Disclaimer : I do not own Naruto. All characters belong to Masashi Kishimoto.

Warning : SasuIno. Fantasy content. Adventure alert. Romance detected. Rating 17+ for violence, skinship and intimacy of touch.

This story is a work of fiction.

Cerita ini ditulis dengan segala keterbatasan(pengetahuan dan pengalaman)ku sebagai author. Mohon maaf dan maklumnya apabila ada kesalahan, typo atau pengulangan alur dan latar. Jangan sungkan untuk mengoreksi, dan jangan pernah membaca apa pun DILUAR SELERA Anda. Thanks.


BLEND X BOND

Perpaduan X Ikatan

- starlight -

Sekali lagi dipermainkan oleh jalan nasib dan hukum yang mengekangnya, Sasuke tak tahu takdir seperti apa yang sedang menanti mereka di masa depan.


Dor.

Dor. Dor.

Embusan napas singkat keluar dari mulut Yamanaka Ino.

Sepasang mutiara birunya mengamati papan target yang kini telah tumbang dan tampak menyedihkan karena telah dipenuhi puluhan lubang. Tersenyum tipis, ia memutar gagang sepasang pistol dalam genggaman masing-masing tangannya.

Semua target telah dijatuhkannya dengan telak, tentu sang penyihir merasa cukup puas.

Semilir sore menyeka lembut peluh di kening Ino, memberinya secercah segar setelah seharian berlatih tembak di bawah naungan paparan terik mentari.

Berlatih tembak? Ya, selama ini sang penyihir tak pernah merasa perlu untuk mengasah kemampuannya dalam menembak. Ia dapat dengan mudah merilis peluru cahayanya dengan tepat sasaran untuk mengenai setiap targetnya, tanpa perlu bersusah payah. Bakat tersebut muncul secara naluriah seiring terbentuknya soul weapon miliknya.

Namun ini perkara lain. Sepasang pistol laras pendek yang kini tengah digenggamnya bukanlah bagian dari dirinya. Mereka adalah benda asing. Senjata api seperti ciptaan para manusia.

Mengapa Ino memutuskan untuk menggunakannya baru sekarang?

Ino menghela napas ringan.

Perjalanan yang sedang mereka tempuh tidak lagi mudah seperti dulu, dan musuh-musuh yang telah atau akan mereka temui pun... pasti bertambah kuat.

Ino akhirnya menyadari bahwa ia sudah tidak bisa bergantung hanya pada soul weaponnya saja. Dari pertarungan sebelumnya, sang penyihir mendapati peluru cahayanya beberapa kali tidak mempan digunakan untuk menghadapi lawan-lawan dalam kondisi tertentu. Seperti saat menghadapi Deidara dan juga Kisame. Keduanya memiliki tameng yang tak mampu ditembus oleh sihir pistol-pistolnya.

Ino tahu senjata api tidak akan banyak membantu, namun setidaknya, ada opsi lain yang bisa dijadikannya untuk mempersenjatai diri. Ia tak mau lagi merasa dirinya tidak berguna karena tak mampu menggunakan bakatnya secara optimal untuk menghadapi musuh... dan malah berakhir menyusahkan Sasuke, lagi.

Selain mengasah serangan fisik seperti berlatih tembak dan bela diri, sang penyihir pun mulai fokus meningkatkan kemampuan vokalnya dalam bernyanyi. Belakangan ini Ino sadar, golongannya disebut Enchanter bukan tanpa alasan, namun karena kemampuan para penyihir Enchanter memang terletak pada suaranya. Semakin kuat dan tegas suara mereka saat merapalkan mantra atau nyanyian, maka akan semakin berpengaruh pula sihir yang mereka rilis untuk merasuki lawan-lawannya.

Sebab, kaum Yamanaka murni yang sesungguhnya... memang adalah para pelantun mantra.

Lembayung senja perlahan merengkuh langit kelabu. Cakrawala mulai diselimuti cahaya oranye keemasan.

Sang penyihir hendak meneruskan sesi latihan tembaknya, jika ia tidak mulai menyadari gelap malam akan segera menelan cahaya di lembah tempatnya kini tengah berdiri, tak berapa lama lagi.

Lembah itu terletak cukup jauh dari ibukota. Jika tidak pulang sekarang, maka ia akan menempuh waktu yang lebih banyak lagi untuk mencapai jantung Alzandria. Akhirnya Ino memutuskan untuk kembali ke istana tempatnya tinggal selama berada di negeri itu.

Ketika mulai melangkah menaiki bukit, Ino menoleh dan segera menyaksikan pemandangan lembah yang mengagumkan. Bentangan hijau hutan di kaki bukit, sungai-sungai kecil, danau dan telaga warna. Jika memandang lebih jauh lagi, ia dapat melihat ladang pertanian yang subur, serta kompleks perumahan yang tampak lebih sederhana dari kastil-kastil di ibukota.

Seketika hatinya terasa damai dan sunyi... namun bercampur pedih.

Entah kehidupan seperti apa yang telah dijalani penghuni Alzandria selama ini. Klan Uchiha memutuskan menutup diri dari dunia, dan telah lama hidup hanya dengan para dolls yang katanya bukan makhluk hidup, melaikan entitas ciptaan mereka sendiri. Tetapi sejauh yang Ino saksikan... semuanya nyaris tampak normal. Meski terlihat jauh lebih kuno, namun peradaban mereka tak begitu berbeda dengan kehidupan kaumnya dan manusia di sisi lain dunia ini.

Kini setelah penghuni utamanya lenyap, apa yang akan terjadi pada tempat ini dan seluruh isinya?

Alzandria akan terus terpisah dari jejak rekaman dunia, tetap menjadi misteri sampai akhir zaman kelak. Itu yang dikatakan oleh satu-satunya vampir yang masih tersisa, Uchiha Sasuke.

Namun jika benar demikian, lantas mengapa sampai saat ini Sasuke masih terus berupaya untuk membangkitkan klannya? Bukankah itu berarti, sang vampir pun belum berhenti berharap... untuk mengembalikan Alzandria seperti sedia kala?

Entahlah.

Mentari sore masih bersinar meski redup di angkasa. Cahayanya yang lembut menerangi lembah, memberi kehangatan terakhir yang bisa dirasakan Ino di penghujung senja itu.

Sang perempuan Yamanaka terdiam sambil merasakan dingin mulai menyengat kulit wajahnya. Tubuhnya belum juga beranjak selagi sepasang aquamarinenya memerhatikan berkas mentari terakhir yang perlahan lenyap ditelan bayangan malam, sampai suasana seluruhnya berubah gelap dan senyap.

Baru di kala itu, sang penyihir menghela napas.

Hari ini sama berlalunya seperti beberapa hari belakangan. Tak ada yang istimewa. Transisi siang ke malam yang menciptakan kesunyian, selalu meninggalkan kedamaian ganjil di hatinya.

