Soonyoung duduk di kursi yang telah disiapkan. Ada salah seorang asisten yang mendampingi Seungcheol sementara Seungcheol sendiri duduk berseberangan dengan Soonyoung. Pria itu menunggu wine dituangkan ke gelasnya dan kemudian meneguknya dengan sangat anggun—gaya aristokrat. Soonyoung masih diam, ia sadar bahwa Papanya Jihoon ini sama sekali bukan orang yang bisa dihadapi sembarangan.

"Jadi, sudah sekitar dua bulan Jihoon tinggal disini, pertama, aku ucapkan terima kasih padamu, Nak Soonyoung, sudah mau menjaga putriku yang manis." Seungcheol tersenyum, meletakkan gelas wine. Soonyoung membalas senyumannya dengan sedikit dipaksakan.

"Ah, suatu kehormatan bagi saya bisa mendapatkan kepercayaan Anda untuk menjaga Jihoon." Soonyoung bicara perlahan, dan dengan sangat tenang.

Padahal keningnya sudah berkeringat.

Seungcheol menatap Soonyoung, salah satu telapak tangan menumpu dagu, "Jadi, kita mulai darimana pembicaraan kita? Mengenai keluarga politikusmu yang kotor atau kekuasaanmu yang kacau karena mengandalkan pemaksaan di sekolah ini, Kwon Soonyoung?"

Soonyoung tercekat.

Apa maksud Papanya Jihoon?

.

(Freedom)

Akhirnya kita mulai mencapai konflik cerita muehehe. Reviewnya ya tolong reviewnya (apaan sih lo, othor)

.

Soonyoung berjalan tertatih, nafasnya putus-putus dan wajahnya pucat. Ia baru saja selesai menyelesaikan jamuan makan dari Papa-nya Jihoon dan setelah keluardari sana energinya seperti dikuras habis.

Namamu Kwon Soonyoung kan? Anak ketiga keluarga Kwon, kakak tertuamu bernama Kwon Jiyong, menjadi anggota legislatif dari Partai M. Kemudian kakak perempuanmu bernama Kwon Nara adalah pendiri organisasi wanita mandiri dan menikah dengan salah satu pejabat tinggi dalam pemerintahan.

Soonyoung ingat bagaimana Seungcheol mengatakannya sambil mengiris daging, selagi itu, pria tersebut melanjutkan, Kau selalu menginginkan agar kau bisa sesukses kedua kakakmu, terutama Jiyong yang direkomendasikan untuk menduduki jabatan sebagai ketua legislatif partai bentukan Ayahmu. Nara juga selalu mendorongmu sejak kecil untuk menjadi orang yang lebih darinya. Ayahmu tidak peduli, makanya kau selalu berusaha keras agar Ayahmu mau memperhatikanmu—

hingga kau menjadi ketua Komite Disiplin. itu adalah langkah pertama untuk menyamakan kedudukanmu dengan kedua kakakmu yang dulunya juga pernah memegang jabatan yang sama di sekolah ini.

"Sial—" Soonyoung mengumpat, meremas kepalanya sendiri. Kantor Komite Disiplin hanya tinggal dua belokan lagi, ia hanya harus bertahan sampai ia bisa merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata untuk meringankan kepala.

Tapi, nyatanya kau tidak sehebat kedua kakakmu, kau kesulitan untuk mendapatkan afeksi dari para siswa, karena itulah kau menjadi beringas, membuat kekacauan, menjadikan ancaman sebagai senjata utamamu dan memanfaatkan kekuasaanmu di sekolah dengan cara yang salah.

"Sialan, dia kira dia bisa menekanku dengan cara begitu?"

Sejujurnya, aku tidak akan merelakan putriku pada sosok kacau yang dibenci banyak orang sepertimu. Tapi, aku memilihmu karena kau adalah pion yang sangat bagus untuk mengajarkan pada Jihoon hal-hal yang harus ia lakukan untuk menjadi wanita yang kuat.

Soonyoung jatuh terduduk, dan hal terakhir yang ia ingat adalah wajah Jihoon yang tersenyum. Soonyoung meraba wajahnya sendiri, ia menghela nafas berat.

Meski ia selalu yakin bahwa segala sesuatu yang dijalani akan menghasilkan hasil yang terbaik, untuk yang kali ini, Soonyoung merasa akan sangat berat.

.

"Loh, Tuan, Kwon Soonyoung sudah pergi?"

Seungcheol sedang merokok di balkon kamar penginapan yang disewanya ketika asistennya datang membawakan beberapa barang bawaannya, "Iya, dia pergi dengan wajah pucat, seperti tikus lucu yang sadar bahwa dirinya sudah masuk dalam jebakan." Seungcheol menoleh pada asistennya, "Seokmin, coba kemari."

Asisten yang bernama Seokmin itu mendekat, "Ya, Tuan?"

Seungcheol nyengir, "Mana tanganmu?"

Seokmin menengadahkan tangannya, "Ini."

Seungcheol nyengir lagi, menekan ujung rokok yang masih menyala ke telapak tangan Seokmin.

Sedetik.

Dua detik.

"WUANJIR! AAA!"

Seungcheol cuma ngakak sementara Seokmin lari ke seluruh sudut ruangan, berkelok-kelok zig-zag, bermanuver untuk menemukan air untuk membasahi telapak tangan. Sialan memang bos-nya satu ini. Kalau bukan karena sudah bekerja sejak Nyonya Besar masih bujangan, sudah dijedotin juga kepala si Seungcheol itu.

(Nyonya Besar yang dimaksud adalah Ibu Jihoon.)

Seungcheol menumpukan siku ke pinggiran balkon, menikmati semilir angin yang menerpa wajah. Ia tersenyum.

"Nah, semoga kau tidak kalah semudah itu, Nak Soonyoung, kalau kau kalah, ini sama sekali tidak menyenangkan—"

.

Pagi hari ini ruangan klub hanya diisi tiga orang. Wonwoo sedang mengotak-atik robot, Mingyu sedang mengetik sesuatu di komputer, dan Jihoon asik makan cumi goreng sambil menonton tv.

Suasana yang sangat damai.

Sebelum kemudian Mingyu bicara, "Sepi amat, sih."

