Hubungan saling membutuhkan memaksa mereka untuk saling memanfaatkan. Namun, siapa sangka hubungan itu akan terus berlanjut ketika kebutuhan lain memaksa mereka untuk terus bersama. Akankah percikan bernama cinta benar-benar singgah? Atau malah sebaliknya?

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Sasuke Uchiha x Sakura Haruno

Save Me, Baby ! © Biii Uchiha

Please HATER menjauh ! bacaan ini hanya akan membuat anda BUTTHURT !

Terima kasih ^^

.

.

Chapter 5 : New Family

Happy reading ..

...

Gigi Sasori saling beradu menciptakan bunyi gemerutuk keras dengan jeda yang rapat. Sial, rencananya kali ini gagal. Dia beberapa kali memaki wanita jalang yang berhasil meloloskan diri dari permainannya serta melibatkan orang lain dalam permainan ini. Sialan. Semuanya sialan. Ini hanya kesalahan kecil karena dirinya kurang teliti sebelum bertindak. Huh, benar. Kesalahan bisa terjadi pada siapa saja. Bahkan pada pembunuh sekalipun seperti dirinya.

Sasori bangkit dari kursi kayu yang selalu mengeluarkan bunyi deritan setiap kali didudukinya dan bersandar pada sofa usang disudut ruangan. Terdapat beberapa sobekan disisi-sisi sofa, namun tidak menghilangkan pesona sofa itu untuk menjadi saksi bisu gairah membara pemiliknya. Beberapa wanita jalang terhitung sudah merebahkan diri serta membuka lebar kedua kaki mereka untuk pemilik sofa itu.

"Kau benar-benar licik, sayang. Kau tak seharusnya melibatkan orang lain dengan masalahmu. Itu semua akan menjadi dosamu. Mereka mati menjadi salahmu. Hah, hahahaa~aa."

.

.

.

Mentari sudah menyebarkan sinarnya sejak beberapa jam yang lalu. Burung-burung beterbangan dari satu dahan pohon ke dahan pohon yang lainnya dengan ceria. Sebagian ada yang bersembunyi dicelah-celah atap rumah sakit Konoha, dan sebagian yang lainnya terbang bebas mencari mangsa.

Sudah empat hari berselang sejak penyusupan dirumahnya berlalu. Tapi kenangan itu masih dan akan selalu membekas diingatan Sakura. Betapa mengerikan dan sesaknya suasana didalam lemari tempatnya bersembunyi, semuanya masih segar dimemorinya. Sakura tidak akan pernah melupakan hal itu. Terlebih ini adalah kali kedua dirinya berhadapan dengan maut. Tidak, semuanya terlalu sulit untuk menjadi kenangan baik. Semuanya adalah mimpi buruk.

Sakura menggeleng pelan, berusaha menepis bayangan yang tak ingin dilihatnya. Kepalanya sesekali masih terasa pusing. Dokter Tsunade bilang itu adalah efek traumanya dan penggunaan obat bius yang terlalu sering. Sakura menghabiskan dua malam pertamanya dengan campuran obat bius didalam selang infusnya. Trauma membuatnya kesulitan tidur dan berteriak kesakitan setiap kali memejamkan mata. Semuanya terlalu sakit.

Setidaknya kondisinya saat ini sudah lebih baik dari dua hari yang lalu.

Sakura sedikit berjengit kaget saat pintu kamar rawatnya yang bernuansa putih bersih dan terkesan mewah untuk ukuran seorang pasien diketik seseorang dari luar. Sedetik kemudian seorang wanita bersurai hitam pendek masuk dan membungkuk sopan menghadapnya. Sakura hanya mengangguk membalas sapaan tanpa suara wanita itu. Sakura mengenalnya. Wanita itu memperkenalkan diri kemarin pagi saat Sakura bersiap untuk membersihkan diri. Namanya Mitarashi Anko, asisten pribadi Sasuke.

"Selamat pagi, nona Sakura?" sapa Anko setelah kembali berdiri tegap.

"Selamat pagi juga, Anko-san." Balas Sakura dengan senyuman terbaiknya. "Ada apa, Anko-san.?"

"Maaf nona, apa nona butuh sesuatu sebelum berangkat?"

"Hah? Berangkat?" Sakura tidak mengerti perkataan Anko barusan. Berangkat kemana? Pulang ke rumahnya? Oh, tidak. Terima kasih. Dia berpikir akan menyewa apartemen saja daripada pulang ke rumah dan menemukan kejutan lainnya.