Terasa begitu kosong. Bahkan lebih kosong dari kehidupannya dulu. Saat setelah ayahnya tiada, ketika ia memutuskan untuk hidup sendiri.

Mengapa baru kini ia merasa begitu hampa?

Apakah karena... hatinya yang tengah merindu?

Membuang napas, Ino segera mengedikkan kepalanya. Sosok lelaki yang selama ini selalu mengekornya memang sudah cukup lama tidak kelihatan, tapi sang penyihir tak menyangka keabsenannya dapat memberi efek seperti ini.

Mungkin Ino hanya belum terbiasa dengan ketidakhadiran sang vampir di dekatnya.

Memang, tak berapa lama setelah mereka menginjak Alzandria, Sasuke langsung disibukkan dengan berbagai 'urusan negara' yang harus ditanganinya setelah cukup lama ditunda. Awalnya terasa agak aneh saat ia merasa kehilangan, terutama ketika menyaksikan lelaki itu berubah pada 'mode pangeran' dengan segala kesibukkannya, dan di saat yang sama urusan tersebut menjauhkan keduanya.

Ino mengira itu merupakan reaksi yang normal baginya, sebab saat berada di dunia luar, ia sudah sangat terbiasa dengan keberadaan Sasuke di sisinya sepanjang waktu. Namun setelah beberapa hari kemudian, nyatanya ia masih saja kesulitan untuk sekedar melihat siluet sang vampir, apalagi untuk berjumpa dengannya.

Perlahan, ini terasa semakin tidak wajar.

Meskipun tak ada yang berubah dalam hubungan mereka, tetapi rasanya... ada jarak yang cukup jauh yang mulai memisahkan keduanya.

Tidak. Ino menatap gelap rerumputan dengan pandangan datar bercampur sendu. Yang telah berubah itu... adalah dirinya.

Ino mulai merasakan apa itu kesepian.

Rasa yang menyiksa, yang membuatnya semakin serakah.

Kini... bukan sekedar melihat dari kejauhan saja, namun ia juga ingin berjumpa dengan lelaki itu. Ingin mendengar suaranya, berbincang dengannya, menyentuhnya... mendapati sosok sang vampir untuk berada di dekatnya.

Menyedihkan. Mengeluh karena hal-hal sepele seperti demikian.

Sejak kapan sepi bisa menggerogotinya? Padahal selama ini, Ino selalu bisa hidup menyendiri tanpa pernah merasa sendiri.

Lalu Ino mendecak. Tidak, tidak. Ia hanya sedang merasa kesal saja, sangkalnya.

Sementara Sasuke tengah sibuk dengan berbagai hal dan urusan yang telah ditinggalkannya, Ino hanya disuruh melakukan pekerjaan bagiannya.

Pekerjaan bagiannya, huh?

Yang dikerjakannya seharian dari semenjak datang ke negeri ini hanyalah melakukan tur kota untuk memahami sejarah Alzandria, berkeliling perbukitan untuk menikmati pemandangan alam sambil belajar menunggangi kuda, berlatih tembak, bernyanyi dan bela diri, atau menyapa para dolls yang masih antusias atas kedatangannya. Dengan kata lain... dalam kamus Ino, ini dinamakan bersantai. Sang penyihir tidak pernah merasa sepengangguran ini. Namun meski begitu, pikirannya sama sekali tidak bisa santai. Seenaknya saja Sasuke menelantarkannya tanpa arah dan tujuan seperti ini.

Setidaknya... lelaki itu bisa melibatkannya dalam sedikit urusan kenegaraannya, kan? Mungkin saja Ino bisa membantu. Hanya karena ia adalah orang asing, sang penyihir jadi merasa tersingkirkan begini.

Suara ringkikan membuyarkan lamunan Ino. Ia mendongak, dan segera mendapati seorang pria tengah mendatanginya sembari menuntun seekor kuda. Pria tersebut lalu membungkuk saat telah mencapai tempat Ino berdiri dan menyodorkan tali kekang padanya.

"Terima kasih, Ren," ucap Ino.

Ren, yang merupakan salah seorang dolls pengawal yang ditunjuk langsung oleh Sasuke untuk menemani aktivitas sang penyihir, mengangguk lalu berbalik untuk mencapai kudanya sendiri.

Ino tak paham mengapa dirinya perlu diberi pengawalan, sehingga awalnya ia hanya menerima saja dengan alasan malas berdebat. Namun setelah dipikir, Ren dan Ayato, dolls lain yang penampilannya tampak lebih muda dari si pria, memang berguna dalam mempersiapkan pelatihannya. Mungkin Sasuke memang sudah memperhitungkan semua itu. Entahlah.

Ino membelai surai perak sang kuda. Ia hendak bersiap menaikki pelana kuda putih tersebut, ketika ujung matanya menangkap pantulan sinar dari arah lembah di bawah sana. Pergerakannya terhenti, safirnya menyipit untuk lebih melongok ke tempat tersebut. Ayato yang sedang berada di samping sang penyihir sambil membawa sebuah lentera, segera menoleh ke arah yang kini tengah dipandang Ino.

Pemuda itu lantas berkata, "Di bawah sana terdapat sungai yang mengalir di sepanjang lembah ini," jelasnya.

"Sungai?" gumam Ino. Pantas samar-samar ia mendengar bunyi aliran air. Namun kemudian alisnya bertaut. 'Lantas kenapa di kegelapan seperti ini sungai itu tampak memantulkan cahaya?'

Melihat ekspresi Ino yang kentara belum puas, Ayato lalu bertanya, "Apakah Nona ingin pergi ke sana?"

Sang penyihir berpikir sejenak, kemudian mengangguk cepat. Tak apa jika pulang sedikit telat, toh ia pun tidak ada kerjaan lain di istana.

Tak lama, mereka memacu tunggangan masing-masing untuk menyusuri sisi bukit dan menuruni lembah yang dimaksud dengan hati-hati karena penerangan yang seadaanya. Dilihat dari atas sana, minimnya pencahayaan membuat lembah itu tidak tampak terlalu jauh, namun nyatanya perlu beberapa menit untuk mencapai sana.

Kaki lembah yang mereka lewati mulai ditutupi oleh pagar semak dan pohon yang membentuk barisan. Namun Ino tak begitu memerhatikan, karena kini seluruh fokusnya tertuju pada sungai yang tengah ia pandang.

Dengan mata sedikit melebar, perempuan itu segera menuruni tunggangannya dan berjalan cepat menuju tepiannya.

Sungai tersebut berukuran lebar dengan aliran yang cukup tenang, disertai dengan kerlap-kerlip bermacam warna yang terpantul di permukaan airnya. Rupanya sinar-sinar itulah yang sebelumnya telah mencuri atensi Ino.

