Disclaimer: SVT © Pledis Entertainment. Henshin Dekinai © Kousaka Tohru. Okane ga Nai © Shinozaki Hitoyo. This piece is just a remake writing – yet any kind of plagiarism is restricted.
.
.
.
Henshin Dekinai
(SeungHan Ver.)
.
.
.
Lenght: Multi-chaptered (5/13)
Pairing: SeungHan/JeongCheol.
Genre(s): Josei, Slice-of-Life, Drama, Romance
Rating: M (PG-15)
Warning(s): Alternate-Universe; remake to Henshin Dekinai which belong to Kousaka Tohru and an spin-off to famous piece Okane ga Nai which belong to Shinozaki Hitoyo; okama!Jeonghan, car-mechanic!Seungcheol; manga-like-writing.
Trigger: Genderbender Crossdressing.
.
.
.
Ringkasan
Seungcheol, montir mobil sekaligus mantan gangster, jatuh cinta pada Jeonghan, seorang banci yang cantik. Jeonghan menjanjikan kencan sebagai bayaran atas perawatan mobilnya. Awalnya Jeonghan hanya ingin bermain-main – tapi bahkan setelah mengetahui gender aslinya, perlakuan Seungcheol terhadapnya tidak berubah.
.
.
.
CASE 5
Seperti Kupu-kupu pada Hari Itu (1.260 words)
.
.
.
"Karena aku menyukai Jeonghan."
Peluh meluncur, pelan turun dari dahi dan menetes ke bawah dagunya. Saat ini bukan musim panas, namun entah mengapa Jeonghan merasa tensi suasana naik banyak sampai membuatnya gerah sendiri. Seungcheol jongkok bersebelahan dengannya sementara tatapan pria itu lurus ke depan.
Tidak ada tanggapan lain setelah itu. Jeonghan cukup sibuk dengan pikirannya, tentang kenapa jantungnya sempat berpacu lebih kencang saat Seungcheol mengatakan suka padanya. Sebab, untuk ukuran pria ugal-ugalan macam Seungcheol, kata 'suka' mungkin tidak terlalu memiliki makna banyak.
Jeonghan berusaha memasang wajah setenang mungkin; agar kebohongannya tidak segera ditemukan sebab jika itu terjadi pasti keadaan di antara mereka bakal canggung lebih dari apapun. Untung sekali Seungcheol tipe yang gampang termakan ucapan. Kalau dia lebih pintar sedikit, entah di mana Jeonghan harus taruh muka.
Tak peduli bagaimana, Jeonghan mustahil membiarkan montir di sampingnya tahu kalau mereka adalah orang yang sama.
Seungcheol benci hening jadi dia berkomentar sebagai distraksi, "Kau berkeringat banyak, Hyeong. Kauyakin baik-baik saja?"
"A-aku baik. Jangan khawatir." Jeonghan tergagap.
"Hmm." balas Seungcheol singkat sebelum pundak mereka ditepuk dari belakang.
"Maaf, Tuan-tuan. Aula terbuka kami sudah dipesan untuk hari ini. Apakah Anda berdua juga termasuk tamu undangan?"
Jeonghan terkejut selagi Seungcheol memandang dingin.
Benar saja, di balik semak-semak tempat mereka sembunyi adalah aula besar, mewah dengan dekorasi pesta padat di setiap sisi. Pita besar dijalin di atas karangan bunga besar; lengkap ditemani tulisan selamat berbahagia dengan nama mempelai.
Masih dalam status terkejut, Jeonghan tidak bisa lebih panik lagi ketika dia melihat banyak tatapan tertuju padanya dalam sekejap. Semuanya menusuk, seperti mengimplikasikan kalau dia pengacau. Dia merusak hari besar dalam hidup seseorang.
Mempelai pria menghentikan acara bersulangnya sementara pengantinnya mengerutkan bibir, menuding Jeonghan tak langsung. Tamu-tamu berbisik, dan ada juga yang merasa tak nyaman. Jeonghan mengutuk betapa waktu dan keadaannya saat ini sungguh-sungguh tidak tepat.
"S-saya ... benar-benar minta maaf." ujar Jeonghan, gugup. "Kami akan segera pergi dari sini." Jeonghan membungkukkan badan dalam-dalam saat suara yang akrab untuknya terdengar: "Kalian belum menemukan Jeonghan Hyeong?" Terlalu dekat.
Saat berbalik, mengintip, Seokmin berdiri di sana, bicara lewat sambungan telepon tapi tidak menghadap Jeonghan. Sinyal bahaya Jeonghan menyuruhnya segera pergi tapi dia masih punya urusan yang belum selesai. Baik itu Seungcheol, atau dengan pesta perkawinan orang yang dia kacaukan tanpa sengaja.
