Soonyoung memandangi Minghao yang terlihat gugup. Tidak berniat mengajak pemuda China itu untuk bicara dan hanya memandangi wajahnya yang selalu mengingatkan Soonyoung pada Myungho. Hanya saja mereka berbeda dalam segi umur. Perbedaan umurnya dengan Minghao terpaut 2 tahun. Pemuda China di depannya ini terbilang sangat pintar sehingga bisa lulus mendahului teman-temannya. Ia bahkan bisa menjawab dengan mudah soal-soal akuntansi yang diberikan Soonyoung.

"Kau pintar juga ternyata." puji Soonyoung sambil meneliti pekerjaan Minghao.

Minghao mendongak dan menatap Soonyoung yang tersenyum. Senyum manis yang membuat Minghao salah tingkah melihatnya. Pemuda China itu menundukkan wajahnya. Menyembunyikan wajahnya yang sudah memerah karena malu. Padahal Soonyoung tidak menggoda Minghao sama sekali. Hanya melempar senyum yang membuat jantung Minghao berdetak dengan super cepat hingga membuatnya sedikit sulit bernafas.

"Kau tinggal di mana sebelum tinggal di sini?" tanya Soonyoung sambil menopang dagunya dengan dua telapak tangannya yang ditangkupkan.

"D-di apartemen dekat kampus."

Soonyoung terlihat menghapal daerah tempat Minghao tinggal lalu mengangguk sendiri. Minghao tinggal di kediaman Choi sejak bertemu dengan Soonyoung dan orang tua Myungho. Pasangan suami istri Choi sudah menganggapnya anak sendiri dan memperlakukannya dengan sangat baik. Bahkan ikut membantu biaya hidup orang tuanya yang serba kekurangan di Anshan sana. Memenuhi segala keperluan keluarganya dan mereka berterima kasih pada suami istri itu karena sudah membantu kehidupan mereka dan juga merawat Minghao.

Jisoo Eomma balas berterima kasih karena mereka tetap mengizinkan Minghao melanjutkan studinya di Korea. Minghao bahkan sudah menganggap wanita malaikat itu seperti ibunya sendiri. Tanpa malu lagi untuk bermanja pada Seungcheol Appa dan Jisoo Eomma lagi. Soonyoung berharap Minghao juga terbuka padanya.

"Tadi Eomma bilang kalau kau lumayan manja pada mereka."

"B-benarkah? A-apa mereka merasa risih?" tanya Minghao khawatir.

"Tidak juga. Mereka malah senang dengan tingkahmu yang memang mirip sekali dengan Myungho."

.

.

Pagi-pagi sekali Soonyoung sudah stand by di depan rumah keluarga Choi. Sudah rapi dengan kaos lengan pendek dan celana jeans. Tidak lupa dengan topi yang di balik ke belakang. Minghao yang baru keluar dari rumah memandang Soonyoung dengan bingung. Sedangkan Soonyoung hanya mengumbar senyum khasnya hingga matanya menyipit dan membentuk jam 10.10.

"K-kenapa kau ada di sini, Soonyoung-ssi?" tanya Minghao sambil membuka pagar.

"Menjemputmu, tentunya." jawab Soonyoung.

"A-ah.. Kukira ingin mengunjungi Appa dan Eomma."

Minghao menyebut kedua orang tau angkatnya dengan Appa dan Eomma serta memanggil orang tua kandungnya Mama dan Papa. Lalu memanggil orang tua Soonyoung Daddy dan Mommy atas permintaan Soonyoung.

"Kau ada kuliah pagi kan? Ayo kuantar. Kudengar dosen Pengantar Akuntansimu lumayan killer."

"Tahu darimana?"

"Instingku sangat kuat Cho - ah, Xu Minghao." Soonyoung mengulas senyum palsu.

Tapi Minghao jelas tahu jika itu hanya kedok yang digunakan Soonyoung untuk menyembunyikan kesedihannya saat teringat pada kekasihnya yang sudah berpulang. Tapi Minghao hanya tersenyum simpul seperti yang dilakukan Myungho - ia melakukannya setelah mendengar cerita Jisoo Eomma yang kelewat panjang hingga tanpa sadar membuatnya tertidur.

"Kau boleh memanggilku dengan nama Myungho hyung, walaupun sebenarnya kami orang yang berbeda."