Sang penyihir sempat menoleh pada dua pengawalnya, seakan meminta penjelasan tentang fenomena alam yang tengah disaksikannya. Namun baik Ren maupun Ayato malah balik memandangnya dengan heran seolah pemandangan yang barusan ia lihat adalah hal yang biasa-biasa saja bagi mereka.

Oh tentu saja, bahkan tebing air terjun raksasa merupakan hal biasa bagi warga negeri ini, apalagi hanya sungai yang berkilauan bermacam warna, pikir sang penyihir sambil menata kembali ekspresinya.

Dengan tenang Ino melangkah mendekat, hendak mencari tahu sendiri apa yang menyebabkan pantulan cahaya tersebut. Satu kakinya menendangi kuntum bunga dandelion yang tumbuh liar menghiasi tepian sungai tersebut.

Alis sang penyihir bertaut sesaat setelah menatap ke dalam airnya yang jernih. Berjongkok, ia mencelupkan satu tangannya untuk meraih sebuah benda yang berkilau ungu dari dalam sana.

"Apa ini?" tanyanya, masih menatap benda mirip kristal berwarna ungu terang yang diacungkannya. Setelah dikeluarkan dari dalam air, batu tersebut semakin memendarkan cahaya yang lebih benderang.

"Itu adalah pecahan spirit stone," jawab Ayato.

"Spirit stone?" safir biru Ino menyipit.

Ayato mengangguk. "Di atas sana terdapat gunung bebatuan itu," tambahnya sambil menunjuk pada suatu tempat.

Ino memutar lehernya dan mendongak ke arah tersebut. Rupanya di seberang sungai terdapat rimbun pepohonan yang menutup jalan menuju sebuah gunung batu, tak tampak begitu jelas karena tersembunyi kegelapan malam. Kecuali ribuan cahaya warna-warni yang mengilap dari kejauhan itu, terlihat seperti taburan bintang.

"Daerah sini merupakan wilayah penghasil spirit stone, karenanya banyak pecahan batu tersebut yang terhanyut di sungai, barangkali akibat kikisan air atau angin," jelas Ayato.

'Oh...' Ino menanggapi informasi tersebut dengan anggukan. "Lalu apa gunanya?"

"Batu itu mengandung kekuatan alam dalam jumlah besar, terbentuk secara alami akibat penyerapan dan pengendapan energi yang tersedia melimpah di dalam udara Alzandria," Ren ikut bicara. "Batu itulah yang menyetabilkan perluasan aura ke daerah-daerah di seluruh negeri, sehingga prana alam dapat berkerja secara maksimal untuk membentuk kubah chakra yang melindungi tempat ini."

Ino menelengkan kepalanya. Prana alam? Aura? Rupanya begitu.

"Ini adalah batu chakra," gumam Ino paham.

Benda yang pasti akan sangat diincar oleh para Alkemis, jika mereka tahu keberadaan benda ini nyata. Atau barangkali, mereka memang sudah tahu tentang keberadaan batuan tersebut, sehingga kumpulan manusia serakah itu berencana untuk menginvasi Alzandria untuk bisa mendapatkannya.

Sekilas sang penyihir menoleh pada gundukan batu berbagai warna yang masih tenggelam di dasar sungai. Warna-warni yang dipancarkan serpihan batu itu merujuk pada warna chakra yang dimiliki tiap orang. Warna merah delima, biru merak, oranye senja, putih terang, ungu kristal, bahkan indigo kelam. Meski berkilauan, sepertinya keberadaan batuan warna itu tidak akan tampak mencolok bila dilihat di siang hari yang penuh cahaya. Makanya sebelumnya Ino tak begitu menyadarinya saat siang hari. Sungai tersebut jauh lebih menakjubkan bila dikunjungi di kegelapan malam, di mana masing-masing batuan membiaskan cahaya menyilaukan.

Merapatkan jemari untuk menggenggam batu kristal ungu yang masih dipegangnya, sang penyihir bisa merasakan sejumlah energi menguap samar dari permukaan kasar benda itu. Pantas saja selama di sini Ino tak pernah merasa kesulitan untuk merilis bakatnya, rupanya karena stok aura memang tersedia dengan melimpah. Bukan hanya aliran aura, tetapi juga gelombang chakra. Semua energi bercampur dengan stabil di udara membentuk kesatuan solid.

Pemahaman tiba-tiba menimpa benak Ino.

Apa karena itu... di sini kaum vampir bisa bebas menggunakan sharingannya tanpa khawatir akan kehabisan chakra? Rupanya, itu alasan mengapa Sasuke belum juga menemuinya meski Ino yakin pasti lelaki itu telah menghabiskan chakranya sampai batas maksimal untuk memindai setiap sudut negeri ini.

Itu karena... sang vampir memang tak memerlukan Ino, sekedar untuk menyuplai kembali chakranya.

Ternyata kehadirannya memang tidak dibutuhkan di sini. Entah mengapa ia merasa agak kecewa.

Perempuan itu membasahi bibirnya yang mendadak terasa kering, lalu menggeser pandangannya. Tak sengaja ia melihat refleksi bayangan wajahnya yang sedang menunduk sendirian di permukaan air sungai yang tenang itu. Rasanya aneh, ia tiba-tiba merasa takut dan kesepian. Ino tidak mau lagi... sendirian seperti dulu.

Gundah perlahan menyesapi batinnya. Sejak kapan ia... jadi begitu ketergantungan?

Mengambil napas dalam, perlahan Ino bangkit berdiri.

Sang penyihir menatap pecahan spirit stone di tangannya. Mengeratkan genggaman, ia berniat untuk menyimpan batuan berwarna ungu tersebut.

Kemilau warna yang sama, dengan chakra yang selalu terpancar dari tubuh orang yang sedang dirindukannya.

.

.

.

Semilir angin berembus pelan, mengantarkan hangat terik sang mentari yang tengah membumbung tinggi di porosnya.

Derap puluhan pasang langkah menjejak tanah dengan ritme yang sama.

Uchiha Sasuke berjalan cepat dengan kedua tangan mengepal erat. Raut wajahnya mengeras.

Lagi-lagi ia kembali dengan tangan kosong.

Beberapa hari belakangan ia sudah mengerahkan seluruh pasukannya untuk mencari sacred sanctuary yang diyakininya telah disembunyikan Itachi, namun hasilnya selalu nihil.

Segala cara telah ia lakukan. Dari memeriksa setiap sudut tempat di Alzandria, menggeledah istana dan kastil-kastil, membobol ruang bawah tanah ataupun menghancurkan labirin tersembunyi, hingga membongkar Uchiha Hideout yang merupakan tempat keramat sekaligus kuil yang disucikan oleh bangsanya, tetapi bahkan sedikit petunjuk pun tak bisa ia dapatkan.