"Ah, saya pikir tuan Sasuke sudah menghubungi nona." Seketika setelah Anko berucap ponsel Sakura yang berada diatas nakas samping tempat tidurnya berbunyi. Mengalunkan suara merdu Taka, vokalis band favorit Sakura menyanyikan lagu 'Listen'. Foto Sasuke terpampang jelas sebagai background pemanggil. Tidak jelas darimana Sakura mendapatkan foto si tampan itu, yang pasti tidak ada nama pemanggil. Yang ada hanya deretan tanda baca titik sepanjang jalan kenangan. Satu lagi, yang terlihat paling jelas adalah foto si tampan es itu.

Ingat, si tampan.

"H-halo." Sapanya gugup.

"Hn. Apa kau sudah bangun?" tanya suara diseberang sana. Seperti biasa, suara berat Sasuke terdengar seksi bagi siapa saja yang mendengarnya. Ditambah filter suara ponsel membuatnya makin menggoda. Ya ampun. Apa kalian lihat Sakura baru saja menelan ludahnya?

"I-iya, sudah." Gadis itu menggeleng pelan. Entah apa yang ada dipikirannya, tapi Sasuke terdengar menggoda sekali. Hey ada apa denganmu? Apa hormonmu terlalu mendidih? Atau kau terlalu bahagia Sasuke menghubungimu? Kau rindu padanya?

"Hn. Aku akan menjemputmu."

"Apa aku sudah boleh pulang?" tanyanya. Sekilas Sakura melirik ke arah Anko yang masih berdiri mematung ditempatnya. Menyadari keberadaannya seperti obat nyamuk, wanita itu membungkuk dan keluar dari ruang rawat Sakura. Memberi privasi pada gadis merah muda itu dan Sasuke.

"Hn. Apa kau mau menginap lebih lama?" goda Sasuke.

"E-eh? Tidak, terima kasih." Bukannya Sakura tidak senang sudah bisa pulang. Itu berarti dia sudah sehat dan pulih kembali 'kan? Tapi, dia hanya bingung. Dia harus pulang kemana? Dia tidak siap jika harus kembali pulang ke rumahnya. Lagipula di rumahnya saat ini pasti banyak polisi yang sedang menyelidiki kasus ini. Kembali ke rumah hanya akan mengganggu penyelidikan mereka.

"Lalu?" Sasuke menunggu jawaban Sakura sembari menunggu lampu lalu lintas menyala hijau. Didepannya tampak seorang pria mengenakan hoodie hitam berjalan santai menyeberang jalan. Sekilas pria itu menoleh ke arah mobil Sasuke –tepatnya kearah Sasuke – dan untaian surai merahnya menari-nari dibalik hoodie yang dikenakannya. Sasuke menatap balik pria itu. Tak ada rasa gentar dari tatapannya, begitu pula pria itu. Sasuke tau, orang itu sedang tersenyum dibalik masker hitam dengan gambar mawar merah yang dikenakannya.

Dia mengejek Sasuke.

Lampu lalu lintas kembali menyala hijau dan semua kendaraan kembali melanjutkan perjalanannya.

"-Ke? Sasuke?" Sasuke tidak fokus. Pikirannya melayang pada pria berhoodie tadi. Dia tidak tahu siapa pria itu, tapi firasatnya tidak enak. Bahkan dia tidak mendengar jika Sakura sudah memanggilnya berkali-kali dari seberang telepon.

"Aa. Kau bilang apa?"

"Kau baik-baik saja? Dari tadi aku memanggilmu, tapi kau diam saja. Apa terjadi sesuatu?" suara Sakura terdengar khawatir. Sasuke menyeringai kecil yang tentu saja tidak dapat dilihat Sakura dan menggeleng.

"Tidak. Tidak terjadi apa-apa. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu."

"Benarkah? Jangan terlalu banyak pikiran jika kau sedang berkendara. Itu berbahaya sekali." Tegur Sakura.

"Apa kau sedang menghawatirkanku?" perasaan tegang yang tadi sempat dirasakannya perlahan kendur mendengar Sakura yang seperti sedang menghawatirkannya. Biasanya Sasuke tidak mau mendengar saran dan teguran orang lain. Tapi entah kenapa, dia tidak memiliki cukup kekuatan untuk balik memaki Sakura dan meminta gadis itu tidak perlu mengguruinya. Terdengar arogan? Percayalah, Uchiha memang begitu.