"Tapi namamu.."

"Di rumah Appa dan Eomma memanggilku Myungho sedangkan teman-temanku memanggil dengan nama asliku." Minghao tersenyum. "Aku tidak keberatan sama sekali jika dipanggil Myungho. Lagipula pelafalan nama kami hampir sama."

"Baiklah. Choi Myungho." Soonyoung tersenyum makin lebar.

.

.

"Minghao ada?" tanya Soonyoung pada salah satu mahasiswa yang terakhir keluar dari kelas.

"Eh.. Dia sudah keluar sejak tadi, sunbae." jelas gadis berkacamata itu sambil membenahi letak kacamatanya yang miring. "Tadi Jun sunbae menungguinya sampai kelas selesai."

"Jun? Wen Junhui?"

Gadis itu mengangguk dan Soonyoung segera berlari meninggalkan gadis itu setelah mengucapkan terima kasih. Soknyoung hanya perlu mencari Minghao lagi. Selama ini ia selalu kalah cepat dengan Junhui dalam hal menjemput Minghao. Pemuda China yang seangkatan dengannya itu selalu saja bisa membawa Minghao pergi saat Soonyoung hendak menjemput Minghao.

Saat melewati cafetaria yang ramai, Soonyoung mendapati sosok Minghao sedang duduk berdua dengan Junhui. Mereka berdua tampak akrab. Apalagi melihat Minghao yang tertawa dengan lepas saat bersama Junhui membuat Soonyoung merasa tersaingi.

.

.

Soonyoung menunggu di depan kelas Minghao. Jika jam siang seperti ini Soonyoung sedikit leluasa karena tugas-tugas yang memberatkannya sudah terlewati - di saat yang tidak tepat. Tapi sedikit bersyukur sehingga ia bisa menunggu Minghao dan mengajaknya pulang bersama.

Pemuda biru itu mengotak-atik ponselnya sebentar lalu menatap wallpapernya lama. Fotonya dengan Minghao sebulan yang lalu. Yah, Minghao sudah tinggal di rumah keluarga Choi selama tiga bulan yang membuatnya terbiasa dipanggil dengan nama Myungho.

"Soonyoung? Kau sedang menunggu siapa?"

Soonyoung mengangkat wajahnya dengan malas. Di depannya berdiri seorang pemuda tinggi menjulang. Wen Junhui. Pemuda biru itu mengendikkan bahunya. Malas menjawab pertanyaan Junhui. Ia menyibukkan dirinya dengan mengirimi Minghao banyak pesan lewat Ktalk.

(Hoshi Kim) Minghao~ kelasmu masih lama?

(Hoshi Kim) Aku menunggumu di depan kelasmu

(Hoshi Kim) Tadi Seungcheol Appa menyuruhku menunggumu sampai pulang

(Hoshi Kim) Jadi, jangan pulang dengan orang lain selain aku.

(Hoshi Kim) Semangat dengan mata kuliahmu! ^^

.

.

Minghao membuka ponselnya yang terus bergetar. Lalu tersenyum saat membaca pesan Soonyoung yang bisa dibacanya di notificationnya. Ia membalas pesan-pesan Soonyoung dengan satu balasan singkat nan panjang kemudian kembali fokus dengan mata kuliah bisnis yang sedang diterangkan dosen di depan sana. Walaupun dosen itu menjelaskannya dengan power point yang membuatnya mengantuk.

Ponselnya bergetar lagi. Minghao diam-diam mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Ada dua pesan. Dari Soonyoung dan Jun. Tapi Minghao membuka pesan yang dikirim dari Soonyoung terlebih dahulu dan tersenyum.

Pluk!

Sebuah spidol melayang dan tepat mengenai kepala Minghao. Pemuda China itu mengangkat wajahnya dan mendapatkan senyum menyeramkan dari dosen bisnisnya.

"Minghao-ssi.. Jika kau sibuk dengan ponselmu kau bisa keluar dari kelasku."

"Joseuphamnida.."

Minghao membungkukkan tubuhnya berulang kali dan si dosen menerangkan pelajaran lagi. Pemuda itu tidak sengaja menoleh ke arah jendela dan melihat Soonyoung yang tersenyum sambil menyemangatinya tanpa suara. Minghao balas tersenyum dan kembali memperhatikan apa yang sedang diterangkan dosennya.