Meski ia tahu sharingannya tak akan banyak membantu untuk memindai tempat itu karena lapisan chakra yang mengalir di udara akan menyulitkan penglihatannya, Sasuke tetap mencoba. Dan benar saja, hasilnya sama.

Ia tahu pencarian ini tak akan mudah, namun Sasuke tidak menyangka makam keramat kaumnya masih belum bisa ditemukan juga sampai sekarang. Menggeretakan gigi, sang vampir tidak bisa menyembunyikan kekesalan di wajahnya. Tentu saja ia merasa kesal, sacred sanctuary itu bisa jadi satu-satunya petunjuk atas jawaban yang selama ini ia cari. Tentang mengapa Itachi bertindak mandiri seolah ia mengkhianati klan Uchiha, dan kebenaran dibalik perang intra klan yang berhasil menghancurkan kaumnya seratus tahun silam. Percuma ia pulang jika pada akhirnya tak bisa memperoleh informasi berguna.

Sasuke merasa kepalanya semakin berat dan pandangannya menggelap. Emosi seolah hendak menelan ketenangannya. Namun kemudian, langkahnya mendadak berhenti sementara wajahnya menoleh ke arah lain.

Gilldan yang menyadari itu segera maju dan bertanya, "Pangeran, apa—"

Sasuke memotong ucapan pengawalnya dengan mengangkat satu tangan. "Kalian jalan duluan," titahnya.

Sedetik kemudian, lelaki vampir itu tiba-tiba melompat entah ke mana dan menghilang dari pandangan.

Tak perlu waktu lama bagi Sasuke untuk mencapai tempat yang ditujunya. Kakinya kini berpijak di sebuah padang bunga dengan telaga biru sebagai pusatnya, berada di samping situs reruntuhan bangunan yang dulu terkena dampak saat perang besar terjadi di Alzandria.

Tetapi bukan itu yang menjadi tujuannya datang ke tempat tersebut, melainkan keberadaan seorang perempuan yang kini sedang berdiri di tengah padang bunga itu yang telah membawanya ke sana. Nyanyian yang sedang dilantunkannyalah yang tadi menariknya bagai magnet.

Seolah merasakan kehadirannya, perempuan itu mendadak berhenti bernyanyi dan segera membalik badan. Dengan sepasang aqua yang melebar, Ino tampak terkejut saat melihatnya. "Sasuke?"

Sang vampir bergeming sejenak. Setelah menatap sang penyihir, emosinya yang sesaat tadi nyaris membuncah terasa mereda begitu saja.

"Kenapa kau ada di sini?" Ino bertanya lagi.

"Aku mendengar suaramu," jawab Sasuke. Mimiknya yang kaku menunjukkan kekagetan yang sama dengan perempuan itu.

Meski masih nampak bingung, kekehan kecil lolos dari mulut sang penyihir. "Bukan, maksudku, bagaimana dengan urusanmu, apa kau sudah berhasil—"

"Aku masih belum bisa menemukannya," potong si lelaki, paham apa yang akan ditanyakan si perempuan.

"Ah..." selanjutnya Ino terdiam. Rautnya tak terbaca.

Sasuke tak tahu apakah perempuan itu kecewa mendengarnya, sebab ia lah yang sedari awal bersikeras menyeret sang penyihir untuk mengikutinya ke tempat ini. Sasuke tahu selama ini selalu dirinya yang bersikap egois menentukan arah tujuan perjalanan mereka, tanpa pernah benar-benar bertanya bagaimana perasaan Ino yang sesungguhnya.

Mengedarkan matanya ke pemandangan sekitar, Sasuke hanya bisa bertanya, "Bagaimana menurutmu tentang tempat ini?"

Hening sejenak.

"Alzandria adalah tempat yang indah," jawab Ino kemudian, tak mengalihkan pandangannya dari paras tampan sang vampir. "Dengan langit yang sangat cerah, udara yang begitu sejuk... alam yang masih asri, terbebas dari segala kebusukan dunia di luar sana."

Mendengar jawaban itu, bahu Sasuke yang semula keras terasa sedikit lebih rileks. Setidaknya ia ingin memastikan Ino merasa nyaman selama tinggal di sana, meski tanpa kehadirannya.

"Kau yang memiliki semuanya, dan telah kembali ke tempat ini setelah cukup lama mengembara," Sang penyihir lanjut bicara. "Lantas kenapa, kau tidak tampak menikmatinya?"

Pertanyaan tersebut membuat Sasuke kembali memandang Ino. Dilihat sang penyihir, sorot onyx lelaki itu tampak lelah. Sasuke tidak setenang biasanya. Ia terlihat kacau.

Gerak-geriknya jelas tidak sesantai saat pertama mereka menginjak Alzandria. Terutama setelah mereka menemukan retakan di sanctuarynya tempo hari. Melihat itu, Ino langsung mengerti bahwa ada sesuatu yang tidak beres, karena Sasuke langsung tampak waspada. Namun meski ia bertanya, sang vampir tidak menjelaskan dengan rinci sebenarnya apa yang sedang terjadi.

Sasuke membuang napas pada akhirnya.

"Negeri ini telah berbeda dari terakhir kali aku mengingatnya," ujar sang vampir jujur. "Aku harus segera menemukan sacred sanctuary kaumku agar bisa mengetahui alasan musnahnya Uchiha dan mengembalikan Alzandria seperti sedia kala."

Sasuke tak lanjut berkata, membuat Ino beralih menatap permukaan biru air telaga di seberang sana.

Selanjutnya, tak ada yang bicara.

Angin sepoi bertiup menerbangkan helaian kuntum bunga aster, menebar bunyi gemerisik di sepanjang padang.

"Kau pasti... merasa berat setelah sekian lama meninggalkan tempat ini tanpa keinginanmu," ujar sang penyihir memecah sepi. "Lalu tiba-tiba saja, kau harus berurusan dengan organisasi yang mengincar kaummu selagi kau tersesat di dunia manusia." Kembali membawa safir birunya untuk melongok pada Sasuke, Ino bertanya, "Benar, kan?"

Sang vampir mengerutkan kening. "Kenapa tiba-tiba kau membahas itu?"

"Karena sekarang kita sudah berada di sini, kau boleh hidup tanpa harus merasa khawatir tentang mereka," lanjut sang penyihir. "Tempat ini sangat jauh, berada jauh di luar jangkauan dan pengetahuan para manusia itu. Sehebat apa pun teknologi yang dimiliki organisasi alkemis, itu belum cukup untuk bisa menembus Alzandria."

Sasuke masih memandang Ino dengan heran, belum paham apa maksud ucapannya.

"Di sini adalah rumahmu, Sasuke. Bukan tempat di mana kita bisa tertangkap... hanya karena sedikit lengah dan menurunkan kewaspadaan." Ino mulai melangkah maju mendekati tempat sang vampir berdiri. "Kau boleh tidak terus bersiaga selama dua puluh empat jam di tempat ini."

