Mereka saling terjerat namun membenci satu sama lain. Kecemburuan yang mereka alami mengalahkan cinta dan akal sehat sehingga menciptakan ritme sempurna antara terobsesi dan saling menghancurkan. / "Dasar sinting!" … "Gracias, my bitchy."…"Kewarasanmu benar-benar dipertanyakan, Sadis." / Warning inside! AU/ DLDR!
Gintama " Sorachi Hideaki
Sougo x Kagura
Rate M
[Attention!]
Fanfic ini mengandung unsur dewasa yang tak layak di konsumsi oleh anak di bawah umur. Jika masih nekad saya tidak bisa menjamin kepolosan kalian tidak ternodai yaaa dan lagi saya tidak mengambil keuntungan apapun dari pembuatan fanfic ini.
Warning inside! AU, typo(s), OoC, mature theme, etc…
Hell(o) Love" Presented by Exceele
Don't Like Don't Read!
Enjoy…
(*)(*)(*)
Langit Edo nampak cerah pagi ini meski udaranya sedikit lembab. Akhir-akhir ini cuaca di kota itu sering berubah-ubah dikarenakan musim panas sebentar lagi berakhir.
Suara bising dari klakson kendaraan yang membelah jalanan sama sekali tidak dipedulikan oleh gadis bercepol yang dengan nyamannya menyandarkan kepala vermillionnya di kaca jendela bus yang sedang melaju dengan kecepatan sedang. Tangannya sibuk memijat pahanya guna menghilangkan rasa pegal yang mendera kakinya karena sepatu hak tinggi hitam kesayangannya itu.
Bus itu tidak terlalu padat namun juga tidak terlalu lenggang. Kagura –gadis yang sedang mengurut kakinya itu duduk sendirian di bangku barisan ketiga arah pintu dengan mata yang terpejam. Suasana hatinya sedang tidak sebagus cuaca pagi ini. Rasanya ia sedang membutuhkan sesuatu –atau lebih tepatnya seseorang untuk menjadi samsak tinjunya.
Alisnya menukik tanda ia benar-benar dalam keadaan yang tidak baik. Bus masih berjalan dengan tenang sampai akhirnya berhenti di sebuah halte. Kagura menyadarinya, ia harus segera turun di halte ini kalau tidak ingin terlambat –lebih terlambat maksudnya.
Dengan enggan ia berdiri dan melangkahkan kaki jenjangnya kearah pintu untuk keluar. Langkahnya terseret –ada rasa ngilu bercampur pegal di bagian bawah tubuhnya, dan hal itu sontak saja mengundang berbagai macam tatapan dari orang sekelilingnya. Kagura tidak peduli. Yang ia inginkan sekarang segera turun dari bus ini untuk sampai ke kantornya secepat yang ia bisa. Ia sudah terlambat bermenit-menit yang lalu karena kesiangan. Tidak. Ini tidak sepenuhnya kesahalannya. Ada seseorang yang membuatnya begini yang juga merupakan dalang dari semua kekesalan Kagura.
"Tsk…" Kagura hanya berdecil saat ponselnya tidak berhenti bergetar sejak ia keluar dari apartemenya hingga sekarang. Tanpa perlu melihatpun Kagura sudah tahu siapa orang gila yang terus menerus menghubunginya itu.
Kini ia sudah sepenuhnya memijakan kaki ke tanah dan mulai melangkah selebar yang ia bisa.
Untung halte itu berada di depan perusahaan tempat ia bekerja, walau kenyataannya ia masih harus berjalan kaki karena jarak dari halte ke gedung perkantorannya terbilang cukup jauh karena lapangan parkirnya yang luas.
"Brengsek….!" Umpatnya pegal karena terus menerus ponselnya tidak berhenti bergetar. Dengan cekatan tangan putih itu mengeluarkan ponselnya dari tas dan menjawab panggilan menyakitkan telinga itu.
