Youth Butterfly

.

.

Main Cast : Jeon Wonwoo . Kim Mingyu

Genre : School life, Romance, Friendship

Lenght : long Chapters

.


MW


Chapter 1

Shining Diamond


MW


.

"kau bisa memulai awal yang baru lagi, Wonwoo-ya!"

Itu ucapan ibunya, yang sampai sekarang masih ia ingat. Seraya memandangi pemandangan padang rumput dan peternakan yang berada di luar jendela kereta, berpikir sejauh mana kereta yang sudah ditumpanginya selama empat jam itu akan menuju, dan kembali mulai berpikir bahwa Korea ternyata tak sekecil yang ia duga sebelumnya. Atau apalah, Wonwoo tak begitu peduli.

Remaja yang di musim panas ini akan menginjak umur tujuh belas tahun itu akhirnya memilih untuk kembali membuka buku yang berada di pangkuannya. Yang tadi sempat ia abaikan karna melihat keluar jendela. Dan benar-benar tak butuh waktu lama untuk Wonwoo—Jeon Wonwoo terhanyut dalam buku fiksi yang menjadi hadiah terakhir ibunya sebelum ia masuk ke akademi.

Ah ya, Pledisia Akademi, lebih tepatnya.

Sebuah akademi yang berada di dataran tinggi Korea, yang dekat dengan perbatasan Korea Utara. Terpencil, iya, namun entah bagaimana bisa masuk ke dalam lima akademi terbaik yang ada di negaranya ini. Wonwoo pun heran... karna justru yang ada di pikirannya adalah akademi yang akan menjadi sekolah lanjutannya ini mungkin mirip seperti sekolah sihir di film terkenal. Dimana ada banyak misteri, di kelilingi hutan, jauh dari hiruk-pikuk kota, dan yeah... menuju tempat itu harus melalui jalur kereta khusus selama lima jam perjalanan. Yang intinya, semua pendiskripsiannya itu tidak begitu cocok untuk sebuah akademi elit jaman sekarang.

Tapi itu bukan berarti Wonwoo tak menyukai sekolah lanjutannya setelah dari sekolah menengah ini, ia hanya merasa aneh. Iming-iming ibunya tentang 'memulai awal yang baru' terasa begitu menekannya.

Memulai sesuatu yang baru berarti,

"kau bisa meningkatkan prestasimu lebih lagi!"

"lingkungan di sana sangat baik untukmu yang penyakitan!"

"ikutilah kegiatan sekolah, kau sudah SMA tahu?"

"carilah lebih banyak teman!"

"jadilah sedikit normal, Wonwoo-ya!"

Wonwoo menghela napasnya, begitu mengabsen 'perintah-perintah' ibunya saat di stasiun Seoul pagi tadi. yang bertepatan pula dengan pengumuman bahwa kereta akan sampai di stasiun akademi Pledisia dalam waktu sepuluh menit.

Remaja pemilik kulit putih pucat dan rambut hitam kelam itu pun kemudian bergegas. Memasukkan bukunya ke dalam tas selempang kecilnya dan membopong satu tas ranselnya. Tak lupa ia menurunkan topinya hingga batas matanya, seraya melihat bayangan dirinya di kaca jendela. Wonwoo kembali merutuk, dengan tangan menyentuh leher putih jenjangnya.

Menyebalkan, ia tak tahu ibunya akan memotong rambutnya sependek ini, ucap Wonwoo dalam hati seraya mengeluarkan kembali jaketnya dari tas selempang. Memakainya dan menarik resletingnya hingga ke leher. Bukan apa, ini bukan karna Wonwoo menyukai style misterius seperti pencopet, tapi ia hanya tak suka dengan warna kulitnya yang terlalu putih. Karna warna kulit inilah ia makin terlihat seperti orang penyakitan—well, itu sebenarnya tak salah juga. Tapi tetap saja, sebenarnya mempunyai kulit kecoklatan adalah impian Wonwoo sejak dulu.

Beralih soal warna kulit, kini Wonwoo telah keluar dari kereta. Untuk pertama kalinya menjejaki stasiun dengan nama serupa akademinya itu. Yang terlihat lenggang dan membuatnya tak perlu susah payah menemukan seseorang yang menjemputnya dari stasiun itu. cukup beberapa detik, ia menemukan seorang pemuda berpakaian seragam akademi melambaikan tangan kearahnya.

Sedikit pangling, namun pekikkan namanya oleh pemuda itu membuat Wonwoo makin berjalan mendekat.

"Jisoo hyung?" tanyanya memastikan, dan pemuda berparas tampan itu mengangguk dengan wajah kelewat ramah—seperti yang pernah Wonwoo kenal.

"lama tak bertemu Wonwoo-ya! nah, biarkan aku membawakan ranselmu." Ucap Jisoo dengan nada memaksa seraya dengan cekatan meraih tas ransel gemuk Wonwoo.

Yang lebih muda yang awalnya menolak akhirnya hanya mengikuti sepupunya itu dari belakang. sambil sesekali melihat sekitar. Di luar stasiun, Wonwoo bisa melihat pepohonan tinggi tumbuh di mana-mana. Bunga liar berwarna putih banyak tumbuh di pinggiran jalan, bangunan-bangunan kecil ala eropa lama yang terlihat bersih dan rapi, juga di jalanan Wonwoo hanya menemukan bus-bus berukuran subway, sisanya, semua orang berjalan kaki. Mungkin ini yang ibunya maksud lingkungan sehat, pikir Wonwoo tiba-tiba tanpa berhenti terkesima dengan lingkungan barunya—yang jelas, tidak terlihat seperti ia berada di Korea.

"selamat datang di Pledis City, Wonwoo..." ucapan Jisoo akhirnya menyadarkan ke-terpana-an Wonwoo. Ia kembali mengangguk. "tempat ini sangat indah." Komen Wonwoo sederhana, membuat Jisoo terkekeh pelan.

"itulah kenapa banyak yang menyebut tempat ini Shining Diamond di pegunungan Korea..." ucap sepupu yang berbeda satu tahun dari Wonwoo itu "jadi, bagaimana keadaan ibu dan adikmu... siapa namanya? Jungkook?" tanya Jisoo, mengalihkan pembicaraan di waktu bersamaan mereka memasuki bus yang akan mengantar mereka ke akademi.

"mereka baik, besok mereka akan pindah ke Selandia Baru."ucap Wonwoo lagi pendek.

"secepat itu?" tanya Jisoo kaget.

"ya, atau jika mereka mendapatkan tiket lebih awal, mereka akan pergi sore ini..." jawab Wonwoo tanpa menatap Jisoo. Lebih memilih menatap pemandangan dari jendela bus. "karna aku sudah sampai di sini dengan selamat, seharusnya tak ada lagi hal yang harus mereka urus di Korea." Jelas Wonwoo beberapa saat kemudian.

Membuat Jisoo entah kenapa mulai menyesali pertanyaannya tadi. ia harusnya memang tak bertanya, karna keberadaan Wonwoo di sini saja sebenarnya sudah sesuatu yang rumit. Walau Wonwoo adalah sepupu yang sudah tak ia temui selama lima tahun, ia tahu benar tentang masalah ekonomi keluarga Wonwoo—yang menjadi alasan kenapa Wonwoo seolah di lempar ke sekolah ini dengan beasiswa penuh, sedangkan ibunya mencari pekerjaan yang lebih layak di luar negri, bersama adik laki-lakinya.

Pandangan Jisoo pada Wonwoo sontak menyendu tanpa yang lebih muda itu ketahui. Dan tangan Jisoo kemudian terangkat, mengelus pucuk kepala Wonwoo yang tertutupi topi dengan lembut.

"kau pasti kesepian, Wonwoo-ya..." ucap Jisoo dengan penuh simpatik. Wonwoo menoleh, hanya memberikan senyuman seadanya. "tak sampai seburuk itu, hyung." Gumam yang lebih muda dengan suara pelan namun cukup untuk dapat di dengar oleh Jisoo.

Mendengar komentar Wonwoo yang tetap saja datar, entah kenapa membuat Jisoo menyerah. Ia mencoba mengambil sisi positifnya saja, mungkin memulai dari awal tak akan begitu sulit. Jisoo memang sudah diberi tanggung jawab oleh bibinya itu untuk menjaga Wonwoo selama di akademi ini, dan ketika melihat gerbang Pledisia akademi di depan mereka, entah kenapa Jisoo mulai merasa percaya diri.

Ia pun merangkul bahu Wonwoo dan menarik adik sepupunya itu untuk mendekat.

"nah, selamat datang di Akademi Pledisia... aku yakin kau akan sangat betah di sini, Wonwoo-ya."

.

.


MW


.

Akademi Pledisia ternyata,

Jauh lebih besar lagi dari yang pernah Wonwoo bayangkan.

Akademi ini memiliki banyak gedung pencakar langit, yang beradu dengan tinggi pepohonannya. Tak salah juga, mengingat akademi ini berisi anak-anak dari tingkat sekolah dasar, menengah, hingga atas.

Tingkat dasar berada di daerah utara, menengah di barat, dan atas di timur. Di selatan adalah gedung kantor kepala sekolah. Dan di setiap daerah, asrama dan gedung sekolah berada bersebelahan. Setidaknya, hanya itu yang Wonwoo tangkap dari penjelasan tur singkat dari Jisoo hingga entah bagaimana mereka berdua telah masuk ke dalam gedung asramanya. Jangan tanya bagaimana, kearah mana, Wonwoo hanya mengikuti Jisoo dari belakang. ia begitu buruk soal pemetaan.

Hingga mereka sampai di kamar Wonwoo.

"ini kamarmu. Berisi tiga orang termaksud kau... dan mungkin mereka telah sampai duluan di dalam" ucap Jisoo, seraya meletakkan tas ransel gemuk Wonwoo di lantai. "kau tak apa kan ku tinggal di sini?" tanya Jisoo, dan Wonwoo dengan cepat mengangguk.

"jangan sungkan untuk menghubungiku jika kau membutuhkan bantuan." Ucap Jisoo terakhir sebelum akhirnya pemuda tampan itu pergi meninggalkan Wonwoo sendiri di depan pintu kamarnya.

Wonwoo menghela napas sejenak, karna jantungnya mulai berdetak tak karuan bahkan sebelum ia memegang knop pintu. Ia gugup, pemuda pemilik mata sehitam rambutnya itu tak pernah memiliki roommate sebelumnya. Dan tinggal sekamar bersama dengan dua orang yang tak ia kenal bukan sesuatu yang menyenangkan baginya, sebenarnya.

'mulai awal yang baru!'

Ucapan ibunya kembali teringat. Membuat ia merutuk karna ia seolah dihantui oleh perkataan ibunya sendiri, yang juga karna itu, membuat Wonwoo secara tak sadar memegang knop pintu, dan mendorongnya. Ia masuk ke dalam kamar tersebut dengan gerakan sangat pelan.

Begitu Wonwoo masuk, ruang kamarnya pun terlihat. Sangat besar dengan nuansa hijau muda. ada tiga kasur yang berjejer disana, yang di setiap sisinya terdapat lemari dan nakas di samping kasur. Kemudian ada tiga meja belajar serta lemari buku besar yang menutupi satu sisi dinding, serta lantai kamar dilapisi dengan karpet yang halus—yang bahkan terlihat sangat nyaman untuk tidur, dan terakhir kamar mandi yang berada di paling belum melihatnya, tapi ia yakin tempat tinggalnya kini lebih dari cukup layak untuknya tinggal.

Dan saat ia sibuk meneliti ruangan itu yang akan menjadi kamarnya selama tiga tahun ini, tiba-tiba pandangannya bertemu dengan seorang yang berada di sana. yang juga menatapnya. Membuat Wonwoo sontak membungkuk dalam.

"aku Jeon Wonwoo, siswa tahun pertama yang akan menghuni kamar ini." ucap Wonwoo seformal dan sesopan yang ia bisa, begitu ia menemukan ternyata ada dua orang di dalam kamarnya.

Walau sebenarnya, Wonwoo tak begitu mengharapkan sambutan yang meriah dari teman sekamarnya yang baru, tetap saja. Wonwoo merasa tangannya mulai berkeringat saat dua orang yang berada tak jauh darinya itu tak memberikan respon untuk beberapa saat.

"Wen Junhui."

Ucap satu diantara mereka. Yang berdiri tak jauh dari lemari pakaian. Tubuhnya tinggi, dan ekspresi wajahnya terlihat datar, sedatar bagaimana ia memperkenalkan dirinya.

"aah... aku Lee Jihoon." Ucap satunya lagi, yang sedang duduk di kasur dengan tumpukan buku di sekitarnya. Melihat Wonwoo dengan tatapan mengintimidasi.

Tapi Wonwoo mencoba tak peduli dan hanya membungkuk dalam beberapa kali, mengatakan hal-hal formalitas lainnya dalam perkenalan dengan tangan yang ia kepal kuat karna berkeringat.

"oke, baiklah Jeon Wonwoo aku mengerti. jadi bisakah kau masuk dan mulai mengemasi barangmu—atau gantilah bajumu. Apa kau tak kepanasan dengan baju serba hitam begitu?" ujar Jihoon, memotong perkataan Wonwoo dengan nada bicara seramah yang ia bisa.

Karna harus diakui, wajah Jihoon, maupun Junhui, atau bahkan dirinya sendiri... sebenarnya tak terlihat cukup ramah untuk satu sama lain.

.

.


MW


.

Keesokan harinya,

Wonwoo duduk terdiam diatas kasurnya, memandang luar jendela besar yang berada tepat di samping kasurnya—karna kasurnya yang berada paling pojok. Lagi-lagi, ia hanya bisa melihat pepohonan, ranting-ranting yang besar dan kokoh di balik jendelanya. Wonwoo memandang bosan, sekali-kali ia membuka buku-buku yang dibawanya dengan bosan. ia telah selesai membaca semuanya, dan ia tak habis pikir apa yang akan ia lakukan hari ini—sampai pada saat upacara penerimaan murid baru dan ia mulai bersekolah.

Seandainya saja ia bisa pergi...

.

"apa kau akan di kamar seharian?"

.

Pertanyaan Jihoon membuatnya tersentak, dan beberapa saat kemudian mengangguk ragu "bagaimana denganmu?" tanya Wonwoo balik.

Jihoon, remaja dengan tinggi di bawah bahu Wonwoo itu terlihat sibuk mengemasi ranjangnya yang berada di sebelah Wonwoo, menjawab tanpa menoleh kearah Wonwoo "aku di sini. Mengerjakan sesuatu." Jawabnya singkat. "kau bisa ikut Junhui jika kau bosan di dalam kamar." Tambahnya kemudian, menunjuk kearah remaja lain yang tengah mengikat sepatu olahraganya.

"kemana?" tanya Wonwoo tertarik.

"ke gedung olahraga." Jawab Junhui "disana sedang ramai perekrutan angota klub olahraga" jelas remaja pemilik alis tegas itu, yang sedikitnya membuat Wonwoo terpana. Ini pertama kalinya ia mendengar Junhui bicara sepanjang itu.

"kau suka olahraga?" tanya Jihoon menimpali, saat Wonwoo terdiam untuk beberapa saat. Dan remaja yang ditanya menggeleng.

"tidak sama sekali" ucapnya miris.

"sudah kuduga." Jihoon terkekeh pelan. "nah, maaf Jun, sepertinya kau memang akan selalu pergi ke sana sendirian." Ujar remaja pemilik mata sipit itu menggoda. Tapi sama sekali tak digubris oleh Junhui. Remaja itu langsung saja melambaikan tangannya dan berlenggang pergi meninggalkan kamar nomor 145 itu.

Wonwoo yang sedari tadi menatap gerak-gerik Junhui hingga ke balik pintu pun kini beralih menatap Jihoon yang kembali sibuk mengemasi kertas-kertas di atas kasurnya. "lalu, kau akan membuat lirik lagu seharian?" tanya Wonwoo lagi. membuat Jihoon menghentikan gerak tangannya.

"dari mana kau tahu aku sedang membuat lirik?" tanyanya dengan tatapan agak tajam, namun Wonwoo tak bergeming. Hanya menunjuk kearah pensil yang diapit Jihoon diantara jari kecilnya.

"kau selalu menggerakkan pensilmu dengan irama berbeda saat menulis." Ucap Wonwoo "dan penulis puisi sekalipun tak menggerakkan pensilnya seperti itu." lanjutnya dengan nada datar khas Wonwoo. Membuat keadaan menjadi hening beberapa saat dengan Jihoon yang menatap pensil di tangannya sendiri.

"menarik. Bahkan Junhui yang sudah tiga hari bersamaku mungkin tak menyadari kalau aku menulis lirik... ia selalu memberikan tatapan aneh seolah aku tengah menulis diary berlembar-lembar!" akunya kemudian, ia tersenyum lebar pada Wonwoo—yang ini pertama kalinya Wonwoo lihat remaja bertubuh kecil dan bermuka sinis itu tersenyum. Yang sedikitnya, membuat Wonwoo ikut tersenyum tipis.

"jika aku suka menulis lirik lagu, dan Junhui dengan olahraga beladiri—konyolnya-, apa yang kau sukai?" tanya Jihoon tiba-tiba. Berpikir mungkin ia bisa membantu si anak baru dengan tahu apa yang disukainya—jadi setidaknya, Wonwoo tak akan menjadi patung berdebu di kamar ini.

Wonwoo berpikir sejenak, menimbang-nimbang apa hal yang ia sukai, namun tak ada yang begitu spesifik. Setiap waktu luangnya ia selalu gunakan untuk membantu ibunya memberesi rumah, kerja sambilan di supermarket dekat rumahnya, membaca buku yang sudah ia hapal isinya, atau... hanya diam di tempat yang sepi dan sempit.

Remaja itu sempat berpikir untuk menghabiskan waktunya di kamar mandi dan bertingkah seolah ia tak ada, namun, itu terlalu aneh, kata ibunya. Jadi ia hanya menggeleng.

Butuh beberapa saat untuk Jihoon mengatur ekspresi bingungnya tadi menjadi biasa lagi. ia tertawa renyah "kukira hanya cara bicaramu yang terdengar membosankan, ternyata kau sungguh... orang yang membosankan." Ucap Jihoon, yang walaupun ia tak bermaksud, terdengar seperti ejekan di telinga Wonwoo.

tapi bukan Wonwoo namanya jika ia memperdulikan perkataan Jihoon, remaja itu hanya mengangkat bahunya "banyak orang mengatakan seperti itu..." ucapnya datar seraya kembali melihat kearah luar jendela, yang entah kenapa terlihat begitu menarik semakin lama ia menatap ranting-ranting pohon berdasarkan biru langit. Tak begitu memperdulikan suasana hening yang kembali terjadi.

Tak begitu memperdulikan juga teman sekamarnya yang kini tengah duduk di kasur pula, sedari tadi menghapus apa yang ia tulis di kertas dan wajahnya yang terbiasa sinis itu terlihat gelisah. Dan merasa tak tahan, ia mulai kembali memecah keheningan.

"kuharap aku tak membuatmu sakit hati, Wonwoo-ya..."

"ah... tidak juga..."

"kalau kau mau, aku bisa memberikanmu denah ke perpustakaan, atau kantin, atau apapun..."

"hm, baiklah."

.

.


MW


.

"Baiklah, setelah melewati gedung asrama utara, belok ke kiri. Lalu setelah ketemu taman musik, belok kanan dan bertemu perempatan ke kiri, tak jauh dari perempatan ada jalan kecil belok kiri lagi. lalu ke kanan, perpustakaan pusat ada di belakang hutan pinus terlarang, jadi cara tercepat gunakan jalan tikus dekat toilet umum yang berada di ujung jalan setelah perempatan..."

Berterima kasih memang untuk ingatan Wonwoo yang baik. Ia bisa dengan sempurna mengingat semua penjelasan dari Jihoon dua jam yang lalu, tapi ia tak tahu—Wonwoo sendiri heran kenapa ia bisa tersesat lagi—selalu. Ia telah melewati taman musik dan perempatan, tapi ia tak juga menemukan dimata gedung perpustakaan, atau bahkan toilet umum, atau jalan tikus—entah apalah yang makin membuat Wonwoo frustasi sendiri. ia sudah berhenti di depan palang hutan terlarang pinus tiga kali.

Matahari sudah makin naik ke atas. Wonwoo menghela napasnya, seraya mengusap peluh di pelipisnya dengan membuka topi yang sedari tadi ia gunakan. Kemudian ia kembali merogoh saku jaket hitamnya dan kembali menghela napas. Benar, ia lupa membawa ponselnya. Yang makin membuat Wonwoo menyerah untuk pergi ke perpustakaan. Tapi jangankan itu, masalah yang lebih besar adalah ia tak tahu kemana jalan pulang kembali ke asrama.

Dan sampai di detik itu, akhirnya Wonwoo menyerah—sebenar-benarnya arti. Ia mencoba tak peduli, dan kembali menurunkan topinya saat beberapa siswa yang berjalan melewatinya melirik seolah Wonwoo adalah orang jahat karna berpakaian serba hitam. Ia hanya tak suka menjadi pusat perhatian—walaupun sebenarnya caranya 'agak' keliru. Ia justru menjadi pusat perhatian, dan memilih untuk memasuki gerbang hutan pinus, yang katanya, terlarang.

Tapi sekali lagi, Wonwoo tak begitu peduli asalkan ia merasakan dirinya aman tanpa ada banyak orang di sekitarnya. Dan lagi pula, hutan pinus yang baru di masukinya ini sama sekali tak terlihat membahayakan. Wonwoo justru merasa terhibur. Dengan pemandangan indah pepohonan tinggi, suara burung dan tupai, juga sesuatu yang membuatnya tertarik, banyak kupu-kupu putih kecil yang beterbangan di sela-sela ranting pohon pinus.

Mungkin ini terdengar begitu feminim, tapi Wonwoo sangat suka melihat kupu-kupu.

Bahkan ia tak bisa berhenti melihat keatas, hingga…

.

BRUG

.

Wonwoo memekik tertahan ketika sesuatu yang besar dari atas menerjang tubuhnya hingga terjatuh keras di tanah. Remaja itu meringis, belum bisa membuka matanya, ia hanya membayangkan apa ia sedang di serang beruang di siang sepanas ini. Wonwoo baru saja berkepikiran untuk pura-pura mati saja, hingga lehernya di tekan dengan keras. Ia tersedak dan mulai sulit bernapas, namun ia tetap tak ingin membuka matanya.

"APA KAU YANG DIUTUS WANITA ITU UNTUK MEMBUNUHKU?!"

Wonwoo reflek membuka matanya.

.

Dan ia tak tahu harus bersyukur atau tidak karna yang berada di atasnya sekarang—jelas bukan beruang.

.

Well, apapun yang barusan ia dengar, Wonwoo jelas masih ingat diantara semua mahluk, hanya manusia yang bisa bicara...

.

.

.

Bersambung.

.

.

Hi everyone, this is Bisory~!

Saya kembali dengan fanfict Meanie yang baru guys~ how's it? Saya harap kisah yang 'biasa' ini tidak begitu biasa hingga membuat readersnim semua kebosanan, hehe. Saya sungguh akan menyajikan cerita yang menarik di chapter-chapter berikutnya dan nantikan ketiga belas 'sebongie' yang akan beraksi di cerita ini, hehe. Please looking forward for this story guys~!

Dan sekedar informasi penegasan :: Akademi Pledisia ini sistemnya hampir sama seperti sekolah swasta, yang punya tingkatan dari TK, SD, SMP,dan SMA. Dan di sini ceritanya Wonwoo dan line96 lainnya baru lulus SMP dan mulai masuk SMA kelas satu. Kemudian, kelas member lain tinggal diurutkan seterusnya ^^

And last not least, thanks for reading this fict! Saya sangat menantikan pendapat readernim sekalian untuk meneruskan cerita ini. Kritik dan saran sangat saya terima, dan juga beri tahu saya apa cerita ini patut untuk dilanjutkan atau tidak~