Tertegun sejenak, perlahan ekspresi di wajah Sasuke berubah. Kekakuan di wajahnya mulai mencair.

"Tidak ada hal yang akan mengancammu di sini," yakin Ino. Langkahnya berhenti ketika keduanya telah benar-benar berhadapan. Lantas, perempuan itu mengangkat satu tangannya untuk merangkum sebelah pipi Sasuke. "Karena itu, bisakah kau sedikit membuang beban yang kini sedang memberatkan pundakmu?"

Saat itu juga, obsidian hitam Sasuke melebar. Ia terkejut. Kata-kata itu diucapkan dengan lembut nan tegas namun terasa menusuk langsung ke dalam dirinya, selagi tatapan mata Ino tertuju tajam padanya.

"Tenanglah sedikit, makam yang kau cari berada di negeri ini dan tak akan pergi ke mana pun." Ino kembali meyakinkan. "Terkadang, tergesa-gesa hanya akan membutakan arahmu," pungkasnya.

Cahaya mata birunya menyorotkan ketegasan dan wajahnya sama sekali tidak disisipi keraguan.

Menelan ludah, Sasuke tak bisa berkata-kata. Benaknya seolah terpana dengan ucapan sang penyihir yang entah mengapa terdengar seperti untaian mantra.

Hening kembali menyelimuti mereka. Untuk beberapa saat, keduanya hanya bertukar pandang.

Sasuke baru hendak membuka mulut, saat Gilldan datang menghadap dan mengganggu percakapan mereka di siang itu.

Tanpa sempat sang vampir menjawab.

.

.

.

Rembulan menggantung tinggi membelah angkasa malam.

Sasuke masih duduk diam mengurung diri di ruang kerjanya. Tangannya bosan menandai lembar-lembar perkamen yang sudah penuh banyak coretan. Membuang napas lelah, akhirnya ia mendorong tumpukan lembaran itu dan menelantarkannya.

Sang vampir membenahi duduknya, menyandarkan punggungnya pada kursi sekedar mencari sedikit kenyamanan. Lalu ia memejamkan mata. Tak butuh lama hingga siluet Ino membayangi pikirannya.

Sudah berapa lama sejak terakhir kali mereka bicara?

Ia bahkan sampai merasa begitu lega saat bisa kembali memandang paras cantik sang penyihir. Sasuke menyadari segala urusannya dalam membenahi Alzandria, terlebih pencarian sacred sanctuary kaumnya beberapa hari ini telah menghalangi mereka sekedar untuk berjumpa.

Bagaimana hari-hari yang dijalani perempuan itu tanpa dirinya, eh? Tiba-tiba Sasuke jadi merasa penasaran.

Lalu diingat-ingatnya seluruh ucapan yang disampaikan perempuan itu padanya siang tadi, terutama ucapan yang paling terngiang dalam benaknya.

Tenanglah sedikit, makam yang kau cari berada di negeri ini dan tak akan pergi ke mana pun.

Terkadang, tergesa-gesa hanya akan membutakan arahmu.

Menghela napas berat, Sasuke kembali membuka mata.

Itu benar.

Belakangan ini ia sudah begitu tidak sabaran. Bisa jadi apa yang ada di depan matanya malah tak nampak hanya karena ia tak merencanakan pencarian itu dengan matang.

Setelah mendengar perkataan Ino... rasa lega memenuhi relung hati Sasuke. Dirinya seolah diizinkan untuk beristirahat.

Sepertinya, ia memang masih punya banyak waktu.

Tapi masalahnya, apakah sang penyihir tidak keberatan jika mereka menunda melanjutkan perjalanan, dan memperpanjang waktu untuk tinggal di Alzandria sampai semua urusannya beres?

Bisakah Ino... menunggu lebih lama lagi?

Sasuke tak tahu.

Seharusnya ia... bertanya langsung pada perempuan itu.

Mengepalkan tangan, Sasuke segera mendorong kursi yang sedari tadi didudukinya. Perlahan ia beranjak berdiri dan mengambil langkah cepat menuju jendela ruangan itu, lalu tanpa ragu melompatinya dalam satu hentakan kaki. Sebelum kemudian siluetnya menghilang dalam kegelapan malam.

Di sudut lain istana, Ino tengah menatap langit malam sambil duduk bersandar pada bingkai jendela berukuran besar yang memenuhi sisi luar dinding kamarnya.

Pendaran cahaya lembut sang bulan terpantul di kedua bola mata birunya. Entah sudah berapa kali rembulan muncul di angkasa gelap dan tenggelam di awal fajar semenjak ia menghabiskan malam-malamnya sendirian di kamar itu, Ino tak menghitungnya. Waktu di Alzandria bergulir sama cepatnya seperti di dunia luar.

Haa... sang penyihir mendesah. Kenapa ia berkata seperti itu pada Sasuke tadi siang? Menyuruhnya untuk tidak terburu-buru...

Padahal, bukankah ia sendiri sudah sangat tidak sabar ingin semua urusan sang vampir cepat usai agar Sasuke tidak sesibuk itu lagi?

Padahal, perasaan seperti tidak dibutuhkan ini telah begitu menyiksanya.

Memang benar, rasanya Ino sudah hampir bosan menunggu. Tapi, begitu melihat kondisi Sasuke yang tampak kusut secara langsung... sang penyihir jadi tidak tega untuk menuntut lebih.

Sepertinya ia hanya harus lebih bersabar lagi.

Mencondongkan badan ke depan untuk memeluk kedua lututnya, aquamarine sang penyihir bergeser untuk menyaksikan kilauan bintang yang menghiasi langit di malam itu. Bisa jadi, bulan dan bintang di atas sana telah menjadi saksi bisu pembantaian para penghuni negeri ini, juga tahu di mana keberadaan makam keramat yang telah disembunyikan selama nyaris seratus tahun lalu... Seandainya Ino bisa bertanya pada mereka...

Benaknya semakin larut dalam lamunan kala sang penyihir mencermati kilau warna merah yang sedang berpendar paling terang di kegelapan. Memorinya langsung bernostalgia, rasanya seperti sedang menatap sorot pupil merah sharingan milik bangsa vampir.

Kemudian, mata biru Ino mendadak menyipit. Jika dipikir, bukan hanya para penghuni langit yang menjadi saksi keruntuhan klan Uchiha. Selain para dolls yang memorinya bisa mudah dimodifikasi, satu-satunya saksi hidup yang mengalami dan menyaksikan kejadian itu adalah Itachi. Dan kini yang tersisa dari orang itu hanyalah sepasang pupil merah yang telah kehilangan cahayanya.

Ino meluruskan kepalanya. Jika benda itu pun ternyata merekam memori peristiwa tersebut... lantas seharusnya ada cara untuk—

Tap.

