Mr. Pink Milk (Chapter 1)

PDA Presents

A/N: Just read, then enjoy, and for the feedback you give me some review in the return. That's fair enough, right?

.

.

.

Seungcheol meninggalkan bangkunya, menyampirkan tas di bahu kanan tanpa menghiraukan suara cenderung tinggi yang memanggil namanya untuk yang ketiga kali.

"Kau salah, Yubin. Jangan pernah memanggil pria itu ketika jam kuliah berakhir. Dia akan mendadak tuli, seperti robot yang diprogram untuk berjalan pulang."

Hyeri menepuk pundak temannya yang hanya bisa menggerutu menghentakkan kaki kesal pada lantai. Dan tatapan orang-orang yang tadinya tidak peduli akan berakhir meliputi siluetnya dengan pandangan iba.

Seungcheol berjalan, menatap lurus kedepan, menghitung, dan nyeri yang dirasakan oleh dadanya membuat ia tersenyum. Ia pergi untuk menyakiti dirinya, melihat sesuatu yang tak ingin ia lihat, dan setiap sore ia kembali ketempat yang sama untuk memastikan bahwa sakitnya tetap berada disana.

Petang menenggelamkan cahaya dan bulan menggantikan gelap menjadi semu kuning. Lampu kota menyala bergilir seiring langkahnya yang bergerak maju. Taman kota tak seramai sore, tak sepadat ketika tengah hari, dan tak sesejuk saat pagi. Malam hanya membuatnya tambah indah, namun sepi dari tawa manusia hingga kebisingan dari kendaraan yang melaju diatas tol raya berdecit nyaring memenuhi telinga.

Sudut itu diisi dengan bangku, dipayungi oleh pohon, dan disinari oleh neon merah muda. Seungcheol disana, mengisi ruang kosong disampingnya dengan ransel disisi kanan bangku. Angin malam tidak seburuk senyumnya, kesunyian tak lah sesepi kekosongan batin, dan langit gelap menampilkan pemandangan yang lebih baik dari pada hanya duduk dan menunggu. Dan Seungcheol ada disini untuk menunggu.

Dan dia datang. Dua orang baru saja tiba, meski sosok yang ia tunggu hanyalah satu. Seseorang dengan surai kecoklatan, iris yang bersemu gelap dan tubuh kurus berkulit pucat. Seseorang yang datang dengan tangan yang digenggam. Atau terkadang bahu sempit itu dirangkul oleh tangan kokoh milik seseorang yang selalu memanggilnya dengan kata sayang.

"Kita terlambat lima menit dan kita kehilangan parade lampunya."

Sosok itu mendesah kecewa, membaringkan kepalanya dibahu tegap milik seseorang yang duduk disampingnya.

"Hanya karena tak melihatnya sehari tidak akan membuatmu kehilangan seluruh mood baikmu kan, Jeonghan?" Rambutnya yang licin disemat dibelakang telinga oleh tangan berkulit tan. Seungcheol melihatnya.

Bibir Seungcheol tersenyum saat pemuda berkulit pucat itu tersenyum ditengah pejaman mata.

Batin Seungcheol menjerit disaat kening pemuda bersurai panjang itu mendapatkan kecupan dari kekasihnya.

Dan udara diparu-paru Seungcheol menipis saat suara tawa pemuda indah itu melantun senada dengan pria tinggi disampingnya.

Semua perasaan ini nyata, bersemayam, dan tiba-tiba jatuh bersamaan seperti konfeti warna-warni yang menghujani pementasan drama. Tapi yang berbeda, milik Seungcheol kelabu, bersisik tajam, dan tidak bercahaya seperti sosoknya yang diliputi sinar lampu neon di taman kota. Pergelangan kaki kanannya bertumpu pada tempurung lutut kiri, dengan kedua tangan yang menangkup tenang diatas paha. Handsfree bertandang dikedua lubang telinganya melantunkan nada-nada sunyi. Yang terdengar hanyalah kesibukan jalan raya, gulungan plastik dikerimbunan semak, dan obrolan klasik dari mulut mereka yang terbawa angin.

"Aku mencintaimu," adalah kata yang terdengar dari sosok yang pinggangnya dilingakari oleh pelukan Jeonghan. Dan "Aku juga," menjadi balasan yang terdengar wajar untuk membuat bibir keduanya kembali menyatu dalam ciuman intim yang hangat.

Seungcheol mematung dalam ketenangan. Pemandangan ini biasa, namun hatinya tetap merasa asing dengan kehadiran tangan tak kasat mata yang semakin hari semakin mengencangkan genggamannya pada hati yang sudah susut.