.

.

"Bagaimana kelasmu hari ini, Sayang?" Jisoo Eomma sudah menanti Minghao di ruang tamu seperti biasanya.

Minghao memeluk Jisoo Eomma dan menyamankan dirinya di pelukan Jisoo Eomma yang selalu nyaman. Jisoo Eomma terkekeh dan membelai rambut pirang Minghao yang lembut. Mengecupinya dengan sayang dan menepuk-nepuk lengannya.

"Sangat baik, Eomma." Minghao tersenyum dan menatap ibu angkatnya yang terkekeh dengan cantiknya.

"Apa kau pulang bersama Soonyoung?"

"Ya. Soonyoung hyung bilang kalau Appa menyuruh kami pulang bersama."

"Benarkah?"

Minghao mengangguk dan memeluk Jisoo Eomma dengan erat. Wanita itu terkekeh lagi dan mencium pipinya dengan sayang. Saat itu Seungcheol Appa datang dan tersenyum melihat istrinya dan Minghao sedang bersama di ruang tamu.

"Kalian tidak mengajak Appa hmm?"

Minghao dan Jisoo Eomma tertawa saat Seungcheol Appa mencoba untuk memisahkan pelukan mereka. Lalu pria itu memilih duduk di samping Minghao dan memeluk tubuh kedua orang tersayangnya dengan erat. Mencium pipi Minghao dan mengecup kepala istrinya.

.

.

"Anak mommy datang lagi?" kata Mommy Jeon sambil menyambut Minghao dengan pelukan.

"Soonyoung hyung bilang kalau Mommy Jeon yang cantik merindukanku." Minghao tersenyum dengan manisnya.

Mommy Jeon tergelak dan mengajak Minghao ke ruang keluarga. Di sana ada Daddy Kim dan Soonyoung yang sedang asyik bermain Play Station. Terlalu seru bermain sampai-sampai mereka tidak sadar kalau Mommy Jeon dan Minghao sudah duduk di antara mereka.

"Daddy! Jangan menghalangi jalanku!" pekik Soonyoung sambil memencet konsolnya dengan semangat.

"Bocah Nakal! Kau harus mengalah pada Daddy!"

"Aku anakmu Tuan Kim Jelek! Kau yang mengalah padaku!"

"No! No!"

Mommy Jeon dan Minghao memutar mata dengan malas. Lalu dengan santainya Mommy Jeon berdiri dan mencabut kabel TV.

"Ya! Kenapa kau matikan?!" teriak Soonyoung dan Daddy Kim dengan kompak.

"Kalian membentakku?"

Tamatlah riwayat ayah dan anak itu. Minghao terkekeh.

.

.

"Sayang.. Kau tega seperti ini pada suamimu yang tampan ini?"

"Mommy.. Kenapa pilih kasih sekali?"

Mommy Jeon melipat lengan di depan dada dan Minghao tidak bisa menahan tawanya saat ayah anak itu tidak berkutik pada Nyonya Besar. Bahkan Daddy Kim yang terkenal tegas bertekuk lutut di depan istri cantiknya. Baik Soonyoung maupun Daddy Kim hanya bisa pasrah. Mereka memakan bubur yang diberikan Mommy Jeon khusus untuk mereka.

Sedangkan Minghao dan Mommy Jeon asyik bercengkrama sambil menyantap ayam panggang yang terlihat begitu menggiurkan di mata Daddy Kim dan Soonyoung.

"Soonyoung.." bisik Daddy Kim pelan.

"Hmm.." balas Soonyoung pura-pura menikmati buburnya.

"Daddy punya ide brilian.." Daddy Kim menyeringai sambil mendekati istrinya yang terlalu sibuk dengan dunianya.

Soonyoung tertawa dalam hati. Mommynya tidak akan selamat malam ini. Samar-samar Soonyoung mendengar apa yang dibisikkan Daddy Kim pada Mommy Jeonnya.

"Sayang.. Kurasa kau butuh hukuman malam ini.."

Mommy Jeon seketika itu tersedak.

.

.

Soonyoung sedang di kamarnya tapi bisa mendengar suara Mommy Jeonnya yang sedang 'dihukum' oleh Daddy Kim. Pemuda biru itu menggelengkan kepalanya sambil terkekeh. Saat sedang asyik mengerjakan soal kalkulus tiba-tiba ponselnya bergetar. Satu pesan masuk. Dari Junhui.

(Junhui Wen) Bisa kita bicara?

Soonyoung mengerutkan keningnya bingung. Tapi ia bangkit dari duduknya, meninggalkan soal-soal kalkulus yang menanti untuk dikerjakan. Pemuda biru itu lebih memilih untuk menemui Junhui. Saat meraih jaketnya, satu pesan kembali masuk. Dari pengirim yang sama.

(Junhui Wen) Di cafe dekat kampus

(Junhui Wen) Aku menunggumu di sana

.

.

Soonyoung menatap Junhui dengan malas. Sedangkan Junhui masih belum puas dengan jawaban yang diberikan Soonyoung padanya. Pemuda China itu terus menatap Soonyoung yang memalingkan wajahnya. Menghindari kontak mata dengan Junhui yang menyebalkan bagi pemuda biru itu.

"Aku mohon Kim Soonyoung. Jauhi Minghao." kata Junhui untuk kesekian kalinya.

Pemuda biru itu berdecih dan melipat lengannya. Muak dengan ucapan Junhui yang selalu sama sejak 30 menit yang lalu.

"Orang tuanya tidak akan mengizinkan Minghao tinggal di Korea lebih lama, Soonyoung. Lagipula ia sudah memiliki seseorang di sana."

"Aku tidak peduli, Wen Junhui! Aku menyukainya!"

"Kau hanya menyukainya, Soonyoung."

"Brengsek! Apa urusanmu?!"

Junhui menghela napasnya. Menunjukkan cincin yang tersemat di jari manisnya.

"Aku dan Minghao sudah terikat." jeda sebelum pemuda Shenzhen itu melanjutkannya. "Aku memohon padamu agar kau menjauhi tunanganku, Kim Soonyoung."

Soonyoung merasa dunianya runtuh dan neraka lebih baik untuknya sekarang.

.

.

"Ada apa, Soonyoung?" itu Daddynya.

Kebetulan keluarga Kim sedang makan bersama dengan keluarga Choi. Bukan di resto mahal. Mereka hanya menikmati makan bersama di halaman belakang rumah Soonyoung. Dan di antara yang lainnya, hanya Soonyoung yang terlihat tidak bersemangat. Biasanya ia akan melemparkan lelucon-lelucon lucu yang mengundang gelak tawa. Menggoda Mommynya hingga Mommy cantiknya akan memekik dan mengejarnya dengan spatula di tangannya. Hanya saja Soonyoung tidak tertarik lagi untuk melakukan hal semacam itu.

"Ada apa dengan Soonyoung, anak Appa ini hmm?" Seungcheol Appa merangkul Soonyoung yang memainkan sendok di tangannya dengan malas.

"Anak Eomma sakit?" Jisoo Eomma seketika khawatir.

"Kemana anak Mommy yang jahil itu?" kini Mommy Jeon yang bicara.

Soonyoung masih diam. Tidak peduli dengan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan untuknya itu.

"Hyung? Kau baik-baik saja?"

Entah mengapa saat mendengar suara Minghao suasana hati Soonyoung bertambah buruk. Pemuda biru itu beranjak dari tempatnya. Meninggalkan keluarga Choi dan keluarga Kim yang kebingungan. Apalagi Minghao.

.

.

Minghao berdiri di depan pintu rumah keluarga Choi - yang menjadi rumahnya juga untuk sementara - sambil memandangi jalanan yang sepi. Tidak ada tanda-tanda bahwa akan lewat Soonyoung dengan sepeda tua kesayangannya.

Ini sudah lebih dari seminggu dan Soonyoung tidak pernah lagi datang ke rumahnya ataupun mengiriminya pesan. Tidak pernah juga menungguinya di depan kelas dengan kepala terangguk ke depan, ke kanan, ke kiri, dan ke belakang karena mengantuk. Bahkan tidak pernah menyapanya lagi saat mereka tidak sengaja berpapasan di jalan. Minghao merasa ada yang aneh tapi tidak berani menanyakannya pada Soonyoung.

"Xu Minghao."

Minghao mendongak. Soonyoung ada di depan pagar rumah. Tidak ada sepeda tua kesayangan pemuda biru itu. Minghao seketika gelagapan karena salah tingkah.

"A-ah.. Kau datang, hyung?" tanya Minghao sambil memainkan jarinya di belakang tubuhnya.

Soonyoung hanya menggumam saat membuka pintu gerbang.

"Aku mau mengambil sesuatu."

"Sesuatu?"

Soonyoung mengangguk. "Dari Myungho."

Minghao hanya mengangguk saat Soonyoung masuk ke dalam rumah. Mengikuti langkah pemuda biru itu ke kamarnya. Kamar yang dulunya adalah kamar Myungho. Soonyoung meraih kotak usang di bawah tempat tidur. Minghao memang tidak pernah menyentuh barang-barang pribadi Myungho. Takut kalau arwah Myungho tidak tenang jika ia menyentuhnya. Ia tersugesti oleh cerita Junhui.

Soonyoung menghapus debu tebal itu dengan sekali usap. Meniupnya beberapa kali lalu berdiri dan membawa kotak itu.

"Terima kasih. Aku pulang dulu."

.

.

Mata Soonyoung tertuju pada album yang ada di tangannya. Ia baru saja mengambil 'sesuatu' yang disiapkan oleh Myungho sebelum pergi. Sama sekali belum membukanya. Hanya memandangi kotak-kotak lainnya yang tergeletak di kasurnya. Ada untuk Mommy dan Daddy-nya serta untuk Appa dan Eomma-nya. Semua itu dari Myungho. Miliknya yang terbesar.

Daddy Kim masuk ke dalam kamarnya tanpa permisi dan merangkul pundaknya. Menepuk-nepuk pundak Soonyoung yang lemas.

"Kadang hidup itu tidak indah." kata Daddy Kim sambil menatap putranya yang masih tertunduk.

Samar-samar bisa mendengar gumaman setuju dari Soonyoung. Daddy Kim meraih sebuah kotak yang bertuliskan namanya. 'Untuk Daddy Kim MinGyu yang tampan'.

"Itu pemberian Myungho yang terakhir. Aku baru saja mengambilnya." kata Soonyoung.

"Benarkah? Daddy rasa Daddy harus membawa dan memberikan yang lainnya untuk para penerima yang seharusnya." kata Daddy Kim sambil membawa milik istrinya dan milik orang tua Myungho.

.

.

Tidak terasa dua minggu sudah berjalan. Hubungan Soonyoung dan Minghao semakin jauh. Pemuda biru itu sudah tidak pernah lagi datang ke rumah lagi sejak mengambil sesuatu dari kamar Minghao sekarang. Pesan yang dikirimnya pun tidak pernah dibalas. Bahkan dibaca saja tidak. Minghao hanya bisa gigit jari jika sudah seperti ini.

Kejarangan Soonyoung bertamu membuat kedua orang tuanya bertanya-tanya pada Minghao yang hanya bisa mengelak dengan alasan kalau Soonyoung sedang banyak tugas dan tidak bisa sering keluar untuk sekedar jalan-jalan. Jelas bohong besar karena Minghao sendiri tidak tahu dengan keadaan Soonyoung. Mommy Jeon dan Daddy Kim juga tidak banyak memberitahunya. Mereka hanya mengatakan kalau Soonyoung sedang tidak bisa diganggu bahkan oleh orang tua pemuda itu sendiri.

"Kau menungguku Minghao-er?"

Minghao mengangkat wajahnya dan ia bisa melihat wajah tampan Junhui ada di depan matanya. Junhui tersenyum, tangan pemuda Shenzhen itu terulur padanya. Dengan senang hati Minghao meraih tangan Junhui dan berdiri. Junhui tersenyum dan membimbing Minghao masuk ke dalam rumah.

"Kau sedang apa di luar?" Junhui kembali melontarkan pertanyaan pada Minghao.

"Oh, aku hanya sedang ingin duduk-duduk di depan saja. Mencari suasana baru." jawab Minghao sekenanya.

"Pasti tugas ekonomimu menumpuk." pemuda Shenzhen itu terkekeh. "Kurasa kau butuh refreshing Minghao-er."

.

.

