Disclaimer © Fujimaki Tadatoshi

WARNING: OOC, OC(s), AU, Typo(s)

.

.

.

Taiga duduk dan merapikan kimono merahnya ketika Daiki sudah pergi dengan membanting shoji dengan keras dan meninggalkan Taiga yang memandangi pintu geser itu dengan sedih. Kenapa dia sok-sokan tidak mau melayaninya tadi, sekarang dia pasti akan membenci Taiga dan tidak akan menemuinya lagi. Bodoh!

"Taiga-kun, bagaimana dengan pelanggan favoritmu?"

Taiga masih menunduk dan tidak mengangkat wajahnya dan membuat Tsuki-san yang awalnya tersenyum dan siap menggoda Taiga seperti biasanya berganti menjadi khawatir ketika melihat Taiga yang menundukkan kepalanya dan menangis. Tsuki-san lalu bergegas menghampiri Taiga dan memegang tangan Taiga yang tergenggam erat di pangkuannya.

"Taiga-kun, apa yang terjadi? Apakah dia menyakitimu?"

Taiga hanya menggeleng karena dia tidak bisa berbicara untuk menjawab Tsuki-san.

"Lalu mengapa kau menangis?"

Taiga masih terisak pelan. "Tsuki-san… m-mungkin dia membenciku."

"Kenapa?"

Taiga dengan terbata-bata lalu menceritakan kejadian yang baru dialaminya dengan Daiki yang didengarkan dengan sungguh-sungguh oleh Tsuki-san. Ketika Taiga selesai bercerita, Tsuki-san hanya memandanginya.

"Aku tidak bilang ini bukan kesalahanmu sendiri Taiga-kun, karena kau yang membuat dirimu sendiri seperti ini. Aku sudah memberitahumu berkali-kali kalau kau tidak boleh terlalu dekat dengan pelangganmu, siapapun dia. Kau tidak boleh menggunakan perasaanmu di sini karena kau sendiri yang akan menderita nantinya."

"Maafkan aku, Tsuki-san." balas Taiga semakin menundukkan kepalanya. Tsuki-san benar, ini semua memang salahnya. Dia sendiri yang bodoh sampai menjadi seperti ini.

Tsuki-san lalu tersenyum dan mengusap pipi Taiga yang basah. "Sudah jangan menangis lagi. Kau jadi jelek kalau menangis,"

"Biarin!" kata Taiga dan mulai tersenyum sambil mengusap air matanya.

"Meskipun aku yakin pelanggan-pelangganmu pasti suka melihat wajah menangismu." tambah Tsuki-san, menggoda.

Taiga berdiri dan diikuti oleh Tsuki-san. "Katamu aku jelek kalau menangis, mana ada pelanggan yang mau dengan geisha yang jelek."

"Pengecualian untukmu."

.

.

.

Taiga berjalan kembali ke tempat menunggunya sendirian. Dia baru kembali setelah bersih-bersih dari melayani pelanggannya yang kedua. Meskipun ini masih agak sore tapi Taiga sudah mendapatkan dua pelanggan yang jadi membuatnya agak capek. Akhir-akhir ini memang dia menjadi semakin terkenal dan mendapatkan banyak pelanggan. Taiga tidak tahu kenapa tapi menurut penelusuran Tsuki-san, para pelanggan-pelanggan itu menyukai Taiga karena dia masih "sempit" dan mereka merasa bisa menjinakkan macan liar ketika berhasil bersama Taiga. Taiga berpikir mereka sangat bodoh, ketika Taiga mencoba melawan mereka, itu karena dia benar-benar tidak menyukai harus seperti itu karena itu sakit, bukan karena Taiga sok jual mahal, tapi mereka malah menyebut sifat keras kepala Taiga sangat hot. Dan karena Taiga mempunyai stamina yang lebih banyak daripada para geisha yang lain yang semuanya wanita jadi pelanggan-pelanggan itu bisa "bermain" bersama Taiga lebih lama. Bodoh sekali, Taiga selalu berkata seperti itu di dalam hati setiap malam.

Tapi meskipun Taiga selalu mendapat pelanggan setiap malam sekarang, dia malah merasa kesepian. Taiga menunduk dan melihat gelang berwarna putih di pergelangan tangan kanannya. Mungkin dia tidak akan pernah lagi melihat orang yang memberinya gelang ini, Taiga menghela napas. Padahal dia ingin menceritakan tentang ikan mas yang diberikannya yang sudah besar. Taiga bahkan memberikan jatah makannya untuk ikan mas-ikan mas itu meskipun jatah makannya sudah sangat sedikit, karena dia ingin ikan mas-ikan mas itu tetap hidup dan menemaninya.