"A-apa? T-tidak! Aku hanya tidak mau kau terkena masalah dengan menabrak nenek-nenek tua renta. Atau bisa jadi kau sendiri yang akan ditabrak orang lain." Sakura mengomel dan menyanggah tuduhan Sasuke. Mengkhawatirkan si tampan itu? Cih, tidak sudi.

Tapi kau baru saja menyebutnya tampan. Kau benar-benar tidak dapat dipercaya Sakura.

"Dasar tsundere." Ejek Sasuke dan Sakura tidak terima dikatai begitu.

"Apa kau bilang?"

Tut ...tut... tut...

dan si tampan itu berakhir dengan mematikan sambungan teleponnya.

"Ughhh! Sasuke menyebalkan!"

Kau benar sekali.

.

.

.

"Ck.." beberapa hari belakangan ini mood Ino masih belum membaik. Apalagi sejak kabar yang bersangkutan dengan Sakura merebak bak penyakit yang menjangkiti seluruh isi perusahaan, termasuk Sasuke. Sasuke hanya tinggal satu sampai dua jam diruangannya sebelum akhirnya pergi lagi. Ino tidak tahu kemana Sasuke pergi karena memang tidak ada dalam agendanya pertemuan penting dengan kolega bisnis ataupun makan siang bersama. Kalaupun ada, tugas Sasuke itu diambil alih langsung oleh Itachi dan sekretaris pribadinya, Kisame.

Ino juga sudah sangat jarang berkomunikasi lagi dengan Sasuke sejak kejadian beberapa hari yang lalu. Terakhir kali Sasuke mengajaknya bicara saat Sasuke menyuruhnya untuk menyiapkan berkas penting yang akan dikirimkan pada Naruto. Itupun hanya melalui telepon. Dan setelahnya mereka bagaikan dua orang yang tidak pernah saling mengenal.

Ino menghela napas panjang dan memutuskan menuju kafetaria. Memikirkan keberadaan Sasuke cukup menguras staminanya. Otaknya lelah dan perutnya lapar. Tadi pagi dia hanya melahap dua lembar roti gandum dengan tomat dan selada sebagai isian. Tidak ada daging. Tidak ada keju. Tidak ada mayo. Tidak ada saus. Dan tidak ada rasa.

Karin sedang bercengkrama dengan dua orang temannya dimeja konter minuman. Wanita bersurai merah panjang itu menunggu es kopi vietnam pesanannya sambil sesekali cekikikan mendengar lelucon yang dilontarkan teman bercepolnya, Tenten. Teman wanitanya yang seorang lagi hanya tersenyum anggun dan sesekali menyeruput minumannya.

"Tapi serius, kau tidak takut minum es kopi vietnam itu?" tanya Tenten. Gadis bercepol itu khawatir lantaran dua hari yang lalu beredar kabar kematian seorang wanita setelah meminum es kopi vietnam yang dicampur bubuk sianida didalam minumannya. Kabar itu menjadi sorotan dunia setelah tertangkapnya tersangka yang diduga sahabat wanita itu sendiri. Walau tidak terjadi di Konoha, tetap saja gadis itu merasa was-was. Bagaimana jika ternyata Karin mati setelah meminum kopi itu?

"Oh ayolah Tenten. Jangan mulai berpikiran negatif lagi. Apa kau tidak lihat Lee baik-baik saja setelah kemarin meminum dua gelas es kopi itu? Bahkan dia semakin berkilau saja." Karin menunjuk Lee yang berjalan menuju konter makanan diseberang mereka dengan dagunya dan Tenten menoleh. Benar kata Karin, si rambut mangkok itu terlihat makin berkilau saja. Bahkan Genma terpaksa menggunakan kacamata hitam untuk membelokkan cahaya silalu Lee.

"Maaf menunggu Karin-san. Ini pesanannya." Ayame yang melayani Karin dan kawan-kawan memberikan pesanan Karin dan dibalas ucapan terima kasih gadis berkaca mata itu.

Karin tidak tahu jika dibelakangnya berdiri sosok Ino yang ikut mengantri menunggu giliran. Ketika Karin berbalik, tubuhnya tanpa sengaja menubruk tubuh Ino hingga menyebabkan minuman ditangannya mengenai suit dress mahal yang dikenakan wanita pirang itu.