Pijakan tiba-tiba di tumpuan jendela membuat Ino melonjak dan langsung menegakkan badan. Dengan mata membulat, ia segera mendongak dan mendapati seseorang sudah berdiri di depannya.

"Sasuke?" pekik Ino kaget. "Sedang apa kau di sini?"

"Aku ingin bertemu denganmu," sahut lelaki itu. Lalu tanpa basa-basi, ia menarik lengan sang penyihir dan langsung mengangkat tubuh rampingnya ke dalam gendongan.

"Tunggu, Sasu—KYAAA!" jerit Ino, sebelum sosok mereka terjun bebas dari atas jendela lantai tiga istana itu tanpa sempat sang penyihir bisa memprotes apa pun.

.

.

Hamparan kilau bintang di cakrawala gelap tampak bagai atap raksasa yang menaungi sepenjuru negeri.

Tak terkecuali tempat yang tengah mereka datangi saat ini, sebuah taman pribadi yang tersembunyi di kedalaman benteng istana Alzand. Ino memerhatikan sekeliling, mereka sedang berada di dalam sebuah paviliun megah yang berdiri di pusat taman, tampak mewah namun memberi kesan elegan. Bangunan tak berdinding itu ditopang oleh pilar-pilar marmer. Sepasang lampu minyak menggantung di dua pilar terdepan, memancarkan cahaya remang. Sebuah tungku api terpasang di bagian terdalam paviliun lengkap dengan cerobong yang sedang mengepulkan asap, melenyapkan dinginnya udara malam. Satu set sofa diletakkan di tengah dan furnitur antik lain menghiasi beberapa sudut bangunan itu.

Katanya, pavilion terbuka tersebut adalah tempat favorit ratu terdahulu, yaitu ibundanya Sasuke.

Kini keduanya tengah duduk berdampingan di pagar batu.

"Sepertinya aku sangat mengejutkanmu," ujar Sasuke.

Ino mendengus. "Seharusnya kau bilang dulu jika ingin mengajakku ke suatu tempat."

Sasuke mengangkat bahu. "Aku datang diam-diam dan membawamu ke sini karena ada yang ingin kutunjukkan."

Sang penyihir mengerutkan dahi, tatapannya berubah heran ketika Sasuke mulai berdiri dan berjalan memasuki ruangan paviliun. "Kita sudah lama tidak bertemu, apa kau tidak merindukanku?" tanya lelaki itu sambil berlalu.

"Ha," dengus Ino lagi sambil mengalihkan pandang ke arah lain. Keangkuhan dalam nada bicaranya itu... tentu saja ia sangat merindukan sosok yang penuh percaya diri itu. Tapi tak mungkin kan Ino bilang dan mengaku blak-blakan.

Tak lama kemudian Sasuke kembali mendudukkan dirinya di samping Ino, kini dengan membawa sesuatu di tangannya.

Awalnya sang penyihir sempat tertegun, namun setelahnya Ino memerhatikan sang vampir dengan senyum yang perlahan mengembang. Busana lengkap berwarna hitam yang masih dikenakan si lelaki sungguh kontras dengan gaun malam putih yang dikenakannya.

Sembari duduk dengan menyilangkan satu kakinya, Sasuke mulai memetik senar sebuah mandolin, alat musik seperti gitar, dan mengalunkan nada-nada yang tak pernah Ino dengar. Sang penyihir sempat terkejut sekaligus takjub, tak pernah tahu apalagi menyangka lelaki itu bisa memainkan alat musik dengan begitu mahirnya.

Hal itu membuat Ino bahkan tidak bisa lanjut menggerutu atas perbuatan sang vampir sebelumnya yang telah menyeretnya tiba-tiba.

Sasuke menoleh ke arah Ino dan menatapnya intens, seolah meminta sang penyihir untuk turut bergabung dengannya. Ino tertawa sebentar, lalu mulai melantunkan sebuah nyanyian. Di saat yang sama, lingkar sihir berwarna biru membentang di angkasa malam, nyaris menyilaukan mata. Bola-bola cahaya yang lembut nan hangat berangsur muncul dan mengambang di udara, menari-nari seirama dengan musik yang mengalun, berpendar terang bagai sinar bintang yang berkelap-kelip di langit malam.

Ino merasa bahagia di saat itu. Jiwanya terasa bebas. Ia dengar dari para dolls, bahwa Uchiha biasanya tidak memiliki sentimentalitas seperti makhluk lain. Tetapi menyaksikan Sasuke bermain musik secara langsung, mematahkan argumen tersebut. Suasana saat itu nyaris mendekati kencan romantis.

Kendati sang Uchiha menyangkal bahwa memiliki keterampilan memainkan alat musik merupakan tradisi yang harus dikuasainya secara turun temurun, dan ia bersikeras tidak pernah menunjukkan permainan musiknya pada siapa pun.

Menanggapinya, Ino hanya terkekeh geli.

Di tengah nyanyiannya, sang penyihir membuang napas lembut. Ia lega karena bisa melihat sisi lain sang vampir yang seperti ini.

Mungkin seharusnya ia tidak usah khawatir tentang Sasuke dan sok tau menilai lelaki itu, sampai-sampai mengutarakan hal-hal yang tidak perlu dikatakan seperti siang tadi. Barangkali, justru dirinya lah yang perlu mendinginkan pikiran atas segala prasangka yang belakangan ini menggerogoti benaknya.

Maka setelah melodi nyanyiannya mencapai akhir, Ino berkata, "Sasuke, tentang ucapanku tadi siang... aku bukannya ingin mengguruimu—"

"Kau benar," potong Sasuke sembari meletakkan mandolin di pangkuannya. "Tentang itu... aku memang merasa terbebani," jujurnya.

Ino berkedip kaget. "A-aku tidak bermaksud untuk ikut campur—"

Namun kini sang vampir bergeleng. "Menjadi satu-satunya Uchiha yang tersisa dan berkewajiban untuk memperbaiki semua kekacauan yang diperbuat klan padahal aku tidak tahu apa pun... membuatku frustasi."

Sang vampir menoleh lalu menatap lekat safir biru perempuan di depannya. Ino balik memandang Sasuke dengan tatapan penasaran.

"Kebencian terhadap Itachi dan ketidakberdayaan diri membuatku kehilangan kesempatan untuk memikirkan tujuan hidupku sendiri," jeda sejenak saat si lelaki menarik napas. "Aku selalu percaya bahwa aku bertanggung jawab atas keberlangsungan klan Uchiha dan masa depan negeri ini... itu semua seperti mengikatku."

Ino melongo untuk beberapa detik, tak menduga akan mendengar pengakuan seperti itu keluar dari mulut Sasuke.

