EPILOG
START
Rabu, 3 Januari 20XX, hari cerah dengan cuaca lumayan dingin.
Hari ini adalah hari yang paling menyenangkan dalam hidupku. Untuk pertama kalinya Naruto mengajakku kencan secara resmi sebagai sepasang kekasih. Dan yang membuatku senang lagi, aku juga melihat Yahiko yang nampaknya juga sedang kencan bersama seorang gadis. Gadis berambut biru pendek yang seperti familiar di ingatanku, tapi lupakanlah! Aku sedang tidak fokus saat itu, yang penting dia bisa move on dariku. jadi, kembali ke kencannya.
Kami menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di pusat keramaian kota yang benar-benar ramai menyambut obral besar di tahun baru. Pertama kami mampir ke kedai ramen. Ternyata Naruto masih tidak berubah selera dari dulu. Setelah itu kami mencicipi banyak makanan yang dijual di stand-stand kecil di pinggir jalan. Okonomiyaki, udon, mochi, dan banyak lagi, hampir semua kami cicipi—atau Naruto, karena dia yang makan paling banyak. Tak lupa kami juga berbelanja aneka barang, dan kebanyakan barang itu hanya pernak-pernik tak penting yang tak perlu kutulis. Dan terakhir, kami bersantai di pinggir sungai tempat favorit kami untuk melihat matahari terbenam bersama cemilan yang Naruto bawa didapat dari jalan-jalan di pusat kota.
Hari yang menyenangkan, juga melelahkan. Entah baik atau tidak aku makan terlalu banyak hari ini karena menemani Naruto, kurasa aku harus mulai berdiet lagi. Yah tak apa, malam ini kuharap aku bisa melanjutkan kencan kami di alam mimpi. Hihihi. Untuk diary, apakah kami bisa seperti ini selamanya? Kumohon jadilah saksi perjalanan kami yang masih panjang.
Aku bersender pada kursi belajarku sejenak, melepas rasa penat karena terlalu lama duduk di sini. Kulirik jam dinding yang berada atas meja belajar. Jam 10, aku tak menyangka menulis beberapa kata dalam tiga paragraf bisa menghabiskan waktu satu jam. Kupandangi hasil tulisku sekali lagi, kurasa tulisan ini benar-benar spesial. Sebenarnya walaupun tidak kutulis dan kuabadikan di buku dalam bentuk tulisan, aku yakin akan mengingat momen hari ini diluar kepala. Tapi siapa tahu, mungkin saja aku bisa kejedot saat naik sepeda dan mengalami amnesia seperti Naruto. Hahaha.
Ngomong-ngomong soal Naruto, mungkin semua orang bingung dengan perubahan sikapnya. Dia kembali seperti Naruto 7 tahun lalu, tapi tidak benar-benar kembali. Siapa yang sangka, bahkan Bibi Kushina sendiri juga bingung dengan perubahan itu. Bibi bilang perubahan Naruto terjadi sebelum malam tahun baru, setelah ia ijin pergi ke salah satu psikiater di kota ini. Memangnya psikiater bisa menyembuhkan Naruto? Jawabannya tidak. Bibi Kushina pergi ke tempat psikiater yang dikunjungi Naruto, dan hasilnya psikiater menjawab Naruto tidak sepenuhnya sembuh, dia hanya mengingat secuil ingatannya di masa lalu. Hanya secuil. Jadi Bibi pastikan jika Naruto hanya mencoba mengubah dirinya seperti dia di masa lalu dengan sedikitnya ingatan yang ia dapat.
Naruto sedikit memaksa diri.
Aku jadi tak enak saat Bibi bilang Naruto melakukan semua itu karena aku. Tentu saja, aku yang memintanya melakukan itu sampai menyakiti hatinya. Aku merasa begitu jahat sampai memaksa seseorang berubah hanya karena keegoisanku, jadinya kuputuskan untuk memberitahu Naruto supaya menghentikan aksi konyolnya itu. Namun, tak kusangka Bibi malah melarangku menghentikan Naruto untuk mengubah diri. Bibi tak ingin membuat Naruto tampak lemah dengan menghentikan aksinya di tengah jalan, biarkan dia berjuang untuk cinta pertamanya, Bibi Kushina rupanya penasaran dengan perjalanan kisah cinta anaknya. Yah, aku menurut saja. Lagipula kalau dipikir-pikir memang inilah kemauanku sejak awal—bertemu dengan Naruto yang dulu dan saling bersama.
Aku berdiri lalu mengambil langkah menuju saklar lampu kamarku, tak lupa sebelumnya sudah kubereskan alat tulis beserta buku diary kembali ke rak buku. Lampu mati dan aku segera menghamburkan diri ke atas tempat tidurku yang terasa lebih nyaman dari biasanya. Selamat malam dunia. Dan selamat malam, Naruto, semoga bisa bertemu denganmu lagi di mimpiku malam ini.
.
.
.
.
.
.
.
[Normal PoV]
.
"Aku berangkat dulu, Ayah." seru Hinata di ambang pintu yang mempersiapkan alas kaki untuk keluar.
"Hmm. Hati-hati." balas Hiashi sambil tersenyum—seperti biasa dengan koran di tangan.
Hinata mengecek dulu kesiapan isi dompetnya. "Yosh!" Dia berujar pelan setelah sepatunya siap. Hinata melangkah keluar dengan disambut udara dingin yang lagi-lagi datang di pagi hari. Memang membuat malas keluar rumah, tapi mau bagaimana lagi, stok kebutuhan makanan di kulkas sudah menipis. Hinata harus pergi berbelanja jika masih ingin menyantap makan malam nanti.
Hinata tersenyum semangat. Tak ingin kalah dari udara dingin, ia sudah bersiap dengan syal merah milik Naruto yang masih dibawanya selama ini. Hinata mempersiapkan sepedanya, jarak menuju minimarket terlalu jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki di udara yang sedingin ini, jadi mau tak mau dia harus menggunakan sepeda yang jarang dipakainya.
"Hinata, mau kemana?"
Hinata menoleh ke samping. Suara yang menyebut namanya ternyata berasal dari Naruto yang sedang mengintipnya di balik tembok pemisah rumah mereka. Hanya rambut kuningnya sampai hidung saja yang terlihat, Naruto nampak kepayahan mengintip di balik tingginya tembok yang hampir menyamai tingginya.
Hinata tersenyum melihat kekasihnya yang begitu perhatian padanya, "Ke minimarket, berbelanja sebentar." ia menjawab pertanyaan Naruto dengan lembut.
"Aku ikut." ucap Naruto singkat.
"Tidak. Ini hanya sebentar, 'kok." Hinata melempar senyum lagi. "Lagipula kau akan membebaniku saja karena tidak bisa naik sepeda."
"Heh, curang. Lain kali akan kubonceng kau naik sepeda keliling kota kalau aku sudah bisa." Naruto merajuk seperti anak kecil, lalu menghilang meninggalkan Hinata yang terkekeh pelan melihat kelakuan kekanak-kanakannya.
Hinata tak ambil pusing. Naruto sesekali memang begitu, jadi tak usah repot baginya memikirkan kelanjutan hubungan mereka.
"Ciye-ciye, yang senyum sendiri~"
Lagi-lagi Hinata harus mendapati suara yang datangnya tiba-tiba tanpa permisi terlebih dahulu. Kali ini sang adik yang mendekat dengan cengiran dan kedipan mata gaje seperti biasa. Hinata bingung terhadap adik satu-satunya itu, dia berperan sebagai apa sih di cerita ini?
"Aku ikut." Hanabi merengek dengan berlari mendekati boncengan sepeda Hinata.
"Lain kali saja." Hinata menjulurkan lidahnya. Tak ingin kecolongan, Hinata segera meng-goes sepedanya melaju keluar dari halaman rumah yang nampaknya sangat berbahaya—rawan orang-orang yang ingin nebeng tidak jelas. Hinata takut jika tidak segera keluar, nanti bisa-bisa sifat nyeleneh ayahnya kumat hingga ikut-ikutan merengek nebeng seperti Naruto dan Hanabi. Hinata tak ingin itu terjadi, cukup sekali saja ia melihat langsung kelakuan absurb ayahnya.
