Malam hari tiba, kini manusia sudah mulai kembali kerumah mereka, membawa pengalaman hidup yang baru entah itu hanya duduk di meja kantor seharian, masalah tentang tugas sekolah, kenangan masa muda atau sebuah kepahitan tentang hidup yang mampu merombak cara berfikir seseorang, ideologi hidup maupun kepribadian, itu semua tergantung bagaimana kepribadian awal mereka terbentuk yang akan berpengaruh tentang cara berfikir mereka.

Manusia itu rumit dan simpel secara bersamaan

Gelap. Ya, tak ada sesuatu yang menerangi jalan yang gelap ini kecuali hanya beberapa lampu redup yang mati beberapa kali. Distrik hitam begitulah julukannya. Jika dunia sana terdapat orang-orang bermoral yang yang menjunjung tinggi tentang pelarangan perbudakan, perendahan status social terhadap perempuan, pembunuhan, dan hak asasi manusia.

Tapi di sini, hak asasi hanyalah tak lebih dari lembaran kertas omong kosong.

"Jadi, ini distrik hitam?" Tanya seorang pemuda berambut putih yang mengenakan jas lab dan blazer hitam sebagai dalaman berjalan di jalan setapak sembari melihat sekitar.

"Kau baru pertama kali ke sini, Takehito?" Dia tak sendiri, di sampingnya yang berjalan beriringan dengannya seorang pemuda berambut hitam raven dengan jaket hitam yang kedua lengannya dimasukkan ke kantong jaket dan celana olahraga berwarna hitam dengan garis biru donker khas celana olahraga.

"Aku hanya baru pertama kali masuk lebih dalam, aku hanya pernah melihat pinggirnya saja, hey Sasuke aku tahu sekarang memang dingin tapi dengan jaket seperti itu apa tidak berlebihan?"

Sasuke mendengus. "Kau hanya tidak tahu seberapa dingin di sana, dalam arti kiasan maupun secara harfiah dan kau tahu memakai pakaian putih di sana itu sedikit agak tabu, jika kau tak ingin menjadi pusat perhatian lepaskan saja jasmu itu."

"Tidak usah, aku lebih suka begini."

Sasuke mengumbar. "Terserah kau sajalah." Tapi tiba-tiba mereka di datangi oleh seorang kekek kakek berpakaian lusuh yang berjalan dengan mengesot di jalanan. Tangan tua renta secara perlahan menggapai tanah untuk menggapai aspal sedikit demi sedikit dengan gemetar. Kaki yang nampak terlihat kering kerontang yang menyaruk-nyaruk kasarnya jalan.

"T-tolong…"

Sasuke dan Takehito otomatis menujukan perhatiannya kepada si Kakek tersebut.

"T-tolong…"

Sasuke memejamkan matanya dan mendengus yang kemudian diikuti dengan telapak kakinya yang mulai berlanjut meninggalkan si kakek yang masih bersikeras mencoba meminta tolong. Tapi Sasuke menyadari sesuatu…

Takehito terdiam…

Menurut iris hitam legamnya itu dia bisa menangkap ekspresi gelap Takehito. Di antara rambut silvernya dengan iris yang memandang penuh kekosongan. Di bawah lampu jalan yang berkedip mati setiap beberapa saat dia terdiam seribu bahasa, mulutnya tak bisa mengucapkan barangkali hanya sepatah kata.

Kenapa?

Hatinya penuh pertanyaan mengapa? Kenapa? Dan siapa? Diantara logika dan ilmu pengetahuan yang berkembang dan dengan tokoh kemanusiaan yang berhasil meletakkan hak manusia di atas segalanya dengan mengejutkan masih terdapat sisi gelap di bawahnya.

Cahaya selalu meninggalkan bayangan. Diantara seseorang yang bersinar di atas pasti ada orang yang menangis dengan memegang dada kiri yang penuh akan kebencian yang meluap yah, ini hanya masalah pengalaman dan…

Kelicikan

Tapi di saat Takehito hendak bergerak selangkah, mata kakek itu berubah menjadi merah semerah darah disertai dengan mulut yang penuh dengan air liur yang bertetesan keluar dengan nafas yang mulai tidak beraturan dan dengan cepatnya dia berdiri dan berlari dengan pisau yang terhunus ke arah Takehito.

*Dor*

Suara lecutan timah panas memecahkan keheningan malam yang menandakan untuk kesekian kalinya yang terjadi di dunia ini sebuah pistol telah bersalah menghilangkan nyawa seseorang dan kali ini yang menarik pelatuk bukanlah si Raven yang tengah memandang dengan ekspresi datar.

Tapi si rambut putih sang pelaku pengembalian nyawa ke sang pencipta yang dengan wajah tenang menarik sebuah pistol silver yang sudah mengeluarkan asap.

Dan si korban sudah tergeletak dengan kepala berlubang.

Tatapan itu menyiratkan sesuatu bahwa dia bukanlah orang awam yang dengan cepatnya meng'iya'kan sesuatu yang terlihat begitu samar. Tapi tatapan itu memberitahu jika dia adalah seseorang yang sudah melihat ribuan kali kematian dan segala macam kemunafikan manusia di hadapan matanya.

Dan tahukah kalian…

Pemikiran dan semua ekspresi sang Bayangan Perak

Hanyalah Sandiwara.

Disclaimer :

Naruto dan Sekirei bukan punya saya tapi fic ini murni punya saya dengan beberapa karya sebagai inspirasi.

.

Duo Yuusha

7 Kings

By : Sang Pemandu

.

.

.

.

Pair : Naruto x Harem (07. Akitsu,…?), Takehito x Miya

.

Rate : M (Untuk beberapa konten yang menimbulkan dosa)

.

Warning :

Typo(s) yang menyakitkan mata, beberapa bahasa tidak baku, penulisan agak gaje, karakter agak OOC, OC, lawakan garing nyess, beberapa chara nyasar dari fandom sebelah, Anti-Mainstream (Mungkin), 3 percampuran anime (Naruto, HS DxD, Sekirei)

.

.

Arc I :

Identitas Dunia

Chapter 3 :

"Aku Ingin Menjadi Lebih Kuat"

"Jadi bisakah kita rundingkan hal ini dengan kepala dingin?" Naruto agak mengatap ngeri plus sweetdrop kedepan tepatnya dimana tempat seorang perempuan berambut biru panjang tergerai hingga ke pantat. Oh, ya jangan lupakan sepasang sayap es yang membentang luas yang lebarnya jika dibandingkan hampir menyamai dengan lebar jalan raya.

Dengan pandangan tajam dan juga sebuah seringai beringas yang merusak wajah cantiknya. Ia melempar sebuah pedang es untuk kedua kalinya setelah serangan kejutan yang hampir saja membuat Naruto jantungan seketika, hanya saja kali ini dengan kecepatan yang lebih super yang walau meleset tetap saja bisa menggores pipi si pirang ini dan pedang tadi langsung melesat menuju lampu jalan yang langsung tumbang seketika.

"Baik, kurasa itu bukan mau mu." Naruto memasang insting siaga, ah dia baru saja menyadari sesuatu jika… "Ah sial, aku tidak bawa katana yang diberikan Sasuke." …ia melupakan sesuatu.

Naruto menajamkan kedua matanya 'Sekirei 'kah? Dia tipe es sama seperti Akitsu, tapi 2 sekirei berelemen sama itu termasuk langka, kalaupun ada yang pasti…' Naruto meneliti setiap ruas bagian tubuh gadis yang berdiri dihadapannya disertai dengan aura yang berkoar-koar di tubuh gadis itu.

Naruto harus meneguk ludahnya dengan keras karena naluri hormone laki-laki yang mulai menanjak membuat pikiran si tokoh utama ini blank Seketika, hawa nafsu yang mulai merangkak menyelubungi otak. Walau sehebat apapun dirinya dia tetaplah seorang laki-laki dewasa yang butuh asupan gono-gini.

Tapi dia mencoba mengambil lagi kendali pikirannya menggelengkan kepalanya untuk menyingkirkan (baca : menyimpan) beberapa pikiran seorang laki-laki sejati.

Ini membuat semangatnya membara

Kembali dengan analisa. '…Keganjilannya tidak ada, dia mirip sekali seperti Sekirei biasa, jika sudah begini…' Naruto memiringkan tubuhnya dengan sisi bagian kanan berada di depan. 'Memakai kekuatan bukanlah hal yang bijak untuk sekarang…'

Tiba-tiba alam bawah sadarnya memunculkan sebuah memori yang memperjelas semua ini.

'Jangan-jangan…'

Tapi waktu perencanaan Naruto tampaknya hanya sampai di sini, hal ini di sebabkan karena sang gadis bepakaian militer berwarna putih itu mencoba menghunuskan pedangnya dan berlari dengan kecepatan sekejap mata. Tapi pengalaman demi pengalaman yang sudah mengasah segala aspek dalam diri si protagonist satu ini yang membuatnya mampu menghindar hanya dengan menggeser tubuhnya.

'Kecepatan yang bagus!' Tapi kemudian pandangan kedua iris birunya menuju bagian tubuh lain sang gadis, tepatnya leher bagian belakang, menurut reaksi pandangannya dia menemukan sesuatu yang menarik. 'Hipotesaku benar, dia berbeda dari Sekirei yang biasa…'

Ya jika biasanya pada Sekirei terdapat sebuah lambang burung di belakang leher mereka tapi kali ini suatu yang sudah umum itu tiada dan itu yang membuatnya menarik. Mahkota biru panjang yang terkibas seolah menari di tengahnya malam seperti memberi kilauan, tapi sayangnya kilauan itu terasa usang.

Naruto mebalikkan arah pandangannya dimana dia bisa mendapati si gadis biru itu sedikit miring memunggunginya. Dia hanya merasa De Javu dengan aura ini. Dia ingat pernah merasakan aura yang begitu persis seperti ini, sesuatu yang tak asing baginya. Tatapan itu, senyum psikopatnya itu bahkan gerak tubuhnya dia tahu, Naruto tahu apa yang hati kecil si gadis biru ini permasalahkan.

"Maaf sekali nona, tapi aku hanya sedang tidak ingin mencari perkara, bisakah kau sebutkan siapa editormu dan pergi dari sini !?" Naruto menajamkan pandangannya dan mulai mengatur detak jantungnya, mengobservasi secara teliti segala gesture tubuhnya.

Dan benar saja secara tak terduga sang gadis langsung bergerak sangat cepat dan seketika langsung melayangkan tendangan yang menargetkan kepala Naruto. Dengan insting seorang petarung, Naruto mampu mem-blok serangan tiba-tiba tadi dengan kedua tangannya.

'Dia cepat!'

Setelah kombo pertama, serangan kedua tak ayal menunggu beberapa detik, dia langsung berputar ke depan dan mencoba melayangkan tebasan yang mengarah langsung kebagian leher Naruto yang tak terlindungi apapun.

Melihat ancaman bagi nyawanya, Naruto pun ikut berputar ke belakang dimana si gadis berbaju militer putih itu berada. Dan dengan keahlian yang terasah selama bertahun-tahun Naruto merendahkan badannya kebelakang dengan gaya limbo dan membalas sabetan pedang yang lewat di atasnya dengan sebuah kunai hitam.

'Ugh, sudah lama aku tak melakukan ini.' Fikiran Naruto setelah mendapatkan sensasi bergetar(?) di pingangnya.

Tapi kemudian sang gadis bermahkota biru itu melompat mundur, mengambil jarak beberapa meter dari Naruto yang terpaksa terduduk karena aksinya barusan sambil mengelus-elus pantatnya yang lagi-lagi terpaksa mencium tanah dengan keras

Tapi setelah itu sebuah pandangan ganjil yang membuat Naruto memunculkan tanda Tanya besar di kepalanya. Pasalnya si gadis pelaku penyerangan tiba-tiba yang merusak jadwal santainya yang mungkin hanya bisa dia dapatkan sebulan sekali tiba-tiba dia mengeluarkan suara isakan lengkap dengan tetesan air mata yang keluar dari kedua matanya.

"*Hiks* *Hiks* *Hiks* HUWAAAA…!" Setelah teriakan iba-tiba yang membuat sang protagonist kita ini berjengit kaget ,tiba-tiba dia berjongkok dan memendam kepalanya di antara lengannya dan mengeluarkan suara tangisan yang makin lama makin keras.

Satu yang ada di fikiran Naruto. 'Lha, kok nangis!?'

Oke, Naruto mulai takut. Dia baru pertama kali menjumpai yang tak kenal aka pa tiba-tiba menyerangnya oke dia memang seorang Sekirei tapi mau bagaimanapun dia tetaplah juga seorang gadis dan secara tiba-tiba menangis dengan sebuah teriakan dan berjongkok dengan isakan. Mungkin ini bisa saja hanya sebuah sandiwara yang diatur untuk mengelabuhinya akan tetapi dihadapannya tetaplah seorang perempuan yang menangis, dan seorang perempuan tetaplah perempuan dan itu membuat hati kecilnya iba dan harus memaksanya bimbang untuk menenangkannya atau meninggalkannya begitu saja dia bukanlah si unggas emo yang setiap masa SMA nya selalu menolak pernyataan 100 cewe lebih setiap tahunnya dan menjawab dengan jawaban jelas, singkat, padat 'Tidak', oh rasanya dia ingin menendang wajah yang-(menurutnya)-entah-kenapa disukai-banyak-gadis itu.

Sedikit celingak-celinguk, memastikan tak ada satupun saksi mata yang mungkin akan memandangnya dengan pandangan 'menjijikkan' kepadanya. dia mulai perlahan mendekati si perempuan yang masih tetap berjongkok dengan isakan yang masih tetap sama.

"Hei kenapa kau menangis!?"

"Hueee…" Hampir saja Naruto melompat ke belakang karena efek pertanyaannya tadi, bukannya sesuatu yang mengenakkan seperti mulai tenang barangkali akan tetapi dia malah memperkeras frekuensi teriaknnya yang sepertinya menggema di jalanan.

Oh sial cobaan apa lagi ini!

"O-oke berhentilah menangis aku akan turuti keinginanmu ok!" Masukan lagi ke daftar kelemahan Uzumaki Naruto yang tidak tahan jika melihat seorang perempuan menangis dan mampu membuatnya kelabakan dengan ekspresi yang tidak karuan dan keringat dingin yang mulai mengucur.

Baik, si kuning ini mengakui dengan segenap hatinya sebagai seorang laki-laki sejati bahwa jika telinganya mendengar tangisan, isakan atau apapun itu jika berasal dari perempuan itu akan membuat kontraksi yang langsung 'memprogram' seluruh tubuhnya untuk panik seketika. Mungkin ini juga dipengaruhi oleh factor imejnya di hadapan orang-orang yang tidak ingin anjlok seketika ke dasar jurang dalam kurang dari 1 detik.

Membayangkannya saja membuat bulu kuduknya merinding disko.

Si perempuan itu mulai mencoba menggerakkan kepalanya untuk menatap Naruto. "Benarkah?"

Dengan sangat amat terpaksa ."I-iya, kurasa begitu."

Dengan nada lirih si gadis menjawab "Kalau begitu… Gendong!"

Naruto agak berjengit. Dengan keadaan alis kanan yang agak berkedut dan pikiran yang kacau balau dia menatap seorang gadis yang baru saja mau mengambil nyawanya tiba-tiba menangis dan minta gendong. Tapi, demi menjaga kemaslahatan dan posisi derajat martabatnya di masyarakat, apa boleh buat. Naruto kemudian membelakangi dan berjongkok mengambil "Baiklah naik!"

Dengan perlahan sang gadis berambut biru mulai berdiri dan mendekat Ke arah Naruto yang masih memasang posisi yang sama dengan penuh rasa terpaksa. Tapi bukannya dia memposisikan dirinya di gendongan Naruto dia malah mendorong Naruto dan menguncinya sehingga mereka terbaring dengan posisi Woman on top atau apalah itu dengan wajah merah dan nafas sensual.

Dan mungkin Naruto hampir saja menuntut Kami-sama untuk merubah takdirnya yang membawanya dalam kondisi kampret macam ini yang mau tak mau mambuatnya pasrah dengan apa yang akan si dia perbuat. Dan apa-apaan wajahnya itu dia menatap dirinya seolah-olah dia adalah 'mangsa' dalam makna konotasi beserta tanda kutip.

Oh sial ini membuat roma-roma yang menjadikan bulu kuduknya berdiri tegak.

Tapi kemudian salah satu tangannya menuntun tangan naruto tepat di dada kirinya "Ne Ashikabi-sama, bisakah kau rasakan ini, jantungku yang berdegup kencang." Bukan bagiamana tapi sebenarnya ini akan membuatnya tampak buruk, memangnya siapa laki-laki normal yang sanggup menolak godaan seperti ini oke berikan pengecualian kepada Takehito yang hanya tak tahan dengan godaan istrinya dan Sasuke yang dia sendiri meragukan tentang kenormalannya dalam hal 'begini' sertakan juga L yang mungkin akan menempuh prinsip jomblo sampai akhir hayat.

Oh sial pada saat saat genting justru wajah seorang (katanya) pertapa yang dia temui saat umur 15 tahun dimana dia menyusuri pegunungan Himalaya yang sekarang menjadi guru beladirinya dan memiliki pekerjaan sampingan sebagai penulis Novel yang mungkin-kalian-tidak-ingin-tahu-apa-isinya sedang mengacungkan jempol dan tersenyum gembira dengan ekspresi yang seolah menyiratkan akhirnya-kau-akan-menjadi-laki-laki-seutuhnya.

Terkutuk kau Ero-sannin!

"Ne Ashikabi-sama…" Kali ini Sekirei berambut biru ini kembali memanggil Naruto yang masih sejak tadi berada di bawahnya.

"…Maukah kau jadikan aku milikmu?"

Naruto tersentak, sesuatu yang jarang sekali dilayangkan oleh sebagian besar Sekirei karena dia tahu betul apa yang para squad editor pikirkan di saat mereka mengutak-atik data program untuk ini. Tapi lingkari untuk si detektif satu itu, dia penuh dengan misteri kelabu.

Tapi mata birunya menemukan sebuah kaset yang berisi tentang kenangan pahit yang tersirat di iris matanya walau tampak sangat samar yang langsung tersambung dengan hati dan masa lalunya. Dan semua itu seperti sesuatu yang kelam dan menyesakkan. Dan dengan reflek dia mulai mengungkapkan isi hatinya dengan tersenyum hangat.

Dan dia juga merasa…

Takdir sudah mengikat mereka satu sama lain.

Entah apa yang dipikirkan otaknya yang sibuk memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi mendatang, persetan dengan semua itu. Karena hatinya sudah memberilnya sebuah ilham untuk mengucapkan sebuah kata yang mungkin akan membuat hidupnya berubah dalam beberapa aspek yah, mau bagaimana lagi sekarang dia hanya bisa mengatakan…

"Tentu!"

Sebuah kalimat lirih penuh akan makna kebahagiaan yang mampu menghangatkan seketika setiap Inch dari tubuh si Sekirei biru ini.

Dan prosesi pengikatan Ashikabi dan Sekirei dimulai di saat bibir mereka bertemu empat pasang sayap putih kebiruan yang di setiap kepakannya menjatuhkan butiran salju yang berkilauan membentang dengan sangat lebar dan cahaya putih dengan warna biru muda mengelilingi mereka.

Ah, sepertinya dia harus melindungi satu orang lagi.

"Sekarang dan selamanya akan selalu menjadi milikmu, Ashikabi-sama."


-One more-


Sahashi Minato, termenung duduk di depan pintu halaman belakang, di atas lantai kayu coklat yang hangat. Menatap langit yang menunjukkan kehampaan, bertabur bintang seperti gula pasir, dengan cahaya mereka yang berkelap-kelip seolah sedang bermain, angin dingin yang menerpa kulitnya setidaknya bisa menekan pikiran pemuda yang sudah gagal masuk unversitas 2 kali ini.

Sesuatu mengganjal di hatinya. Campur aduk, bahkan dirinya sendiri tak bisa menggambarkan hatinya sedang berwarna apa sekarang ini. Dia hanya bisa menelan ludah sesekali untuk menahan rasa yang menohok di dadanya. Kepalanya mulai sedikit pusing, mungkin ini efek dari terlalu banyak menghirup udara dingin tapi entah kenapa kesadarannya memiliki pemikiran sendiri. Sejak tadi dia tak bisa menutup mata atau bahkan memejamkannya seolah alam bawah sadarnya menjaganya agar selalu terjaga padahal dia berharap bisa melupakan masalahnya sejenak.

Insiden di jembatan itu. Rasa keputusasaan yang sempat hinggap di hatinya. Ketika melihat Sekirei pertamanya tergeletak tak berdaya hasil ulah Choubatsu Butai yang menghalangi niatan mereka membantu Haruka dan Kunoh Sekireinya kabur dari kota yang sudah menjadi arena pertempuran ini.

Tapi dia juga bersyukur keajaiban terjadi, Musubi hidup kembali. Entah, dia tak tahu bagaimana dia harus mengungkapkan kebahagiannya tapi yang pasti dia senang, sebuah nikmat yang belum pernah dia rasakan selama hidupnya dan dia bersyukur hatinya tak akan kehilangan seseorang.

Tapi sesuatu menakutinya.

Bayangan ketakutan yang selalu membayangi dirinya. Menghantuinya tiap malam beberapa hari setelah insiden itu terjadi. Kegelisahan yang berasal dari dirinya memaksanya untuk selalu berkaca dengan meneteskan air mata.

Mengapa dirinya begitu lemah.

Penyesalan yang dia rasakan selalu menjadi bagian dari dirinya. Selalu mencoba untuk lari, tapi dia hanya membuang-buang waktu dan tenaga. Di ujung dunia ia meringkuk bayangan itu pasti akan selalu menemukannya. Dia sadar, ini bukanlah kutukan, ini bukanlah sebuah hal yang supranatural tapi dirinya sadar, dia sangat amat mengerti sosok tersebut berasal dari dirinya sendiri.

"Boleh aku bergabung." Sebuah suara mengejutkannya, pasalnya selama dia duduk di sini tak mendengar sedikitpun suara derit kayu akibat langkah kaki. Dia seketika menoleh kebelakang, dia menarik nafas lega setelah melihat sosok L dengan membawa 2 buah cangkir coklat panas di kedua tangannya. "Maaf jika aku mengejutkanmu, ini ambilah!"

Dengan segera namun perlahan Minato meraih cangkir yang L sodorkan.

"Hati-hati, itu masih panas."

Minato mencoba menyambut dengan ramah. "Maaf merepotkan."

"Tidak, aku hanya memasak air terlalu banyak, jadi sekalian saja." L mengalihkan pandangannya dari Minato menuju langit malam yang masih senantiasa di sana. "Apa yang membuatmu belum tidur selarut ini, laki-laki muda sepertimu tak baik terjaga jam segini."

"Yah, hanya sedang memikirkan sesuatu." Ia mengukir senyum miris. "Kau sendiri?"