"Sebelumnya, aku tak pernah memikirkan alasan dibalik pengkhiatan Itachi, atau mengapa ia memilih untuk meninggalkan negeri ini dan seolah berpihak pada umat manusia," lanjut lelaki itu. "Tapi kau... Kau telah melihat ke dalam diriku. Kata-katamu menyadarkanku... bahwa aku pun masih memiliki pilihan."

Mimik muka Ino mulai diresapi pemahaman. Sementara Sasuke menarik lehernya dan mendongak untuk menatap langit. "Barangkali, memang ada motif lain dari tindakan yang dilakukan kakakku. Dia bukan orang yang bertindak tanpa alasan. Kecuali dia menemukan eror dalam klan, Itachi tak akan berbuat sejauh itu sampai nekat membantai seluruh Uchiha."

Menghela napas dalam, Ino menegakkan bahu dan mengangkat dagunya. Haru merayapi relung dadanya, lega karena Sasuke sudah bersedia terbuka padanya. Wajar saja selama ini lelaki itu kebingungan seperti hilang arah, ia masih begitu muda saat seluruh klannya lenyap. Terlebih ia dibuat percaya bahwa orang yang menjadi panutannya telah mengkhianatinya. Sasuke harus menjadi kuat karena tak ada lagi yang dapat ia andalkan selain dirinya sendiri.

Tetapi... kini sang vampir tidak perlu hidup terkekang seperti itu lagi, kan?

Masih di tengah hening, Ino mencondongkan badan untuk menggapai sang vampir. Rambut pirang sepinggangnya berayun lembut ditiup angin.

Sasuke kembali menengok. Di saat yang sama, Ino membelai pipi si lelaki dengan ujung jemarinya. Sengatan hangat yang nyaris menggelikan terasa dari sentuhan itu.

"Kau pasti... akan bisa mengetahui semua jawabannya, sebentar lagi," Ino berjanji. Kemudian kedua tangannya merangkum wajah sang vampir, memberikan rasa nyaman yang sudah lama tak didapatkan Sasuke. "Sekarang, kau hanya perlu untuk fokus terhadap apa yang ada di depan matamu," lanjutnya.

Sorot matanya yang teduh membayangi wajah cantiknya selagi Ino tersenyum. "Pencarian sacred sanctuary itu... jika bisa menemukannya, maka semua misteri akan terungkap... pertanyaanmu akan terjawab, dan keraguanmu akan lenyap."

Masih terdiam sejenak, Sasuke hanya memandang Ino untuk beberapa saat. Bola mata berwarna biru mudanya yang tenang dan damai, seolah mampu menyihir sang vampir, mambuatnya mengangguk. Tangannya diangkat untuk menggapai jemari Ino yang masih disimpan di kedua sisi wajahnya.

Kepalanya terasa ringan dan hatinya tak lagi berat. Baru kali ini Sasuke merasakannya. Ia pikir perasaan nyaman seperti itu adalah emosi asing bagi Uchiha, namun nyatanya kini ia sedang mengekspersikannya.

Dengan penuh perhatian, Sasuke menarik leher Ino mendekat, lalu memiringkan kepalanya sendiri sampai bibir mereka saling bersentuhan.

.

.

Sinar rembulan perlahan memudar di angkasa malam.

Beratap kilauan bintang, Sasuke melompati menara demi menara sambil menggendong Ino dalam dekapannya.

Di bawah mereka, pemandangan ibukota tampak menakjubkan dengan kerlap-kerlip cahaya menghiasi setiap menara kastil. Dataran rendah di sekitarnya diselimuti taman bunga dengan lampu-lampu yang berpendar remang, namun kota itu sendiri nampak berkilauan hangat diterpa cahaya bulan. Bangunan-bangunan berjajar rapi di dalam tembok tinggi laksana kota di abad pertengahan, jauh lebih tua daripada tempat lain yang pernah ino saksikan selama hidupnya di peradaban manusia modern. Istana Alzand yang sedang dihuninya kini adalah pusatnya.

Tetapi entah mengapa, saat ini yang Ino dapat dari panorama itu adalah kesenduan.

Melihat negeri asing yang sedang Sasuke berusaha selamatkan ini, hanya membuat hatinya semakin mencelus. Suatu saat di masa depan, tanpa sang Uchiha yang melindungi dan mengendalikan, mungkin peradaban yang hanya dihuni para dolls ini akan kehilangan cahayanya, selayaknya kota mati.

Ino meremas erat kain jas mantel hitam milik Sasuke yang kini sedang membalut tubuhnya, menghalau dingin angin malam yang berusaha menusuk kulitnya. Lalu ia mengeratkan rangkulannya atas pundak lelaki itu. Belakangan, ia sudah begitu egois karena hanya memikirkan perasaannya sendiri, sementara Sasuke benar-benar telah disibukkan mengurus semuanya sendirian. Rasa bersalah merasuki benaknya sedari tadi.

Dengan satu lompatan, Sasuke memijaki bingkai jendela dan dengan mudah memasuki kamar Ino. Pada akhirnya mereka akan kembali berpisah setelah melewati pertemuan yang terasa begitu singkat, namun kini sang penyihir tak lagi merasakan berat di hatinya.

Setelah berada di dalam kamar berpenerangan remang itu, Sasuke tak segera menurunkan Ino, alih-alih terus berjalan menuju tempat tidur dan perlahan membaringkan perempuan itu di sana.

"Beristirahatlah," bisik sang Uchiha lembut, menduga Ino sedang kelelahan setelah merilis sihirnya dengan cuma-cuma saat bernyanyi tadi. Ditambah sang penyihir terus bungkam di sepanjang perjalanan sampai kembali ke kamar.

Ino hanya membalas ucapan tersebut dengan senyuman tipis. Jas mantel hitam yang sebelumnya tersampir menutupi tubuhnya kini telah merosot melalui pundaknya, menyebabkan rasa dingin kembali merayapi kulitnya bersamaan dengan sang vampir yang melepas dekapannya.

Sasuke memandangnya sekali lagi, sebelum akhirnya dengan berat hati memutuskan untuk berbalik pergi. Sayang sekali ia tidak bisa tinggal bersama dengan sang penyihir lebih lama. Meski ingin, namun masih ada banyak hal yang harus diurusnya dan pekerjaan yang musti diselesaikannya. Cukup untuk sekarang, mereka harus bertahan.

Tetapi belum juga ia melangkah, terdengar gumaman dari arah belakang.

"Maafkan aku," ucap Ino tiba-tiba, membuat sang Uchiha berhenti bergerak.

Dengan alis menekuk, lelaki itu menoleh dan mendapati Ino kini sudah mendudukkan dirinya di pinggiran ranjang.

Kemudian sang penyihir mulai berdiri dan menyejajarkan dirinya dengan lelaki di hadapannya. Menggenggam satu tangan lelaki yang masih bergeming itu, sambil tersenyum lembut Ino lanjut berucap, "You did well, Sasuke. Tenyata selama ini... kau telah menderita sendirian."

