Terkadang ada beberapa hal yang tidak bisa dibereskan Osomatsu; syukurlah ia punya banyak uang untuk menyewa seseorang yang mau membantu membersihkan masa lalunya.


Ta'Rintih
An Osomatsu-san/Assassination Classroom Crossover Fanfiction.

For #Yuumafantasia Challenge
12 Years Later/Mafiamatsu

Disclaimer
Osomatsu-san adalah milik Akatsuka Fujio, serta Assassination Classroom adalah milik Yuusei Matsui. Tidak ada hak milik dalam bentuk apapun selain daripada pemenuhan challenge. Kisah ini ditulis hanyalah fiktif semata dan tidak menggambarkan moralitas penulis.

Warning
OOC, AU, anjing, adegan kekerasan, anjing, kata-kata kebun binatang, hardcore, BDSM, sadisme, gore, anjing non-consensual sex, banyak anjing, ketidak-akuratan, pendeskripsian eksplisit, drug abuse, tortures, anjing.

Tidak ada pairing, hanya ada Yuuma melacur.

Read at your own risk.


"Apapun yang 'kan kamu cari adalah bisikanku."

—Tarintih, Barasuara.


Sekolah Menengah Pertama Kunugigaoka sempat menjadi sebuah kegemparan nasional karena pernah menyimpan seorang mantan pembunuh bayaran terkemuka di dunia, pula, dengan kekuatan super yang mampu menghancurkan dunia; jika ia mau.

Namun itu hanyalah satu kisah dari masa lampau; kini, kisah tersebut sudah tenggelam sebatas urban legend, dan para murid angkatan 3-E sewaktu dulu, masih hidup normal selayaknya manusia yang kau temui di stasiun kereta, berangkat untuk kerja. Mereka melegenda dengan caranya masing-masing, membangun kehidupannya sendiri-sendiri. Ada yang hidup dalam kesederhanaan dan membangun keluarganya, ada yang masih terus berakting dan kini sudah menjadi bintang nasional yang hendak maju ke lapangan internasional. Ada yang berakhir di belakang kantor menjadi politisi terkemuka, dan ada juga yang mengambil profesi yang mulia seperti guru atau pelatih paruh waktu.

Satu yang pasti, Koro-sensei bangga dengan mereka karena sudah punya cara hidupnya masing-masing.

.

Dari 28 orang anggota kelas 3-E, dua dari mereka menjalin sebuah hubungan cinta.

Isogai Yuuma jatuh cinta kepada Maehara Hiroto, dan tidak butuh waktu lama sampai kini mereka tinggal bersama di sebuah rumah kayu yang sederhana. Di pagi hari, rumah yang menghadap ke arah timur itu akan selalu disinari matahari; di sore hari, Yuuma akan pulang dari tempat kerjanya dan menyirami taman kecilnya sembari menikmati kilauan langit sore.

Lalu menanti akan Hiroto yang akan kembali minggu depan.

.

Maehara Hiroto melihat bahwa sepertinya dengan bekal pelatihan di 3-E, ia punya kesempatan yang besar di kemiliteran, maka dari itu ia menghabiskan sekitar 6 tahun terakhir di kemiliteran nasional, sebelum akhirnya ia ditarik masuk ke sebuah Agensi. Tentu saja gajinya sangat menjanjikan, juga dengan segala macam ketegangan yang ia alami untuk melupakan semacammid-life crisis yang sudah mulai menyerang dirinya, Hiroto menemukan bahwa pekerjaan ini tidak jelek juga. Walaupun, tentu saja Yuuma sangat tidak menyukai pilihan teman masa kecilnya itu, tapi apa daya, mungkin ada beberapa hal yang bahkan Yuuma tidak bisa runtuhkan dari Hiroto, betapapun bahayanya tersebut.

(Atau setidaknya begitulah yang diinterpretasikan Isogai Yuuma tentang Maehara Hiroto.)

Karena itu juga, cara komunikasi mereka berubah drastis. Yuuma menerima kenyataan bahwa kini ia harus kembali lagi ke komunikasi zaman primitif—dengan surat, kadang faksimili dari lokasi antah-berantah—serta menerima kenyataan bahwa ia semakin jarang menemui teman serumahnya tersebut. Lagipula apalah seorang detektif kepolisian semacamnya yang bisa ia lakukan? Tidak ada. Sudah tidak membocorkan kenakalan Hiroto yang banting setir sebagai tentara bayaran saja sudah sebuah cobaan bagi pangkat dan profesi Yuuma. Tapi ya, namanya demi teman, apapula yang bisa Yuuma katakan.

Mereka sudah dewasa, sudah tidak seperti dulu lagi. Sekalipun keputusan yang diambil oleh Hiroto adalah satu keputusan yang berbahaya, namun memahami maksud keputusan seorang Hiroto dewasa sama saja seperti melirik ke bangku sebelahmu, melihat seorang orang tua yang tak kau kenal tengah bermain sudoku, dan bertanya-tanya dalam hati mengapa ia masih memainkan permainan membosankan dan tak kaumengerti itu. Semakin dewasa semua semakin bersikukuh dengan pilihan hidup mereka, dan sekalipun mereka telah tinggal satu atap, tetap saja ada sesuatu yang tidak bisa dikatakan oleh Hiroto; dan ada lain hal yang tidak bisa dimengerti Yuuma.

Jadi jika itu benar atau salah, Yuuma hanya bisa mengingatkan untuk berhati-hati 'dan mungkin kau mau memikirkan keputusanmu kagi.'

Lalu akan ada jawaban 'aku sudah memikirkannya dan aku mau hidup penuh tantangan seperti dulu.'

'Memang tak ada jalan lain?' akan ada pertanyaan demikian timbul dari Yuuma, yang sudah tahu bahwa Hiroto akan menggeleng; dan mulut Yuuma sudah lebih dari siap untuk melontarkan banyak argumen bahwa jalan hidup itu ada banyak dan Hiroto masih bisa memilih, namun Yuuma juga sadar bahwa ia sudah dewasa, dan selayaknya sebuah aturan tak tertulis di antara orang dewasa, ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan bungkam.

'Bagiku tidak ada lagi untuk saat ini.'

Satu hal yang sejak dulu tak pernah berubah dari Hiroto adalah cara berpikirnya yang hidup hanya untuk kepuasan hari ini. Kadang ia bodoh, tidak bisa berpikir, dan dari seratus hal yang Yuuma bisa cintai dari kasihnya itu, selalu, satu hal itu saja yang Yuuma benci dari Hiroto.

.

Maka dari itu, Yuuma sudah bersiap hati agar ia tidak akan menangis saat menemukan kabar Hiroto tak akan kembali lagi.

Bahwa supaya ia tak usah mengingat lagi betapa berharganya Hiroto di hatinya; membawa segala perasaan menjadi objektif, dan tak lagi sebuah sentimen pribadi. Mengingat sebuah janji masa lalu yang mungkin sudah tak lagi diingat Hiroto, bahwa mereka akan terus berjalan bersama. Bahwa mereka bisa mematikan seperti dulu, tertawa sampai mereka tua nanti saat mengingat lagi masa muda mereka yang lugu.

Kamar Hiroto di sebelahnya ia kunci rapat-rapat. Dirantai dengan kuat sebab hati Yuuma tidak tahan untuk membendung perasaannya tentang Hiroto. Selalu ada ketidaksiapan pada realita bahwa Hiroto tidak akan mencintainya balik seperti dalam ekspektasi Yuuma. Ibarat hati, pintu kamar Hiroto ia kunci rapat agar tidak lagi hatinya tak terketuk oleh sebuah obsesi bernama Hiroto Hiroto.

Sabtu pagi akan dihabiskan oleh Yuuma untuk memakan sarapannya; sebuah telur setengah matang, nasi hangat, dan sup miso. Setelah menghabiskan semua makanannya tersebut, maka Yuuma akan pergi ke kamar mandi dan berlatih dalam situasi-situasi memungkinkan ketika ia mendengar kabar bahwa Maehara meninggal.

Dalam minggu-minggu pertama, Yuuma menangis deras; bayangan bahwa Hiroto mati dengan sadis dan tidak manusiawi menghantui pikirannya dengan jelas.

Di minggu-minggu selanjutnya, tangisan Yuuma sudah tidak lagi keluar.

Walaupun, sepertinya berapapun Yuuma bersiap, perihal menangis itu mungkin akan selalu terjadi. Bahwa skenario di mana akan ada orang yang tak Yuuma kenal datang mengetuk pintu rumahnya dan mengatakan kabar duka bahwa Hiroto tak akan kembali lagi pun, sudah diulang-ulang di kepalanya. Setiap jam dua belas malam ia mengetuk pintu kamarnya, berakting lagi, dan mencoba melatih wajahnya untuk tetap tersenyum formal, berkata 'saya paham, terima kasih sudah jauh-jauh mau datang ke mari untuk menyampaikan kabarnya.'

Namun Selasa pagi itu Yuuma menangis di depan pintu rumahnya, bersimpuh di dekat kaki orang-orang asing yang mengabarkan kematian Hiroto.

(Memang mungkin benar bahwa obsesi tidak semudah itu untuk mati.)

.

Yuuma dan Hiroto tidak tidur di satu kamar yang sama; walau setiap Hiroto pulang sebulan sekali, ia pasti akan tidur di samping Yuuma. Membelainya dan memeluknya dengan hangat, memberikan senyum riang.

Hiroto punya kamar sendiri di rumah kayu yang sederhana ini, dan ukurannya kecil, barangnya pun tidaklah banyak. Dinding putih polos dengan beberapa bekas paku di dinding; tiga foto polaroid yang ditempel di sisi dalam pintu kamar Hiroto, satu set rak dan meja, lemari baju dan dua tumpuk laci kayu. Tak akan susah membereskan semua barang-barang Hiroto yang tak lagi diperlukan.

Yuuma tahu bahwa kedua orang tua Hiroto sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu. Masih tergolong baru, namun melihat betapa Hiroto sangat bersemangat dan berusaha untuk maju dalam kehidupannya, tidak sekalipun terlintas di pikiran Yuuma sama sekali bahwa mungkin Hiroto masih tidak bisa menanggung fakta bila keluarganya sudah tidak ada. Yuuma tidak menangkap semua sinyal kecil kesedihan Hiroto. Akan betapa semua pelukan Yuuma untuknya, semua kecupan di punggung Hiroto, dan betapa kata cinta di antara mereka itu kosong; masing-masing hanya mencari sebuah pelepasan emosi dalam sentuhan fisik yang jauh dari memuaskan keinginan psikologi mereka. Bodohnya, semua baru ia sadari saat Yuuma menutup semua kardus berisi barang-barang milik Hiroto ini; saat ia menggeser semua furnitur yang masih ia bisa pakai, dan baru tersadar semua ketergantungan emosionalnya kepada Hiroto.

Sudah dua dekade lebih mereka hidup bersama-sama pun, masih tidak bisa paham apa yang ada di pikiran satu sama lain. Yuuma kecewa dengan dirinya sendiri, tidak bisa mengerti apa yang dihadapi oleh Hiroto. Bagaimana kesedihannya, kehilangannya, dan sudah begitu, masih harus meladeni tuntutan emosional Isogai Yuuma, si tuan sempurna yang hatinya selalu kering akan kasih sayang.

Namun tidak akan ada lagi sosok Maehara Hiroto di sampingnya, memeluknya rapat saat hatinya butuh kelembutan dan kasih sayang fana.

Sekali lagi Yuuma melihat ke sekeliling kamar Hiroto yang sudah kosong; hanya tersisa satu polaroid yang sudah luntur sebab Hiroto menempel foto tersebut langsung menghadap matahari, dan satu-satunya berkas misi di atas ranjang pada sisi lain ruangan.

Berkas aneh itu, hanya ada satu kata yang tertera di sana tanpa banyak penjelasan, mau tak mau menarik perhatian Yuuma juga.

.


(Matsu)

.

Di dalamnya baru ada tiga lembar kertas A4. Yang satu berisi pengenalan misi, kedua tentang berkas pelamar yang hanya berisi satu alias dan nomor telepon, serta yang ketiga adalah surat tulisan tangan Hiroto.

'Red, aku harus bertemu denganmu.'

Yuuma jadi tergelitik untuk bertemu dengan Red; pula, Koro-sensei tidak akan senang kalau ia masih hidup dan mendengar kabar Hiroto mati muda tanpa tahu apa sebabnya.

Lagipula, bagaimanapun juga, Yuuma mau mencoba mengerti ada apa gerangan di pikiran Hiroto saat ia pertama kali menapaki karir berbahaya ini; jadi setidaknya biarlah ia mencoba melihat apa yang Hiroto lihat saat ia mengerjakan semua ini.


'Mengenalmu itu adalah sebuah pembelajaran; semakin aku tahu, semakin aku paham bahwa aku tak tahu apa-apa.'


Di sisi lain, ada lagi satu manusia dengan sebuah intensi yang bertolak belakang.

Ialah manusia berwajah enam, dengan segala gerakan yang tak terduga. Manusia yang kesepian, sendirian dalam gelapnya bisnis yang memperjual-belikan sabit kematian kesukaan manusia bernama senjata api. Manusia berwajah enam ini, terutama, begitu menyukai warna merah, semua memanggilnya Red. Konon, detak jantungnya dapat membuat petir hening, dan suaranya dapat membuat kegelapan semakin mencekam; seakan ialah citra dari Iblis, yang mendandani kuku jemarinya dengan cat kuku merah darah.

Atau jika Iblis itu terlalu mengada-ada, rumor lain akan mengatakan bahwa Red adalah inkarnasi dari Elizabeth Bathory. Kulitnya putih tidak bernodakan oleh luka, padahal ia adalah seorang ketua dari famiglia paling ditakuti. Mungkinkah ia juga sama seperti dirinya di masa lalu, mandi dengan darah musuh-musuhnya? Hanya rumor lain lagi yang bisa menjawab pertanyaan itu.

Walaupun sesungguhnya, Matsuno Osomatsu memilih warna merah hanya karena itu melambangkan keberanian dan tanggung jawab untuk melindungi kelima adik-adiknya; tidak lebih dari itu. Merah bagi Osomatsu itu melambangkan kepahlawanan, distraksi, dan sebuah simbol bahwa darah keluarganya yang tertumpah dalam dunia penuh kenistaan ini, semua adalah tanggungannya.

Tapi bukanlah bohong juga bila Osomatsu suka dan terhibur dengan rumor-rumor berlebihan itu, sebab Osomatsu adalah orang yang malas, dan baginya mandi dengan darah musuhnya itu menjijikkan.

Sangat, sangat menjijikan; mandi dengan darah orang-orang yang lebih lemah darinya.

"Kau tak mau menyewa seseorang dari Agensi lagi?"

Adalah Matsuno Choromatsu yang memanggilnya barusan. Membawa secangkir teh darjeeling dengan satu mangkuk kecil untuk wadah madu. "Tidak." Osomatsu berucap dengan dingin, wajah nampak tegang. "Hare adalah orang terbaik dari Agensi, mubazir untuk mengirimkan orang lain dari Agensi. Sepertinya aku terlalu meremehkan si tua bangka itu…"

Choromatsu meletakkan nampan teh itu di hadapan Osomatsu, kemudian menarik tangan Osomatsu dan membawanya ke sofa yang berada di depan meja kerjanya tersebut. "Osomatsu, kemarilah." Choromatsu memanggil namanya, lalu duduk di atas sofa tersebut. "Kau sudah benar-benar nampak gelisah perihal target kali ini, terlebih lagi tidak biasanya kau akan menyewa servis dari pihak luar seperti Agensi. Sungguh, tak mau cerita ada apa dengan targetmu kali ini?"

Osomatsu tersenyum lemah, merangkul adiknya tersebut dan mengecup keningnya. "Tidak. Ini masalah pribadiku dan aku tak mau melibatkan kalian sama sekali." Tatapannya jatuh lagi kepada Choromatsu; adiknya satu itu mampu melihat bahwa sinar mata sang kakak sudah meredup, hal yang sering terjadi saat Osomatsu tengah berpikir akan sesuatu yang demikian membebani pikirannya.

"Aku ada di sini—"

"…tak apa, aku tak butuh kalian untuk membantuku kali ini."

Kata-katanya keras, walau nadanya begitu lembut diucapkan kepadanya. Sebuah elusan di kepala Choromatsu kembali hadir, dan tak lama Choromatsu merasakan tangan sang kakak melemah. Osomatsu bersandar di pundak Choromatsu, lalu menghela napas panjang. "Terima kasih, Choromatsu. Aku tahu maksudmu baik, tapi aku tidak bisa menceritakannya sama sekali." Osomatsu berucap dengan suara lirih. "Lagipula setelah mengetahui bahwa Agen Hare mati terbunuh, aku semakin tidak sanggup meminta tolong kepada kalian, apalagi padamu."

Ruangan itu kembali sepi. Hanya ada desah napas Osomatsu dan pegangan tangannya turun, lalu menggengam pada Choromatsu semakin kuat. Dalam diam yang demikian hening, Choromatsu dapat merasakan detak jantung Osomatsu melalui sentuhan antara pundaknya dan leher Osomatsu. Terdengar cepat, sedikit tergesa, bahkan. Pertanda bahwa kegelisahan semakin kian menumpuk di hati Osomatsu, entah karena apapun itu yang Choromatsu tidak bisa tahu dengan pasti.

"Apa ini tentang… sewaktu kecil dulu kau sempat menghilang?"

Ada satu masa di waktu mereka belia, sosok Osomatsu sempat menghilang lama. Yang mereka tahu saat Osomatsu kembali hampir setahun setelahnya, kakak mereka sudah bertumbuh dewasa. Walau beberapa hal seperti kemalasan dan masih tersisa, namun tak bisa dipungkiri lagi, di hari Osomatsu kembali lagi di antara anggota keluarga Matsuno, semua paham bahwa Osomatsu yang dulu telah mati.

Yang mereka semua tahu setelah kejadian itu, Osomatsu mulai membangun sebuah Kerajaan; dalam gelap ia mendirikan satu demi satu batu fondasi dengan emas dan darah, hingga akhirnya ketika mereka dewasa kini, mendekati 30 tahun, nama Osomatsu yang lebih dikenal sebagai Red telah membawa rasa takut di dunia bawah.

"Ya, dan hanya sejauh itu saja kau boleh tahu." Osomatsu tertawa. "Jangan katakan pada yang lainnya, ya?"

Telepon Osomatsu mendadak berdering, dan ia segera menginstruksikan Choromatsu untuk pergi sebelum mengangkat telepon tersebut. Dengan senyum dan sedikit sarat ketakutan, Osomatsu menjawab telepon tersebut dengan suara rendah.

"Darimana kau bisa tahu nomor ini…?"

Tidak lama bagi Isogai Yuuma untuk menyatakan undur dirinya; dengan alasan klasik manusia muda di zaman sekarang bahwa ia akan membuat sebuah awal di hidupnya yang baru. Mungkin membuka bisnis, tapi yang pasti Isogai Yuuma ingin mencari jati dirinya lagi di luar sana; berharap menemukan sesuatu yang bisa memuaskan hasrat emosinya.

Hanya saja yang Yuuma lakukan adalah untuk kembali mencari apa gerangan yang hilang dari masa-masa di mana ia masih bersama Hiroto. Sekaligus untuk lepas dari sebuah komunitas di mana banyak orang bisa menilainya. Isogai Yuuma lelah untuk menjadi sempurna, dan ia lebih memilih menggunakan kemampuan investigasinya untuk membuka lembar baru untuk kembali di masa lalu dalam pandangan Hiroto.

Maka dari itulah ia di sini; di bekas kamar Hiroto yang telah kosong melompong, memasang satu papan gabus besar dengan beberapa foto yang tidak begitu banyak membantu. Ada foto Hiroto, ada juga nomor kontak dari berkas bertuliskan kanji pohon pinus; segalanya dengan harapan untuk mencari tahu siapa yang telah membunuh Hiroto sekaligus mencari pencerahan hidup.

Hal itu Yuuma mulai dengan menelepon satu-satunya nomor yang tersedia di berkas tersebut. Satu nomor telepon yang begitu aneh, Yuuma tidak bisa menerka dari provider mana nomor itu berasal—mungkin saja itu nomor dengan satelit pribadi, tapi jika benar, berarti pemilik nomor ini orang yang sangat bahaya.

Namun Yuuma tak akan bisa mengisi rasa penasarannya jika tidak menekan tombol call tersebut; maka itulah yang Yuuma lakukan kini, dan ia meletakkan telepon genggamnya di lantai. Duduk bersila, menekan tombol speaker dan berharap bahwa akan ada seseorang menjawab dari seberang sana.

"Darimana kau bisa tahu nomor ini…?"

Isogai Yuuma tidak bisa mengenali suara itu; ia tidak pernah bertemu dengan orang ini. Yuuma hanya tersenyum, sepertinya ini akan menjadi menarik. Orang baru, pengalaman baru, dan lepas dari lingkungan amannya.

"Maehara meninggalkan berkas tentangmu di kamarnya. Di sana ada nomormu, tuan." sang mantan detektif itu menurunkan suaranya, berharap menekan rasa gugup yang bisa kentara terdengar dari suaranya. "Dan mungkin, kita bisa jadi punya semacam… common interest."

Osomatsu terkekeh, terdengar sebuah desahan napas sebagai tanda tawanya sudah usai. "Begitukah… kau sepertinya juga tidak tahu siapa aku dan kau mau bilang kita punya minat yang mungkin sama?" Ucapnya. "Kau menarik juga. Siapa namamu, tuan?"

"Isogai Yuuma."

Begitu kasualnya Yuuma memberitahukan namanya, membuat Osomatsu hanya bisa tertawa semakin kencang. "Kau jelas-jelas tak tahu siapa aku. Menarik." Osomatsu kembali berucap, kali ini suaranya menjadi sedikit lantang. "Dan bagaimana kau tahu kalau kita punya semacam minat yang sama kalau kau bahkan tidak tahu siapa aku, Inspektur Detektif Isogai Yuuma?"

"Darimana—"

"Katakan saja aku senang mencari tahu akan banyak hal." Suara dari seberang sana masih terdengar seperti tertawa. "Omong-omong, aku tidak begitu suka berbicara lewat telepon. Bagaimana jika kau datang ke kantorku saja?"

Tak perlu bekerja seperti Isogai Yuuma untuk tahu bahwa ajakan itu terdengar berbahaya; untuk seseorang yang hanya membaca komik detektif saja, implikasinya saja sudah jelas. Bahaya, bahaya. Jangan terima. Sudah lupakan saja, tak ada gunanya kalau nyawamu melayang secepat ini—

"Baiklah, di mana?"

Persetan dengan nyawa; rasa penasarannya lebih kuat.

.

Tempatnya jauh, Isogai Yuuma tidak pernah berpikir akan pernah datang ke kota yang bahkan tidak ada di papan daftar stasiun yang bisa diakses dari stasiun kotanya. Butuh tiga kali bagi Yuuma untuk mengganti kereta lokal demi kereta lokal dari setiap kota transitnya hingga akhirnya ia tiba juga di Hiji; kota kecil dalam prefektur Oita, dan di manapun yang bisa ia lihat hanyalah rumah-rumah kecil dan sederhana, lalu orang tua.

Walau ini bukanlah kota mati, namun sisanya benar-benar tak ada apa-apa lagi; menyisakan satu papan penunjuk di persimpangan besar ini, menandakan arah barat untuk sebuah pasar swalayan di kota ini, dan reruntuhan kalau mau berjalan ke arah tenggara sedikit. Lain daripada itu, kota ini terlihat mati, manakala hari ini Minggu dan Yuuma yakin setelah satu kilometer berjalan, ia masih tidak bisa menjumpai siapa-siapa, kecuali sepasang nenek dan kakek yang berjualan di toko okonomiyaki yang baru saja ia lewati. Mungkin wajar jika di kota seperti ini ia tidak bisa menemui siapapun, anak muda mana pula yang mau tinggal di tempat seperti ini?

Sepi, hanya serangga dan suara nyaring mereka terdengar, di bawah mandian sinar matahari yang terkesan seperti musim panas.

Isogai Yuuma membuka GPS di smartphone miliknya, melihat bahwa izakaya bernama Saveur itu hanya terpaut jarak sekitar 200 meter lagi dari tempatnya. Tidak begitu jauh dari tempat ia berdiri kini, maka dari itu, ia mempercepat langkah kakinya. Suara kerikil yang tertendang oleh tapak cepatnya hanyalah satu-satunya suara yang mengisi kota ini setelah sekumpulan serangga di padang ilalang yang telah Yuuma lewati tak lagi berbunyi.

Tapi dipikir lagi, mana ada izakaya buka jam segini? Ini masih pukul 13.46, izakaya baru akan buka paling cepat pukul lima sore nanti.

Lagipula benar saja, sampai di depan izakaya yang dimaksud, papan menunjukkan bahwa jam ini masih libur. Tangan Yuuma yang mencoba menarik pintu geser tersebut pun, tidak ada gunanya, sebab pintu itu pun terkunci. Barulah setelah beberapa kali mencoba, speaker yang berada di atas pintu itu mengeluarkan suara.

'Bukankah sebaiknya kau mengetuk dulu jika mau bertamu ke rumah orang?'

Yuuma tidak menjawab, namun paham bahwa mungkin mengetuk pintu adalah syarat agar pintu kayu ini terbuka; dan benar saja, dua ketukan dan pintu itu bergeser. Hanya, sekalipun pintu sudah terbuka, rasa kaku di betis menggerogoti dirinya. Punggungnya terasa dingin, rasanya tidak nyaman, sekalipun dalam ruangan itu terasa hangat, kontras dengan tempatnya berpijak kini.

'Apa yang kau tunggu, Isogai-san? Cepat masuk; waktu adalah uang.'

Dalam kalkulasi Red, lima menit bisa berharga lima ribu yen, namun bagi Yuuma, lima menit ke depan bisa saja nyawanya melayang.

Demikianpun, akhirnya Yuuma memutuskan untuk masuk. Melangkahkan satu tapak, lalu dua tapak. Masuk ke dalam izakaya yang masih gelap tersebut.

Tidak ada siapapun di dalam sana; ruangan itu benar-benar kosong. Hanya satu lentera menyala, menyinari pintu kayu yang nampak sudah tua dan perlahan terbuka lagi. Yuuma masuk, melangkah dan mengabaikan papan bertuliskan 'khusus staff' di pintu tersebut. Tangga yang menurun, hanya diterangi oleh lampu gantung berwarna hangat setiap dua-tiga meter sekali. Penghangat yang berfungsi di gedung yang tidak sepantasnya sebesar nampak luarnya ini tidak membantu keringat dingin Yuuma untuk berhenti.

"Selamat datang."

Suara itu memanggil Yuuma saat ia sudah sampai di sebuah ruangan yang nampak sederhana. Lantai berhiaskan tatami, dan nampak sesosok pria berpakaian haori [1] merah duduk berlutut di atas bantal dudukan bermotif dedaunan. Senyumnya lembut, raut wajahnya yang menunjukkan kedewasaan dan pengalaman nampak kentara, walau Yuuma yakin bahwa usianya tidak berbeda jauh dari dirinya—paling-paling hanya berbeda 5 tahun paling jauh jika memang pria ini lebih tua darinya. "Lepas sepatumu. Kalau nanti kita akan berjalan, pakai sandal yang warnanya abu-abu, jangan pakai warna lain." Suara baritonnya berucap, tangan kanan itu menunjuk ke sebuah bantal duduk yang berada di hadapan sang pria itu sendiri. "Duduk di hadapanku. Aku mau berbicara denganmu."

Sudah lama Yuuma tidak menjumpai pemandangan ruangan yang begitu tradisional, walau kalau ia bisa berkomentar, ruangan ini aneh. Yuuma tidak menyangka saja bahwa di zaman sekarang, masih ada orang yang memakai taksidermi binatang sebagai hiasan; kontras sekali dengan dekorasi lain ruangan ini yang begitu… tradisional Jepang, tentu saja.

"Kau tidak tampak ingin membunuhku."

Yuuma bodoh.