"Apa kau ada masalah, Minghao-er?"

Minghao menggeleng dan memainkan ponselnya. Itu pemberian Soonyoung sebenarnya. Junhui juga memberikan barang yang sama hanya saja ia mengirimkan pemberian Junhui ke China untuk dipakai saudara sepupunya yang sudah lama ingin smartphone apel tergigit itu. Beruntung saja Junhui tidak curiga.

"Kau kelihatan tidak bersemangat akhir-akhir ini. Apa tugas kuliahmu makin banyak?" Junhui menyesap Italian Punch Squash pesanannya.

"Kuliahku lancar, ge. Aku hanya merindukan-" -Soonyoung hyung. "-rumah. Mama dan Papa." jawab Minghao sambil tersenyum tipis.

"Ayo pulang ke China."

Minghao menatap Junhui yang tersenyum dengan tampannya. Dulu Minghao sering memerah sendiri saat Junhui tersenyum seperti sekarang. Tapi tidak ada lagi rasa berdebar-debar seperti awal mereka saling mengenal. Tidak ada ribuan kupu-kupu yang menggelitik perutnya. Tidak ada lagi yang istimewa. Rasanya hubungan mereka semakin hambar saja. Sejak Minghao bertemu dengan Soonyoung.

"Belum waktunya liburan semester, ge. Kalau nilaiku turun beasiswaku bisa dicabut." kata Minghao menggunakan 1001 cara andalannya.

"Aku bisa menanggung biaya kuliahmu sampai selesai, Minghao-er." Dan Wen Junhui selalu bisa mematahkan 1001 cara yang dipakai Minghao.

Minghao menggeleng dan kembali berkutat dengan ponselnya. Pura-pura menyibukkan diri dengan game yang kemarin baru saja diunduhnya. Padahal sebenarnya Minghao sedang menunggu pesan dari Soonyoung yang tidak pernah mampir lagi di notification barnya. Tapi tak lama kemudian Minghao mendongak saat mendengar suara Soonyoung di belakangnya.

.

.

"Naega Hoshi. Naega Hoshi. Naega Hosh."

Kepala Minghao menoleh ke belakang dengan cepat. Di belakangnya tepat memang ada Soonyoung. Soonyoung dengan seragam pegawai cafe yang sedang disinggahinya. Rambut birunya tertutupi dengan topi. Dan Soonyoung sedang bercanda dengan seorang gadis kecil yang wajahnya sembab namun tertawa senang sambil bertepuk tangan melihat Soonyoung yang bertingkah konyol. Soonyoung menyodorkan lollipop pada gadis kecil itu dan mendapatkan ciuman di pipinya.

"Jangan menangis lagi adik kecil! Nanti kakak Hoshi tidak bisa melihat senyumanmu yang manis!" kata Soonyoung sambil tersenyum lebar dan menjawil pipi gadis kecil itu.

"Nama kakak Hoshi?" Soonyoung mengangguk sebagai jawaban.

"Sering sering ke sini ya, Adik Kecil. Nanti kakak akan memberikan banyak permen untukmu!"

Ibu gadis itu tertawa dan menggandeng putrinya yang melambaikan tangan dengan antusias pada Soonyoung untuk keluar dari cafe.

"Soonyoung hyung."

Senyum secerah matahari Soonyoung menghilang.

.

.

Minghao tidak peduli berapa lama ia menunggu di belakang cafe demi bertemu dengan Soonyoung. Tadinya ia memang pulang diantar oleh Junhui, namun kembali ke cafe setelah Junhui menghilang di balik pagar. Sepeda tua Soonyoung bersandar di dinding dan Minghao sangat yakin kalau Soonyoung masih belum pulang. Beberapa pegawai melewatinya dengan acuh. Minghao merapatkan jaketnya karena suhu mulai turun.

"Kenapa kau ada di sini?"

Minghao menoleh dan mendapati Soonyoung yang berwajah datar menatapnya. Entahlah, rasanya Minghao merasakan ada puluhan jarum es menembus jantungnya. Dingin dan sakit disaat bersamaan. Tapi Minghao hanya melemparkan senyum tipis dan Soonyoung bisa melihat kalau bibir Minghao bergetar karena kedinginan.

"Pakai."