Wonwoo menoleh, "Pada asik sendiri sih—"

Jihoon melirik sinis, "Kalian aja yang sibuk sendiri, aku dikacangin." Ujarnya dingin.

"Anggota kita habis, apa kita perlu membuat pengumuman untuk penerimaan anggota baru?" yang barusan ngomong tadi itu adalah Wonwoo.

Jihoon diam, sedetik kemudian wajahnya jadi sangat bahagia, "AH IYA! BENAR JUGA, WONWOO-OPPA THE BEST!"

Tiga persimpangan urat muncul di dahi Mingyu, "O-oi, cuman si Wonwoo doang yang the best?"

Jihoon lari ke PC terdekat, membuka website klub dan menuliskan sesuatu disana. Hiring member, Yang berminat bergabung dengan klub Believers silahkan mengecek persyaratan dibawah ini.

Mingyu mendekatinya, mengecek apa yang dilakukan oleh Jihoon, "Hmm, tidak buruk."

Jihoon mengeposkannya di dinding blog website Believers dan gadis itu tersenyum lebih lebar daripada sebelum-sebelumnya. "Sip, sekarang tinggal tunggu ada anggota baru yang datang."

.

Soonyoung yang sedang berbaring di sofa terkejut ketika mendengar ada suara langkah kaki memasuki ruangannya. Tidak perlu menebak siapa, Soonyoung tahu persis siapa satu-satunya yang berani nyelonong keluar masuk ruangannya.

"Soonyoung, kau melewatkan makan siang." Ujarnya.

Soonyoung membuka matanya, menatap Jun yang sedang berdiri, "Ya terus?"

"Jatah makan siangmu sudah ludes dilalap si jago merah."

"Pret."

Jun ngikik, padahal candaannya krik-krik. Soonyoung yang ngeliat wakilnya gitu facepalm. "Ngakak lagi, anjir."

"Tapi, beneran dah itu makananmu sudah dimakan sama anak-anak." Jun duduk di sofa di seberang Soonyoung dan Soonyoung meliriknya ogah-ogahan. Jun kemudian menjentikkan jari, lalu berjalan utrid Eureka (Eureka salah satu nama komputer Soonyoung, kalau lupa baca lagi chapter satu gih), wakil ketua yang—kata Jihoon—serupa Heechul Super Junior itu menarikan jemarinya dengan indah untuk membuka aplikasi browser khusus untuk jaringan kempoter sekolah. Ia membuka website Believers dan meng-klik pos paling atas dari daftar pos blog tersebut. Jun tersenyum dengan puas.

Soonyoung melongo di belakang, membatin anjir alay banget utrid an buat Jun.

"Nih, Soonyoung, coba lihat kiriman terbaru Believers." Jun bicara, "Mereka lagi membuka perekrutan anggota baru, dengar-dengar tiga kakak kelas yang sudah kelas tiga sudah diistirahatkan dari kegiatan diluar akademik dan Believers jadi kekurangan anggota. Dan juga, kabar bagusnya mereka udah ganti background blog-nya, engga pink polkadot lagi."

Soonyoung beranjak menuju Jun, melihat kiriman tentang perekrutan anggota baru itu, "Iya sih ga pink lagi, tapi jadi warna oranye polkadot."

"Menurutmu gimana? Yah sebenarnya aku hanya mau kasih tau ini, kau kan suruh aku untuk mengawasi mereka." Jun bersedekap di kursinya, Soonyoung memainkan jemari di dagu—sedang berpikir.

Sesaat kemudian Soonyoung menyeringai, "Jun, aku mau meminta pendapatmu sebagai rakyat jelata yang telah kupercayai sebagai orang terdekatku."

Pelipis Jun menimbulkan empat persimpangan urat, "Oke, aku tahu maksudmu, tapi apa itu cara meminta bantuan yang baik dan benar?"

Soonyoung merangkul bahu Jun dan tertawa.

"Menurutmu gimana kalau aku menyamar untuk masuk ke Believers?"

Jun terkejut, menatap Soonyoung, "Untuk mengambil Tuan utrid an menyelamatkannya dari dua curut si Mingyu dan Wonwoo itu?"

"Ya, tapi bukan Cuma itu."

Jun yang awalnya senyum kali ini facepalm, pasti yang itu.

"Aku akan membuat Jihoon hamil anak-anakku, HAHAHAHAHA!"

"Anjir, jijik-in sangat." Bisik Jun. sayang sekali, ucapannya itu didengar oleh Soonyoung.

"Barusan ngomong apa?" Soonyoung masih senyum. Jun gelagapan, pura-pura bego adalah hal yang paling tepat untuk menghadapi Soonyoung yang begini.

"E—engga."

"Bagus, kalau gitu bantu aku siapkan skenarioku. Jun, kamu bakal lihat bakat aktingku yang sempurna sebentar lagi."

.

"Konnichiwa."

Jihoon mendengar suara bel ruangan Believers berdenting beberapa kali dan ada suara lembut menyapa dengan bahasa Jepang. Ia menatap ke arah Mingyu dan Wonwoo.

"Buka aja, kali aja mas-mas sales yang nawarin produk pemutih." Wonwoo nyeletuk.

"Anjir, Won." Ini si Mingyu yang menyahut.

Jihoon sudah tidak memperhatikan lagi pertengkaran yang sepertinya sudah nyaris terjadi, ia tersenyum cerah, menduga apakah tamu di klub adalah calon anggota baru apa bukan.

"Hai!" Jihoon tersenyum lebar.

Di depan pintu ada seorang pemuda dengan rambut agak gondrong, mengenakan seragam yang tidak sesuai standar operasional sekolah karena ia mengenakan sweater dibandingkan mengenakan jas almamater sekolah. Pemuda itu mengenakan kacamata dan membalas senyum Jihoon tidak kalah manisnya—sebelumnya dia sempat agak terkejut ketika Jihoon menyapanya dengan suara kencang dan riang.

"Apa benar ini kantor klub Believers?" tanya pemuda itu.

"Ya! Mau daftar jadi anggota baru kan?"

Anjir, ni cewe gaada basa-basinya. Pemuda itu membatin. Tapi, karena niatnya memang demikian, ia hanya bisa mengangguk.

Jihoon menarik lengannya dan mempersilahkannya duduk. "Sini, sini, duduk dulu. mau kubuatkan minum apa?"

Pemuda itu kaget lagi, "Eh, ga—ga usah."

"Nama kamu siapa?" tanya Jihoon riang, menyajikan teh peninggalan tiga kakak kelas yang syukur sekali akhirnya berfaedah juga.

"Namaku Kuon Hoshi, aku dari Jepang." Sahut pemuda itu—mari kita sebut dia dengan Hoshi mulai sekarang.

"Ooh, Hoshi ya? Kamu yakin mau masuk ke Believers?"

Hoshi—yang sebenarnya Soonyoung yang sedang menyamar itu berdeham sesaat, menjaga suara biar agak beda tipis dengan suaranya yang biasa, "Ya, tentu. Aku sudah membawa beberapa persyaratan yang dibutuhkan. Tolong dicek, siapa tahu ada kekurangan."

"Okee!" Jihoon meraih berkas yang dibawa oleh Hoshi masih dengan senyum yang lepas.

Hoshi alias Soonyoung yang sedang menyamar memperhatikan seksama wajah Jihoon yang tersenyum. Jihoon aslinya cantik, iya cantik banget. Sayangnya kalau mereka bertatapan langsung, gadis itu boro-boro senyum, yang ada merengut sampai rasanya alisnya mau nyatu. Kapan lagi kesempatan dia liatin Jihoon senyum cantik kaya gini?

Eh..

Ada bunyi khas orang ngendus sesuatu.

Eh, eh..

Soonyoung ngerasa ada sesuatu yang berhembus di lehernya.

"Hmm, bau ini… sepertinya aku kenal, sensorku belum rusak."

Ni siapa sih yang ngomong? Soonyoung menoleh dan betapa kagetnya dia pas lihat ada Wonwoo yang sedang ngendusi lehernya.

Wtf?! Mau apa manusia satu ini? Ngendusin? Bangsat, Soonyoung lupa kalau Wonwoo dan Mingyu punya kebiasaan ekstra yang tidak biasa. Gawat nih, jangan sampai Wonwoo—

"Kujilat dulu ah lehernya, siapa tahu ingat."

—jilat lehernya?!

Soonyoung jijay anjay, siap-siap mau nabok Wonwoo. Tapi, mendadak ada sebuah buku yang melayang sebelum mendarat keras di wajah Wonwoo. Wonwoo jatuh ke arah belakang, sementara Jihoon—selaku pelaku pelemparan buku tersebut ngos-ngosan dengan murka.

"Diem bisa engga?!" hardiknya sengit.

Jihoon dah balik ke mode galak.

"Aampun, Nyai." Wonwoo nyembah-nyembah dan mundur teratur. Sementara Soonyoung meraba dadanya sendiri.

Anjir, yang tadi gawat banget, si Wonwoo sama sekali bukan sesuatu yang bisa di-under estimate. Cowok itu sinting. Nyaris saja penyamarannya terbongkar, kalau tadi Wonwoo berhasil jilat lehernya maka habislah sudah.

"Oh, murid pindahan ya." Mingyu bergumam, menerima berkas dari Jihoon dan mulai menginput data-data dari berkas Kuon Hoshi sambil bersenandung. Namun, sesaat kemudian ia berhenti.

"Loh, kok nomor registernya unidentif—"

Soonyoung melirik ke Mingyu yang sedang mengetik tidak jauh dari tempatnya duduk, sedetik kemudian ia berjalan ke arah sususan kabel listrik ruwet di dekat Mingyu dan mencabut salah satunya.

Sukses, komputer Mingyu langsung mati dan data dari Kuon Hoshi yang baru saja ia input hilang semua.

Mingyu diam. Bahunya gemetar menahan murka.

"Maaf, susunan kabelnya rumit begini, bahaya loh."

Soonyoung yang bicara. Mukanya berubah songong.

"Keluar dari sini lo anggota baru goblo!" Mingyu nyembur ke Soonyoung, "Komputerku! Komputerku! Bu'e aku kudu piye?!"

"Iya, iya, keluar sana! Dasar mencurigakan! Aku tidak suka padanya, Jihoon!" yang ini Wonwoo ikutan nimbrung.

Jihoon yang melihatnya malah menunjukkan wajah tidak suka. "ALAAAAY! Sudah kalian diam saja gausah kebanyakan ngomong, nanti Hoshi-kun kabur gara-gara kalian!" ini Jihoon yang teriak di dalam ruangan. Seketika, seperti ada banyak percikan api tak kasat mata dalam ruangan tersebut. Mingyu+Wonwoo vs. Jihoon.

Soonyoung mendadak gugup. Gawat kalau dia disini lama-lama dalam keadaan begini, bisa-bisa dua orang curut yang masih emosi itu malah meminta untuk menggeledahnya, meraba seuruh tubuhnya, melepas wig-nya yang gondrong, melepas kacamata yang sengaja ia pakai agar matanya tampak lebih besar, lalu… lalu ia akan ketahuan.

Ga banget! Baru juga sehari menyamar!

"A-ano—" Soonyoung menelan ludah, "Se-sepertinya hari ini aku hanya ingin mengantar berkasku saja, Sayonara, mata ashita!"

Secepat kilat Soonyoung ngacir dari ruangan Believers sementara Jihoon langsung berbalik ke arah Soonyoung pergi—ingin mengejar tapi sudah tidak sempat.

"Tunggu—" Jihoon memasang wajah panik, "Astaga, dia pergi kan…"

"Biarin ah, aku ga suka dia, Jihoon." Mingyu sudah merajuk dengan berkas atas nama Kuon Hoshi dan memilih untuk berbaring santai sambil main game dibandingkan menginput data. Wonwoo mengangguk menimpali, "Gaya rambutnya aja aneh. Mencurigakan."

"Dia itu dari Jepang! Jangan samain dengan kita lah." Jihoon cemberut hebat, "Besok dia datang lagi tidak ya?"

Mingyu melirik Jihoon yang masih menatap pintu dengan wajah tidak suka, ia mendengus, "Kalau ga datang lagi ya sudahlah, cari saja anggota lain, apa susahnya?"

Tapi, rupanya jawaban Mingyu malah menyulut amarah Jihoon, "Kalau besok dia sampai ga datang, kalian adalah hal pertama yang ingin kucakar-cakar!" Jihoon menggertakkan gigi, "Dia itu orang pertama yang memasukkan permohonan bergabung dengan klub, apa kalian tidak punya inisiatif untuk sekedar menghargainya sedikit saja?"

Jihoon pening, gadis itu mengambil pulpen dan buku catatan kecilnya, bergegas keluar.

"Ji!" ini Wonwoo yang memanggil, "Kemana?"

"Keluar, malas di klub." Sahutannya sangat dingin. Pintu klub ditutup oleh Jihoon dan menyisakan Mingyu dan Wonwoo saja di ruangan.

.

Soonyoung sampai di kantor Komite Disiplin dan melepas wig-nya, ia mengehela nafas terlalu keras sampai Jun yang sebelumnya sedang santai membaca buku Mewujudkan Delusi dalam Bentuk Tiga Dimensi jadi rela melepaskan bacaannya dan menatap Soonyoung.

"Gila mereka, aku nyaris ketahuan." Soonyoung mlengos.

"Pft—" Jun nahan ngikik, "Katanya bakat akting yang hebat, apaan baru setengah hari sudah nyaris ketahuan."

"LO GATAU GUE NYARIS DIJILAT WONWOO, BEGO! LO GA LIAT!" Soonyoung meledak, "NIH LEHER GUE UDAH DIENDUS DICIUMIN! Gila merinding disko disana, mereka semua ga ada yang waras."

Bukannya turut prihatin, si Jun malah makin ngikik begitu dengar cerita Soonyoung. "Perlu mandi kembang tujuh rupa ga?"

Soonyoung gregetan, nyaris pukulin Jun sebelum ia keingetan perilaku Jihoon yang nyambut dia tadi.

Awalnya sih dia senang, di ge-er, tapi kemudian jika Soonyoung ingat—bahwa Jihoon bahkan menatapnya saja tidak mau jika sedang tidak menyamar membuat emosinya naik lagi. Giginya bergemeletuk, kemudian ia juga ingat apa yang dikatakan oleh Seungcheol kemarin sore.

"Keluargaku tidak sekotor itu." Bisiknya yang membuat Jun menaikkan sebelah alis.

"Ngomong apa barusan?" tanya Jun.

Soonyoung menggeleng, beranjak dari sofa yang ia duduki dan berjalan mendekati jendela.

"Ngga ada."

Ia memandangi acropolis yang terbentang luas, ah ada abang-abang tukang bakso di depan asrama cewe. Soonyoung baru ingat dia belum makan siang.

"Jun, apa kau mencintai Ayahmu?"

Jun yang ditanya Soonyoung begitu mendadak mikir, "Err, tumbenan nanya ginian?"

"Jawab aja, bego."

"Oke, oke." Jun berusaha kalem, "Ya engga lah, aku ga homo dan ayahku bukan pendosa pedo dan kita engga incest." Tapi, belum berusaha buat serius.

Soonyoung udah ngambil pemukul baseball, siap nimpuk Jun, "Eh, engga, BECANDA DOANG ELAH. Ya iyalah, aku sayang Ayahku, kedua orangtuaku, keluargaku."

Jawaban Jun membuat Soonyoung kembali taruh pemukul baseball ke tempatnya. Jun narik nafas super lega kaya abis ngemut permen pelega tenggorokan.

"Oke, makasih jawabannya."

Jun semakin merasa aneh, kemudian dia berasa ada sesuatu yang dia lupakan. "Oh iya, Soonyoung, kemarin kau ketemu dengan Ayahnya Tuan Putri kan?"

Soonyoung mengangguk, "Kenapa emangnya?"

Jun mengambil benda bulat yang sudah agak-agak penyok dari saku celana seragamnya, "Kami menemukan ini di kerah kemejamu yang kau taruh sembarangan di meja kerjamu kemarin." Jun meletakkannya di meja, "Itu alat penyadap. Tapi, sudah kuhancurkan."

Soonyoung terkejut, ia ingat saat baru bertemu dengan Seungcheol, pria itu memegang kerah kemejanya sambil memujinya. Pantas saja ia merasa merinding, dari sejak itu Soonyoung sudah merasa ada yang tidak beres.

Soonyoung tersenyum sedikit, kemudian ia tertawa, "Astaga, Papanya Jihoon benar-benar bahaya."

Jun mengangguk, "Wajahnya tampan, tapi ternyata dia menyeramkan."

"Terserah saja." Soonyoung memalingkan mukanya, "Aku akan tetap berusaha mendapatkan Jihoon, bahkan meskipun Ayahnya sendiri yang menghalangi."

Soonyoung agaknya melamun sebentar setelahnya, kemudian ia berdeham, "Oke, lupakan dulu yang itu. Misiku sekarang adalah memecah belah Jihoon dengan Mingyu dan Wonwoo terlebih dulu."

Jun mlengos, "Ah, kirain niatmu sudah berubah."

"Jihoon sudah menyambutku dengan baik, tapi kayanya besok aku ngga datang dulu kesana, itu terlalu menyeramkan kalau Wonwoo sampai mau jilat leherku lagi." Soonyoung melirik ke kalender kemudian, "Lagian, kita sudah lama ga nertibin klub-klub kecil ga guna, besok kita kembali beroperasi, kau setuju kan, Jun?"

Jun hanya tersenyum, Soonyoung yang biasa telah kembali.

"Tentu saja. Besok kuaturkan jadwalnya." Sahutnya.

.

Di gedung tenggara, ada sebuah klub yang begitu aman, damai dan bahagia. Pagi ini masih sangat segar dan anggota pertama yang datang hari ini tersenyum cerah. Ketika ia ingin membuka pintu ruang klub, ia melihat ada sesuatu yang familiar di sebelah pintu.

Keringat dinginnya menitik.

Ada surat dari Komite Disiplin.

"Wah, wah, kupikir kalian sudah membaca e-mail dari kami, tapi karena aku ingin lebih memastikan, kusuruh anak buahku untuk memasangnya di samping pintu ruang klubmu."

Suara Soonyoung terdengar dan pemuda yang ingin membuka pintu itu mendadak berbalik.

"K—Kwon Soonyoung…."

Soonyoung yang muncul bersama antek-anteknya menyeringai. Mengelus gulungan surat resmi di tangan dan melemparnya pada anggota klub tak berdosa yang hanya bisa mati kutu gemetaran—nyaris pipis—menghadapi ketua Komite Disiplin yang dikenal beringas dan kejam.

"Klub Cowok Pecinta Kerajinan Tangan, berdasarkan keputusan rapat Komite Disiplin resmi dibubarkan." Soonyoung mengatakannya dengan nada penuh ketegasan.

Satu klub telah selesai, Soonyoung mendekat pada Jun setelah mereka selesai mengeksekusi klub Cowok Pecinta Kerajinan Tangan, "Selanjutnya kemana lagi, Jun?"

"Hmn, kurasa sehabis ini kita ke klub Pengumpul Barang Bekas. Itu saja untuk hari ini, memangnya kenapa?"

Soonyoung tersenyum miring, "Bagus, satu tangisan klub lagi akan membuatku kenyang. Sepertinya sore ini aku mau datang lagi ke Believers."

.

Jihoon menunggu dengan gelisah.

"Kok Hoshi-kun ngga datang lagi sih, ini kan sudah sore—"

Mingyu merengut, "Ngapain sih mikirin dia, Ji? Kalau dia niat pengen ikutan klub kita ya pasti ntar nongol lah."

"Baru digertak dikit udah ngga datang, dasar mental tempe si Hoshi."

"ITU KAN JUGA GARA-GARA KALIAN! Padahal dia itu anggota pertama kita." Jihoon marah-marah, "Kalau sampai dia batal bergabung, awas saja kalin nanti."

"Uuuu~ atuuut~" Mingyu dan Wonwoo ber-koor bersama dengan wajah takut dibuat-buat. Hal itu malah membuat Jihoon semakin murka. Baru saja gadis itu ingin mengambili spidol untuk dilemparkan kepada Mingyu dan Wonwoo pintu menjeblak terbuka.

"Hai, minna-san! Aku datang lagi!"

Wonwoo dan Mingyu langsung melotot, "APAA?! NGAPAIN LO DATANG GOB—"

"Hoshi-kun!" tapi Jihoon memotong protes itu dan langsung menggandeng lengan Hoshi, "Astaga, aku beneran takut kalau kamu ga datang lagi." Jihoon tersenyum dan membawa Hoshi masuk.

Sementara Hoshi—alias Soonyoung itu terkejut.

Anjir.

Demi apa.

Jihoon gandeng dia.

Jihoon peluk lengan dia.

Jihoon senyum lembut dan nawarin minum ke dia.

Sumpah, Lee Jihoon itu indah banet kalau udah gini—ga pas dalam mode belalang tempur dan galak ala Kanjeng Putri.

"Hoshi-kun mau minum apa?"

Hoshi gugup, "A-apa aja deh."

Mingyu dan Wonwoo di meja kerja masing-masing melirik, tapi begitu Hoshi menatap mereka, mereka langsung memalingkan muka. Mingyu main komputer dan Wonwoo otak-atik robot.

Kaya anak kecil banget, anjir. Hoshi ngebatin.

"Oh iya, aku mau ajak kamu buat rekrut anggota baru, mau tidak?"

Hoshi senyum, "Ya tentu lah mau."

"Beneran?!" Jihoon girang, "Syukurlah kalau kamu mau, soalnya mereka berdua itu ga bisa diandalkan dan bisanya cuma protes-protes doang." Gadis itu melirik pada Mingyu dan Wonwoo yang masih pura-pura ga dengar padahal Jihoon sudah mengatakannya dengan cukup keras. "Sip, berarti ini akan jadi tugas pertama kamu sejak bergabung dengan Believers ya. Setidaknya kamu bisa berguna buat kita."

"Oi, oi. Apaan banget sih muji-muji anak baru itu mulu." Mingyu akhirnya memutar kursinya untuk menghadap ke arah Jihoon, "Maksudmu kami ngga berguna?"

"Aku ngga bilang kalau kalian ngga berguna. Aku hanya sebal karena kalian tidak mau diajak diskusi, cuma urusin masalah kalian sendiri saja." Jihoon senewen, tapi tidak menaikkan nada suaranya.

Hoshi hanya diam, takjub. Dia belum lakuin apa-apa tapi situasi sudah berkembang sendiri sesuai dengan keinginannya. Bagus. Terlalu bagus sampai Hoshi—Soonyoung—berusaha sangat keras supaya senyumnya tidak terlihat.

"Dengar ya, Jihoon, kami punya kesibukan yang lain, kita bisa rapat lain kali." Kali ini Wonwoo yang menimpali.

"Tapi, bahkan ketika ada anggota baru kalian sama sekali engga ada respeknya. Kenapa sih kalian harus gitu?"

"Karena kami ga suka dia." Mingyu dan Wonwoo berucap bersamaan.

"Daripada dia, mending kasih komputer baru buat programming." Mingyu bicara, "Ngapain sih kita nampung orang aneh kaya dia? Coba lihat rambutnya itu."

Jihoon sepertinya sudah mulai tidak tahan, "Jadi kalian lebih milih mesin daripada manusia? Mana sih hati nurani kalian?"

"Manusia ngerepotin, juga sukanya protes-protes kan?" Wonwoo membalas dengan nada yang agak tinggi—ya akhirnya dia mencapai nada Re pertama kali dalam hidupnya.

"Oh jadi, misalnya kalian disuruh milih antara aku dan komputer, mana yang bakal kalian pilih?"

Mingyu dan Wonwoo menjawab bersamaan lagi, "Jelas komputer lah."

Selesai. Hoshi—Soonyoung bisa melihat wajah kesal, kecewa dan marah mendominasi air muka Jihoon. wajah gadis itu merah—sebentar lagi sepertinya akan meledak.

"SUDAH CUKUP KALAU BEGITU, MAKAN SANA KOMPUTER KALIAN!" Jihoon berteriak lalu berjalan keluar, "Ayo, Hoshi-kun ikut aku!"

Mingyu dan Wonwoo benar-benar hening setelahnya. Wonwoo sepertinya ingin mencegah, tapi urung setelah ia melihat Hoshi turut berdiri dan mengikuti Jihoon di belakang.

"Kok kesel ya?" Wonwoo bicara, menoleh kepada Mingyu. "Kenapa sekarang Jihoon jadi dimonopoli anak Jepang aneh itu sih?"

Mingyu masih diam, dan Wonwoo ikut diam selama beberapa menit.

"Gyu, apa kita sudah keterlaluan ya?"

Mingyu melirik.

"Keterlaluan apanya?"

Wonwoo menggeser kursi untuk duduk di hadapan Mingyu, "Kalau ditanya Jihoon sekali lagi, bakal milih dia apa komputer, kamu bakal milih mana?"

Mingyu mendengus, "Komputer lah. Ngga cerewet kaya dia."

"Aku juga sih, tapi, kalau kita bilang begitu lagi, klub ini pasti hancur." Wonwoo menyilangkan kaki, "Lagipula, klub kita sudah banyak sekali kemajuan sejak Jihoon bergabung disini."

Mingyu tidak memperhatikan wajah Wonwoo, tapi ia masih mendengar Wonwoo bicara.

"Terkadang aku berpikir kenapa kita tidak pernah sekali saja menuruti apa keinginannya? Kita bahkan tidak pernah membantunya merancang desain blog. Dia selalu membuat posting, dia berusaha memanajeriali semuanya. Tapi, kita selalu egois, selalu ingin mau kita yang tercapai duluan. Karena itulah, klub kita yang dulu tidak pernah bisa berkembang."

Mingyu masih mendengarkan.

"Kalau nanti seandainya Jihoon tidak mau kembali lagi ke klub bagaimana?"

Mingyu menatap Wonwoo dengan wajah yang terkejut. Wonwoo yakin bahwa cowok tinggi satu itu baru saja terpikir tentang kemungkinan itu.

Namun, sedetik kemudian Mingyu kembali mengubah air mukanya menjadi santai, lalu berkata.

"Dia pasti kembali. Aku percaya bahwa Jihoon adalah orang yang bertanggung jawab."

.

Soonyoung—atau Hoshi, tercekat ketika ia sampai di sebuah klub yang bakal dijadikan Jihoon sebagai target untuk mengumpulkan anggota.

Klub Cowo Pecinta Kerajinan Tangan.

Sialan, dia baru saja kesini tadi pagi.

"Ayo masuk, Hoshi-kun. Kita akan coba ajak mreka, kudengar mereka baru dibubarkan Komite Disiplin tadi pagi" Ajak Jihoon. tapi, Hoshi tetap berada di bingkai pintu.

Gawat nih kalau ketahuan sama anggota klub tengik ini. Batinnya.

Begitu Jihoon masuk ke ruangan itu, yang ia lihat pertama kali adalah kegelapan.

"Pe-permisi."

Aura mencekam.

Dan Jihoon melihat ada sekumpulan orang yang masing-masing sibuk mengasah pisau daging. Jihoon agak merinding, tapi memberanikan diri mendekati salah satunya.

"Ha-halo, kau sedang apa?" Jihoon menyapa kikuk.

"Sedang mengasah pisau daging." Jawabnya lempeng, namun seram dan penuh tekanan.

"E-eh begitu ya? Untuk apa?" Jihoon bertanya lagi untuk sekadar basa-basi.

Pemuda yang ditanyainya mengangkat wajah, dengan tatapan kosong dia berkata, "Untuk membunuh Kwon Soonyoung."

Jihoon merinding, sementara Hoshi di bingkai pintu memeletkan lidah.

Yakali mau bunuh aku, emangnya kau pikir kau bisa? Dasar jelata. Batinnya.

"Ah, Kwon Soonyoung ya…"

Hoshi menunggu Jihoon untuk meneruskan kalimat yang selanjutnya, sambil tersenyum bangga, ah Jihoon rupanya mulai memberi perhatian padanya.

"Aku tahu matanya sipit, sampai dia tidak bisa melek dan melihat bakat yang kalian miliki, lalu malah membubarkan kalian. Dia itu picik dan bodoh, jadi wajar saja ya."

Ah… anjir. Soonyoung kena zonk, urat di pelipis sudah muncul membentuk tiga sudut.

"Terserahlah, tapi yang pasti, klub ini sudah dibubarkan, klub yang sangat aku cintai."

Jihoon melihat wajah putus asa itu semakin tenggelam dalam muram, dan gadis itu kaget ketika pemuda yang ia ajak bicara mengangkat pisau daging yang baru saja diasah.

"Ngga ada klub ini sama saja aku ngga berguna, aku perlu tangan ini lagi, aku mau mati!"

Jihoon berteriak jangan dan reflek saja menggenggam tangan pemuda yang ingin dipotong itu dengan kedua tangan. Soonyoung—Hoshi yang mendengar Jihoon berteriak segera datang dan menahan tangan yang menggenggam pisau itu, tepat sebelum sisi tajam pisau menggores pergelangan tangan Jihoon yang sedang menggenggam tangan pemuda itu.

Sialan, telat sedikit, Jihoon tidak akan memiliki tangan kanannya lagi. Soonyoung ingin memaki-maki atau kalau bisa menancapkan ujung pisau daging itu di mata pemuda bodoh yang ingin memotong tangannya, tapi ia urungkan karena ada Jihoon disana.

Sialan. Cowo pecundang itu nyaris saja melukai Jihoon.

"Klub bubar bukan berarti kalian kehilangan hobi kalian, kalian masih bisa mengembangkan hobi kalian di tempat lain. tidak ada yang tidak mungkin bukan di dunia ini?"

Para pemuda-pemuda lain yang sebelumnya mendengar adanya keributan mulai bergumam-gumam tidak jelas.

"Ngga mungkin, kami sudah kehilangan klub kami."

"Kalau begitu kenapa kalian tidak bergabung dengan Believers saja?"

Semua pemuda terdiam, Hoshi—Soonyoung kembali ke bingkai pintu dan menguping pembicaraan Jihoon di dalam.

Aah, rupanya begini maksudnya. Mengajak teman senasib untuk bergabung rupanya.

"Apa itu Believers?" tanya salah satu pemuda.

Jihoon mulai tersenyum dan menjelaskan, "Believers adalah re-struktur dari Klub PR, kami berhasil mendapatkan lisensi dari OSIS untuk beroperasi karena itulah Komite Disiplin tidak berhasil untuk membubarkan kami. Kalian bisa saja melanjutkan hobi-hobi kalian disana. Tidak ada yang bisa membatasi dunia kalian disana."

Jihoon membantu pemuda yang tadi kelihatannya masih syok untuk berdiri, pemuda itu bahkan tidak berani menatap Jihoon.

Diam-diam Hoshi meliriknya penuh kemarahan.

Karena inilah aku tidak suka klub-klub semacam ini. Isinya hanyalah sekumpulan pengecut yang hanya bisa protes dan membebani anggaran sekolah, tertekan sedikit langsung ingin bunuh diri. Dia bahkan tidak sadar sebelumnya bahwa ia tidak hanya membahayakan dirinya sendiri, tapi juga orang lain.

Hoshi tertunduk, mengomel dalam hati.

Sementara Jihoon di dalam sana sudah mulai berhasil mendekati anggota-anggota klub yang terpuruk, gadis itu mulai asyik melihat-lihat hasil kerajinan klub dan tertawa kesana kemari.

Hoshi—Soonyoung sekali lagi memperhatikannya. Bagaimana gadis itu memuji dan menghargai karya buatan seseorang dengan sangat jujur dan tulus.

Bisa-bisanya Jihoon berhasil menyentuh hati orang lain yang terpuruk dan membuat semuanya percaya bahwa mereka masih bisa bangkit. Ia menggerakkan hati orang lain untuk bersamanya dan ia tanpa ada upaya paksa apapun berhasil membuat lebih dari sepuluh orang menyetujui untuk mengisi formulir pendaftaran anggota Believers.

Soonyoung diam-diam tersenyum.

Dia tidak pernah jatuh cinta pada orang yang salah. Jihoon adalah sosok yang sangat tulus dan sempurna baginya.

"Sip. Dengan ini akhirnya anggota klub kita ada sekitar lima belas orang. Sudah memenuhi syarat berjalannya suatu klub."

Jihoon dengan Soonyoung—Hoshi berjalan untuk kembali menuju klub, tapi Jihoon mengajaknya untuk pergi ke kafetaria dan membeli beberapa makanan disana, jadilah dengan sukarela, Hoshi masih mengikuti Jihoon.

"Jihoon-san, apa aku boleh bertanya satu hal?"

Jihoon berhenti untuk sekedar berbalik pada Hoshi, "Ya?"

"Apakah biasanya Mingyu-san dan Wonwoo-san memang bersikap seperti itu? Aku rasa mereka tidak terlalu menyukaiku."

Jihoon tampak berpikir sejenak, lalu tersenyum, "Tidak, mereka sebenarnya tidak jahat. Malah mereka baik sekali. Mereka selalu melindungiku dari tunanganku yang gila, si Kwon Soonyoung."

Hoshi diam.

Dalam diam dia tetap berusaha mempertahankan raut wajahnya yang sedang tersenyum. "O-oh, be-begitu ya?"

"Kwon Soonyoung itu seperti Raja Kegelapan, lalu Mingyu-sunbae dan Wonwoo-sunbae itu seperti pangeran penyelamat bagiku."

Jleb. Anjir. Jleb banget. Lo dikatain ama tunangan lo sendiri, mati aja lo, Kwon Soonyoung.

Hoshi—Soonyoung berdeham sejenak, berusaha mengusir rasa gugup, "Tapi kan, Jihoon-san, tunangan itu kan adalah orang yang dijodohkan untuk menikah denganmu nanti."

Jihoon mengangguk, "Iya sih, tapi—" gadis itu kelihatan berpikir, memalingkan badannya sehingga ia membelakangi Soonyoung. Kali ini Soonyoung ngga mau menaruh ekspektasi berlebihan.

"—tunangan yang ditetapkan Papa untukku itu ada sekitar lima puluh orang."

Soonyoung udah kena serangan jantung di belakang.

Iya sih dia engga ada ekspektasi berlebihan, tapi… Anjir. Lima puluh. ANJIR LIMA PULUH! KENAPA GUE BISA ENGGA TAHU HAH? SIALAN BANGET ORANGTUA LO, LEE JIHOON! —Itu hanya batin Soonyoung yang menjerit laknat. Tangan menyentuh dada yang nyut-nyutan, bisa-bisa mati muda dia, belum menikah sudah punya empat puluh sembilan saingan.

"Tapi, dari sekian banyak tunangan hanya satu yang membuatku penasaran."

Soonyoung bisa melihat senyuman Jihoon yang malu-malu, dan itu membuatnya bereaksi agak berlebihan, siapa lelaki yang bisa menarik hati Jihoon-nya?

"Siapa?!"

"Pokoknya isi email yang dia kirimkan menarik sekali." Jihoon bicara sambil mendongakkan kepalanya, "Dia menawariku untuk menemukan kebebasanku, dan bercerita tentang sekolahnya. Semua itu membuatku sangat penasaran, hingga aku berani meminta Papa untuk bersekolah di tempat yang sama dengannya, dia berjanji, selama itu demi kebahagiaanku, dia akan melindungiku."

Kali ini Soonyoung tercekat, ia berusaha mengingat, dan ia pikir ia memang tidak salah. Itu adalah email yang ia kirimkan untuk Jihoon beberapa bulan yang lalu.

"Tapi, ternyata orang yang mengirimkan itu sama sekali berbeda dengan ekspektasiku. Sangat jauh, dia bukan orang yang menyenangkan."

Soonyoung bicara kemudian, sejujurnya ia juga ingin tahu pendapat Jihoon tentangnya yang sebenarnya. "Jadi, apakah kau merasa tertipu dengan orang tersebut karena orang tersebut tidak seperti yang kau kira?"