"Disaat aku mulai bosan dengan dunia ini, aku selalu terbangun tengah malam dan menyeduh sesuatu sambil melihat langit, itu membuatku lebih tenang." Dia mengatakan persisi dengan apa yang tengah dia lakukan sekarang.

"Bosan dengan dunia?"

L menyesap coklat hangatnya. "Bosan itu manusiawi, terkadang timbul kasus seorang manusia ingin mempelajari berbagai budaya dunia luar sedang orang-orang dunia luar itu sendiri justru lebih tertarik ingin mempelajari tempat tinggalnya, itu sesuatu yang dimaklumi dan semua orang memiliki hal itu."

"Kau tahu banyak hal, Ryuuzaki-san."

"Tidak juga semakin banyak pengalamanmu, seberapa lama kau hidup itu menentukan bagaimana dan seperti apa dirimu. Apa yang kau lalui dan bagaimana kau menanggapinya akan menentukan bagaimana dirimu akan terlihat…" L memberi jeda. "…jika kau hidup sebagai seorang yang terlibat dengan kriminalitas kau akan tahu persis bagaimana dunia ini bekerja."

"Ryuuzaki-san seorang polisi?"

"Detektif tepatnya." Sahut L membenarkan

Minato terkagum. "Apa menjadi detektif itu menyenangkan?"

L menghentikan cangkir yang hendak ia minum, bola matanya melirik Minato yang tengah memandang ke depan dengan sebuah senyuman hangat. "Kenapa kau bertanya?"

"Hanya saja menjadi pahlawan untuk semua orang, memecahkan berbagai kasus medapat pujian dan uang bukannya itu adalah kehidupan yang menyenangkan."

L mengembalikan arah pandangannya. "Pujian, Uang? Aku tak peduli hal itu. Pujian hanya akan membuat orang merasa paling benar dan sempurna dibandingkan manusia yang lain padahal mereka dilahirkan oleh nenek moyang yang sama sedangkan uang, rekening ku sudah penuh, hanya saja aku tak tahu akan kuapakan…" L menaruh cangkirnya "…Makanya aku heran dengan orang-orang yang bersenang-senang dengan tumpukan kertas tak berguna itu."

"Kau orang aneh, Ryuuzaki-san."

"Lagipula aku hanya ingin kehidupan yang tenang, bersama kedua anakku itu sudah cukup."

Minato sedikit kaget "Eh, kau sudah menikah?"

L dengan santai mengeluarkan manisan dari kantongnya. "Tidak, mereka berdua anak angkatku." Dan dengan santai pula dia menanggapi reaksi Minato. "Ingin camilan?" L menyodorkan camilannya.

"Tidak usah, terima kasih."

Minato mulai merasakan sebuah gejolak. Dimana jantungnya mulai terasa dingin, oksigen yang mulai merasa meninggalkan paru-parunya sedangkan angin malam yang tiada hentinya menusuk kulitnya hingga ke relung tulang, ia agak meringis kesakitan. "Keluarga, sepertinya itu menyenangkan."

L yang hendak memasukkan biskuitnya ke mulutnya terhenti kemudian ia membiarkannya jatuh tanah. Dan dengan sebuah pandangan yang dilayangkan L kepada Minato. "Apa kau tak menganggap mereka?" Kini nadanya sedikit menyeramkan.

"A-aku hanya…"

"Kau tahu, jika kau mengarungi samudra tak ada yang bisa menjamin kau bisa menenemukan hal yang bisa kau dapatkan disini!" Kembali memandang langit, dia melanjutkan kegiatannya sebelumnya. "Selama diriku menginjakkan kaki di benda bundar yang disebut bumi ini, aku belum pernah tahu ada tempat yang seperti ini, mungkin aku akan merindukannya."

Minato meremas celananya. Ia menunduk dalam-dalam, rambut hitamnya menjuntai menutupi wajahnya sehingga tak seorangpun bisa melihatya. "A-aku hanya…" lidahnya terekat, seolah sesuatu menghalanginya untuk mengatakannya. Serasa di sumbat dengan sesuatu yang dinamakan ego, dia tak bisa mengungkapkan apapun. Dia mengeratkan giginya kuat-kuat sehingga suara gemeletuk terdengar.

"Terserah kau ingin mengatakannya atau tidak…" L tiba-tiba menyahut. "Aku tak pandai menjaga rahasia!"

Mengusir kegugupannya, dia mencoba menarik nafas dan mengeluarkannya perlahan. "Aku hanya merasa… menyedihkan." Tundukannya semakin dalam. "Aku merasa hanya laki-laki yang tak berguna, hanya bisa mengharap perlindungan dari mereka…" Kali ini sedikit isakan disela-sela kalimatnya isakan. "Musubi-san, Tsukiumi-san, Matsu-san. Ku-chan aku muak berlindung di belakang mereka, melihat mereka bersusah payah melindungi diriku aku… merasa tidak berguna."

Minato lelah. Bukan karena berlari ataupun bekerja, dia hanya lelah memikirkan semua ini. Dia sudah tak ingin lagi lari dari bahaya, dia tak ingin lagi menjadi laki-laki lemah yang tak bisa apa-apa, dia tak ingin lagi menjadi seseorang yang gagal. Maka dari itu dia tak ingin lagi duduk dia tak ingin lagi meringkuk, dia tahu dia harus mulai merangkak, berdiri, berjalan dan kemudian berlari secepatnya untuk menggapai mereka. Dan yang terpenting…

"Aku tak ingin kehilangan mereka."

L menarik sudut bibirnya, mengukir sebuah senyum yang sangat samar yang mungkin hanya bisa disadari dirinya sendiri, "Maka kau akan begitu selamanya…" Ekspresi Minato semakin menggelap, kelabu dan terasa kusam. Minato masih bergelut dengan pikirannya. Tak ada yang berubah dari aura yang menyelubunginya gelap, bagai langit hitam di ujung dunia yang tidak pernah disinari bintang.

"Kecuali jika kau ingin itu semua lenyap dan menjadi laki-laki yang baru…"

Seketika Minato langsung mengangka kepalanya. Menatap L yang masih senantiasa di sana beserta camilan yang hendak ia masukkan ke mulutnya. "M-maksudmu…!?"

"Aku memang tak begitu mengerti, tapi Naruto selalu berbicara tentang tekad atau apalah itu. Katanya 'semua hal di dunia akan melemah di depan tekadku' tapi itu tak begitu pernting bagiku…" L memasukkan cemilannya kedalam mulut dengan santainya dia mengunyah tanpa peduli orang di sampingnya. "…kurasa jika untukmu, maka jawabannya 'ya'"

"Apa menurutmu aku bisa berubah?" L bukanlah seorang psikolog atau apapun tapi semua orang yang bertatapan langsung dengan Minato mungkin tahu, kesungguhan sudah terlihat dari kedua iris matanya itu.

"Jangan tanyakan padaku aku tak tahu jawabannya…" Perlahan L mulai meminum habis coklatnya dan kemudian berdiri membawa kantong biskuit yang nampak tersisa setengah. "Jika kau benar-benar ingin berubah datanglah pada Naruto nanti pagi, tunjukkan kesungguhanmu selama tekadmu itu masih ada di matamu dia pasti akan senang hati membantumu…" L mulai berjalan perlahan meninggalkan Minato yang sudah berdiri menatapi punggungnya

"…Dan sisanya kau sendiri yang tentukan."


-I Must be Stronger-


"Ini tempatnya!" Laki-laki berambut raven itu berhenti di depan sebuah tempat yang aneh di sebuah gang buntu yang ternyata di depannya terlihat sebuah tangga lorong gelap yang menuju langsung ke bawah tanah.

"Gelap Sekali, kenapa tidak diberi lampu kelap-kelip, itu akan Nampak indah dari luar!" Laki-laki berambut silver di sebelahnya menanggapi.

"Kau pikir ini pasar malam!?"