Mata Sasuke sontak melebar mendengarnya. Lalu ia tertawa datar dan segera menyangkal. "Tidak, aku tak menderita—"

Tetapi seolah sengaja mengabaikan sangkalan tersebut, Ino mendadak merangkulnya, lalu menyandarkan kepalanya di pundak Sasuke seraya berbisik, "Yasudah," ucapnya, terus memeluk lelaki itu erat dan menepuk pelan punggungnya.

Sasuke hanya diam karena bingung. "Ino... kau..."

"Sekarang... kau sudah tak perlu menanggung semuanya sendirian lagi," lanjut sang penyihir. "Kau bisa mulai berbagi denganku."

Hening sejenak dan tak ada yang bergerak saat Sasuke membiarkan kehangatan tubuh Ino menyebar pada dirinya. Sampai akhirnya Sasuke paham apa maksud dari ucapan dan pelukan itu. Seolah Ino... sedang menawarkan diri untuk menjadi tempatnya bersandar. Rasa lapang langsung membuncah di dadanya. Sang penyihir bukan hanya sedang mendekap tubuhnya, tetapi telah berhasil merangkul hatinya.

Helaan napas panjang terdengar ketika pelan-pelan si lelaki melepaskan pelukan mereka untuk menunduk dan menatap safir biru sang penyihir yang menyorotkan kejujuran. Satu tangannya merengkuh dagu Ino. "Jika begitu, apa kau mau berjanji untuk tidak pergi dari sisiku apa pun yang terjadi?" tanyanya.

Sempat tertegun beberapa saat, melihat ekspresi serius yang tiba-tiba ditunjukkan Sasuke membuat Ino tertawa.

Dengan mimik wajah menggoda, ia menelengkan wajah. "Entahlah," jawabnya. "Bukankah itu tergantung pada tindakanmu, tuan vampir?" suaranya merendah menjadi sekedar bisikan, sementara satu telunjuknya sengaja menekan-nekan dada Sasuke dengan jailnya. "Dengan cara apa kau bisa menahanku untuk tetap berada di sisimu?"

Tak disangka, Sasuke mendenguskan kekehan. Mendapati tingkah sang perempuan yang berubah dari sebelumnya tenang dan kini tampak angkuh seolah sedang sengaja memancingnya, membuat onyx sang Uchiha mulai berkilat liar.

Dengan rambut pirang keemasan yang menari-nari mengikuti gerakannya yang anggun, paras menawan dengan sepasang bola mata biru yang bersinar hangat, disertai senyuman seduktif yang tersungging di bibir ranumnya yang mampu membuat jantung Sasuke berdebar... Perempuan itu seolah tahu bagaimana cara mengoyak kerasionalannya.

Rasanya, ia sudah tidak bisa menahan diri lagi. Meski Sasuke pernah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak melampaui batas, tapi kini saat menatap sorot mata teduh yang menenangkan itu, juga setelah ia menerima segala perlakuan tulus si perempuan, segala keteguhannya runtuh begitu saja. Sikap sang penyihir yang tak terduga telah membangkitkan dahaganya.

Sang Uchiha ingin membuat sepasang mata tersebut hanya terarah padanya, dan semua senyuman jail nan nakal itu hanya ditujukan untuknya. Sasuke ingin memonopoli perempuan penyihir itu hanya untuk dirinya sendiri.

Lantas Sasuke melangkah maju dan menangkap tangan Ino yang masih menyentuh dadanya. "Menurutmu, dengan cara apa?" tanyanya, balik menantang. Sambil sengaja memajukan wajah, kini sebuah seringaian terpatri di sudut mulutnya.

Terkesiap, refleks Ino memundurkan kepalanya. Tetapi Sasuke tak membiarkan perempuan itu menjauh. Diangkatnya tangan sang penyihir yang tadi ia raih, lalu dengan lembut ia menciumi telapak tangan perempuan itu.

Sebenarnya, tadi Ino hanya bermaksud untuk mencairkan suasana agar tidak begitu tegang, namun ia tak menyangka Sasuke akan menanggapinya dengan serius.

Rona samar mulai muncul di pipi Ino meski belum kentara. Namun ia tetap bergeming saat menekuri wajah sang vampir yang kini tengah menunduk untuk mulai menelusuri lengannya yang terekspos dengan serangkaian kecupan. Sensasi geli semakin menggelitikinya, saat jemari hangat Sasuke mulai membelai punggungnya dan mencari celah di antara gaun malam tipisnya. Saat mulut Sasuke mencapai pundaknya, lelaki itu berhenti sejenak, sebelum tiba-tiba menggigit puncak bahu perempuan itu dengan gigi-gigi tumpulnya.

"Aw," Ino melonjak sembari memekik cukup keras. Baru saat itu ia mencoba untuk mengibaskan tangannya dari dominasi sang vampir. "Apa yang—"

Bruk.

Tak sempat protes, tubuh sang penyihir malah didorong lembut sampai kembali rebah di atas kasur, diikuti Sasuke yang kini tengah membungkuk di atasnya.

Aquamarine Ino melebar saat mendapati sharingan sang vampir ternyata telah menyala merah. Ia berhenti meronta, menyadari sekeras apa pun ia berusaha, tak akan bisa mendorong Sasuke terutama saat mata merah itu telah diaktifkan.

Ah. Sepertinya ia telah membangkitkan dahaga dari singa yang sedang lapar.

"Barusan kau menantangku dengan percaya diri," desis Sasuke. "Kenapa sekarang kau tampak kebingungan dan bertanya apa yang hendak kulakukan?"

Kedua pupil merah itu menatap Ino tajam. Seolah kembali terpikat untuk ke sekian kalinya, sang penyihir tidak kuasa untuk membuang muka dan hanya bisa balik memandang sepasang ruby tersebut dengan penuh damba.

"Jangan menatapku seperti itu," si lelaki kembali berbisik. "Aku bisa hilang kendali."

Tak segera mendapat sahutan dari perempuan itu, Sasuke menurunkan badannya untuk mencium dan menjilati garis leher sang penyihir, membuat Ino bergidik. "S-sasuke,"

"Perempuan yang telah menahanku pergi, tiba-tiba memelukku dengan penampilan seperti ini," ujar Sasuke sambil tangannya menelusuri tubuh Ino yang hanya ditutupi busana tipis yang nyaris menerawang. "Di samping tempat tidur pula... sangat cerdik untuk dianggap kebetulan."

Ino sontak merona. "Apa yang kau bicarakan?" protesnya segera. "Ucapanmu itu seolah aku sedang bermaksud untuk menggodamu!"

Tentu saja suara Sasuke yang terdengar terhibur itu membuat Ino merasa kesal. Moodnya langsung turun mendengar cemoohan yang sengaja ditujukan untuknya. