A/N: Yes, I'm back with some random ideas that just popped up into my mind after bathing my boys. So please enjoy or try to enjoy or just try read it first (haha insecure issue)

DARK AND DANGEROUS

by

AchernarEve

Summary : Saat sebuah tindakan membawa Hermione Granger jatuh ke dalam sebuah dunia yang tak pernah sedikitpun terlintas dalam pikirnya

Rate : M (for language and some adult content)

Chapter One

London masih ditutupi salju sedari malam tadi hingga sekarang. Namun, hal itu tak merubah apapun. Orang-orang masih berlalu lalang dari satu tempat ke tempat lain. Dari sudut satu ke lainnya untuk mengerjakan apa yang harus mereka kerjakan.

Siang ini Kementerian juga tampak ramai seperti biasanyanya, walaupun cuaca tengah menggigit sampai ke lapisan tulang paling dalam. Dari pegawai, kolega Kementerian, sampai masayarakat sihir yang memiliki kepentingan tumpah ruah disini, terutama di lobby utama bangunan ini. Sekelompok orang tengah berbincang di sudut lobby dengan gelas-gelas berisi teh hangat yang mengepul di tangannya sambil bersenda gurau. Di sudut lain lagi, ada dua orang yang tengah sibuk membicarakan pekerjaannya. Ada juga yang tengah berlari dan terlihat tergesa-gesa. Entah untuk mengejar lift atau menuju ruangan yang mereka tuju. Begitupula dengan aku yang sesekali tersenyum kepada beberapa kolega yang kukenal sambil terus menerobos orang-orang yang berlalu lalang.

Hari ini Harry, Ron, dan aku membuat janji untuk makan siang bersama setelah berjuta-juta abad rasanya kami tak bertemu. Kesibukan Harry dan Ron sebagai Auror yang membuat mereka bak superhero yang selalu siap membela kebenaraan kapanpun dan dimanapun itu menjadi salah satu dari banyak alasan mengapa kami jarang bertemu. Walaupun tak jarang juga mereka menyalahkanku karena juga terlalu sibuk dengan kegiatanku di kampus sebagai pengajar dan pendiri yayasan untuk para korban anak-anak yatim dan janda di masa kekuasaan Voldemort. Kulirik kembali tampilanku di salah satu cermin di koridor ini sebelum memutuskan untuk mengetuk pintu kantor Harry.

"Mione," sapa Harry saat melihat keberadaanku di ambang pintu kantornya.

Ron ikut bangkit dan meletakkan perkamen yang tengah dipegang lalu memelukku. "Aku merindukanmu," ucap Ron setelah melepaskan pelukannya.

Aku terkekeh lalu melemparkan padangan secara bergantian kepada kedua sahabatku ini. "Kalian siap untuk makan siang?" tanyaku yang berjalan ke arah Harry sebelum ikut memeluknya seperti Ron tadi.

"Lima menit," balasnya cepat.

"Aku harus memberikan beberapa bukti ini ke bagian penyidik lalu kita akan menghabiskan siang ini bersama," tambahnya lagi.

Aku mendengus lalu menghempaskan diri di salah satu sofa di ruangan ini. "Aku lupa tengah berurusan dengan siapa."

Ron terkekeh lalu sibuk dengan beberapa perkamen di hadapannya. "Lima menit, Mione. Kami berjanji."