"Astaga. M-maaf, Ino-san. Aku benar-benar tidak sengaja. Biar kubantu bersihkan." Karin terkejut dengan keberadaan Ino dibelakangnya. Dan menumpahkan minuman pada Ino adalah mimpi buruk setiap karyawan wanita diperusahaan itu. Tidak ada siapapun yang ingin berurusan dengan sekretaris Sasuke saat ini, ditambah berita pertunangan Sasuke beberapa waktu lalu makin memperburuk suasana. Sempurna. Katakan terima kasih pada Mikoto yang menyebarkan berita absurd itu.

Ino mendelik menatap Karin. Emosi jelas tergambar pada aquamarine miliknya. Wanita itu mendesis dan menepis kasar tangan Karin yang akan menyentuhnya. Karin terkejut dan menatap Ino bingung.

"Jalang sialan! Apa yang kau lakukan? Kau mengotori bajuku." Ino meledak. Sakit hati yang selama ini ditahannya akhirnya tumpah juga. Bukan pada orang yang seharusnya, tapi pada karyawan yang bahkan tidak tahu apa-apa mengenai hubungannya dengan Sasuke. Dia bahkan mengatai Karin dengan ucapan yang tidak sepantasnya diucapkan didepan banyak orang.

Karin yang mendengar Ino mengatainya jalang tidak terima begitu saja. Dia memang bersalah karena kecerobohan yang dilakukannya. Tapi mengatainya jalang didepan ratusan karyawan hanya karena masalah sepele itu sudah sangat keterlaluan. Ibunya melahirkannya tidak untuk dihina orang lain.

"Jaga ucapanmu, Nona! Aku sudah minta maaf padamu dan menawarkanmu bantuan. Jika kau memang tidak mau, kau juga tidak perlu mengataiku begitu. Apa gajimu sebagai sekretaris tidak cukup untuk membeli cermin?." balas Karin pedas. Ino yang mendengar ucapan gadis merah itu makin berang. Itu secara tidak langsung Karin balik mengatainya Jalang 'kan?

"Apa katamu? Kau bilang apa?" desis Ino. Tangannya mengepal disamping tubuhnya, siap menyerang kapan saja. Gadis itu perlu dia beri pelajaran. Dia tidak tahu sedang berbicara dengan siapa.

Orang-orang yang sedang makan siang di kafetaria hanya menyaksikan dalam diam. Mereka merasa takjub sekaligus ngeri disaat bersamaan. Takjub karena baru kali ini mereka lihat ada yang berani melawan eksistensi Ino diperusahaan itu. Dan ngeri karena yang dihadapi Karin adalah Ino. Sebagian menjulukinya sebagai nenek lampir kesepian. Karena Ino tidak pernah terlihat mempunyai teman selama ini, dan jikapun ada dia hanya mengiringi langkah Sasuke sebagai sekretarisnya.

"I-Ino-san, maafkan Karin. Dia t-tidak sengaja." Hinata yang daritadi hanya diam dan menyaksikan akhirnya buka suara mencoba menengahi ketegangan antara Ino dan Karin.

"Hinata!" tegur Karin. Hinata hanya menatap Karin dengan ekspresi antara takut dan meminta maaf. Karin tidak terima jika Hinata memintakan maaf Ino untuknya. Lagipula dia sudah meminta maaf, dan wanita itu malah berkata yang tidak sepantasnya padanya.

Tenten menarik Hinata mendekat padanya dan berbisik, "Jangan meminta maaf."

"Ada apa ini?" suara berat seseorang menginterupsi perseteruan Karin dan Ino. Seorang pria jabrik kuning muncul dari balik beberapa orang karyawan. Mengetahui siapa yang datang, spontan karyawan yang ada disana memberi jalan dan membiarkan orang itu mendekati Karin dan Ino.

"N-naruto-san." Ino berjengit kaget dan membungkun sopan. Tidak terlihat jiwa singa betina yang siap menerkam pada dirinya saat ini. Yang terlihat hanya sosok wanita karir dewasa yang mempesona dengan tampilannya yang elegan.

Berbeda dengan Ino, Karin lebih bersikap cuek. Dia tidak terlihat gentar sekalipun yang datang menginterupsi adalah sahabat Sasuke, bos mereka.

"Aku melihat kerumunan disini dan menemukan hal menarik yang bisa kulaporkan pada Sasuke. Kurasa Sasuke akan senang mendengarnya." Ejek Naruto pada kedua wanita itu.