'Setelah sampai, ke ruanganku segera.' Sambungan terputus. Kalimat serapahan yang sudah siap Kagura lontarkan berhenti di ujung lidahnya saat suara maskulin di seberang sana sudah mencuri start terlebih dahulu dan secara sepihak memutuskan panggilan tanpa memberi kesempatan pada Kagura untuk buka suara.
Kagura menatap layar ponselnya nyalang. Di sana tercetak dengan jelas puluhan panggilan tak terjawab dengan nama kontak yang sama.
Bastard! Itulah nama kontak yang berderet di logs panggilannya.
–lagi Kagura berdecak dengan amarah yang meluap-luap. Di kembalikannya ponsel itu ke tempatnya dan sesegera mungkin melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.
(*)(*)(*)
Ting! Pintu lift itu terbuka dengan angka menunjuk lantai 20 di atasnya. Saat Kagura keluar manik biru lautnya langsung di sapa dengan lobby kosong melompong tanpa adanya satupun benda yang terletak di sana.
Sebuah kewajaran karena khusus untuk lantai ini hanya ada satu pintu yang langsung terhubung dengan ruangan sang direktur perusahaan.
Helaan nafas keluar dari celah bibirnya. Ia sedang mencoba memperbaiki ekspresinya dengan tatapan datar. Untuk menghadapi orang itu. Hanya untuk orang itu Kagura menebalkan pertahanan dirinya berlipat-lipat.
Ia siap!
Dengan mantap Kagura berjalan menuju meja panjang yang terdapat di sisi pintu lebar itu. Tentu saja di sana ada seseorang yang sedang duduk berkutat dengan monitor di hadapannya, dan sepertinya orang itu belum menyadari keberadaan Kagura.
Sampai akhirnya suara ketukan terakhir dari pantofel tinggi Kagura membuat orang itu mendongak dan menemukan Kagura sudah berdiri di depannya.
Orang yang nyatanya seorang gadis itu langsung menatap Kagura dengan tatapan menusuk. Jelas sekali bahwa ia tidak menyukai kehadiran gadis itu di sini.
Merasakan adanya siratan intimidasi Kagura hanya memutar mata bosan. Di usianya yang ke-25 tahun ini, tatapan seperti itu sudah menjadi santapannya sehari-hari sejak bertahun-tahun lalu. Mungkinkah itu disebabkan ia yang terlalu cantik? Hingga banyak orang –terutama perempuan menatapnya benci atau iri seperti itu. Sebenarnya jawaban itu tidak sepenuhnya benar namun juga tidak mutlak salah.
Dari dulu Kagura memang sering mendapatkan tatapan iri dari teman-temannya karena wajahnya. Namun untuk masalah gadis ini sudah dipastikan karena persoalan lain. Jawabannya akan segera diketahui dari balik pintu berdaun dua itu.
Kagura membungkukan badan sedikit sebagai salam sekaligus izin untuk membuka pintu di hadapannya ini.
Gadis beriris merah dengan rambut lurus indigonya hanya membalas singkat dan kembali fokus ke komputernya.
Ia di abaikan. Walau tidak sepenuhnya. Kagura kembali menghela nafas dan melangkah untuk membuka pintu itu dengan menekan handle-nya.
Pintu itu terbuka dan segera menelan tubuh Kagura yang beranjak masuk ke dalam. Sorotan pertama yang Kagura lihat saat sudah benar-benar di dalam adalah seseorang yang duduk di balik meja keberasannya yang menghadap langsung ke pintu.
Laki-laki itu menampilkan senyum dingin ketika mengetahui Kagura lah yang memasuki ruangannya. Ah, ia sudah benar-benar menunggu lama untuk wanita itu.
"Sikap Nobume semakin hari semakin buruk kepadaku." Lontaran pertama keluar dari Kagura yang berisi protes tentang sikap sekretaris orang yang ada di hadapannya ini.
Alis berwarna pasir itu terangkat sebelah, "Benarkah? Kurasa itu bukanlah hal baru untukmu." Bariton tanpan intonasi itu benar-benar membuat Kagura muak.
"Kenapa memanggilku? Cepat katakan! Aku tidak punya banyak waktu untuk meladeni tingkahmu kalau itu yang kau inginkan!" Ketus Kagura yang segera di tanggapi dengan kekehan pelan oleh laki-laki yang tak lain adalah bos nya di perusahaan ini –Okita Sougo.
"Slow down baby…" Mendengarnya Kagura berdecih, ia benar-benar jengkel jika berdekatan dengan manusia sadis ini. Seolah-olah Sougo didatangkan kepadanya untuk menguji kesabarannya yang memang berada di bawah standar.
"Aku hanya ingin menanyai keadaanmu setelah pertarungan kita semalaman. Tapi kurasa kau baik-baik saja." Katanya santai dengan pandangan menilai. "Sudah kuduga, seharusnya kita bermain seharian penuh untuk membuatmu tak bisa berjalan."
"Sadis sialan!" Seru Kagura dengan mengepalkan tangannya erat. "Kau pikir aku budak seks-mu?!"
Jari telunjuk itu bergerak ke kanan-kiri tepat di depan wajah tampan miliknya. "Tentu saja bukan, budak dan tunangan itu memiliki strata yang berbeda. Kau tunanganku. Semua orang tahu itu. Dan lagi, apa salah jika bercinta dengan tunanganku sendiri?"
Kagura menatap Sougo nanar. Hatinya terasa remuk dengan ucapan Sougo barusan. Lalu jikalau ia bukan tunangannya apa Sougo akan menyebutnya sebagai budak seksnya?
Kagura mendecih pelan saat pikiran itu menyergap pikirannya.
Ia benar-benar benci laki-laki yang bertampang innocent ini! Demi Kamisama, kenapa ia harus bertemu dengan pria bejat seperti Sougo?
"Kau memuakkan!" Cela Kagura dengan tajam.
Bukannya tersinggung Sougo malah tertawa yang terdengar seperi hinaan di telinga Kagura. "Itu memang kenyataannya, sayang." Balasnya ringan.
Kagura merasakan darahnya mendidih, giginya bergemelatuk menahan emosi untuk tidak melemparkan apapun yang ada di dekatnya ke wajah laki-laki itu.
"Jika hanya itu, sebaiknya aku pergi!" Benar. Berada di sini sangat tidak baik untuk darah tingginya. Kagura mengambil keputusan yang tepat untuk segera angkat kaki dari ruangan yang penuh aura sang Lucifer.
Kagura memutar tubuhnya cepat dan segera meraih handle pintu. Namun, sebelum benar-benar menekannya ia menoleh ke belakang dan dapat ia lihat Sougo masih di sana, duduk di singgasananya seraya menyeringai kearahnya.
"Jangan menghubungiku lagi layaknya orang gila kurang kerjaan! Itu sangat mengganggu, jika memang ada perlu kau hanya cukup mengirimiku pesan singkat!" Kagura merasa berbicara dengan Okita Sougo tidak bisa tidak menggunakan tanda seru di ujung kalimatnya.
"Orang gila pada dasarnya tidak ada yang bekerja, China. Kau salah jika menganggapku orang gila kurang kerjaan karena nyatanya aku bekerja di sini. Sebagai direktur. Dan lagi jika mengirimimu pesan singkat sangat tidak seru. Aku tidak bisa mendengar suara seksimu atau sekedar hanya helaan nafasmu yang menggoda." Bibir tipis itu melebarkan senyum mautnya yang dijamin bisa membuat wanita manapun yang melihatnya menggelepar seketika. Namun sayangnya hal itu tidak mempan untuk Kagura.
"Dasar sinting!"
"Gracias, my bitchy." Sougo membalasnya dengan cepat, seolah ucapan kasar barusan adalah pujian untuknya.