Dan setelah limat menit yang ditambah dengan lima belas menit perpanjangan waktu yang diberikan oleh wasit yang bahkan gaib keberadaannya itu, kami berhasil keluar dari ruangan itu. Hogsmeade menjadi tempat pilihan kami. Ron mengatakan bahwa ia rindu dengan kedai minum Madam Rosmerta dan aku juga tengah menginginkan lamb chop di salah restaurant di ujung jalan desa itu. Setelah makan siang super mengenyangkan tadi, kami berjalan-jalan di desa itu. Sekali lagi aku mengatakan bahwa salju yang tebal dan udara yang menggigit tak menjadi alasan orang-orang untuk tidak beraktifitas disini. Beberapa murid Hogwarts tengah berlalu-lalang dengan suara cekikikan dari mulut mereka khas para remaja. Ada juga para pekerja seperti kami yang menghabiskan waktu makan siangnya disini. Dan jangan lupa dengan musisi jalanan yang tengah memainkan simfoninya di salah satu sisi jalan desa ini. Aku rindu dengan suasana ini. Rasanya baru kemarin aku mengenakan Shorting Hat, lalu menjalani hari-hari ternormalku di Hogwarts, lalu perang terjadi, dan semuanya berakhir dengan terlalu tragis. Lima belas telah berlalu dan aku masih merasa hal itu baru kemarin. Aku tertawa kecut sendiri yang menyadari betapa bodoh diriku yang tetiba melankolis karena faktor hormone kewanitaanku.

"Aku rindu tempat ini," ucap Harry.

Alisku mengerut. "Aku rindu semua tempat di desa ini dan aku juga merindukan Hogwarts," tambah Ron yang menunjuk salah satu menara kastil itu yang terlihat sedikit tertutup awan dari desa ini.

Aku tersenyum. Baiklah aku tak akan mengutuk hormone kewanitaanku karena kedua pria ini juga merasakan hal yang sama. Suara denting dari lonceng kedai minum ini berbunyi saat kami membuka pintunya. Seorang pelayan melihat kami dan senyum lebar terpancar dari wajahnya. "What a surprise," ucapnya penuh kegembiraan di wajahnya.

"Dorian," sapa Harry pada pelayan yang telah bekerja di kedai minum ini hampir di seluruh hiudpnya.

Pria berkulit gelap itu menghampiri kami dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya. "The Golden Trio. Sudah lama sekali kalian tak mengunjungi tempat ini."

"Mereka sangat sibuk," kekehku pada pria separuh baya ini dengan berpura-pura berbisik padanya.

Kami semua tertawa saat Dorian berpura-pura memahami betul apa yang terjadi. "Kalian mau pesan apa?" tanyanya setelah kami duduk di salah satu meja tepat berhadapan dengan jendela.

"Buttebear saja," balas Harry.

"Ron?" tanyanya

Ron mengangguk. "Kami harus kembali bekerja," kekeh Ron.

"Mione?"

Aku mengedik. "Firewhiskey," balasku yang mendapat tatapan langsung oleh kedua priaku ini.

Kembali aku mengedik. "Kenapa?" tanyaku yang tak dijawab oleh mereka.

"Pertama, aku tak harus kembali bekerja seperti kalian karena jadwal mengajarku hari ini baru saja berakhir beberapa jam yang lalu dan kedua, di luar sana sangat dingin serta aku juga sudah jauh dari kata cukup umur untuk menenggak ratusan gelas minuman ini."

Ron mendengus. "Baiklah-baiklah."

Siang ini berjalan dengan sangat menyenangkan. Harry dan Ron sibuk dengan cerita-cerita kriminal penangkapan para penjahat sementara aku hanya menjadi pendengar yang setia. Tak ada hal baru dan menarik serta menyenangkan dari kehidupanku.

Aku hanya seoarang dosen di London Institute of Magical. Tak banyak cerita menarik dari pekerjaan itu, tapi aku sangat menyukainya. Aku suka berinteraksi dengan mahasiswaku, aku suka berbagi apapun ilmu yang aku miliki. Mungkin bagiku hal itu menyenangkan, tapi aku tak tahu bagi mereka. Jadi, aku tak akan berbagi kisah ini pada mereka.

"Lalu bagaimana kabar James Junior?" tanyaku setelah menyesap minuman keduaku.

Harry membenarkan posisi kacamatanya lalu tersenyum. Ia selalu tersenyum bila topik James naik ke permukaan. Seperti orang suci dengan pengalaman religinya. "Dia sudah berjalan, walaupun hanya satu dan dua langkah," kekehnya.

Dan kami terlena dengan topik ini, sambil sesekali menanyakan kabar dari rumah tangga Ron, dan menyerempet tentang hubungan percintaanku yang tak pernah lama dari umur jagung. "Berhentilah mencari yang dapat menandingimu. Kau sempurna, Mione," ujar Harry yang langsung diberi seribu anggukan oleh Ron.