Ren-sensei juga tidak pernah lagi mengunjunginya sejak saat itu. Meskipun masih ragu tapi Taiga tetap memikirkan tawaran Ren-sensei untuk keluar dari kurungan ini dan tinggal bersamanya. Tapi Taiga juga tidak pernah lagi bertemu dengan gurunya dulu itu. Taiga menghela napas lagi dan menyenderkan punggungnya ke dinding di belakangnya dengan lelah sambil mengawasi pelanggan-pelanggan yang datang. Dia mengerutkan keningnya ketika pria-pria itu ada yang meliriknya dan menyeringai. Jangan sampai ada yang memilihnya lagi sekarang atau dia akan benar-benar kecapekan dan tidak bisa bekerja lagi dan mendapatkan hukuman. Tapi kelihatannya keberuntungan tidak berpihak kepadanya hari ini karena tidak beberapa lama Taiga menunggu, Tsuki-san sudah menghampirinya lagi.

"Taiga-kun, kau mendapat pelanggan."

"Tapi Tsuki-san aku masih capek," keluh Taiga. "Tak bisakah kau menyuruh geisha yang lain?"

"Tidak bisa." jawab Tsuki-san dengan tegas. "Lagipula tuan ini menginginkanmu dan bukan yang lain."

"Tapi Tsuki-san…"

"Sudah jangan mengeluh, pelangganmu sudah menunggu." Tsuki-san menghampiri Taiga dan memperbaiki kanzashi di rambutnya.

Maka dengan berat hati, Taiga berdiri dan mengikuti Tsuki-san untuk menemui pelanggannya. Semoga pelanggan kali ini tidak minta yang macam-macam, hanya minum dan membutuhkan kehadiran Taiga.

Taiga membelalakkan matanya ketika mendengar suara yang dia kira tidak akan pernah didengarnya lagi dan mendongakkan kepalanya dengan berdebar-debar.

"Hai,"

"S-selamat malam," balas Taiga yang karena terlalu gugup malah menyapa Daiki seperti dia menyapa pelanggannya yang lain.

"Ada apa denganmu," Daiki tertawa kecil dengan suara beratnya dan melepaskan katananya dari pinggangnya. "Kau bertingkah aneh."

"T-tidak." Taiga menjawab bingung. Kenapa dia bersikap biasa saja ke Taiga dan tidak marah atau jengkel kepada Taiga seperti kemarin?

"Oh, hey jangan berikan aku benda itu," kata Daiki ketika Taiga mulai menuangkan sake untuknya.

"Kenapa?" Taiga bertanya heran dan menghentikan untuk menuang sake.

"Aku tidak ingat apa yang terjadi kemarin sampai aku tidur di gang di sebelah sini dan membuat badanku sakit semua," ceritanya. "Tapi aku ingat minum banyak di sini sampai membuatku mabuk."

"K-kau tidak ingat?"

"Tidak," Daiki menggeleng dan menatap Taiga. "Kenapa? Apa yang sudah kulakukan padamu?"

"Oh, kau tidak melakukan apa-apa," jawab Taiga. Jadi itu kenapa dia tidak marah ke Taiga. "Kau hanya minum sebentar lalu pergi."

"Oh syukurlah," kata Daiki lega. "Aku bisa melakukan hal-hal yang tidak kuinginkan saat mabuk."

Taiga tersentak mendengar perkataan Daiki. Jadi dia tidak menginginkan apa yang dia lakukan kemarin pada Taiga. Taiga menundukkan kepalanya sedih. Jangan, jangan punya perasaan seperti ini. Ingat apa kata Tsuki-san. Jangan mengharapkan apapun dari pelanggan-pelanggan ini. Anggap saja Daiki seperti pelanggan-pelanggan yang lain, dia bukan orang spesial. Hanya seorang samurai yang menginginkan layanannya kadang-kadang lalu akan pergi lagi. Taiga kemudian mengangkat wajahnya dan mencoba tersenyum.

"Bagaimana kabarmu?"

Pelanggannya mengedikkan bahu. "Aku mungkin harus pergi lagi."

"Pergi?"

"Ya. Sejak aku keluar dari rumah beberapa tahun yang lalu aku selalu berpindah-pindah. Saat ayahku tahu keberadaanku aku akan langsung pindah ke daerah lain."

"Um… kalau boleh tahu kenapa kau pergi dari rumahmu?" tanya Taiga.