"Dan kau Karin, bibi akan sangat bangga melihat tingkah lakumu saat ini dari surga sana." Sindir Naruto pada Karin. Gadis itu tidak menjawab sindiran Naruto padanya, dia hanya melipat kedua tangannya dan memalingkan wajah.

Melihat Naruto yang tampak akrab dengan Karin membuat sebagian besar karyawan disana bertanya-tanya. Ada hubungan apa Karin dan Naruto? Kenapa sepertinya hubungan mereka sangat erat layaknya keluarga? Apa mereka memang keluarga?

"Sudah, semuanya bubar. Apa kalian juga mau kulaporkan pada Sasuke karena membiarkan perkelahian ini terjadi?" spontan semua karyawan yang mengerubungi mereka seperti semut berhamburan memisahkan diri. Ada yang kembali menuju meja kerjanya dan sebagian lainnya kembali ke meja makannya di kafetaria. Tanda tanya mereka tentang hubungan Naruto dan Karin menguap begitu saja setelah mendengar ancaman pria pirang itu.

Begitu pula dengan Ino. Dia berbalik menuju meja kerjanya dengan perasaan kesal luar biasa. Jika saja Naruto tidak datang memisahkan, mungkin akan terjadi peristiwa bersejarah hari itu.

"Siapapun kau, kau benar-benar brengsek!" makinya berbisik.

.

.

.

Sakura sedang menggulung lengan baju kemejanya saat Sasuke menoleh dan memperhatikan kegiatannya. Sakura memilih pakaian kasual untuk dikenakannya sebelum benar-benar pergi meninggalkan rumah sakit. Dia berharap tidak akan kembali lagi ke tempat itu untuk yang ketiga, keempat, kelima atau bahkan untuk selamanya. Rumah sakit adalah mimpi buruk dan tidak seorangpun menyukai mimpi buruk.

"Mm, Sasuke. Maukah kau menemaniku mencari apartemen?" Sasuke menoleh. Sebenarnya Sakura tidak mau meminta bantuan Sasuke untuk urusan tempat tinggalnya. Pria itu sudah terlalu banyak menolongnya. Dia tidak mau jika suatu hari Sasuke datang dan memintanya untuk membalas semua kebaikkan yang pernah dilakukan Sasuke. Siapa tau kan saat ini Sasuke sedang menabung kebaikan-kebaikkannya dan suatu hari tak dipungkiri pria itu datang menagih. Dia mau membayar dengan apa nanti?

Kau tahu Sakura? kau berpikir terlalu jauh. Jika Sasuke bisa membaca pikiranmu dia pasti akan menjadikan pikiranmu nyata.

"Buat apa apartmen?" Sasuke balik bertanya. Sasuke memutar setir mobilnya memasuki persimpangan yang tidak Sakura tahu dimana tempatnya. Dia ingin bertanya kemana Sasuke akan membawanya berhubung ini bukanlah rute menuju apartemen Sasuke, tapi pikirannya masih berkutat dengan tempat yang akan disewanya untuk ditinggali.

"Untuk menampung orang-orang tersesat. Tentu saja untuk aku tinggali, jenius." Sasuke mendengus menahan tawa. Sudah dua kali Sakura dibuat jengkel karena Sasuke dan Sasuke berpikir mungkin mereka adalah jodoh yang terpisah waktu dan tempat. Pffftt~.

Tak lama mereka tiba disebuah rumah mewah bergaya Jepang tradisional yang dicampur sedikit gaya modern. Sasuke tak mengatakan kemana mereka pergi sebelumnya, jadinya sekarang Sakura hanya menurut dan bertanya-tanya apakah Sasuke akan menjualnya pada seorang Yakuza? Tapi Sakura tidak melihat ada penjaga berbadan besar dan menakutkan yang berjaga disekitaran rumah mewah yang dikelilingi kolam ikan koi besar itu. Rumah itu terlalu damai dan tentram untuk ditingggali sekelompok Yakuza.

"Ayo." Perintah Sasuke padanya setelah melepas sabuk pengaman yang melilit tubuhnya. Sakura menatap Sasuke sesaat dan menurut. Dalam hati dia berdoa jika Sasuke memang orang baik seperti kelihatannya.

Hey pinky ! Sasuke terlalu tampan untuk jadi penjahat rendahan begitu.

"S-Sasuke~ kita dimana?" Sakura memberanikan dirinya bertanya.

"Hn, kupikir kau tau kita ada dimana."

"Kau pikir aku bisa membaca pikiranmu?" Sasuke tersenyum miring.

"Hn." Sakura ingin menghajar Sasuke sekarang. Tapi nurani dalam lubuk hatinya yang paling murni berteriak untuk tidak melenyapkan ciptaan Tuhan terlalu cepat.

Tuhan bisa murka padamu jika kau tidak bersyukur.

Mereka berhenti didepan pintu masuk dan menekan bel yang ada disamping pintu kayu besar berukir itu. Selang beberapa detik seorang wanita cantik bersurai hitam panjang tampak dari balik pintu dan menyambut kedatangan keduanya.

"Sasuke...!" sambut wanita itu antusias.

"Nee-san, dimana Okaa-san?" Sasuke bertanya pada wanita itu setelah sebelumnya mereka berpelukan layaknya kakak perempuan yang sudah lama tidak bertemu adik laki-lakinya. Tak jauh beda, wanita itu juga memeluk Sakura.

"Oh, Okaa-san ada diruang keluarga. Mereka sudah menunggu kalian." Ujar wanita cantik yang memiliki tahi lalat dibawah mata itu. Sakura belum pernah bertemu wanita itu tapi dia mencoba membalas sapaannya dengan sopan disertai senyuman tulus.

"Sakura, kenalkan ini Izumi, kakak iparku. Nee-san, ini Sakura Haruno, tunanganku." Sasuke mengenalkan kakak iparnya pada Sakura dan sebaliknya dengan lancar tanpa ada rasa canggung ataupun gugup sedikitpun. Berbeda dengan Sasuke, Sakura masih merasa aneh dengan nama title-nya saat ini. Tunangan. Dia saja geli menyebutnya.

Menurut Sakura, pada hakikatnya tunangan adalah sebutan untuk masing-masing pasangan yang mengikrarkan janji mereka sebelum naik ke jenjang yang lebih serius, pernikahan. Dan pada dasarnya pertunangan terjadi karena adanya kasih sayang dan perasaan cinta dari masing-masing pasangan itu sendiri.

Lalu, tunangan macam apa mereka ini? Kasih sayang? Sakura rasa Sasuke menyelamatkannya dari Sasori dihari itu bukan karena adanya kasih sayang, melainkan rasa kasihan melihat seorang wanita yang diperlakukan kasar oleh seorang pria.

Lalu, cinta? Cinta dari Hongkong? Akan sangat menggelikan jika ada rasa cinta 'nyungsep' diantara kisah mereka yang lebih seperti Tom dan Jerry. Jangan dihitung hari dimana Traumanya muncul. Sasuke hanya kebetulan melintas di otaknya ketika kepanikan mulai melanda. Tidak lebih.

"Aa, baiklah. Apa Itachi juga datang?" tanya Sasuke.

Izumi mengangguk, "Iya. Ayo, Sakura"

"I-iya, nee-san. Tapi aku akan bicara dulu sebentar dengan Sasuke." Sakura menolak halus ajakan Izumi. Wanita itu mengangguk dan berlalu pergi.

"Jadi, bisa kau jelaskan untuk apa kita kemari, sayang?" Sakura melembutkan suaranya yang dibuat-buat sembari merangkul lengan Sasuke, membawa pria itu sedikit menjauh dari depan pintu masuk. Sasuke mengangkat sebelah alisnya dan menatap Sakura intens. Seluruh atensinya dia tujukan hanya pada gadis merah muda itu.

"Aku 'kan sudah pernah bilang padamu, ikuti saja alurnya. Kita akan bertunangan dan selanjutnya menikah." Sasuke menggenggam kedua bahu Sakura tidak pelan juga tidak terlalu keras untuk membuat gadis dihadapannya hanya berfokus padanya. Sakura tidak terkejut jika Sasuke akan mengatakan hal itu, tapi tidak disangkanya hal itu bukan hanya candaan saja.

"Aku tahu. Tapi pernikahan adalah hal yang sakral Sasuke. Hanya mereka yang benar-benar saling mencintailah yang akan menikah. Aku tidak mau diusia muda harus menjadi janda karena perjanjian pra-nikah kita selesai." Ucap Sakura sambil menyisir rambutnya dengan tangan. Terlihat jelas pada wajahnya jika hal ini membuatnya frustasi. Hanya karena ulah Sasori yang hobi menguntit dan membayangi hari-harinya, dia harus rela berhenti dari pekerjaannya dan terjebak dalam drama yang mereka buat. Sakura tidak mengkhawatirkan masalah keuangan karena berhenti bekerja, tapi dia mengkhawatirkan reputasinya kelak. Usianya masih terlalu muda seratus tahun untuk menjadi janda.

Hell no !

Ya Tuhan, tidak bisakah semuanya menjadi lebih buruk lagi?

"Aku tidak pernah bilang kita mempunyai perjanjian pra-nikah sebelumnya." Sangkal Sasuke. Sakura menoleh dan meminta penjelasan.

"Apa aku pernah mengajukan perjanjian pra-nikah padamu?"

Sakura tidak berkutik. Otaknya refresh mengulang memori-memori awal pertemuannya dengan Sasuke. Tentang apa saja yang mereka lakukan. Saat Sasuke meyakinkan dirinya untuk mengikuti alur dan mengajaknya menikah. Kesalahanpahaman ibu Sasuke dan dirinya yang berakhir terbaring di rumah sakit. Tidak ada dokumen. Tidak ada tanda tangan diatas materai. Tidak ada ancaman dan tidak ada perjanjian pra-nikah !

"Kau ingat sekarang?" Sasuke menyadarkan Sakura dengan menggenggam jemari lentik gadis itu.

Sakura mendongak dan mengangguk pelan. "J-Jadi?" tanyanya kemudian.

"Jadi apa?" Sasuke balik bertanya.

"Apa maksud semuanya?"

"Karena aku memang tidak menginginkan pernikahan berjangka waktu. Aku ingin kau mengenal kata 'selamanya'."

Kalimat terakhir Sasuke sukses membuat hijau emerald Sakura membulat sempurna.

Happiness. Comes. To. Me.

.

.

.

Pertemuan keluarga Uchiha dengan calon istri Sasuke berjalan lancar tanpa adanya hambatan berarti. Sasuke memperkenalkannya pada keluarga besar Uchiha. Fugaku, Mikoto, Itachi, Izumi bahkan Madara menyambut hangat kehadirannya. Mereka berbincang tentang berbagai hal. Mikoto terlihat jelas menghawatirkan kondisi Sakura yang baru saja meninggalkan rumah sakit. Dia tidak menanyakan mengenai kondisi 'kehamilan' Sakura, tapi Sakura tidak bodoh untuk tahu jika calon ibu mertuanya beberapa kali melirik pada perut datarnya. Mungkin dia pikir bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu.

Bukan hal yang sulit bagi Sakura untuk dekat dengan keluarga Sasuke. mereka semua adalah orang yang ramah, hanya saja keramahan mereka terlanjur tertutupi oleh nama klan besar yang disegani sekaligus diperhitungkan didunia bisnis. Belum lagi para petinggi Uchiha rata-rata berwajah kaku dan tidak terlalu pandai mengekpresikan perasaan, akibatnya hanya sedikit sekali orang luar yang memahami sifat langka mereka.

"Jadi, bagaimana kau bisa mencairkan hati adikku yang beku ini, Sakura?" Sakura yang sedang menyesap minumannya sedikit tersedak mendengar cara Itachi menyebut adiknya. Sakura menerima tisu yang disodorkan Sasuke padanya dan mengerling jahil. Sasuke mengerutkan alisnya.

"Tidak sulit, Itachi-nii. Aku menempelkan obor di dadanya." Jawaban Sakura yang super simple memicu tawa dari seluruh anggota keluarga. Bahkan Sasuke menorehkan senyum kecil dibibirnya.

Bagaimana Sasuke? dia lucu 'kan?

Beberapa kali Itachi memancing Sakura untuk menggoda Sasuke. Bukan hal sulit baginya untuk menyambut umpan Itachi dan membalas melempar lelucon tentang pria raven itu pada keluarganya. Mereka semua terkekeh dan menyukai selera humor Sakura. Sedikit banyak keluarga itu terkesan pada sifat Sakura yang mudah bergaul dengan llingkungan baru.

Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Kedatangan Obito yang sedikit terlambat menambah riuh suasana yang ada dengan lelucon-leluconnya yang mengocok perut. Objek bully-an mereka tidak jauh-jauh dari Sasuke karena ini adalah pertama kalinya Sasuke menjalin hubungan yang serius dengan seorang gadis, bahkan memutuskan untuk segera menikah. Beberapa kali Sakura perhatikan wajah pria disampingnya memerah menahan malu. Disanalah Sakura menyadari satu hal. Sisi lain Sasuke yang hanya diperlihatkan pada keluarganya. Ternyata dia belum mengenal Sasuke.

