawa Baekhyun dalam sebuah ciuman lembut dan dalam, saling memuja dan sarat akan cinta.

.

XX

.

Kapal telah berlayar sepuluh menit yang lalu. Chanyeol menatap kelamnya langit tanpa taburan bintang serta sinar keperakan bulan. Cuaca memang tampak tak baik sejak sore tadi, namun hujan tak kunjung mengguyur.

Ia menarik napas sedalam mungkin, berusaha menenangkan gejolak aneh dalam hati. Entah perasaan kuat apa yang telah mengusiknya seharian ini. Sesuatu terasa begitu janggal. Seakan-akan ia tengah diintai sejak mereka keluar dari kediaman Kai pagi tadi. Ia ingat ketika mereka berpapasan dengan kendaraan bercat hitam dengan nomor polisi yang sama sebanyak tiga kali sebelum akhirnya tiba di dermaga keberangkatan. Dan lelaki itu pun akhirnya tersadar bahwa rencana kedua mereka tengah berada di ambang kegagalan.

Ia mengumpat tatkala ekor matanya menangkap sesosok pria berjas hitam tengah memegang telinga kanannya. Ia tahu itu adalah alat komunikasi. Lalu pria lain yang berjarak tujuh meter di sisi Timur—memegang sebuah botol minuman keras—tak henti-hentinya melirik ke arahnya.

"Oh, great. Just great!" gumamnya sembari merunduk. Kedua tangannya memegang besi pembatas kapal sementara otaknya tengah berputar keras untuk mencari akal agar mereka dapat lolos dari kepungan polisi.

Well, ia tak sedang memegang barangnya. Kai-lah yang bertugas menjaga barang tersebut sementara fungsi Chanyeol adalah sebagai pengobservasi situasi. Jika saja lelaki itu menyadarinya lebih awal, maka ia dapat menghubungi Kai tanpa kendala. Namun kini setiap gerak-geriknya tengah diawasi, ia tentu tak boleh bertindak gegabah yang akan memancing kecurigaan.

Perlahan, Chanyeol mengambil langkah mundur. Ia mendapati sebuah pintu di bawah tangga berkarat. Setidaknya Chanyeol harus bergerak gesit pada waktu yang tepat untuk mengelabui pengamatan mereka. Dan peluang itu pun tiba ketika ia mendapati salah seorang penumpang tengah membawa troli berisi tumpukan boks kayu.

Ketika pria berkumis tersebut melewati sisinya, maka Chanyeol segera membungkuk, lantas memutar arah hingga tanpa kesulitan kini ia telah berada di dalam sebuah ruangan pengap. Aroma anyir menusuk indra penciumannya dan sepatu kedsnya memijak genangan air. Tangannya segera menceluk saku celana, untuk mengambil ponsel agar dapat menghubungi Kai. Tak sampai dua detik, panggilannya lantas terjawab.

"Kita masuk jebakan." Ujar Chanyeol cepat.

"Apa?"

"Informasi yang kaudapatkan pekan lalu itu jebakan. Mereka sudah memrediksi semuanya dan kupikir kita sedang diawasi sekarang."

"Kau punya Plan B?"

Chanyeol menelan saliva dengan susah payah—mempersiapkan diri untuk menyuarakan satu-satunya opsi yang mereka punya.

"Buang barangnya."

"Kau sinting?!" pekik Kai.

"Buang ke laut. Kita tak punya banyak waktu. Hei, dengar, kau mau mendekam di penjara atau gagal dalam misi?"

Kai membisu. Ia tahu bahwa ia tak ingin membusuk di balik jeruji besi. Hidupnya telampau menyenangkan untuk disia-siakan seperti itu. Dan kendati pada akhirnya mereka akan bermusuhan dengan klien di Amerika, namun Suho pun pasti memahami situasi mereka saat ini. Toh jika mereka tertangkap, semuanya akan berbuah sama; misi gagal.

"Berhati-hatilah. Jangan sampai ada saksi." Ujar Chanyeol, sebelum memutuskan sambungan. Kini jemarinya bergerak pesat untuk menuliskan pesan singkat kepada Suho bahwa mereka sedang dalam bahaya. Setidaknya lelaki itu harus tahu situasi yang sedang dihadapi saat ini. Meski kecil kemungkinannya mereka akan tertolong, namun tak ada salahnya untuk berharap.

Sesaat setelah pesan terkirim, Chanyeol mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia mulai panik. Kepalanya menoleh ke segala arah, mencari tempat persembunyian. Atau setidaknya ada celah baginya untuk keluar dari tempat ini. Namun segala niat terurung lantaran suara derit pintu berkarat memeranjatkannya. Ia menjatuhkan ponsel ke dalam genangan air, dan lantas layarnya padam. Chanyeol harap ponsel itu benar-benar rusak hingga mereka tak memiliki bukti untuk menahannya. Kendati ia telah memasang timer agar seluruh sejarah panggilan dan pesan segera terhapus dalam waktu sepuluh menit, namun tak menutup kemungkinan bahwa dalam waktu sepuluh menit para petugas sialan tersebut dapat membongkar seluruh isi ponselnya.

Sorot lampu senter serta merta menusuk retina matanya. Chanyeol memicing, berusaha menghalau sinar dengan lengan kekarnya. Lalu derap-derap langkah lainnya mengikuti, hingga mereka tiba tepat di hadapan Chanyeol.

"Angkat tangan!" perintah suara yang terdengar familier di telinga lelaki itu.

Chanyeol menuruti instruksinya. Ia lantas terdorong ke bawah hingga kini kakinya tertekuk. Kedua pergelangan tangannya terkunci oleh borgol dan ketika kepalanya mendongak, Chanyeol menemukan lelaki jangkung yang selama ini menjadi musuh terbesar komplotan mereka.

Kris Wu tersenyum timpang. Ia mematikan lampu senter, lalu ikut berjongkok di hadapan Chanyeol.

"Senang bertemu denganmu lagi, Tuan Park." Ujar Kris dengan intonasi mencibir.

Lelaki itu membalas seringaiannya. "Well, kurasa aku cukup muak melihat wajahmu."

Ia memutar kedua bola matanya. "Tentu saja, karena kau tahu bahwa kali ini kau takkan bisa lolos dariku."

"Aku tak memiliki apa yang kaucari, Tuan."

"Benarkah? Hm… kurasa aku harus menyita ini—" ia mengangkat ponsel Chanyeol "—untuk dijadikan barang bukti."

Tak dapat dipungkiri bahwa kepanikan kini tengah menerjang dirinya secara membabi-buta. Jika seluruh pesan-pesan serta panggilan-panggilan tersebut tidak terhapus, maka tamatlah riwayatnya. Tamatlah pernikahan mereka. Baekhyun sudah pasti akan meninggalkannya. Ia telah memperingatkan Chanyeol tak terhitung jumlahnya, dan Chanyeol mengabaikan seluruh peringatan tersebut.

Kris lantas menariknya berdiri dengan paksa, dan menyeretnya keluar dari ruangan pengap itu. Tepat ketika hidungnya menghirup udara segar, maniknya sontak menemukan sosok Kai yang bernasib sama seperti dirinya. Kedua tangannya terkunci di belakang tubuh, dan wajahnya tampak pucat. Oh, apakah Dewi Fortuna tak lagi berpihak pada mereka?

.

XX

.

Lidah Baekhyun menjadi kelu tatkala suara Suho di seberang sana seakan menusuk gendang telinganya. Setiap katanya berkumandang dalam benak dan serta merta pening menerjang. Ia menggenggam ponsel yang kini masih menempel di telinga kanan sekuat tenaga. Wajahnya memerah oleh amarah dan kepanikan. Apa yang ditakutinya saat ini benar-benar terwujud. Suaminya, Park Chanyeol-nya, tengah menjalani pemeriksaan di ruang interogasi bersama Kris Wu dan anak-anak buahnya. Dan amarah yang ia rasakan untuk Suho terlampau besar hingga bentakan kini tengah menggantung di ujung lidah.

"Kami masih menunggu hasilnya. Tapi kau jangan kuatir. Ini semua belum—"

"Aku tidak peduli!" pekik Baekhyun dengan suara bergetar. "Kembalikan suamiku sekarang juga. Kau harus bisa membebaskannya dari sana."

Suho menghela napas berat. "Maaf, yang dapat kita lakukan sekarang hanya menunggu hasil pemeriksaannya."

"Brengsek! Kenapa kau harus memberikan tugas seberat ini kepada Chanyeol? Dan sekarang kau tak dapat mempertanggung jawabkan keputusanmu? Well, ketua macam apa kau?"

"Baekhyun, tenangkan dirimu dulu—"

"Jika kau tak dapat membebaskannya, maka jangan harap kau pula bisa hidup tenang. Aku akan melakukan segala cara untuk membongkar seluruh rahasia kalian."

"Byun Baekhyun—"

Ia tak membiarkan Suho menyelesaikan kalimat. Baekhyun lantas memutuskan sabungan, dan tungkainya lantas menyerah. Ia kini bersimpuh di atas lantai dengan cucuran air mata. Terkadang lelaki itu bertanya-tanya; mengapa air matanya tak kunjung habis setelah sekian banyaknya ia menumpahkan cairan kristal tersebut selama menjalin hubungan dengan Chanyeol?

Sekujur tubuhnya bergetar hebat. Sekonyong-konyong hawa dingin menusuk permukaan kulit dan membekukan setiap sendi-sendi tulang. Bayangan bahwa ia tak dapat bertemu dengan Chanyeol lagi—bahwa Chanyeol takkan kembali ke pelukannya—memberi begitu banyak tekanan bagi batin dan mental Baekhyun.

Ia mendekap tungkai dan membenamkan wajah di antara kedua lutut. Entah sudah berapa liter air mata yang terbuang, pun berapa banyak waktu yang telah ia habiskan untuk meratap. Untaian doa senantiasa dilafalkan lidahnya. Kendati kecil kemungkinannya, namun tak ada salahnya menggantung harapan. Baekhyun bukanlah seseorang yang religius. Sejak kecil ia tak memiliki kepercayaan seperti itu. Namun kini—jika Chanyeol benar-benar kembali—ia berjanji bahwa ia akan mengunjungi tempat ibadah saat akhir pekan nanti. Hanya sekadar untuk mengucapkan terima kasih.

Entah sejak kapan, tubuh Baekhyun kini telah berbaring di atas padatnya permukaan lantai dengan posisi miring. Sisi wajahnya menyentuh dinginnya marmer dengan tungkai menekuk. Ia tak lagi terisak, namun napasnya beberapa kali tercekat. Kedua matanya sembap dan wajahnya memerah.

Telinga Baekhyun menangkap suara derit pintu. Ia tak menggubris. Jika itu Suho, maka Baekhyun hanya akan mengabaikannya. Jika itu adalah sekelompok perampok yang hendak merampas barang-barang mewahnya, Baekhyun pula takkan peduli. Ia telah kehilangan Chanyeol, dan tak ada hal lain yang lebih berarti dari lelaki tersebut.

Suara langkahnya kian merapat. Baekhyun menarik napas dalam dengan bahu gemetar. Kemudian langkah tersebut berhenti tepat di depannya. Ia menatap sepasang sepatu keds yang tampak familier. Ia mendengar napas berat yang selama tujuh tahun belakangan kerap mendengkur di sisi telinganya ketika mereka terlelap bersama. Ia dapat menghirup aroma tembakau yang menjadi ciri khas sang Suami.