Hinata mengayuh pedal sepedanya dengan riang. Walau dingin terasa di wajahnya, namun hangat yang dirasanya di leher cukup untuk melawan udara dingin sedingin apapun. Syal merah milik Naruto, serasa seperti Naruto memeluknya langsung dengan erat dan hangat. Wajah Hinata memerah. Inikah yang disebut jatuh cinta lagi dan lagi? Hinata seperti merindukan Naruto setiap menitnya. Bertemu sebentar di pagi ini tidak cukup, apalagi hanya melihat sebatas rambut sampai ke hidungnya saja, bahkan Hinata belum melihat bibir kekasihnya.
Bibir. Ya, bibir. Entah mengapa delusi Hinata meningkat drastis mengenai bibir itu, sampai-sampai tak menyadari ada sebuah mobil pick up putih sedang melaju tepat di depannya. Ya, tepat sekali.
TIIIIIITT
BRAKK
KRUSAKK
Sementara itu, 100 meter dari kejadian. Kushina yang—lagi-lagi juga—membuang sampah di depan rumah mendengar suara gaduh seperti suara kecelakaan. Kushina kaget, dia juga panik karena lokasi kejadian terdengar begitu dekat. Kushina berlari meninggalkan kantong kreseknya, diikuti tatapan bingung Naruto yang merespon lebih lambat darinya. Kushina syok, dia melihat seorang gadis tergeletak di bawah pohon dengan di dekatnya ada sebuah sepeda ringsek yang sangat dia kenal.
"Narutooo, Hinata…" teriak Kushina pada Naruto yang masih terdiam di tempat.
Naruto kelimpungan, tak kalah kaget mendengar nama yang disebut oleh ibunya. Baik, Naruto tolah-toleh tak mengerti sekarang, ia takut terjadi sesuatu pada Hinata. Ini tak lucu! Masa iya dia kehilangan Hinata saat baru jadian tiga hari. Tidak-tidak! Naruto menggeleng kepala keras mengenyahkan pikirannya yang sudah berlalu-lalang terlalu jauh. Naruto melangkahkan kaki, berlari mengikuti Kushina yang masih terdiam di depan pagar rumah mereka.
Dari rumah sebelah, sudah keluar kepala keluarga Hyuga beserta putri sulungnya. Hiashi tak kalah paniknya dengan Kushina dan Naruto, begitupun dengan Hanabi. Keempat manusia yang berdiri dengan gemetar itu saling pandang. Apa yang mereka tunggu setelah melihat Hinata tergeletak di bawah pohon seratus meter dari mereka? Semuanya mengangguk memantapkan hati. Mereka berlari bersamaan menghampiri Hinata. Naruto menjadi yang terdepan karena didukung semangat masa mudanya untuk menjadi pahlawan bagi sang belahan jiwa.
"HINATA!" suara Naruto menjadi yang terkeras dibanding yang lain.
Semuanya bersimpuh di dekat Hinata. Naruto segera meraih dan menyandarkan kepala Hinata di pahanya. Dapat dirasakan Naruto terdapat cairan kental hangat yang mengalir di kepala belakang Hinata. Naruto mencari tahunya, dan yang didapat adalah kepala belakang Hinata mengeluarkan sedikit darah yang mengotori tangannya. Hanya sedikit, meski begitu masih dapat memancing kepanikan dari semua orang di sana, termasuk si sopir pick up yang berkali-kali besujud minta ampun pada Hiashi. Dari semua orang yang panik, Kushina lah yang tampak paling panik, terlihat dari raut wajahnya yang memancarkan ekspresi takut yang berlebih.
'Ini seperti deja vu.' batin Kushina meringis takut.
Hinata membuka mata dengan perlahan, membuat semua orang bernapas lega, terlebih lagi si sopir. Naruto memeluk Hinata dengan erat, sambil membisikkan pertanyaan mainstream saat setelah seseorang mengalami kemalangan. "Kau tidak apa-apa?"
Semua wajah mendekat lebih ke Hinata. Hinata memperhatikan satu-persatu orang yang memandangnya khawatir, terlebih lagi orang yang berambut kuning yang tiba-tiba saja memeluknya. Hinata berkedip beberapa kali—seperti ling-lung. Melihat itu, Kushina tak tahan lagi dan memiringkan kepala Naruto yang menghalangi penglihatannya pada Hinata.