Namun Osomatsu hanya tersenyum mendengar perkataan Yuuma. "Itu tergantung dari apa yang kau jawab. Nyawamu tidak dalam tanganku, namun berada di ucapanmu." Ucapnya. "Maka dari itu aku berharap kau tidak mengucapkan kata-kata bodoh yang bisa membuatmu terbunuh."

Untuk seorang detektif, Yuuma naif juga. Pikiran itulah yang terngiang dalam pikiran Osomatsu hingga akhirnya bibirnya hanya bisa mengulas senyum, kembali meneguk teh hijau di gelas yang ia pegang semenjak tadi. Entah mengapa Yuuma tidak memperhatikannya sejak tadi; gelas dari tanah liat itu nampak kasat mata di jarak pandangnya sejak tadi. "Jadi, boleh jelaskan lagi bagaimana kau bisa menemukan nomor teleponku?" Osomatsu kembali bertanya, meletakkan gelas tersebut di hadapannya.

"Kau sendiri siapa?"

"Jawab dulu pertanyaanku, inspektur detektif Isogai."

Suaranya dingin, senyum malasnya masih ada. Bulu kuduknya terasa berdiri tegak, rasanya mencekam. Pertanyaan demi pertanyaan datang tentang mengapa pria ini bisa tahu tentang dirinya, dan seorang Isogai Yuuma yang seharusnya punya akses ke berbagai macam informasi tidak tahu atau bahkan terlintas di kepalanya. Jadi kenapa—

"…dari berkas milik Maehara."

"Oh, Hare!" Sang pria berbalut nuansa merah itu nampak tersenyum, kemudian memasang wajah sendu. "Turut berbela sungkawa akan apa yang terjadi padanya…"

Yuuma benci.

"Sok saja kau." Yuuma mendecak. "Kau kliennya, pasti ada hubungannya denganmu.

"Itu yang kami sebut resiko bisnis, Isogai-san." Pria itu terkekeh. Naif sekali inspektur satu ini. "Ya, aku kliennya. Dia gagal dalam melakukan misinya. Masa' aku harus bertingkah seperti orang-orang di film yang angkuh dan tak peduli akan nyawa orang?"

"Terlihat seperti itu, tuan…"

"…Matsuno. Matsuno Osomatsu." Ia berucap. "Kau mungkin pernah mendengar alias Red. Itu aku."

Red?

Orang di hadapannya ini, Red?

"…kenapa Hiroto bekerja dengan seseorang sejahanam dirimu…"

Ibaratnya, Red itu seperti bayangan; kau tahu dia ada, tapi kau tak bisa menangkapnya. Bukti menangkap mereka seperti bayangan pula, ada, namun tidak bisa diraih dan ada di antara sesuatu yang normal bagi manusia. Ibarat kau menjadikan bayangan itu tersangka dan kau yang malah disangka bodoh. Red itu, sedemikian manipulatifnya.

"Jahanam itu subjektif, inspektur. Di matanya, aku hanyalah subjek bisnisnya. Di matamu, aku ini musuh. Benar?" Osomatsu mengangguk. "Jadi apa maksud kedatanganmu ke mari?"

Yuuma terdiam sesaat, lalu menghela napas. "Aku mau mencari tahu tentang kematian Hiroto, maka dari itu aku minta kejelasan akan instruksi darimu, dan jika itu harus menjalankan misi terakhirnya, aku rela. Sebagai gantinya, aku tidak akan melaporkan bahwa aku berafiliasi denganmu dalam bentuk apapun."

Osomatsu terdiam. Menarik juga tawaran ini.

"Lalu kau berharap aku bilang 'iya' saja, begitu? Aku tahu kau punya badan terlatih, tapi Hare yang lebih berpengalaman dan atletis daripadamu saja kalah sampai terbunuh." Osomatsu menjelaskan masalahnya. "Kamu siap memang? Kalau sudah siap, tentukan saja tanggal mainnya. Syaratnya setelah misi ini berakhir, kau harus bergabung dalam famiglia kami."

Huh.

"Bagaimana jika aku menolak bergabung?"

Osomatsu tertawa. "Sungguh, kau terpikir untuk bertanya itu?" Tatapannya berubah menjadi sangat tajam, dan di tangan Osomatsu sudah ada pistol. Safety pin yang sudah dicabut, hanya tinggal satu tarikan pelatuk dan selongsong itu akan membawa peluru yang membakar, menembus kepala Yuuma. "Pilihannya antara bergabung dengan kami atau kau akan mati penasaran sekarang juga."

Isogai Yuuma benar-benar dalam sebuah posisi yang susah.

"Ayo, buat pilihanmu, inspektur. Dunia ini tidak akan selalu memberikanmu pilihan yang terbaik bagimu."

Yuuma memejamkan mata, bersiap apabila peluru itu adalah pencabut nyawanya.

.

"Eh? Yuuma mau tinggal denganku?"

Keberanian diri Yuuma yang waktu itu mulai bertanya kepada Hiroto adalah awal dari segalanya ini bermula.