"Saya sungguh-sungguh meminta maaf, jadi tolong biarkan kami pergi dan saya akan membayar kerugiannya." Jeonghan berkata; tak punya gagasan lain.
Beberapa tamu meledak, beberapa lagi menuntut dengan kata-kata kasar. "Seenaknya kau bicara. Ini bukan soal uang!"
Tatapan Jeonghan redup, kepalanya tertunduk dan dia benar-benar habis akal. Dihadapkan dalam situasi seperti sekarang bukanlah keahliannya. "Saya minta maaf." ujarnya berulang-ulang.
Di saat dia sudah tidak tahu apa yang harus dilakukan, Seungcheol tiba-tiba berlutut di hadapan orang-orang yang menuntut tanggung jawab. Dia menunduk dalam sampai punggungnya setara dengan kaki orang. Harga diri dibuang jauh-jauh. "Ini memang salah kami telah mengacaukan acara Anda. Kami benar-benar memohon maaf."
Audiens tergugu. Jeonghan apalagi.
Salah satu tamu pria paruh baya menghampiri Seungcheol, menyuruhnya lekas berdiri. "Kau tidak perlu sampai sejauh ini, Nak."
Seungcheol menepis tangan pria itu lembut, "Kami benar-benar minta maaf dengan tulus telah mengacau pernikahan di sini, tapi orang ini," dia mencengkram pundak Jeonghan dengan tangan-tangannya, "dia dikejar oleh orang yang berbahaya, jadi kami mohon kesediaan Anda untuk melepaskan kami kali ini."
"..."
"Saya mohon bantuannya."
Jeonghan tahu, Seungcheol memang eksentrik—jika menyebutnya aneh bukan sebuah pilihan. Akan tetapi, dari sudut pandang logis, dengan menjelaskan keadaan mereka secara jujur bukan berarti orang-orang itu akan begitu saja percaya; sebaliknya, mereka hanya akan makin curiga.
Bagaimana kalau setelah ini mereka menelepon petugas?
"... Aku mengerti." kata pria paruh baya yang tadi mengulurkan tangan, "kalau begitu situasinya, mau bagaimana lagi."
Tamu-tamu lain bertukar pandang dan mengangguk. "Bagaimana kami membantu kalian?"
Seungcheol, tersenyum dan penuh dengan percaya diri dalam menjawab, "Bolehkah kami menyelinap diam-diam dan lari lewat belakang?"
"Apa itu bisa membantu?"
"Itu akan menyelamatkan hidup kami." Seungcheol berucap. "Anda semua benar-benar orang yang menakjubkan. Dengan orang-orang seperti Anda, saya yakin mempelai pria dan wanita di sana akan hidup dengan bahagia."
Jeonghan tahu Seungcheol punya banyak poin mengejutkan. Tapi baru kali ini dia sadar sepenuhnya bahwa pria itu juga punya kekuatan memanipulasi kata-kata. Terbukti bahwa setelah dia selesai bicara, sejumlah tamu melingkarinya; ada yang menawarkan kartu nama dan pelayan yang awalnya merasa risih, menawarinya minum tanpa segan. Bagaimanapun, Jeonghan bersyukur dia terjebak dengan Seungcheol hari ini.
.
.
.
"Kita sudah kabur jauh. Ayo duduk dulu di taman itu," Jeonghan menyarankan mereka rehat. Mereka menyetok oksigen yang habis dan kelelahan dengan tenaga yang diforsir.
Seungcheol lebih dulu kembali stabil, menempelkan botol minuman di pipi Jeonghan. "Minumlah."
Jeonghan tidak menolak. "Ini dari pesta tadi? Bukankah mereka berlebihan?"
Seungcheol mengangkat pundak, "Aku juga dibawakan makanan." Minum seteguk, Jeonghan menghela napas, dan bertanya, "Kenapa?" saat Seungcheol menatapnya. "Pakaianmu ...."
"Ah?"
"Bukankah kau mau pergi ke peringatan kematian? Tapi lihat dirimu, pakaianmu kotor semua."
Jeonghan berdengung, "B-bukan masalah besar kalaupun aku batal datang."
"Kau harus datang." Seungcheol menunduk, melepas ikat kepalanya dan mengusap debu di celana Jeonghan dengan sabar. "Kalau kau membersihkannya akan terlihat lebih baik."
"H-hei,"
"Apapun itu, kau harus tetap datang dan berpenampilan sempurna."
"Ikat kepalamu akan kotor, Seungcheol-sshi."
Seungcheol menggeleng, "Biarkan saja." Dia meminum soda botolnya, lalu bertanya balik, "Omong-omong, mau menjelaskannya sekarang?"