"Kalau begitu aku pamit dulu. Selamat malam." Sakura menghempaskan dirinya diatas mobil Sasuke disebelah pria itu setelah berpamitan dengan seluruh anggota keluarga Uchiha. Mengobrol bersama calon keluarga barunya itu tidak akan ada habisnya jika dia tidak berinisiatif menarik diri. Bahan obrolan mereka seperti ensiklopedia yang tidak pernah menipis. Menarik dan tidak membosankan.

"Bagaimana perasaanmu?" Sasuke bertanya setelah melihat raut wajah berseri gadis disampingnya. Sakura menoleh dan menampakkan deretan gigi-gigi putihnya, "Mereka benar-benar menyenangkan. Apa kau mau membawaku menemui mereka lagi?"

Sasuke tersenyum dan berbelok memasuki basement area gedung apartmentnya, "Tentu."

.

.

.

Gaara memain-mainkan karet gelang ditangannya. Membentuknya menjadi beberapa macam bentuk sambil memutar otaknya berpikir keras. Rasanya ada yang janggal dengan semua ini. Rasanya terlalu mudah jika beramsumsi Sasori adalah pelakunya. Bahkan Sasori sendiri tidak tahu bahwa dirinya menjadi daftar pertama orang yang mungkin dicurigai polisi.

Pria merah itu membalik lembar demi lembar laporan yang diberikan anak buahnya. Bekerja sebagai spy agent dibadan inteligen negara membuat pekerjaannya terasa mudah. Tidak sulit mencari informasi dari beberapa orang penting di negara itu. Tentu saja dengan bayaran dan konsekuensi yang setara membuat Gaara terbiasa dengan ancaman yang datang sekedar menyapanya. Karena profesinya jualah Gaara tidak pernah menjalin komitmen dengan gadis manapun.

Gaara menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa empuk diruang tamu apartmennya. Dia sudah memeriksa CCTV yang berada diluar gerbang masuk kediaman Sakura di Medallion yang selalu merekam seseorang mencurigakan yang selalu mengintip ke dalam rumah. Namun, pada saat kejadian berlangsung orang itu selah hilang ditelan bumi. Dia tidak menampakkan batang hidungnya. Jika memang orang itu berhasil memasuki rumah, bagaimana mungkin dia luput dari pantauan CCTV yang dipasang tersembunyi diluar pagar?

Analisa demi analisa membuatnya pusing.

Gaara menghembuskan napas panjang dan meraih botol vodka diatas meja dan meneguk isinya. Tenggorokkannya terasa terbakar, memberikan sensasi berbeda pada tubuhnya. Bagian tubuhnya yang lainpun memberikan reaksi yang berbeda. Oh, sudah dua bulan ini dia tidak memanjakan 'adik' kecilnya. Dia benar-benar sibuk belakangan ini. Mungkin Gaara harus berpikir untuk memiliki seorang pendamping.

Pertanyaannya, apa ada seseorang yang cukup menarik perhatiannya?

.

.

.

Tbc

.

Yuuuuhuuuu ! Bii balik lagi. Maaf kalo ada yang merasa Bii PHP. Bii juga ga mau PHP-in kalian, tapi belakangan Bii syibuk banget. Pindahan kantor, sakit, tepar, belum lagi kemarin ada serangan 'InginNangis' .. ohya kemarin Bii juga dapet Flame loh,wkwkwk~. Dia butthurt, padahal udah diingetin. ^^

Makasih buat yang review, maaf ga bisa bales dulu. Kalo mau bisa PM^^

Special Thanks :

Uchiha Nozomi, Younghee Lee, Alwi arki, Asuura-chan, , Srisavers28, Dolphin1099, Dora suka nonton Naruto, (Guest), dhianarndraha, sofi asat, Yuwican, smilecherry, (Hater makasih juga^^), hanazono yuri, wowwoh geegee, (Guest), VolumeKubus13, Clarisa875, d3rin, Luca Marvell, TheLimitedEdition, gitazahra, glowree, puma178, Desta Soo, Kagaaika Uchiha, ayuniejung, Byunae18, sqchn, sarahachi, kucing genduttidur, Dewi, Laifa, (Guest), nekonade, Nur Azizah, Baby Blue.