"Aku tidak suka di sana," kata Daiki, matanya menerawang dan menatap tajam. "Aku selalu ingin menjadi samurai sejak dulu tapi ayahku selalu tidak memperbolehkan dan menyuruhku meneruskannya."

"Itu pasti menyebalkan," kata Taiga.

"Ya." balasnya dan memandang Taiga. "Lalu bagaimana denganmu? Kau pernah bercerita kau juga ingin menjadi samurai."

"Ya, aku masih ingin sampai sekarang," jawab Taiga. "Tapi mungkin tidak sekarang."

"Hmm…" Daiki lalu meletakkan pipinya di tangannya dan memandang Taiga. "Memangnya kau tidak ingin keluar dari sini?"

"Tentu saja aku ingin keluar dari sini, tapi aku tidak ingin keluar sendiri," kata Taiga. "Aku akan mengeluarkan mereka semua dari sini."

"Kenapa kau sangat peduli dengan mereka?"

"Mereka keluargaku satu-satunya," jawab Taiga dan tersenyum mengingat Tsuki-san dan geisha-geisha yang lain yang sering menemaninya saat dia kesepian. "Dan aku ingin mereka semua bahagia."

Samurai berambut biru itu tersenyum dan yang membuat Taiga membelalakkan matanya adalah ketika dia memegang pipi kemerahan Taiga dan mengelusnya. "Aku tidak pernah bertemu orang sepertimu."

"Um… terima kasih?" balas Taiga dan sangat ingin menyandarkan kepalanya ke tangan besar di pipinya.

Ketika Taiga mulai menutup matanya dan sangat menikmati elusan tangan cokelat samurai di depannya, tiba-tiba dia menghentikan pergerakan tangannya yang membuat Taiga membuka mata merahnya.

"Aku harus pergi, besok pagi-pagi aku sudah harus keluar dari sini." katanya dan mengambil katananya lalu berdiri.

"T-tunggu!" Taiga lalu cepat-cepat berdiri dan menghampiri Daiki yang sudah akan membuka pintu untuk keluar. Dengan sedikit gemetar, Taiga meletakkan kedua tangannya di pipi pelanggannya dan dengan hati-hati menempelkan bibirnya yang terlapisi lipstik merah ke bibir di depannya. Hanya beberapa detik Taiga kembali memundurkan kepalanya untuk melepaskan ciuman singkatnya.

"H-hati-hati." Taiga berkata dan melihat samurai di depannya yang mengerutkan kening dan raut mukanya antara campuran kaget dan jijik…?

Tanpa berkata apapun, dia langsung keluar dan meninggalkan Taiga yang langsung membenturkan kepalanya ke dinding kayu di depannya.

.

.

.

Taiga mengerutkan keningnya melihat pantulan wajahnya di cermin. Dia semakin benci dengan cermin sekarang. Kurang lebih sebulan yang lalu, tiba-tiba Wakamoto menyuruhnya untuk menemuinya. Tsuki-san yang meminta Taiga untuk menemui Wakamoto terlihat sangat cemas ketika mengantar Taiga ke ruangannya. Ketika Taiga sudah berada di dalam dan sendirian dengan Wakamoto, seperti biasa dia langsung menghina Taiga dan kata-kata kasar yang lain yang ditujukan ke Taiga. Setelah itu, Wakamoto bertanya ke Taiga kenapa akhir-akhir ini dia mendapatkan banyak pelanggan yang dijawab Taiga dengan tidak tahu. Tidak tahu kenapa jawaban Taiga malah membuatnya marah dan menjambak rambut merah Taiga. Tanpa melepaskan jambakan tangannya di rambut Taiga, dia mengatakan lebih baik Taiga memanjangkan rambutnya agar sama dengan para geisha yang lain. Wakamoto juga menyuruh Tsuki-san untuk mengawasi Taiga agar dia tidak memotong rambutnya dan membiarkannya panjang. Jadilah sekarang Taiga dengan rambut merahnya yang panjang dan disanggul dengan banyak hiasan seperti para geisha yang lain. Meskipun para geisha yang lain memujinya seperti; "Taiga-san, kau sangat cantik." atau "Rambutmu sangat indah." dan lain-lain, tapi itu malah semakin membuat Taiga membenci rambutnya sekarang. Dulu meskipun banyak yang mengejeknya karena warna rambutnya yang aneh, Taiga masih bangga mempunyai rambut merahnya karena rambutnya sama dengan rambut ibunya, dan ibunya selalu mengelus-elus rambut Taiga dan tersenyum sambil mengatakan kalau rambut Taiga sangat indah. Tapi sekarang saat orang-orang memuji rambutya, dia malah tidak bangga dan membenci rambut panjangnya.

"Taiga-kun,"

Taiga melihat Tsuki-san memasuki ruangan tempatnya berada di pantulan cermin dan menghampirinya.

"Aku tahu kau sangat cantik sekarang dan kau suka melihat wajahmu di cermin tapi para pelangganmu sudah menunggu."

Taiga mengerutkan keningnya dan dengan jengkel langsung keluar melewati Tsuki-san.

"Hey Taiga-kun tunggu, aku hanya bercanda." kata Tsuki-san dan mengejar Taiga.

"Tidak lucu."

"Maaf, maaf," Tsuki-san lalu memegang wajah Taiga dan mendongakkan wajahnya setelah dia duduk. "Tapi kau memang cantik seperti ini, Taiga-kun."

"Tapi aku tidak mau menjadi cantik." balas Taiga.

"Aku tahu," Tsuki-san tersenyum dan mengelus-elus pipi Taiga yang kemerahan karena blush on yang dipakaikan padanya oleh Tsuki-san tadi dengan ibu jarinya. "Tapi coba pikirkan seperti ini, kau sekarang mempunyai lebih banyak pelanggan jadi kau akan lebih cepat untuk membayar utang-utang orang tuamu."

Taiga memandang Tsuki-san kemudian mengangguk. "Mungkin kau benar."

Tsuki-san lalu tersenyum dan melepaskan wajah Taiga. "Semoga berhasil malam ini."

.

Tapi tidak lama setelah Tsuki-san pergi, dia sudah kembali lagi dan memberitahu Taiga kalau dia sudah mendapat pelanggan. Taiga kemudian mengikuti Tsuki-san ke ruangan yang sudah dipesan di mana pelanggannya untuk malam ini berada.

"T-Taiga?"

Taiga mengangkat wajahnya dan melihat Ren-sensei memandangnya dengan mata terbelalak.

"Sensei," Taiga tersenyum melihat gurunya, paling tidak dia tidak harus kesakitan kalau bersama gurunya.

"Kau… terlihat berbeda." Ren-sensei masih tetap memandanginya.

"Y-ya." Taiga dengan gugup memegang rambutnya.

"Bagaimana kabarmu?" tanya gurunya. "Maaf aku tidak pernah mengunjungimu akhir-akhir ini."

"Tidak apa-apa," balas Taiga. "Sensei pasti sibuk."

"Sebenarnya aku ingin memberikanmu ini," Ren-sensei lalu mengambil pedang kayu yang ditaruh di bawah meja di antara mereka dan memberikannya ke Taiga. Taiga membelalakkan matanya melihat pedang kayu itu. Pedang itu sangat mirip dengan pedang pemberian ayahnya dulu.

"I-ini…" Taiga masih menatap pedang kayu di tangannya dengan tidak percaya.

"Aku mengunjungi rumahmu sebulan yang lalu dan menemukan pedangmu dulu. Aku akan memberikannya padamu tapi sayangnya pedang itu sudah rusak dan patah menjadi dua," cerita gurunya. "Jadi aku mencoba untuk membuatnya ulang untukmu. Maaf kalau tidak mirip."

"Ini mirip sekali dengan pedangku," kata Taiga dan tersenyum sangat lebar ke gurunya. "Terima kasih, Sensei."

"Sama-sama," balas gurunya ikut tersenyum. "Dan setelah bertanya-tanya dan mencari, aku menemukan di mana makam orang tuamu."

Taiga yang sebelumnya masih tersenyum sambil memandangi pedang barunya, berubah menjadi murung.

"Oh maaf Taiga, aku pikir kau ingin tahu." Ren-sensei berkata karena melihat perubahan raut muka Taiga.

"T-tidak," Taiga menggelengkan kepalanya dan mencoba tersenyum. "Aku memang ingin tahu, tapi…" Taiga tidak menyelesaikan kalimatnya dan menundukkan wajahnya. Meskipun kejadian itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu tapi tetap saja itu masih membuatnya sedih. Selama ini dia memang penasaran dan ingin tahu bagaimana keadaan orang tuanya, apakah mereka bisa selamat malam itu atau mereka sudah… meninggal seperti kata Wakamoto. Dan selama ini Taiga selalu berpura-pura kalau orang tuanya selamat dan masih ada dan sekarang mereka sedang mencari Taiga. Tapi setelah perkataan Ren-sensei yang menemukan makam orang tuanya, kalau begitu sudah ada bukti kalau mereka benar-benar meninggal.

"Taiga…" Taiga agak kaget ketika tiba-tiba Ren-sensei memeluknya dengan erat. Taiga membalas pelukan gurunya menempelkan wajahnya di dada Ren-sensei.

"Kau mau mengunjungi mereka?" tanya Ren-sensei dan melepaskan pelukannya setelah beberapa saat.

"Apa?"

"Aku bisa mengantarmu."

"Tapi…"

"Jangan khawatir," Ren-sensei mengelus-elus pipi Taiga. "Aku sudah memesanmu untuk malam ini jadi kau bisa ke manapun denganku. Bagaimana?"

"Baiklah." kata Taiga akhirnya.

Beberapa saat kemudian, Taiga sudah berhadapan dengan dua nisan tinggi dengan nama kedua orang tuanya menghiasi. Meskipun tadi saat perjalanan Taiga sudah memikirkan apa yang akan dikatannya nanti saat sudah sampai di makam orang tuanya tapi sekarang saat dia sudah berada di sini, dia malah merasakan lidahnya kelu dan tidak bisa berkata apa-apa. Sekarang ini nyata, ada di depan matanya kalau orang tuanya memang sudah meninggalkannya dan tidak akan kembali. Tanpa disadarinya, air mata sudah turun dengan deras menuruni wajahnya dan mengotori wajahnya karena make up-nya.

"Taiga," Ren-sensei yang daritadi hanya diam dan menemaninya di sebelahnya memegang tangan kiri Taiga di tangannya yang hangat dan besar.

"M-maaf," Taiga terisak dan mencoba menghapus air matanya dengan tangannya yang tidak digenggam oleh gurunya.

"Hey, tidak apa-apa kalau kau ingin menangis." Untuk kedua kalinya pada malam itu, Ren-sensei kembali merengkuhnya.

Mendengar perkataan gurunya itu membuat Taiga menangis semakin keras tapi suaranya teredam oleh pundak gurunya. Taiga jadi mengingat malam itu, malam dimana dia kehilangan dua orang yang paling dicintainya di dunia ini dan membuatnya menjadi seperti ini. Tapi meskipun Wakamoto mengambilnya untuk membayar utang-utang orang tuanya tapi Taiga tidak pernah menyalahkan orang tuanya dengan keadaannya sekarang. Semuanya bukan salah orang tuanya karena mereka melakukan itu juga untuk Taiga. Setelah beberapa saat dan Taiga sudah tenang karena perkataan menenangkan dari Ren-sensei dan elusan di punggungnya, Taiga melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya.

"Maaf Sensei, bajumu jadi kotor."

"Jangan pikirkan itu," kata Ren-sensei dan memegang pundak Taiga. "Kau tidak apa-apa?"

Taiga mengangguk.

Ren-sensei tersenyum dan mencium kening Taiga lalu memegang tangan Taiga. "Siap untuk kembali?"

Taiga kembali mengangguk dan megikuti Ren-sensei untuk kembali ke okiya.

"Terima kasih Sensei sudah memberitahuku di mana makan orang tuaku." Taiga akhirnya berkata setelah sudah berjalan dengan gurunya masih memegang tangannya.

"Senang bisa membantumu." kata Ren-sensei dan memandang Taiga kemudian mengerutkan keningnya ketika melihat Taiga dan melepaskan genggamannya di tangan Taiga. Dia lalu membuka jaket kain yang dikenakannya dan memakaikannya ke Taiga. "Kau pasti kedinginan."

Taiga memandang pundaknya yang sebelumnya terekspos karena style kimononya yang seperti itu sekarang menjadi hangat karena jaket gurunya yang diberikan untuknya. Taiga tersenyum dan lebih mengeratkan jaket gurunya di tubuhnya. "Terima kasih, Sensei."

"Hey lihat siapa ini…" Tiba-tiba beberapa orang dengan badan besar dengan tampang menyeramkan mengepung Taiga dan gurunya. "Ren dan pelacurnya."

"Ada yang bisa ku bantu?" tanya Ren-sensei dan secara protektif menarik Taiga untuk bersembunyi di belakangnya.

"Ya," salah satu orang besar itu yang kelihatannya adalah ketuanya menyeringai dan menunjukkan gigi-gigi kuningnya. "Aku akan membunuhmu."

.

.

.

A/N: hayyyy maaf updatenya lama ;_; semoga masih ada yang baca :v

Terima kasih review, fav, follownya. Review lagi yaa :)