Hah, Sasuke harus menghela nafas untuk sekian kalinya. Karena dia benar-benar tak menyangka hari istirahatnya akan tersita begitu saja dikarenakan sebuah telefon selulernya yang tiba-tiba berbunyi, awalnya dia ingin mengabaikannya karena mengira itu dari si kuning bodoh itu tapi semuanya sirna saat dia mulai menekan tombol 'Terima.'

Sim salabim, dan dia berakhir di sini.

Permintaan bodoh tengah malam begini, si setan putih ini tiba-tiba telfon dengan nada lembut yang walaupun begitu terdengar menyeramkan dan hampir membuat Sasuke membanting handphonenya. Dan dengan sedikit ancaman mampu membuat si raven muka es ini menurut dan datang ke sini.

"Itu hanya tulangkan, kenapa kau begitu penasaran dan kenapa juga kalau kau yakin benda ini ada di tempat-yang-sangat-tidak-ingin-ku-kunjungi ini?"

Pada awalnya Takehito menemukan sebuah tulang. Hanya sebuah tulang yang dia temukan di selokan. Entah apa yang membuatnya begitu penasaran dia langsung mengambil dan mengawetkannya

Dia mencoba mencocokkan beberapa bagian-bagian tulang makhluk hidup. Terlalu tuncing jika disebut tulang lengan atau kaki dan terlalu besar untuk disebut tulang jari-jari tangan. Usianya tak mencapai satu tahun hanya beberapa bulan setelah terlepas dari sang empunya, jadi coret dari daftar makhluk-makhluk primitive yang hidup berjuta-juta tahun yang lalu.

Tapi dengan mempertimbangkan postur tubuh makhluk abad ini itu yang membuatnya begitu penasaran untuk mengetahui siapa pemilik tulang ini.

"Tumben kau bertanya, tak seperti biasanya apa kau menyembunyikan sesuatu yang penting, Sasuke?" Tatapan Takehito menajam dengan seringai lebar yang menatap tajam Sasuke yang mulai berkeringat.

Sasuke dan para sahabat karibnya tahu dengan pasti bahwa tidak ada sebuah celah yang tidak dilihat Takehito. Dialah yang pertama kali orang yang menemukan dan menyodorkan liontinnya dengan senyuman disaat yang lain rela mengoori baju mereka untuk mencarinya. Dia juga orang yang pertama kali menyadari adanya jalan keluar ketika mereka terjebak di lorong gelap.

Berbeda dengan L yang mengandalkan otaknya untuk mengungkap segala sesuatu yang ditutup awan kelabu, dia lebih mengutamakan ketelitiannya dan perasaan untuk melihat sebuah lorong yang dilalui koloni semut untuk bersarang. Matanya selalu menjadi yang menyipit paling tajam jika salah satu dari kami sedang gelisah. Sosok seorang kakak yang selalu melindungi mereka dibalik bayang-bayangnya.

Dan maka dari itu dia dan para sahabat karibnya tahu…

Dia tak bisa menyembunyikan rahasia darinya…

Karena matanya selalu bisa menelaah isi hati mereka…

Bahkan dosa dan harapan…

Sasuke menarik nafas dalam diam "Cepatlah, kau ingin tahu atau tidak, aku ingin segera pulang setelah ini."

Ekspresi Takehito kembali seperti sedia kala, "Ha'I ha'I"

Perlahan mereka menuruni anak tangga yang cukup banyak. Suara langkah kaki yang bergema sepanjang jalan hanya itu yang mereka dengar lampu hanya sesekali terlihat lorong yang sering kali bercabang membuat kesan horror dan menyeramkan akan menjadi hal pertama yang kau pikirkan setelah keluar dari sini.

"Ku harap mereka menjual martabak."

"Tidak, mereka tidak menjual yang seperti itu."

"Ah bagaimana jika…"

"Tidak, bahkan Takoyaki pun tidak akan ada, apalagi dengan mayonais, kalau pun ada disana rasanya pasti menjijikkan!"

"Ah kalau begitu…"

"Ramen juga tidak ada!"

"Ah pasti di sana ada…"

"Tidak walaupun kau menelusuri berbagai lorong-lorong yang dilalui tikus kau tidak akan bisa menemui onigiri di sana, lagipula berhentilah mengoceh, aku benar-benar sedang tidak mood untuk mengunjungi tempat ini jadi bisakah kau diam atau aku akan pulang ke rumahku."

Takehito menaikkan alisnya. Disunggingnya sebuah senyum sangit manis, sangking manisnya bisa membuat orang yang melihatnya langsung ambruk dilarikan kerumah sakit karena diabetes. Dalam arti lain…

Mematikan.

"Jadi kau ingin pulang Uchiha…-san."

"Ti-tidak, aku hanya bergumam sendiri!"

"Baguslah kalau begitu, kau tahukan semua perbuatan itu memiliki konsukensinya!?"

Sasuke hanya bisa memalingkan wajahnya dengan keringat yang berjatuhan.

Bau samar mulai tercium di indra penciuman mereka berdua, Reaksi yang menyiratkan ini-sudah-biasa menjeplak jelas di muka si raven, dan si rambut putih ini menyumbat hidungnya menghindari bau laknat. "Bau apa ini!?" campur aduk, tidak bisa digambar dengan kata-kata sebagaimana tidak sedapnya bau ini tapi yang pasti…

Menjijikkan!

"Nanti kau juga tahu." Jawab Sasuke singkat.

Ah, untuk sesaat Sasuke melupakan pasal yang tidak boleh dia langgar seumur hidupnya. Karena pamali yang akan dia dapat adalah imej cool yang membuat para kaum hawa kesengsem 'aku rela mati untukmu' dan membuat para mafia brekuk lutut harus hancur karena aibya disebar di setiap pamphlet yang ada di kota.

Dia tak mau mengingat hal itu

Gema langkah yang beresonansi memantul di setiap dinding lorong kumuh yang berisikan 'kata-kata mutiara' yang bertinta merah, tak bisa dipastikan itu darah asli atau hanya sekedar tinta merah yang pasti horror adalah kesan untuk tempat ini.

Beberapa kali Sasuke terlihat ingin menguap. Tapi dengan inner yang penuh dengan imej jaim dia menahannya sekuat tenaga. Dia tidak membawa jam tangan, tapi yang pasti ini sudah malam, atau mungkin ini sudah mau pagi? Tapi satu hal yang pasti, dia ingin pulang.

Terlepas dari tuntutan Setan Abu-abu yang membuatnya beralibi untuk menutupi kondisi nyata tubuhnya yang memang sudah mulai sempoyongan butuh istirahat, dia sangat ingin pulang. Jika saja dia mematikan handphonenya dia tidak akan berakhir di sini bersama temannya menuju sebuah tempat yang membuatnya tambah ingin segera berbaring di kasurnya yang empuk.

Tidak ini bukan karena dia terlalu lama bergaul dengan Koala Berkuncir yang sanggup tidur dari pagi hingga pagi lagi yang berefek dengan tertularnya virus tidur 20 jam sehari kepada dirinya. Oh ayolah, semua orang itu butuh tidurkan, walaupun L sekalipun yang selalu berjalan bungkuk dengan kantong mata tebal menyerupai mamalia pemakan bambu dari Cina dia tetaplah butuh tidur, yah walaupun bagaimana dan kapan dia tidur itu tidak wajar dan tidak bisa ditebak.

Tapi sekarang dia hanya bisa menenggak pil Cafein dan memijit pelispisnya. Dia rasa dia besok harus rela tidur di meja kerjanya atau ditatapi anak buahnya karena eye shadow alami hitampekat atau masalah mata panda di bawah matanya.

"Ini Tempatnya!"

Setelah sekian cabang lorong yang mereka lalui, mereka terhenti di sebuah pintu besar terbuat dari logam tembaga yang terlihat begitu hitam dan berat.

"Kuatkan Dirimu!"