Kagura tidak tahan, mendengar Sougo yang selalu bisa mematahkan ucapannya hanya membuat telinganya sakit. Maka dengan itu dibukanya pintu tak berdosa itu kasar dan menutupnya dengan sekuat tenaga. Hingga menimbulkan bunyi bedebam yang keras.
Nobume yang di luar tentu terlihat sangat terperanjat akibat kemunculan Kagura tiba-tiba dengan bunyi pintu yang tertutup kasar. Alisnya bertautan bingung melihat wajah Kagura yang mengeras.
Kagura berdecih dan segera beranjak dari tempatnya berdiri, meninggalkan Nobume dengan tatapan herannya.
Hari ini ia benar-benar sial –tidak, semenjak ia bertemu dengan Sougo tidak ada kesialan yang tidak menghampiri hari-harinya.
Sambil menunggu pintu lift terbuka, Kagura menatap lekat cincin perak berbatu ruby yang melingkar di jari manis kirinya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Sejak kapan? Batinnya bertanya-tanya.
Sejak kapan ia mulai terikat dengan pangeran sadis itu? Ia bahkan tidak bisa mengingatnya lagi.
Tidak banyak kenangan yang patut diingat karena kebersamaan mereka selalu diisi dengan adu mulut. Tapi… bagaimana bisa ia dengan mudah menerima cincin ini tersemat di salah satu jarinya ketika pria itu melamarnya dua tahun yang lalu?
Kagura bahkan tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Ia seperti orang yang terombang-ambing di perairan Atlantik tanpa perahu. Penglihatannya luas namun yang terlihat hanya hamparan air laut tanpa ujung. Ia gamang.
Ting! Pintu lift terbuka dan tanpa menunggu waktu lama, dengan pikiran yang berkecamuk segera ia bawa tubuh rampingnya memasuki benda persegi itu.
.
.
.
Pintu kelas 3-Z itu terbuka lebar. Gadis berambut panjang hitam legam masuk bersama sahabatnya. Suasana kelas tampak ricuh seperti biasanya, karena sudah biasa mendapati keributan di kelas ini Soyo dan Kagura –sepasang sahabat yang baru masuk kelas itu langsung duduk di bangku mereka yang terdapat di saf nomor dua dari belakang, baris ketiga dari pintu.
Melihat Kagura yang baru masuk kelas, siswa di sana langsung bersiul-siul menggoda murid pindahan itu. Wajah imut dengan aksen cepol rambut yang menghiasi sisi kepalanya, serta kulit seputih susu itu tentu sangat mudah untuk menarik perhatian kaum Adam.
Kagura itu cantik. Sudah pasti.
Sifatnya yang cuek menambah nilai plus di mata para laki-laki yang sudah mengincarnya. Bagi mereka, sifat juah mahal begitu bagai tantangan tersendiri untuk mendapatkan Kagura.
Soyo hanya tersenyum melihat Kagura yang memutar mata bosan. Ia memang baru pindah 2 bulan lalu, tapi ia masih sangat risih dengan tatapan-tatapan liar yang di layangkan kearahnya.
Jengah dengan godaan-godaan basi itu Kagura menelungkupkan kepalanya ke permukaan meja dengan sedikit kasar.
Mereka hanya melihat Kagura dari penampilan luarnya saja tapi Kagura jamin tidak ada satupun dari mereka yang tahu sifat aslinya.
Sifat menyebalkan. Setidaknya itulah yang dikatakan Soyo secara blak-blakan.
Kepala yang tertelungkup itu berubah posisi menjadi menyamping menghadap jendela kelas. Dan di sanalah iris merah dan biru bersirobrok. Kagura mengedipkan matanya beberapa kali mencoba memastikan dan benar saja manik merah gelap itu memang menatap kearahnya.
"Tsk…" Berdecak sebal Kagura kembali menelungkupkan kepalanya kali ini di atas lipatan lengan. Adakah satu laki-laki saja yang menatapnya dengan tatapan normal bukan tatapan penuh intensitas yang berlebihan? Jika ada maka Kagura akan langsung mencalonkan diri sebagai istrinya di masa mendatang nanti.