Soonyoung menyampirkan mantel tebalnya di bahu Minghao sedangkan yang lebih muda mendongak. Soonyoung berlalu begitu saja dan Minghao tidak bisa menahan air matanya untuk turun dari pelupuk matanya. Minghao merasa kalau Soonyoung seolah tidak mengenalnya. Tidak bersikap seperti biasa saat mereka masih dekat satu sama lain. Tanpa sadar Minghao terisak hingga Soonyoung berhenti berjalan dan kembali pada Minghao. Memeluk tubuh kurus Minghao dengan erat.

"Kenapa?" tanya Minghao serak.

"Maafkan aku." Pelukan Soonyoung semakin erat dan Minghao balas memeluk Soonyoung dengan erat.

"Jangan seperti ini lagi." isakan Minghao terdengar makin menyayat hati Soonyoung. "Aku kesepian hyung. Tolong jangan bersikap seolah kau tidak mengenalku seperti ini."

"Masih ada Junhui, Minghao. Dia selalu menemanimu."

Minghao menggeleng kuat dan memeluk Soonyoung semakin erat.

"Aku tetap kesepian, hyung."

.

.

Soonyoung memandangi wajah sembab Minghao yang sedang pulas di sampingnya. Jarinya menghapus jejak air mata yang masih ada di pelupuk mata pemuda itu. Malam ini ia menginap di rumah keluarga Choi karena tadi Minghao menangis sambil memeluknya dan tertidur saat memeluknya. Jadi, Soonyoung menggendong tubuh Minghao yang semakin ringan dalam gendongannya hingga ke rumah. Tapi menahan Soonyoung yang akan pulang saat sudah berada di kasur dan hasilnya Soonyoung tidur satu ranjang dengan Minghao.

Moment seperti itu mengingatkan Soonyoung saat ia tidur bersama dengan Myungho dulu. Biasanya Myungho dan Soonyoung akan bergantian menginap. Bahkan mereka melakukannya sebelum Myungho jatuh sakit. Soonyoung memeluk Minghao lembut. Merapatkan selimut yang mereka pakai.

"Kau tahu?" Soonyoung berbicara sambil memandang Minghao yang pulas dan mengelus pipi tirus itu. "Bukan keinginanku untuk seperti ini. Tapi kurasa aku tidak pantas untukmu kalau nyatanya kau sudah terikat dengan Junhui. Jujur saja aku terpukul dan cemburu."

Soonyoung terkekeh miris dan mencium pipi Minghao pelan.

"Mungkin aku tidak akan pernah mengenalkan keluarga kecilku denganmu pada Myungho. Myungho memintaku hidup bahagia dan mungkin kebahagiaanku bukan denganmu. Aku akan mencari kebahagiaanku sendiri dan tidak akan mengusik kebahagiaanmu dan Junhui. Kuharap kau juga bahagia, Minghao."

.

.

{4 tahun kemudian}

Soonyoung tersenyum. Melihat Minghao yang tersenyum bahagia ke arahnya. Pemuda Anshan itu menunduk malu-malu saat Soonyoung tersenyum lebar ke arahnya dan Soonyoung terkekeh melihatnya. Soonyoung berdecak kagum melihat Minghao yang terlihat manis dengan tuxedo putih bersih yang dipakainya untuk pernikahan. Minghao memakai pearcing pemberiannya dua tahun yang lalu. Pearcing special yang dibeli Soonyoung dengan uang hasil keringatnya sendiri.

Daddy Kim menepuk pundak Soonyoung hingga pemuda itu menatap ayahnya yang terlihat gagah dalam balutan setelan jas hitam mewah. Mommynya sedang sibuk memeluk dan menciumi pipi Minghao bersama Jisoo Eomma. Kedua wanita itu memakai dress yang serupa dengan warna yang berbeda. Pemberian Myungho. Seungcheol Appa memandang istri dan istri sahabatnya dengan senyum maklum dan menggelengkan kepalanya pelan.

"Kau baik-baik saja, Soonyoung?" tanya Seungcheol Appa sambil menatapnya.

"Sangat baik, Appa."

"Daddy kira kau akan menangis tersedu-sedu." sahut Daddy Kim usil.

"Ini hari kebahagian, Dad. Mana mungkin aku menangis tersedu-sedu di hari spesial ini."

Ketiganya tertawa. Saat itulah Junhui mendekat dan menyalami mereka. Soonyoung menyambut Junhui dengan hangat. Menyalaminya bahkan memeluk pemuda Shenzhen itu.

"Terima kasih sudah datang di pernikahan kami."

"Mana mungkin aku tidak datang? Ah.. Kami maksudku."

.

.

"MingMing-ah.. Aku datang dengan kebahagiaanku. Keluarga kecilku." Soonyoung tersenyum sambil menatap nisan Myungho lalu beralih menatap seseorang di sebelahnya.

Pemuda di sebelahnya tersenyum dan memeluk Soonyoung. Di antara mereka ada seorang bocah 2 tahun yang menatap nisan dengan mata bulatnya yang lucu. Tangan Soonyoung menggandeng bocah lelaki itu dengan sayang sedangkan si bocah memeluk kaki Soonyoung dengan erat. Soonyoung dan seseorang di sebelahnya terkekeh.

"Uri Dino takut hmm..?" tanya 'seseorang' itu sambil menggendong si bocah yang menyembunyikan wajahnya di dadanya.

"Tidak! Dino tidak takut!" ucap bocah itu dengan suara lantang namun menyembunyikan wajahnya.

Orang itu tersenyum.

"Kami akan menunggu di mobil."

Soonyoung mengangguk dan membiarkan 'seseorang' itu meninggalkannya seorang diri di depan makan Myungho. Bocah digendongan orang itu menatap Soonyoung lalu melambaikan tangan mungilnya ke arah Soonyoung yang hanya tersenyum. Pemuda itu tidak lagi berambut biru. Rambutnya menjadi hitam pekat. Seperti dulu lagi.

"Dunia terus berputar." ucap Soonyoung sambil meletakkan buket mawar di nisan Myungho yang bersih. "Kadang ada saatnya aku di atas dan ada saatnya aku ada di bawah. Aku bisa melaluinya. Ah, aku belum mengenalkan mereka padamu. Pemuda tinggi itu Lee Seokmin, Myungho. Suamiku."

Soonyoung terkekeh. "Kau pasti tidak percaya kalau sekarang aku menjadi Putri Tidur dan dia yang menjadi Pangeran Mimpiku. Dan anak kami, Lee Chan. Kami memanggilnya Dino. Walaupun anak adopsi kami tetap menyayanginya seperti anak kandung kami sendiri. Aku hidup bahagia dengan mereka. Ini tahun kedua pernikahan kami dan sayang sekali bertepatan dengan tanggal kematianmu. Tapi aku harap kau tidak keberatan."

"Oh ya. Minghao menikah dengan Junhui seminggu yang lalu. Dulu kupikir aku akan menikah dengannya tapi rupanya aku mendapatkan pengganti yang lebih baik. Seokmin pemuda yang baik dan ramah. Orang tuamu juga menganggap Seokmin anak mereka sendiri sejak menikah denganku. Mereka seolah jatuh cinta pada pandangan pertama saat bertemu Seokmin pertama kali dulu. Dia memang berbakat mengambil hati orang. Aku juga tentunya. Walaupun sebenarnya dia lebih muda setahun dariku."

"Kunjunganku sampai di sini dulu. Kami harus merayakan pernikahan orang tua kita hari ini. Pernikahan mereka bersamaan kau ingat? Kau menitipkan sesuatu untuk orang tuamu dan orang tuaku? Haha.. Aku pulang dulu, MingMing-ah. Sampai jumpa."

Soonyoung tersenyum lembut dan meninggalkan makam Myungho. Di dalam mobil yang terparkir di pinggil jalan Soonyoung bisa melihat Seokmin dan Dino yang bercengkrama dalam gelak tawa. Dalam hati ia bersyukur. Soonyoung menatap langit sore yang indah.

'Myungho, kau akan bahagia jika melihat aku bahagia kan? Sekarang aku sudah bahagia.'

.

.

END

Hmm.. Mengecewakan? Telat? Duh maafkan saya. Saya lagi dilemma. Umm.. Ada yang berminat kalau saya kasih side story ketemuannya Soonyoung sama Seokmin? Jawab dikotak review ya. Minimal ada 20 voting suara.

Gamsahamnida

.

.

©Sour&Bitter 2016 Present