"Mingyu, berjanjilah kau akan menikahiku."

"Aku tidak tahu."

Jawaban itu menutup segala pintu udara yang seharusnya terbuka untuk mengaliri oksigen keseluruh tubuh Jeonghan. Urat nadi yang semestinya memompakan darah kejantungnya, dan dingin yang menerpa kulit semestinya mengirimi sensor ke otak untuk melipat jari-jarinya disekitar lengan dan menggigil. Tapi tidak.

Seungcheol melihat, mendegar, juga merasakan bila Jeonghan membutuhkan begitu banyak emosi demi bisa mengutarakan kalimat itu. Namun sang kekasih hanya membalasnya dengan ringan, tanpa tahu ribuan ton rasa sakit menghimpitnya diantara dinding sabar dan pilar kekecewaan.

"Kita harus pulang."

"Aku masih ingin disini."

"Tapi aku harus."

"Kau duluan saja."

"Kau tidak pernah membantahku, Yoon Jeonghan!."

"Apa salahnya jika hanya sekali?"

Dan argumen mereka berakhir saat sosok bernama Mingyu meninggalkan kekasihnya duduk dengan tatapan angkuh ditengah taman. Siluetnya menghilang ditelan oleh jarak yang semakin panjang, dan Jeonghan menunduk mengumpulkan sisa nyawanya yang sempat termakan oleh sesak dan kemarahan yang tidak terukur.

Melodi rendah jatuh diantara kesenyapan. Ia tidak yakin apa suaranya bisa didengar oleh yang lain selain telinganya sendiri. Namun Seungcheol tetap bersenandung ditengah kaki yang membawa langkahnya menyebrangi sisi dimana matanya kini terpaku.

"I can't believe it's over

I watched the whole thing fall

And I never saw the writing that was on the wall

If I'd only knew

The days were slipping past

That the good things never last

That you were crying."

Semakin mendekat, nyanyiannya beradu dengan sengguk pilu dari sosok yang menenggelamkan wajahnya diantara tangis. Seungcheol mendudukan tubuhnya disisa ruang kosong yang sempat diisi oleh pria berkulit gelap sebelumnya. Tangannya melayang melawan Lacrimosa yang melambatkan detik menjadi menit, mendaratkan sentuhannya diatas pundak yang gemetar, dan menariknya kesisi dimana dadanya menyiapkan bantalan untuk bersandar.

"Summer turned to winter

And the snow it turned to rain

And the rain turned into tears upon your face

I hardly recognized the boy you are today

And, God, I hope it's not too late."

Dengung pilu yang sempat redam diantara sunyi kini memecah udara malam yang berhembus tenang menuju utara. Seungcheol melanjutkan tutur indah dari bibirnya, yang dimulai dari E mayor hingga C#, merubah nada sengit yang memancing air mata menuruni pipi. Kesenyapan membawa bulan berlari ke balik bukit dan menenangkan laut yang menyisir pinggiran pantai. Jeonghan tidak tahu apa yang terjadi dan mengapa malam terasa begitu menyiksa disaat ada orang lain yang datang untuk memeluknya.

"Cause you are not alone

I'm always there with you

And we'll get lost together

'Til the light comes pouring through

'Cause when you feel like you're done

And the darkness has won

Babe, you're not lost."

Seungcheol mematut pandangannya keatas lanskap gelap yang bertabur manik-manik emas disetiap sentinya. Ia tidak sedang memikirkan apa yang harus ia lakukan, namun nalurinya menuntun agar rangkulan yang ia berikan pada sosok itu bisa dipererat lagi. Ia merasakan kelemahan yang dimiliki sosok itu memanggilnya untuk mendekat. Hingga mereka berakhir disini, diantara kata asing yang menjelaskan hubungan diantara keduanya, disela degup jantung yang membuat kebas seluruh indera, dan menyudutkan pilu dengan pelukan satu sama lain.

"Kau siapa?"

"Aku adalah orang yang selama ini tidak bisa melakukan apapun untukmu selain menunggu."

"Kenapa kau memelukku?"

"Karena aku menginginkannya."

Dan Jeonghan tetap tak bergerak meski ia telah mendengar alasan paling konyol dari bibir orang asing yang masih tetap merangkulnya. Sosok itu mentransfer kehangatan berbeda dari yang pernah ia rasakan, entah siapapun yang pernah meminjamkannya pundak untuk bersandar seperti ini.