Namun Baekhyun tak dapat tersenyum. Ia merasakan kelegaan tiada tara hingga hanya tangisanlah yang dapat mengekspresikan gejolak emosi dalam hati. Ratapannya kembali terdengar kencang. Ia memejamkan kedua mata begitu erat tatkala Chanyeol ikut membaringkan diri di sisinya. Tangannya meraih kelima jemari kiri Baekhyun dan memberikan genggaman kuat. Ada banyak kata yang hendak ia suarakan, namun tenggorokannya terasa begitu tandus.

Ia hanya dapat menanti. Menanti hingga tangis Baekhyun mereda. Menanti hingga lelaki itu mengijinkannya mendekap tubuh rapuh tersebut. Menanti hingga ia mampu menegaskan bahwa presensinya adalah nyata. Ia kembali hanya untuk Baekhyun. Ia kembali untuk menepati janjinya.

Dan ketika kelopak matanya terbuka, Baekhyun mendapati raut letih Chanyeol. Hanya jarak sepuluh senti meter yang kini memisahkan wajah mereka. Manik sang Suami tampak berair, memancarkan kepedihan. Dan sudut-sudut bibirnya tertarik kecil membentuk kurva tipis di tengah-tengah tarikan napas pendek.

"Maafkan aku." Ujar Chanyeol lirih. Ia merapatkan jarak dan kini justru melingkarkan lengan pada pinggang Baekhyun.

"Terima kasih," bisiknya, masih tak mampu menemukan suara. "Terima kasih karena sudah kembali."

"Mereka tak menemukan bukti apapun. Kai sudah membuang barangnya sebelum mereka menangkap kami. Dan misinya gagal."

Lelaki itu menggeleng lemah. "Yang terpenting sekarang kau sudah selamat. Persetan dengan misi yang gagal."

"Aku merasa bersalah. Kepadamu dan Suho."

Kekecawaan seakan menembus jantungnya. Chanyeol tak hanya mencemaskan dirinya. Namun Suho serta misi mereka masihlah penting bagi lelaki tersebut. Ia tentu tak dapat berkata apapun. Mereka telah bertikai ratusan kali banyaknya mengenai hal itu. Tetapi Baekhyun tahu bahwa ia takkan pernah bisa menang dari Chanyeol. Seperti inilah kehidupan suaminya. Seperti inilah pekerjaannya. Seperti inilah yang harus diterima Baekhyun hanya untuk tetap bertahan.

Ia tahu Chanyeol takkan meninggalkan pekerjaan serta komplotannya begitu saja hanya karena kasus ini. Dan Baekhyun pula tahu bahwa pernikahan mereka masih akan dipenuhi pertikaian di kemudian hari oleh perkara pekerjaan yang digeluti Chanyeol. Namun Baekhyun rela melalui itu semua lagi dan lagi jika tak ada jalan keluar lain untuk mempertahankan rumah tangga mereka. Ia akan bersiteguh kendati pernikahan mereka tengah berada di ujung tanduk.

Malam itu, keduanya sama sekali tak terlelap. Netra ke netra, mendalami presensi satu sama lain. menikmati kesunyian menenangkan dan menutup mata serta telinga pada apa yang tengah menanti keduanya di depan sana.

Baekhyun tak dapat mengukur sedalam apa cinta yang ia rasakan untuk lelaki di hadapannya ini. Rasanya seperti kau berusaha mengukur sedalam apa tempat yang dinamakan Neraka di bawah sana. Atau setinggi apa Surga itu. Yang Baekhyun tahu, ia takkan bisa melanjutkan hidup jika Chanyeol benar-benar meninggalkannya. Hanya kalimat itu yang dapat mendefinisikan besarnya cinta yang ia rasakan untuk sang Suami.

.
.

-oOo-

.
.

END

.
.

-oOo-

.
.

THANKS FOR READING

LEAVE A REVIEW

.
.

-oOo-

.
.

NOTE BY #CHANBAEKID

Mohon readers memberi tahu jika merasa pernah membaca cerita yang serupa dan mirip, karena CIC tidak sempat mengecek satu per satu fanfic yang masuk. Jadi mohon bantuannya bila sekiranya ada unsur plagiat. Terima kasih atas kerjasamanya