"Kagura-chan…" Sebuah guncangan pelan ia rasakan dibahunya.
"Hm…?" Sahutnya teredam. Merasa sedikit terabaikan Soyo semakin jadi mengguncang bahunya.
Helaan nafas terdengar dari mulut Kagura, lalu dengan perlahan ia mengangkat kepalanya dan memusatkan seluruh perhatiannya kepada sang sahabat yang baru ia dapatkan dua bulan lalu.
Soyo merapatkan diri ke tubuhnya disertai kepala yang condong kearah telinganya untuk membisikan sesuatu.
"Lihat itu…." Soyo mengatakannya dengan sangat pelan, Kagura mengangkat alis sebelah tidak mengerti akan ucapan Soyo.
"Apa maksudmu, Soyo-chan?"
"Pstt…! Jangan keras-keras. Lihat itu." Kagura mengikuti arah tunjukan dagu Soyo, "Okita-kun melihat kearahmu terus." Setelah itu yang Kagura dengar adalah kikikan geli dari sebelahnya.
Tatapannya kembali bertemu dengan manik ruby itu. Namun sedetik kemudian Kagura mengalihkan pandangannya kembali kearah Soyo.
"Lalu?" Tanyanya sedikit heran melihat tingkah girang yang ditunjukan oleh Soyo secara terang-terangan.
Mata Soyo terbelalak dan langsung mencengkram kedua bahu gadis yang lebih pendek beberapa centi darinya. "Astaga! Kalalu dia terus memperhatikanmu seperti itu berarti dia tertarik denganmu!" Gebunya menjelaskan.
"Memang ada apa dengan hal itu?" Mendengarnya Soyo langsung membenturkan keningnya dengan kening milik Kagura.
Tindakan itu mau tidak mau membuat Kagura sedikit meringis karena benturannya terbilang cukup menyakitkan.
"Kagura-chaan! Dia itu Okita-kun loh… Okita-kun!" Entah kenapa Soyo menjadi sangat gemas dengan tingkah cuek teman cepolnya ini. "Dia itu pangeran sadis yang paling diminati siswi di Sekolah ini –tidak tidak, ia bahkan terkenal di sekolah lain karena kesadisan dan ketampanannya!"
"Banyak yang gadis mengidolakannya. Masa' kamu tidak tahu sih, kamu sudah dua bulan di sini. Setidaknya dalam kurun waktu segitu sudah cukup untuk mengetahui tetek bengek yang ada di sekolah ini."
Kagura mendorong tubuh Soyo pelan untuk memberikan ruangnya bernafas. Berdekatan seperti itu entah dengan siapa saja Kagura selalu tidak leluasa menghirup oksigen.
Setelah sedikit merasa lebih baik, Kagura dengan lekat-lekat menatap obsidian milik Soyo.
"Dengar ya Soyo-chan, aku sedang tidak tertarik untuk menjalin komitmen dengan siapapun." Tukas Kagura pelan-pelan, takut menyakiti perasaan teman terdekatnya ini.
"T-tapi dia Okita-kun loh, Kagura-chan. Kau akan menyesal jika menolaknya." Balas Soyo memperingati yang segera dibalas senyuman lebar oleh Kagura.
"Aku sedang tidak ingin memikirkan apa-apa, Soyo-chan. Dan hanya ingin fokus dengan apa yang sedang kukejar. Jadi tidak ada waktu untuk menyesal." Timpal Kagura penuh keyakinan.
"Bukan begitu maksudku –" Ucapan Soyo tersela dengan pintu kelas yang bergeser dan munculah guru Sejarah berambut perak keriting dengan tatapan malasnya. Guru itu mulai melangkah masuk dan para siswa yang menyadari kehadiran guru itu mulai sibuk kembali ke bangku masing-masing.