"Ah tidak!" Jihoon mengibaskan tangan kanannya—sedikit membuat Soonyoung ingat bahwa tangan itu sebelumnya sempat berada dalam bahaya, "Aku saja yang seenaknya membayangkan dia sebagai orang yang menyenangkan, dia sama sekali tidak menipuku kok."

Jihoon tersenyum setelahnya dan itu membuat hati Soonyoung berdesir. Soonyoung tidak pernah menyukai wanita sebelumnya, sama sekali tidak pernah, namun Jihoon bisa membuatnya nyaris merona dengan kata-kata.

"Kamu orang yang sangat baik ya ternyata." Soonyoung setengah tidak sadar mengatakannya.

"Ah, masa? Hoshi-kun sepertinya menilai terlalu cepat. Aku tidak sebaik itu kok, lagipula kita kan baru kenal." Jihoon buru-buru memalingkan muka.

Soonyoung mengiringi langkah Jihoon di samping, berkedip satu kali, "Jadi, bagimu lamanya kenal itu penting?"

Jihoon mengernyit, menoleh pada Hoshi, "Hm?"

"Jihoon-san, kau juga belum mengenal aku yang sesungguhnya."

.

Seungcheol sedang merokok di balkon penginapan yang ia sewa di area acropolis. Ia tersenyum dengan senang lalu melepas headset yang menyumpal telinganya sebelumnya, "Wah, wah, sepertinya ini makin menarik."

Seokmin—asisten pribadinya ada dibelakangnya, "Tuan, Anda sepertinya suka sekali menyadap percakapan Nona Jihoon, apa Anda tidak berpikir bahwa itu sedikit keterlaluan?"

"Ah, tahu apa kau, Seokmin." Seungcheol mengapit batang rokok dan melepaskannya dari sela bibir, ia lalu melirik Seokmin dengan gestur memanggil, "Seokmin, mana tangan?"

Seokmin mengulurkan tangannya yang sudah ia pakaikan sarung tangan super tebal. Seungcheol diam menatap tangannya.

Sedetik.

Dua detik.

Cess.

Seungcheol menancapkan ujung rokok yang masih menyala ke jidat Seokmin.

"ANJUUU JIDAT GUEEE!"

Lagi-lagi Seokmin lari ke seluruh sudut ruangan, berkelok-kelok zig-zag, bermanuver untuk menemukan air dan es untuk mengompres dahinya. Seungcheol lagi-lagi hanya ngakak dan membiarkan asistennya tersebut mengurusi lukanya sendiri.

"Seokmin, bagaimana menurutmu Jihoon yang sekarang? Dia cantik kan."

"Iya, Tuan. Nona Jihoon memang selalu cantik."

Seungcheol tersenyum, "Ya, kau akan melihat dia tumbuh jauh semakin cantik, seiring dengan kekuasaan yang dia himpun perlahan. Aku yakin Jihoonku bisa mengalahkan Kwon Soonyoung yang sudah terkenal menguasai sekolah saat ini."

.

"Aku balik!"

Jihoon masuk ke ruangan Believers sementara Mingyu dan Wonwoo yang sebelumnya sedang malas-malasan tiduran langsung duduk begitu mendengar suara Jihoon.

Jihoon senyum lihat mereka, "Kita dapat sepuluh lebih anggota baru nih. Aku bawakan kue sus dan cumi panggang juga, ayo dimakan!"

Mingyu dan Wonwoo masih diam selama beberapa detik, mereka masih menatap Jihoon setengah melongo.

Jihoon jadi bingung, "Loh, kalian kenapa? Kok diam saja?"

"Ah—!" Wonwoo memecah suasana dan tersenyum pada Jihoon, lalu melirik Mingyu, "Kami dari tadi sedang menunggumu."

Mingyu yang pertama bergerak untuk mengelus rambut Jihoon dan kemudian Wonwoo juga melakukannya.

"Selamat datang kembali, Jihoon."

Jihoon berkedip bingung, "Kalian kenapa, sih?"

"Oh iya, katanya bawa kue sus. Mintaaa!" Wonwoo merebut kantong makanan yang dibawa Jihoon dan langsung membawanya ke sofa—membukanya lebar-lebar di meja.

"Wonwoo-sunbae sabar kek bukanya!"

"Eh, si Hoshi mana?" yang ini Mingyu yang bertanya. Jihoon baru saja mencuri gigit satu kue sus sebelum menjawab pertanyaan Mingyu.

"Engga tau, katanya dia ada yang diurus sekalian pamit tadi, mungkin ga balik ke klub lagi katanya."

.

Sebenarnya Soonyoung masih berada di tempat yang sama, ia sudah melepas wig dan menanggalkan sweater yang dia pakai. Ia menyuruh Jihoon untuk kembali ke klub lebih dulu dengan dalih ada sesuatu yang perlu ia urus dan mungkin tidak akan kembali ke klub lagi hari ini.

Jihoon.

Mendadak Soonyoung jadi ragu, apakah ia bisa mendapatkan Jihoon seperti yang sudah ia yakini selama ini.

Dia menyukai Jihoon memang benar, mencintainya juga. Tapi, apa membuat Jihoon bisa mencintainya juga adalah perkara yang mudah?

Jangankan mencintai, membuat gadis itu menyukainya saja rasanya seperti nyaris tidak mungkin.

Mungkin memang benar, bahwa cinta bukan hanya sekedar bercinta dan memiliki anak. Hal itu bisa saja terjadi meskipun tidak memiliki cinta.

Soonyoung memegangi kepalanya, rasanya kepalanya mulai pening, ia teringat sesuatu yang membuatnya sesak dan merasa menyedihkan.

"Aku benci perempuan…"

kecuali kamu, Jihoon.

.

(to be continued)

.

Ps: hai, saya ngebut lagi nih ngerjain ini. Saya inget ch terakhir yg sy update itu adalah bulan oktober :' udh 4 bulan yg lalu, maaf bangeeeet saya telat bgt huhu

Pss: btw ini ngga sy kalau ada typo. Maaf juga karena masih blm sempet balas review. Duhh maaf pokoknya maaffff

Psss: krisarnya masih dibuka.. dan saya mohooooon sekali reviewnya ya. Biar aja kesannya ngemis review yang penting saya dapet suntikan semangat dari para readersnya hohoho