"Kau pikir aku ini siapa?"

Sasuke melangkah sedikit ke depan

Sedikit mengambil nafas. "ini aku!"

Pintu tembaga berat itu seketika dengan perlahan mulai terbuka. Dengan bunyi gesekan pintu yang terdengar bergemuruh dan bergema sangat keras.

Di ujung sana terlihat seorang pria dengan tampilan seorang yang berkelas dengan jas, tuxedo, celana, topi yang memiliki warna seirama putih. Tatapan yang menyiratkan kelicikan seorang manusia dan sebuah senyum palsu yang tercetak di wajah, berdiri dengan membentangkan tangan terlihat tengah menyambut kedatangan mereka berdua.

"Selamat datang kembali, pelanggan kesayanganku."

"Berhenti memanggilku seperti itu, itu menjijikkan."

Dan Takehito bisa memandang dengan wajah datar, sebuah tempat yang sangat luas yang menjadi sumber dari bau yang menusuk indra penciumannya sejak dia menginjakkan alas sepatunya di tempat ini. Matanya menajam, menilisik setiap inchi dari tempat ini.

Penjara, kata benda yang mengibaratkan sebuah pembatas, tempat yang terbuat dari besi. Dan benda inilah yang mendominasi tempat yang memiliki corak lantai kotak-kotak dengan perpaduan warna berbeda yaitu hitam dan putih. Karat dan beberapa percikan merah yang bisa menyatu dengan dinding ruangan yang merah marun bisa dia dapati tercetak jelas di sana. Bau yang menguar semakin tajam, tapi reaksi diam seolah tanpa terganggu sedikitpun.

Ya, karena dengan atmosfir seperti ini, dia dilahirkan.

Pria serba putih ini menatap Takehito yang langsung ditanggapi dengan tatapan datar.

Pria putih ini mulai tertarik "Siapa dia, aura yang mengagumkan! Apa dia teman yang kau bawa?"

"Ya Begitulah, dia ingin meneliti sesuatu di sini, kali ini aku hanya mengantarnya jadi kau tak perlu khawatir dengan kepalamu, tapi lain cerita jika kau menggangguku." Terpampang ekspresi aku-tidak-ingin-ada-disini sangat jelas sekali.

"Ah, tentu saja tuan muda!"

"Kubunuh kau!"

Pria itu kemudian melepas topinya dan membungkuk "Mari kuantar Okyaku-sama." Dengan seringai yang tak berubah sama sekali.

Pemandangan yang mengerikan tapi, tidak untuk Takehito. Tatapan datar tetap dia pampangkan di wajahnya atas pemandangan yang membuatnya 'bernostalgia' dengan dirinya. Pemandangan yang terasa familiar sudah tertanam di alam bawah sadarnya.

Penjara yang berbentuk kubus, berderet sejauh mata memandang. Jangan lupakan isinya, manusia-manusia yang di deretkan dengan kondisi mengenaskan terbaring lemas bahkan ada yang tanpa sehelai benangpun.

Dan sekali-lagi Takehito hanya bisa memandangnya…

…dengan muka sedatar tembok beton yang dingin.

"Bau pendosa!"

Gumaman Takehito yang lirih bisa di dengar dengan baik oleh sang pemilik neraka ini. "Yah, beberapa pelangganku tak sabaran mencoba budak baru mereka jadi, mohon maaf atas ketidak nyamanannya Takehito-sama." Untuk kedua kalinya pria itu kembali membungkuk.

"Jadi, anda ingin meneliti tentang apa?"

Takehito merogoh kantong dalam jasnya. Dia mengeluarkan sebuah tulang dengan bentuk yang aneh. "Barangkali seekor setan tahu itu benda apa."

"Terima kasih pujiannya."

Kemudian tangan si pria yang dibalut sarung tangan mengambil tulang tersebut dari Takehito. Mengamatinya perlahan dengan alis terangkat. Tapi tak berselang lama senyuman yang berpadu dengan seringai muncul kembali. "Aku kenal tulang ini, benda ini mirip dengan produk baru yang di tangkap anak buahku beberapa bulan yang lalu…"

Senyum meremehkan yang menyebalkan muncul. "Apa untungnya hal ini untukku?"

*Bzzztt*

Sasuke menodongkan tangannya yang menggenggam sebuah katana indah berukir aksara kuno dengan aura ungu yang menyelimutinya tepat disamping pria itu yang masih memasang wajah yang sama. "Apa jaminan kepalamu masih ada di tempatnya itu tidak cukup, aku mulai muak di sini."

"Aku hanya bercanda." Pasang muka innocent.

Sasuke menghela nafas panjang. Dia kembali menaruh tangannya ke dalam saku jaketnya bersamaan dengan menghilangnya pedang itu ditelan udara.

"Lewat sini!" Dengan gaya bak seorang butler abad pertengahan, dengan sopan menunjukkan jlan seolah yang dihadapannya ini adalah tuannya, walau pada kenyataannya ekspresi iblis yang melekat kuat pada mukanya tak hilang walau hanya menurunkan pipinya.

Di sepanjang Takehito menapaki lantai kusam dengan noda darah, matanya menjelajah seluruh penjuru ruangan. Dia mencoba mengendurkan dirinya, membiasakan dengan atmosfir dan berjalan seperti dirinya. "Darimana kau dapatkan semua ini, beberapa koleksimu sepertinya berkualitas!?"

Merasa dipuji, dia terkekeh pelan "Aku mendapatkannya dari beberapa kong kalikong dengan para tikus berdasi, pertukaran hutang, beberapa pertukaran gelap dengan mafia, tapi sebagian besar dari hasil bersih-bersih beberapa sarang kutu!"

Perbudakan. Sebuah kata dengan bayangan momok mengerikan. Realita yang pernah menodai bumi dan akan selalu melekat sampai dimana akhir itu benar-benar terjadi.

Hal ini bisa muncul kepermukaan dan membayangi dunia akan ketakutan tak lain ulah dari manusia itu sendiri, tepatnya dosa. Konsep tujuh dosa besar, tercipta karena para manusia itu sendiri yang menebar kerusakan di muka dunia.

Walaupun pemuda rambut perak ini mengerti, sejak kecil dia sudah melihat yang seperti ini lebih dari sering. Di saat awan selalu menjadi kelabu, kegelapan yang selalu membayangi dan teriakan yang memekikan telinga. Melewati gang penuh mafia seperti berjalan melewati pertokoan, memainkan pistol seperti sebuah ketapel Dan membunuh seperti menginjak semut.

Meskipun dia berhasil lari dan telah menjadi seorang pemuda lembut penuh dengan senyuman, dia tidak akan bisa menolak sensasi nostalgia seperti ini.

Pandangan mata kosong

Badan yang penuh dengan luka

Jerat rantai baja yang dipasang di kaki mereka

Takehito menghela nafas.

Haruskah dia kembali melihat semua ini?


-I know, I cannot run from it-


Angin yang menyenangkan.

Tak ada hal yang lebih menyenangkan dilakukan selain merasakan angin cerah yang berhembus menyapu jambangnya yang terlihat menari-nari. Kedua matanya terpejam akan tetapi dia tak tertidur hanya sekedar ingin merasakan setiap terpaan yang mengenai tubuhnya berselonjor di bawah pohon rindang yang ada di halaman. Duduk begitu saja tak mengidahkan mungkin celana hitam dengan garis oranye miliknya akan kotor terkena tanah. Sekedar memakai kaos putih dengan pusaran merah di tengahnya dia meletakkan jas miliknya di kamar miliknya sekedar ingin membebaskan dirinya dari realita dunia yang terkadang mencekik.

Tak ada yang dia pikirkan, terpejam di bawah langit biru dengan suara burung yang menghiasi pendengarannya di antara sepinya suasana. Ngomong-ngomong Tsukiumi dan Musubi juga sedang pergi berbelanja dengan semangat membara. Mereka sebut itu lomba belanja dengan tempat duduk di samping Ashikabi mereka yang jadi taruhan. Tanpa menghiraukan apa-apa mereka langsung menyabet daftar dan tas belanja dan berlari sprint menuju district pertokoan dirinya akui ia sedikit cengo melihat mereka.

Miya juga akan pergi ke makam suaminya, katanya dia hanya sedang rindu dengan suaminya jadi dia pergi dengan seikat bunga menuju pemakaman. Jika saja bisa dia ingin langsung blak-blakan bahwa suaminya itu masih hidup berada di sisi lain bumi dengan kebiasaan buruknya mengancam orang dengan senyuman menakutkan. Tapi, seperti yang tertulis tadi, dia sungguh tak berani mengatakan hal itu, dia lebih memilih diam dari pada dia harus di gantung terbalik di tebing pinggir air terjun Niagara. Atau yang lebih buruk 2 orang iblis di tempat yang sama, oh sekarang dirinya berharap Takehito tak pernah datang ke sini.

Kemudian Naruto mengukir senyum yang seolah mengatakan 'mendokusai' mengingat apa yang terjadi dengan dirinya dengan Sekirei barunya. Oh bahkan dia belum tahu siapa namanya, karena sepanjang perjalanan pulang dia hanya memeluk tangannya dan Naruto terlalu sibuk menahan sesuatu ketimbang mengucap sepatah kata atau barang kali hanya bertanya nama. Yah mau diapakan lagi sekarang Sekireinya sudang bertambah satu menjadi dua tapi ini juga sekaligus menambah daftar berharga di dalamnya, sebuah pertanda yang menyuruhnya untuk semakin kuat. Walau bagaimanapun dia tetaplah Sekireinya walaupun kesan pertama bertemu dengannya tak bisa dibilang pertemuan yang bagus.

Dan Akitsu, dia mungkin adalah orang yang paling Naruto khawatirkan. Mengingat emosinya yang datar dan kepolosannya dia lebih berasa menjadi seorang guru dibanding dengan Ashikabi. Pertemuan mereka di malam hari membuatnya tahu bahwa dia sudah lama sangat menderita. Dia tahu betul bagaimana rasanya, karena sesungguhnya neraka yang paling menyiksa adalah kondisi yang disebut kesepian. Tapi hobinya menyendiri begini bukan berarti dia tak bisa bersosialisasi atau tak butuh yang namanya teman hanya saja dia merasa lebih tenang jika sendiri. Sorot mata Akitsu yang nyaris kehilangan cahayanya dan tiba-tiba kepingan memori itu datang jauh dari dalam alam bawah sadarnya tertumpuk akan jutaan kepingan puzzle lainnya nyaris dia lupakan tapi entah kenapa ingatan itu kembali mengambang ke permukaan.

Dan dia memutuskan untuk menjadi cahayanya.

Cahaya yang menuntunnya menuju sebuah surga yang tak lagi ada yang namanya kesepian, kebencian dan pertarungan. Tapi dia tahu dunia ini lebih mengerikan dari itu semua.

*Tap* *Tap*

Walau samar akan tetapi indra pendengarannya tiba-tiba mendengar suara langkah kaki mungkin ini dipengaruhi suasana yang sepi. Dia buka matanya perlahan dia alihkan pandangannya menuju sumber suara dan dia bisa mendapati seorang laki-laki berambut hitam sedang berdiri dengan ekspresi menggelap menatap ke arahnya. "Ada apa, Sahashi-san?"

Tangannya mengnggeggam erat hingga buku tangannya memutih Naruto juga bisa melihat setetes liquid bening jatuh ke tanah. Naruto menyatukan alisnya, mengerutkan dahinya reaksi yang tidak biasa diperlihatkan Ashikabi dengan 4 orang Sekirei ini. Tapi Naruto kemudian menarik sudut bibirnya sehingga membentuk sebuah senyum yang seolah mengetahui segalanya. Ya Naruto tahu, dia kenal dengan ekspresi ini, tak ada aura lain yang Naruto sukai selain ini, sebuah kemurnian tekad.

"Kau ingin kekuatan bukan?" Tebak Naruto.

Minato tersentak. Dia mendongakkan wajahnya dengan ekspresi sedikit sembab ditambah ekspresi keterkejutan karena Naruto yang tengah duduk santai tahu maksud yang ingin dia utarakan. "Bagaimana…!?"

Naruto menarik nafas. "Tak penting aku tahu darimana, duduklah sebelum itu aku bertanya beberapa hal padamu." Ucap Naruto dengan nada yang super santai sembari menepuk-nepuk tanah di sebelahnya mengajak Minato duduk di sebelahnya.

Mengelap beberapa air mata yang masih tertinggal di pipinya dia perlahan mulai mengambil tempat di samping Naruto duduk sedikit bersandar ke batang pohon. Tak memperdulikan kotor atau apapun dia hanya melaksanakan apa yang diperintah oleh Naruto.

Hening sejenak, Minato yang terlalu tegang untuk memulai percakapan sedangkan Naruto yang sedang bersantai dengan nyaman nyaris melupakan Minato. "Jadi, kau ke sini untuk mendapatkan sebuah kekuatan, begitu?" Tangan Naruto menuju udara menulis di udara dengan tangan kanannya kanji Chikara (kekuatan). "Lalu kenapa kau meminta padaku, kenapa kau tidak mencari orang lain saja, aku bukanlah tipe orang yang bisa mengajar seorang murid dengan baik."

"Ryuuzaki-san memberitahuku, dia bilang kau adalah orang yang tepat untuk meraih tujuanku."

Naruto terkekeh. "Bagaimana kau bisa mempercayai orang yang bahkan baru kau kenal satu hari, kau tahu di dunia banyak sekali orang yang terlalu sering memakai topeng sampai-sampai merekapun lupa yang mana wajah asli mereka." Lalu tangan itu kembali bergerak keudara kali ini menulis kanji Sekai (dunia). "Jika kau dilempar ke dalam dunia hitam aku bahkan tak yakin kau bisa bertahan 5 menit di sana."

Tak ada kata-kata sangkalan yang ia lontarkan karena di dalam tundukannya dia tahu, dia sadar akan dirinya, maka dari itu dia menguatkan kepalan kedua tangannya. "Maka dari itu aku ingin menjadi lebih kuat, aku sudah muak dilindungi, aku muak terus berdiri paling belakang, a-aku ingin menjadi yang paling depan dan melindungi semuanya!" Naruto bisa dengar suara gigi-gigi yang bergemeletuk. "Aku sudah lelah menjadi laki-laki yang gagal, aku sudah lelah selalu mengandalkan mereka, aku… aku ingin menjadi seorang laki-laki yang benar-benar seorang laki…" Minato menarik nafas mencoba menyelaraskan pita suaranya yang mulai tergagap.

"…Aku tak ingin kehilangan mereka."

Naruto kini sepenuhnya menolehkan wajahnya ke arah Minato yang duduk di sebelahnya berada di sisi lain pohon. Tapi tiba-tiba Minato bangkit dari duduknya kemudian dia berdiri dan bersujud ke arahnya dengan segenap suara dia kemudian berujat. "Kumohon, jadikan aku muridmu Uzumaki-san akan kulakukan apa saja, akan kubayar berapapun itu, kumohon ajari aku agar menjadi lebih kuat!"

Naruto mengukir senyum lembut. "Angkat badanmu!" Minato melakukan sesuai perintah dia kemudian mengambil posisi duduk berlutut dia bisa mendapati sepasang iris biru sapphire itu tengah menatapnya tajam seolah sedang menelusup jauh ke dalam dirinya. Tapi tak berselang lama Naruto kemudian tertawa lepas, tawa yang cukup keras sedangkan Minato hanya bisa menatapnya dengan perasaan bingung. "Tekad yang tulus, aku suka tekadmu, ia berkobar sangat panas di hatimu sangat terang sehingga bisa menjadi penuntun jalanmu di masa depan pertahankan api itu niscaya kau akan dapat apa yang kau inginkan."

Naruto menarik nafas panjang. "Tapi sungguh aku tak bisa mengangkatmu sebagai muridku aku bukanlah tipe orang yang suka menyusun porsi latihan atau apapun itu, aku lebih suka mencari ketenangan di bawah pohon!" Pandangan Minato kembali menggelap. Tetapi Naruto kemudian berdiri dia sedikit membersihkan beberapa bagian yang dirasanya kotor terkena tanah, khususnya pantatnya. "Tapi kurasa si pantat ayam itu bisa, sedingin-dingin mukanya kurasa dia masih punya hati nurani!"

Minato kebingungan. 'Pantat ayam?' gumamnya dalam hati, apa iya dia akan dilatih oleh hewan?

Naruto mengulurkan tangannya. Minato mengerti dia kemudian menyambut uluran tangan tersebut dan kemudian berdiri. "Perjalananmu itu akan berliku kadang ke kanan kadang ke kiri; kadang menanjak kadang menurun, penuh dengan kerikil kecil, paku hingga tebing curam, kau yakin bisa melalui semua itu!?"

Jantungnya berdetak cepat, hatinya bergetar dia belum pernah merasakan sensasi ini sebelumnya dia tangan kanannya menggenggam dengan erat menunjukkan kebulatan hati untuk menempuh jalan yang berliku, kepalan penuh akan tekad itu ia letak di dada kiri dan dengan lantang ia ucapkan. "Kulalui apapun itu!"

Naruto kemudian merentangkan tangannya. "Selamat datang di jalan menuju laki-laki sejati!"

.

.

.

-To Be Continue-

Yah, lama juga ngak update ya, sebenarnya saya ingin menamatkan segera arc 1 ini dan menuju arc 2 akan tetapi berhubung di seluruh urutan angka berderet semua itu berawal dari angka satu yah mau bagaimana lagi jika saya merombak cerita ini total percaya atau tidak saya bisa habis-habisan ditertawakan teman saya dan berhubung saya ini teman yang baik sehingga tidak akan membiarkan teman saya mati nista karena ketawa jadi saya putuskan untuk lanjutkan fic ini walau dengan mood yang semilir-semilir dan perlu dipancing dengan rentetan daftar putar original soundtrack anime. (ps : Kalau reader sekalian punya OST anime yang keren/sedih dan belum saya punya tolong beritahu saya melalui review atau PM juga bisa)

Dan untuk penataan tulisan dan bahasa saya rasa masalah terbesar adalah typo jadi mohon dimaklumi saya sudah berusaha maksimal untuk mengurangi typo penyebab iritasi mata jadi saya mohon maaf jika masih ada typo yang bertebaran.

Judulnya pun saya putuskan untuk menggantinya, mengapa karena menurut saya Duo Yuusha (Dua Pahlawan) tidak cocok untuk judul ini karena tokoh utama di sini berfokus kepada 7 orang (Tapi sebagian besar kepada Naruto, Takehito dan Sasuke) dan judul Duo Yuusha itu seolah hanya ada 2 pahlawan di sini akan tetapi sebenarnya terdapat 7, Maka dengan kebijakan saya selaku Author saya mengganti judul :

Duo Yuusha (Dua Pahlawan) à 7 Kings (Tujuh Raja)

Saya akan membuat susunan Character karena saya tahu penting bagi anda sekalian tetap mengingat character apa saja yang saya pakai di sini supaya anda sekalian tidak melupakan peran mereka dan mampu mencerna dengan baik cerita yang ada.

Main Character

- Uzumaki Naruto (?(Gelar)) (Gold) (K)

- Asama Takehito (?) (Silver) (K)

- Uchiha Sasuke (?) (Blue) (K)

Semi Main Character

- Lawliet/L/Ryuuzaki/Ryuuga Hideki (?) (?) (K)

- Kaoru Seo (?) (Black) (K)

- …? (K)

Antagonist

- Minaka Hiroto (?) (?) (K)

Another Character

- Asama Miya (Istri Takehito)

- Sahashi Minato (Ashikabi)

- Musubi (Sekirei Minato)

- Kusano (Sekirei Minato)

- Matsu (Sekirei Minato)

- Tsukiumi (Sekirei Minato)

- Near (Putra L)

Mistery Character

- Hortensia Necromancer

- Anak kedua L

Saya rasa cuman itu yang bisa saya sampaikan

Jika ada yang terlewat bisa beritahu saya lewat kolom review dan PM saya senang jika ada reader yang mau mengevaluasi saya dan oh ya bagi para pembaca yang membaca saya mohon untuk meninggalkan review walau hanya sekedar 1 kata pendek hal itu saya hargai.

Ciao from Sang Pemandu

Jangan terburu-buru kembali masih ada Omake dari saya

.

.

.

Mata Takehito terbelalak. Kelopak mata sang ilmuwan jenius ini terbuka sepenuhnya. Mulutnya nyaris menganga melihatkan seluruh barisan gigi putihnya. Tubuhnya seolah membeku dia tak bergerak dari sana se-inch 'pun terkecuali getaran yang terjadi pada tubuhnya dia nyaris saja menjatuhkan tulang bahan penelitiannya dari tangannya yang juga ikut gemetar "Demi cinta putra Apollo…!" sampai dia mengeluarkan deretan kata yang sudah sejak lama hampir menghilang sebagai bagian dari dirinya.

Sedangkan Sasuke juga menimbulkan reaksi yang sama, terkejut, merasa asing semua itu benar hanya saja dia mampu menutupi sebagian reaksi dengan wajah dingin seperti dinding kaca es yang tebal nan kokoh walau tak bisa dipungkiri pemuda pemilik iris onyx ini tetap membeku dalam diam. "Ini…!?"

Sedangkan sang pemilik Obyek Mengejutkan hanya menyeringai dengan penuh rasa kemenangan sampai sampai pipinya dibuat berkerut karenanya melihat ekspresi kedua pelanggan yang berada di hadapannya dia sedikit membetulkan topi vedora dengan tangan kiri yang dibalut sarung tangan putih.

Pasalnya di depannya terpampang dengan jelas sebuah pandangan yang hampir mustahil (karena sudah berada di depan mata mereka) untuk dilihat di tempat yang disebut dunia nyata karena mereka benar-benar tidak tahu terdapat sebuah eksistensi yang mereka kira hanyalah sebuah imajinasi berupa ekspektasi yang tidak nyata dan tidak ilmiah tapi kini hal tersebut sudah berada di depan dirinya.

Karena di depan mereka sudah tak diragukan lagi, seekor makhluk seperti manusia biasa perempuan jikalau tidak ada sepasang sayap kelelawar hitam yang membentang di punggungnya, dengan rantai marmer dingin yang diikatkan di tangan kaki dan sayap yang kemudian dililitkan dan itu pasti terasa sangat berat barangkali hanya untuk menggerakkan tangan jimat-jimat kertas tertempel di sana dan juga sebuah kendi kecil yang terletak tak jauh dari sana yang dia spekulasikan adalah air suci. Dengan wajah tertunduk menyedihkan dan bercak darah yang mengering ada di di beberapa bagian tubuhnya dengan rambut hijau yang sedikit bergelombang tergerai kebawah badannya tak sedikitpun kain yang menutupi tubuhnya sehingga seluruh tubuhnya terekspos tanpa tekecuali

Sedangkan yang menyeringai sedari tadi mulai membentangkan tangannya seolah menyambut Sasuke dan Takehito untuk sebuah pertunjukkan yang luar biasa.

"Beri salam kepada Akuma-chan!"

Dan Takehito mengambil sebuah peluru dari sakunya.