"Soal ...?"
"Kenapa kau kabur ..., yah, sesuatu seperti itu."
Jeonghan bergulat dengan dirinya untuk berkata jujur atau membuat kebohongan baru—tapi, mustahil dia mengatakan semuanya pada Seungcheol setelah dia terlanjur mengaku-aku. Seungcheol diam demi menunggunya berkata, namun hingga beberapa menit kemudian, Jeonghan tak menunjukkan tanda-tanda dia akan menjawab.
"Yah. Jika kau belum mau mengatakannya juga tidak apa-apa."
Jeonghan menundukkan kepala. Sepotong maaf kecil meluncur dari bibirnya. Terlalu pelan untuk disebut pernyataan.
"Tapi," Seungcheol berjongkok di depannya, tangan pria itu membelai rambutnya, "kalau kau berubah pikiran, kau bisa menemuiku kapanpun."
"Seung—"
"Terkadang, kau akan merasa lebih baik setelah mengeluarkan isi hati." kata Seungcheol. "Kan?"
Jeonghan gemetaran, telapak tangannya basah sebab dia sama sekali tidak mengira Seungcheol seyakin itu. "Aku selalu ada untukmu."
Perasaan aneh menjalar. Bukan hanya di wajah, tapi perut Jeonghan entah kenapa mendadak seperti tergelitik. Beberapa kali dia menggerakkan bibir, tapi suaranya baru benar-benar keluar setelah percobaan keempat, "Apakah kau selalu seperti ini, Seungcheol-sshi?"
"Seperti apa?"
"Aku membicarakan orang-orang di pesta barusan ...." Jeonghan mesti menyetir topik ke lain arah—segera, sebelum dia berkata hal-hal bodoh tanpa kendali. "Aku hanya penasaran bagaimana kau bisa menangani orang-orang baru hanya dengan beberapa kalimat."
"..."
"Itu ... hebat, setidaknya menurutku. Kupikir Seungcheol-sshi memang berbakat."
"Bakat?" Seungcheol menggosok tengkuknya, "apanya?"
Dia tertawa, lumayan keras hingga perhatian Jeonghan lekat tertuju pada pria itu. "Tidak penting siapa orangnya, kalau kau bicara dengan mereka, mereka pasti akan mengerti." Dia mengerling. "Sesederhana itu."
Tapi—beberapa dari kita tidak melakukannya semudah yang terlihat.
Seungcheol bicara lagi, "Kalau mau cari contoh, sebenarnya adikmu itu jauh lebih hebat."
"Ha?"
"Jeonghan memiliki daya tarik bagus dan dia bisa menghidupkan suasana dalam sekejap." Seungcheol menatapnya lurus-lurus, "mungkin aku harus bilang dia memesona. Maka dari itu orang-orang tidak bisa meninggalkannya sendiri."
"... Kupu-kupu malam ...."
"Nah. Itu!" Ucapan Seungcheol tepat sasaran. Jeonghan yang biasanya pasti mampu mengatasi situasi seperti tadi dengan mudah.
'Sampai kapan kaumau meneruskan pekerjaan menjijikkan itu?'
Jeonghan ingat perkataan ayahnya. Dia ingat pelanggan-pelanggan dan bawahannya di toko. Dia juga ingat bahwa seberapapun seseorang berpikir dia tidak berarti, pasti ada orang yang berpikir terbalik; menghargai keberadaannya tanpa syarat.
Seungcheol belum selesai dengan opininya, "Orang-orang di sekitarku juga sangat mengaguminya. Mereka memberondongku dengan pertanyaan kapan dia akan kembali ke bengkel kami."
Jeonghan tercenung. Tidak disangkanya banyak orang menerimanya. Dia tidak menjijikkan.
Dia sudah berubah. Dia mencapai angan-angan untuk terlahir kembali. Dia indah ... seperti kupu-kupu yang dilihatnya hari itu.
.
to-be-continued
.
zula's note: lagi nggak kepikiran apapun karna serasa lama banget sejak terakhir buka laptop dan senang senang sama plotbunnies. aku bingung kenapa tiap sudah hadapan keyboard, malah awkward mau mulai dari mana. jadi cuma numpuk draf draf kecil tanpa lanjutan. aku sedih. TT ps: aku gabung line qwqwqw. mau ngobrol cari saja id @natsukizu27 pss: boleh minta sesuatu? kalau luang, mampir ke profilku dan tolong bantu vote utk voting yg kupasang ya. hihi thx before. psss: chap lalu reviewnya dikit mmm. nggak terlalu mikirin sih, tp kuharap yang kemarin kemarin sider ngasih konkritnya sesekali doong. oke oke?