Sementara aku hanya tersenyum. "Aku tak pernah mencari kesempuranaan, tapi mereka selalu lari dariku begitu saja."

"Aku akan meminta Ginny untuk mengenalkan beberapa pemain di liganya kepadamu," balasnya.

Aku menggeleng. "Ayolah Harry, aku baru 32 tahun."

"Itu bukan baru. Kau sudah 32 tahun," tandas Ron.

"Kalian mulai terdengar seperti ibu-ibu yang memelihara perawan tua di rumahnya."

Tatapan Harry melembut padaku. "Kami hanya menyayangimu."

"Terima kasih, tapi hal itu tak perlu. Sungguh."

Dan disela percakapan kami, sosok yang juga sudah berjuta-juta tahun tak kutemui melenggang nyaman masuk ke kedai minum ini. Tatapannya jatuh pada meja kami dan ia mengangguk pada Harry. Aku terkejut dibuatnya. Pandanganku langsung beralih pada Harry sebelum kembali pada sosok itu lagi.

"Mister Malfoy," sapa Dorian.

"Tempat biasamu sudah siap," tambahnya lagi.

Lalu aku melihat pria itu masuk ke sebuah ruangan yang terlihat sangat tertutup. "Dia mengangguk padamu?" tanyaku tak percaya.

"Hanya sopan santun. Kita tak lagi hidup di zaman dia memanggilku Pothead dan mudblood untukmu, MIone."

Aku tersenyum. "Tapi dia masih dan akan selalu jijik pada muggleborn sepertiku."

"Setidaknya ia menutup mulutnya rapat-rapat," balas Ron.

Aku tahu siapa pria itu. Draco Malfoy pengusaha sihir kaya raya yang sangat misterius akan segalanya. Ada desas-desus yang mengatakan bahwa ia tak hanya seorang pengusaha, tapi juga seorang mafia besar. Tampilannya yang sangat aristokrat membuatnya sangat disegani semua orang. Tak seperti Lucius Malfoy, ayahnya yang berambut pirang platina yang terurai panjang, Draco memangkas pendek rambutnya dan seingatku kini rambutnya sedikit menggelap dari terakhir kali aku melihatnya di Hogwarts dulu. Seketika aku sadar bahwa aku sedang menghabiskan waktu tak berguna untuk membahas keberadaan pria itu.

Menjelang sore hari, kami berpisah di Hogsmeade untuk ber-Apparate ke masing-masing tujuan dan tujuanku adalah rumah. Kepalaku sedikit pening dan aku ingin sekali berendam di air hangat. Harry dan Ron berjanji untuk meluangkan lebih banyak waktu seperti hari ini. Bukannya aku berubah menjadi sahabat yang sangat penuntut, tapi mereka membutuhkan jeda dalam hidupnya.

000

Badai salju masih terus menerpa London hari ini. Kugunakan mantel tebalku untuk setelahnya merapalkan mantra penghangat tubuh. Para mahasiswa dan pengajar di kampus ini berjalan dengan kecepatan penuh agar terhindar dari dinginnya hawa hari ini. Badai terlihat lebih mengamuk dari semalam.

Dengan terburu-buru pula aku masuk ke sebuah auditorium di kampus ini. Hari ini aku memberikan kuliah umum untuk dua kelas di tingkat akhir kampus ini. Sejak dahulu aku selalu bercita-cita menjadi seorang pengajar, alih-alih menjadi bagian dari Hogwarts aku memilih menjadi professor di kampus ini. Dunia perkuliahan memiliki ilmu yang lebih dinamis dan hal inilah yang secara tidak sengaja memaksaku untuk terus belajar mengikuti perkembangan yang ada.

"Selamat pagi," sapaku pada para mahasiswa di hadapanku ini.

"Silahkan buka buku kalian halaman 376," tambahku.

Kuambil sebuah kapur dan mulai menulis judul perkuliahan pagi ini. "Kita akan membahas Sejarah Perang Hogwarts di rezim Voldemort," ujarku lalu secara sihir menyalakan proyektor dan memulai perkuliahan pagi ini.

Metode yang kugunakan dalam mengajar adalah memberikan pancingan dan menunggu mereka untuk bereaksi. Aku tak akan rela menghabiskan waktuku untuk menjelaskan sesuatu yang telah tertulis jelas di dalam buku mereka. Aku selalu menunggu mereka untuk secara aktif bertanya apa yang janggal dan berakhir mengganjal di pikiran mereka.

"Professor," ucap seorang pria yang mengangkat tangannya yang pastinya untuk bertanya padaku.

Aku hanya menganggukan kepala padanya. "Aku sudah membaca beberapa literatur mengenai sejarah ini dan semua sumber sejarah baik narasumber atau benda sejarah seluruhnya hampir sesuai dengan apa yang telah kau sampaikan tadi, tapi apakah menurutmu hal ini menjadi terlalu narsistik?"

Keningku mengerut mendengar kalimat terakhir dirinya. "Kau adalah tokoh sekaligus narasumber dari sejarah ini, apakah menurutmu hal ini tak akan membuatnya sangat subyektif? Kau dapat dengan mudah memutarbalikan fakta yang ada."

Aku tersenyum mendengarnya. "Maksudmu, seperti aku akan membuat diriku dan kedua teman baikku terdengar sangat hebat dan penuh jiwa heroik?"

Pria muda yang bahkan belum sempat kutanya namanya itu mengangguk mantap. Senyum tipisku masih menghias di wajah lalu aku menggeleng. "Percayalah padaku, Sir, kau tak akan mau berada di posisiku pada masa itu," jawabanku membuat hampir satu ruangan itu tertawa.

"Pertama, aku dapat saja terbunuh kapanpun saat itu. Dan kedua, aku tak mandi untuk waktu yang lama."

Dan sekali lagi para mahasiswa ini tertawa. "Maaf, siapa namamu sebelumnya?"

"Simon Lancelot," jawabnya cepat.

"Baiklah, Mister Lancelot. Sebelum kau mengikuti kuliah ini aku yakin kau sudah diberikan materi Pengantar Sejarah pada tahun pertamamu bukan?"

Ia mengangguk. "Dan aku yakin sekali kau tahu bahwa sejarah memang bersifat subyektif."

Kelas masih tampak senyap menunggu untuk diriku melanjutkan hal ini. "Baiklah, aku ingin empat mahasiswa maju untuk membantuku memberi contoh pada kalian semua bagaimana sejarah dapat dikatakan sebuah masalah yang subyektif."

Tanpa menunggu kupanggil lagi, empat orang mahasiswaku maju dan aku meminta mereka mengelilingi mejaku. "Ada sebuah kotak tissue di hadapan kalian. Ceritakan apa yang kalian lihat sekarang," ucapku pada mereka.

"Aku melihat tissue yang menyembul dari dalamnya," ujar mahasiswa pertama.

Kualihkan pandangan pada yang lain. "Aku melihat gerakan bumi yang berputar perlahan di porosnya."

"Aku melihat hanya melihat kotak tissue kayu itu," jawab mahasiswa ketiga.

"Dan apa yang kau lihat?" tanyaku pada mahasiwa terakhir.

"Tissue."

Kembali aku mengangguk. "Kalian boleh duduk."

Kuangkat kotak tissue kayu dengan ornamen sihir rotasi bumi itu. "Satu benda yang sama di saat yang sama, tapi memiliki arti yang berbeda pada tiap individu yang melihatnya."

"Sama dengan sejarah," tambahku.

Kuletakkan benda itu dan sedikit bersandar pada ujung meja. "Sebuah sejarah sangat identik dengan subyektifitas seseorang, tapi kami para pengajar berusaha memilah dan memilih untuk memberikan informasi dengan tingkat akurasi tertinggi kepada kalian para mahasiswa. Mencari dengan perlahan mana yang menjadi sumber valid sebuah sejarah. Dan percayalah, young man. Kampus ini tak akan membayarku mahal hanya untuk menyombong di hadapan kalian atau para penerbit buku tak akan bersusah payah untuk mengumpulkan bukti sejarah termasuk wawancaraku di dalamnya hanya untuk membuatku terlihat menakjubkan."

"Bagaimana Mister Lancelot, kau mash takut bila subjek mata kuliah ini hanya berisi tentang kenarsistikan diriku saja?"

Pria muda itu tampak ragu sebelum menggelengkan kepalanya. "Maaf, Professor."

"Tidak perlu," jawabku serius

"Jadi, siapa yang bersemangat untuk mendengar tugas essay subjek kuliah ini?"

Suara riuh rendah langsung terdengar dari ruangan ini. "Ayolah, Professor Granger," ujar salah satu mahasiswa yang tampak lelah dengan tugas-tugas.

"Aku ingin kalian membuat essay pendapat kalian mengenai Perang Hogwarts dengan beberapa narasumber sebagai tolak ukurnya lengkap dengan analisis teori perang dari abad ke abad. Tiga lembar perkamen penuh minggu depan di hari yang sama tepat pukul 10 pagi."

Suara protes itu terdengar sampai aku kembali membuka suara. "Dan satu orang dengan tugas yang dapat memukauku akan mendapat free acces untuk ke carrel pribadiku di perpustakaan selama satu minggu."

"Damn it," aku mendengar seseorang mengumpat dan aku hanya tersenyum.

"Yes, damn it," balasku yang disambut dengan tawa oleh mereka.

"Aku yakin sekali hal ini sangat berguna terutama bagi mahasiswa tingkat akhir seperti kalian."

Seorang mahasiswa mengangkat tangannya. "Kau serius, Professor?"

"Sangat serius, jadi kerjakan tugas ini sebaik mungkin dan sampai jumpa minggu depan."

Mahasiswa-mahasiswa ini mulai menghambur bak anak ayam yang di serang oleh elang saat induknya menghilang. Aku tertawa sendiri saat menyadari bagaimana ekspresi mereka saat mendengar apa keuntungan dari tugas ini. Carrel pribadiku berisi literatur sejarah dari berbagai era yang kukumpulkan dari banyak negara maupun yang kutulis sendiri dan para mahasiswa tingkat akhir tahu betul bagaimana berharganya carrel pribadi yang hanya aku dan Tuhan yang tahu isinya.

Baru saja kurapatkan mantelku saat ujung mataku menangkap sosok yang kemarin aku temui di kedai minum Madam Rosmerta. Draco Malfoy. Apa yang ia lakukan di kampus ini? Ia tampak berjalan keluar dari sebuah ruang kelas. Terlihat bahwa ia tengah membetulkan sarung tangan yang ia gunakan. Dia tampak berbicara dengan seseorang di luar ruangan itu yang berpenampil serupa dengannya. Jubah hitam dari atas sampai bawah. Lalu ia berbalik dan berjalan ke arahku. Kami berpapasan dan ia tampak sangat tak memedulikan keberadaanku. Aku masih memperhatikannya yang seketika ber-Apparate di zona aman Apparation kampus ini.

Aku mengedik. "Aneh."

Dan aku melenggang untuk menuju kelas selanjutnya.

000

Pulang adalah pilihanku setelah mengajar hari ini. Biasanya aku akan mengunjungi yayasan untuk sekadar melihat keadaan atau memeriksa operasional yang berjalan disana. Tetapi, tidak dengan hari ini. Badai salju yang masih belum tampak ujungnya ini membuatku memutuskan untuk berendam di bathtub sejak sore tadi dengan segelas wine di tangan. Kebiasaan muggle yang tak akan pernah hilang di kehidupanku adalah menikmati wine hingga mati.

Kediamanku sangat damai cenderung senyap dan aku menyukainya. Hal ini membuatku semakin menikmati kegiatan berendam seperti ini. Berlokasi di Godric's Hollow membuat kediamanku jauh dari hingar bingar kota. Permukiman yang terletak di kawasan barat kota London ini terhitung menjadi permukiman penyihir yang kecil namun tetap berlokasi strategis bagiku karena bertetanggaan langsung dengan kawasan muggle. Di saat para penyihir seumurku memilih kediaman berbentuk apartemen atau rumah-rumah mewah di tengah kota aku justru memilih kawasan ini. Berbeda adalah kata yang selalu cocok dengan diriku sejak dahulu, bukan?

Waktu sudah hampir mencapai pukul 10 malam saat aku merasa perutku hanya terisi wine sejak tadi sore. Kupanaskan makan malamku secara sihir dan mulai memakannya saat aku mendengar suara benturan kencang dari luar rumahku. Badai sudah mereda beberapa saat yang lalu, setidaknya untuk beberapa saat ini. Mungkin saja itu hanya sebuah pohon dari hutan samping rumahku yang tumbang akibat angin tadi. Aku mengedik lalu menyuap kembali pasta ke dalam mulutku. Tetapi, bila benar hal itu adalah pohon yang tumbang, bagaimana bila salah satu sisinya mengenai atapku dan malam nanti saat hujan turun rumahku akan bocor? Bloody hell. Kadang aku sendiri suka merutuki sifat overthingking ini. Aku berusaha untuk tak memikirkannya, namun gagal.

Kuputuskan untuk menyudahi makan malamku dan mengambil mantel serta tongkat sihirku. Kurapatkan mantelku dengan erat agar tak ada sedikitpun udara dingin yang berhasil menelusup di tubuhku. Perlahan aku keluar dari rumah hangatku menuju samping rumah dengan langkah yang sangat berat. Berat secara harfiah bukan konotasi belaka, karena sepatu bootku benar-benar tertanam dalam tumpukan salju. Baru beberapa langkah, aku terdiam di tempat saat melihat sesuatu di salju ini. Bercak yang terlihat seperti tetesan-tetesan darah itu mengarah ke arah hutan.

"Lumos," bisikku.

Cahaya seketika keluar dari tongkatku dan aku berjongkok untuk memastikan bercak itu. Kusentuh cairan dan aku dapat memastikan bahwa ini adalah darah. Darah manusia.

"Holy shit," umpatku pelan.

Darah siapa ini? Dari jejak yang mengarah ke hutan ini, pastilah si empunya tengah berada di dalamnya sekarang. Tetapi, pertanyaannya adalah siapa yang menjadi pemilik darah ini? Satu sisi aku memilih untuk tak peduli dan kembali masuk ke rumahku yang hangat, tapi sisi lain mendorongku untuk masuk atau setidaknya memeriksa pinggir hutan ini. Mungkin saja ia membutuhkan bantuan. Sesaat aku tertegun dan sesaat kemudian aku sudah berjalan menuju hutan itu. Blame my curiosity.

Langkahku kembli terhenti saat mendengar erangan kecil yang tak jauh dari pinggir hutan ini. Mataku membelalak saat melihat aliran darah segar yang mengalir turun tepat ke dekat kakiku. Kuhampiri langsung sumber suara itu tanpa berpikir panjang. Tanpa berpikir mungkin saja hal ini jebakan dan dia berpura-pura lalu menyekap dan merampok rumahku atau ia adalah buronan Kementerian dan aku dianggap bersekongkol untuk membantunya.

"Lumos Maxima."

Dan untuk kesekian kali pula langkahku terhenti karena masalah darah ini. Mataku membelalak lebih hebat dari sebelumnya. Holy shit. Darah mengalir terlalu lancar dari bagian perut tubuhnya. Tubuhku itu hanya berusaha menahan sakit di atas dinginnya salju. Mata itu akhirnya menatapku namun aku masih belum dapat mengenali wajahnya karena tertutup sebagian jubahnya.

Aku melihat kesekeliling dan sebuah tongkat sihir tergeletak tak jauh dari tubuhnya. Aku berlutut di sisinya untuk melihat wajahnya. Tubuhnya sangat dingin saat kupegang. Kusingkap jubah itu dan jantungku mencelos

"Bloody hell, Draco Malfoy," ujarku.

000

should I continue this or not? Let me hear your thought

Thanks!