"Aku hanya ingin dia menemui ayahku, dan mengatakan bahwa cinta diantara 2 pria juga berhak diberkati didepan altar."

Seungcheol tidak membalasnya dengan kata-kata untuk ucapan yang satu ini. Tapi hatinya mengukir janji kalau dia mau. Ia akan melakukan itu jika kondisinya berbalik, Mingyu menjadi si pencundang dan dirinya adalah kekasih seorang Jeonghan. Tapi semua terlihat semu saat bibirnya lebih memilih untuk tetap bungkam disela nyeri yang meliputi batinnya.

"Aku lelah, setiap kali aku mengatakannya dia akan pergi lalu kembali lagi bahkan sebelum hatiku bisa memberinya maaf. Siapa yang bodoh? Mingyu bilang dia mencintaiku dan aku bersumpah jika aku juga mencintainya, sepertinya. Tapi keadaan seperti tidak bisa mempertemukan kami pada kata 'selamanya'. Aku ingin menyerah... Cinta yang seperti ini hanya akan menggerogoti usiaku namun tidak meninggalkannya makna ketika aku mati. Aku tidak bisa terus bersama Mingyu... Aku tidak mau terus berada diambang cinta abu-abu yang tak pernah menampilkan ketulusan yang selama ini aku cari."

Seungcheol tidak tahu, apa hari ini adalah kesempatan terakhir, ataukah sebuah awal, atau bukanlah sesuatu yang ia tunggu selama ini. Tapi yang ia ingingkan adalah menyingkirkan rasa sakit ini dari dadanya, menyingkap air mata dari pipi Jeonghan yang bagai merajam jantungnya dengan belati.

Untuk pertama kalinya, tatapan mereka akhirnya bertemu disatu garis tak kasat mata yang memberi jarak beberapa senti diantara keduanya. Dan ibu jari itu menyeka titik embun yang mengalir diwajah rupawan milik seseorang yang menghentikan nafas Seungcheol.

"When your world's crashing down

And you can't bear the thought

I said, babe, you're not lost."

Seungcheol tidak melantunkannya diantara nada-nada rumit, tidak sedang bersenandung, tidak juga hanya sekedar mendengung. Tapi bibirnya berucap, mengatakannya bersama tone terendah yang ia milikki, sehalus udara yang menepis pipi Jeonghan dan meremangkan seluruh roma yang tumbuh dikulitnya.

Jeonghan kehilangan apapun yang sempat ia anggap berharga dalam ingatannya, tegantikan oleh bayangan sesosok pria bermata besar namun beraksen tajam, dagu runcing dengan pahatan rahang yang sempurna dan surai hitam yang kontras dengan kulit putihnya. Ia tidak tahu apakah pria ini memiliki nama diantara kata "dewa" yang bisa ia tahtakan kepada sosok ini. Tuhan menurunkan satu lagi malaikatnya ke bumi, mempertemukannya dengan Jeonghan diantara ribuan manusia beruntung lain yang bisa saja mendapatkan kesempatan yang sama.

"Pulanglah. Malam tidak setenang apa yang terlihat."

Seungcheol berdiri, melepas jaket yang melekat ditubuhnya dan membalutkannya ketubuh ringkih Jeonghan dengan rajutan wol tipis berwarna gelap itu.

Sesuatu dari dalam tasnya pun Seungcheol keluarkan, meletakkannya diatas pangkuan Jeonghan.

Sekotak susu, ukurannya 200ml.

"Itu susu pink, kesukaanku. Kau bisa mengambilnya untuk menemanimu disepanjang perjalanan pulang. Selamat malam."

Dan siluet Seungcheol pun kini menghilang dikejauhan. Jeonghan tahu air matanya belum sepenuhnya menyusut. Tapi ia mengerti kesedihan itu telah tergantikan oleh debaran asing dan perasaan hangat yang tak bisa ia jelaskan dalam logika. Sosok itu, bagaimana dia memanggilnya? Malaikat? Pangeran? Atau Dewa?

Jeonghan menyeka cepat air matanya dan terkikik pelan, menimang-nimang sekotak susu strawberry yang kini berada ditangannya. Susu pink? Kenapa pria itu tidak menyebutnya dengan sebutan yang wajar?

"Terima kasih, Mr. Pink Milk."

Dan jacket wol itu kembali menguarkan aroma pemiliknya ketika Jeonghan berdiri meninggalkan taman itu dengan bayangan sesosok pria asing yang bertahan didalam pikiran dan benaknya.

.

.

.

End of Chapter 1