"Sudahlah Soyo-chan, nanti kapan-kapan bisa kita bahas. Oke?" Mendengar itu Soyo hanya mengangguk lemah dengan tatapan simpatik kearah Kagura. Lalu pandangannya beralih kearah Okita Sougo yang sudah memandang ke depan kelas tempat sang guru sudah berdiri siap memberikan materi.
Merasa tidak bisa mengalahkan kekerasan kepala Kagura Soyo hanya menghela nafas dan mendoakan yang terbaik untuk temannya itu.
.
.
.
Menyadari keberadaan Sougo dari jauh sepertinya sudah keahlian Kagura. Seperti sekarang tubuhnya bereaksi saat melihat seperempat tubuh Sougo yang sedang membelakanginya di pengkolan koridor menuju pintu utama gedung perusahaan. Meski dalam keadaan seperti itu Kagura sangat yakin bahwa itu adalah si sadis sialan.
Jam kerja sudah selesai 20 menit yang lalu dan seluruh pegawai pasti sudah kembali ke rumah masing untuk merehatkan tubuh mereka yang bekerja seharian. Alasan Kagura baru pulang sekarang disebabkan tugasnya yang baru kelar beberapa menit yang lalu –salahkan efek telat yang ia lakukan tadi pagi, seandainya ia tidak datang terlambat ia pasti selesai tepat waktu. Oke lupakan itu.
Sekarang yang menjadi pertanyaan Kagura adalah kenapa sang direktur muda itu masih berkeliaran jam segini?
Dengan beberapa spekulasi yang menggerayangi benaknya, Kagura melangkahkan kakinya pelan. Ia mengutuk mengapa jalan menuju pintu keluar hanya bisa melewati koridor besar ini? Dan lagi kenapa Sougo harus di sana?
Matanya mengerjap beberapa kali seolah baru mendapatkan pencerahan.
Kenapa ia harus sembunyi-sembunyi? Toh, ia juga ingin pulang. Lagian ini satu-satunya jalan menuju pintu keluar selain basement untuk parkiran bawah tanah, kan.
Menepuk jidatnya dramatis Kagura baru menyadari kebodohannya. Maka dengan itu ia kembali melangkah normal.
Kagura yakin ia baik-baik saja, akan tetapi seperti yang sering orang terdahulu bilang rasa kepercayaan diri yang terlalu berlebihan akan membawa malapetaka sendiri bagi si empunya.
Begitu juga yang terjadi pada Kagura. Kini mata beriris biru itu terlihat seperti hampir keluar dengan langkah kaki yang tiba-tiba terhenti, jaraknya dengan Sougo hanya tinggal 4 meter dan dari tempatnya berdiri tentu ia dapat melihat dengan jelas laki-laki itu.
Dan sekarangKagura mengerti mengapa Sougo belum pulang di jam segini dan alasan ia berdiri di sana. Yang jelas laki-laki itu berdiri di sana bukan untuk menunggunya. Laki-laki itu hanya sedang menggeluti aktivitasnya.
–bercumbu mesra dengan sekretarisnya sendiri.
Dada Kagura terasa nyeri, saking sakitnya ia bahkan tidak sanggup meneteskan barang secuilpun air matanya. Ekspresi syok yang sempat ia tunjukan berubah menjadi senyum lebar yang tak sampai di mata.
"Sadis…."
TBC
This is my first fanfic in this fandom! So, hello guys…!
Saya tahu ini banyak kekurangannya dan mohon untuk dimaklumi.
Anw, lupakan suffix aru yang biasa Kagura gunakan di animanganya ketika membaca ini. Jangan ditanya kenapa.
Saya adalah tipikal orang pendiam jadi agak bingung harus ngomong apa.
Jadi yang bisa saya ucapkan hanyalah terimakasih sebanyak-banyaknya kepada kalian yang sudah mau repot-repot mereview atau sekedar membaca fanfic ini.
Saya tidak menuntut apapun, karena pada dasarnya saya menulis untuk memuaskan hasrat saya bukan untuk maksud lain.
Kalau begitu sampai di sini saja cuap-cuap saya.
Thanks!
– EL –