"Hinata-chan?" Khusina berkata pelan memastikan keadaan calon mantunya itu.
Hinata bereaksi, akhirnya. Ia menunjuk satu-persatu manusia yang mengelilinginya, kecuali Naruto yang masih memangku kepalanya. Keempat orang—Hiashi, Hanabi, Kushina, dan si sopir—yang ditunjuk Hinata tak mengerti. Mereka saling pandang.
"Hmm, kenapa aku? Dan…" Hinata berkedip beberapa kali, diikuti semua orang yang memperhatikan wajah lugunya. "Aku seperti pernah mengenal kalian, tapi siapa ya?"
Semua menjerit histeris dengan suara melengking hingga membuat kucing liar yang tidur di dekat mereka lari tunggang-langgang seperti mendengar geledek di hari yang cerah.
Setelah beberapa detik, suara teriakan meredup hilang. Kini semua orang memasang wajah sebagai reaksi versi mereka sendiri. Hiashi terlihat marah sekaligus sedih, kedua ekspresi itu bercampur aduk hingga membuat wajah Hiashi makin kriput. Hanabi, dia terlihat syok melihat kakaknya yang tak mengenali dia lagi dalam jangka waktu beberapa menit saja. Kushina, dia terlihat sedih namun tetap tenang dengan memasang ekspresi 'hmm-sudah-kuduga'. Sedangkan si sopir malang yang menabrak putri Hiashi yang paling disegani di sekitar sini, ia terlihat takut sekaligus merasa bersalah. Dan Naruto… bagaimana ya? Ekspresinya tak dapat dibaca saat ini.
Hinata memasang wajah lugu tak mengerti. Kenapa dia jadi objek tontonan? "Naruto-kun, apa yang sebenarnya terjadi?" Hinata menarik-narik baju Naruto.
Semua orang tercengang lagi. Sekali lagi mereka semua berteriak sampai membangunkan bayi tetangga yang sedang nyenyak tertidur di balik selimut hangat.
Naruto sumringah, lebih senang dari apapun. Pertama kalinya ia mendengar Hinata memanggilnya dengan suffix 'kun' yang menurutnya keren. Dengan tangan bergetar, ia menunjuk dirinya sendiri masih dengan senyum super gajenya yang tak bisa luntur dari wajahnya.
"Kau ingat aku 'kan, Hinata?"
Hinata mengangguk pasti, "Tentu saja. Naruto-kun kan suamiku." Hinata tersenyum manis sekali.
Sekali lagi semua—terlebih lagi Kushina dan Naruto—berteriak keras, tercengang sekaligus senang. Mereka semua tak menyadari bahwa teriakan mereka terlalu keras, terlalu keras hingga membuat Raja Neptunus di suatu tempat yang diyakini ada di suatu tempat terbangun dari hibernasi damainya.
Naruto tak henti-hentinya tersenyum setelah ikutan teriak berjamaah. Ini lebih baik dari apapun. Meski Hinata—nampaknya—amnesia, ada kesenangan tersendiri bagi Naruto. Hinata mengingatnya, itu sudah sangat-sangat cukup baginya untuk merasa percaya diri bahwa dirinya adalah orang yang sangat penting bagi Hinata. Naruto rasanya meleleh seperti saat pertama kali Hinata menciumnya dengan tiba-tiba. Sebuah kejutan! Naruto tak kuasa menahan diri untuk tidak memeluk Hinata sekali lagi.
Semua orang berangsur diam dan menutup mulut masing-masing yang menganga. Mereka sekarang memilih diam sambil memperhatikan sepasang pasangan muda yang sedang dimabuk cinta. Dalam diam Kushina tertawa membatin sesuatu. Wah-wah, sepertinya impian lama Kushin yang ingin memiliki menantu seperti Hinata akan segera terwujud.
.
END
.
Terima kasih yang sebanyak-banyaknya saya persembahkan untuk kamu semua. Iyaaa, kamuuu!
Terima kasihan :v
Salam, see ya
#HENSHIN