Jika boleh jujur, Yuuma lebih baik tinggal sendiri tanpa harus mencari seorang sharemate; namun apa boleh buat, perihal ekonomi dan dirinya yang masih menjadi seorang kadet di waktu itu tidak memberikan Yuuma banyak opsi. Yuuma juga sudah bersiap jika Hiroto menolak tawarannya; lagipula anak itu pasti memiliki tempat tinggal, tak usah mencari seorang teman kos bersama.

"Boleh saja. Kebetulan juga aku ingin mencoba tinggal sendiri."

Yang pasti di waktu itu Yuuma bisa mengingat dirinya tersenyum senang. Setidaknya masalah beban ekonominya di waktu itu berkurang, dan Hiroto benar-benar tertarik untuk tinggal bersamanya. Apalagi yang kurang, pula? Terlebih lagi, setelah berbicara perihal rumah ideal mereka, selera mereka tidak berbeda. Yang penting jendela besar, kamar sederhana, dan cukup untuk dua orang dengan iuran sewa yang terjangkau.

Saat itu mereka baru menginjak umur 20. Hiroto baru menjalani pelatihan militer dan itu membuat dirinya sering tidak ada di rumah. Kadang ia tak akan pulang sampai berhari-hari, sehingga Yuuma harus sering menerima kenyataan bahwa ia serasa seperti tinggal sendiri. Yah, tak apalah. Hiroto memang akan kembali ke rumah ini lebih sebagai tempat beristirahat selama satu-dua hari saja.

"Dipikir lagi apartemen ini kecil juga. Bagaimana jika kita menabung untuk mencicil rumah?"

Satu hari, ide tersebut terlintas di kepala Hiroto. Ide yang rasanya terdengar bodoh, tidak tahu malu

"Tidak masalah, aku bisa menabung dan rasanya cicilannya tidak akan berat jika kita bagi bersama." Yuuma punya kepercayaan tinggi pada Hiroto, lagipula. "Hanya saja kau ini… seperti mengajak wanitanya untuk menikah dan tinggal bersama. Jadi terdengar seperti bualan lucu."

Yuuma tertawa, hingga tawanya bungkam setelah Hiroto mendekat dan berbisik kepada Yuuma.

"Bagaimana jika iya, memang itu maksudku, dan tidak, itu bukan bualan?"

.

Yang Yuuma tahu, tiga bulan kemudian ia masih hidup setelah pilihannya adalah mengikuti cara Osomatsu dan begabung bersamanya dengan sedikit rasa tidak suka. Yuuma harus menerima bahwa tiga bulan setelah ia pertama kali berjumpa dengan pria bernama Osomatsu itu, ia harus bekerja di bawah Osomatsu. Harus diajari dengan cara Osomatsu, harus mengikuti segala instruksi Osomatsu jika ia mau mendapatkan jejak yang pasti.

Di hari pertamanya, Yuuma diajarkan untuk membunuh seseorang yang tidak membayar utang ke Osomatsu selama enam bulan. Di minggu pertamanya, ia diikat dan matanya ditutup, tubuhnya dinistakan oleh orang-orang yang tidak ia kenal dan pada akhirnya harus menerima bahwa ia telah dinistakan oleh orang-orang yang tidak ia tahu sama sekali. Lalu datanglah di minggu kedua, jejak tentang Hiroto. Ia pernah duduk di ruang tamu Osomatsu dan berdiskusi tentang target yang Osomatsu ingin bunuh, menerima informasi yang sama tentang target yang dimau oleh Osomatsu.

.

"Kau bercanda, 'kan…"

Suara Yuuma nampak tak percaya. Osomatsu ingin Hiroto (dan dirinya di masa sekarang) untuk membunuh seorang politisi paling terkemuka masa sekarang. Jika Yuuma boleh mengakui, memang mukanya menjijikkan. Tak usah ada dendam pribadi saja, Yuuma bakal jalan dan membunuh orang satu ini hanya karena wajah buruk rupanya saja.

"Apa aku terlihat bercanda, Isogai?"

Yuuma menggeleng. "Maaf, itu hanya reaksi spontan." Ia berdeham, dan membaca lembaran demi lembaran informasi yang didapat oleh informan Osomatsu. "Informasi ini lengkap…"

"Ya, tentu saja. Berkat Hare yang sudah mengorbankan nyawanya, aku bisa mendapatkan semua informasi itu."

Diam.

Ada sedikit kegeraman dalam Yuuma untuk warna merah.

"Ingat, ia orang yang sudah membunuh Maehara Hiroto. Kurasa itu cukup untuk memotivasimu?"

Lalu amarah itu berpindah ke lain subjek, dan Osomatsu tergelak.

part 1/3

to be continued


[1] haori: luaran kimono yang bisa dipakai oleh pria dan wanita, walau umumnya dipakai oleh pria.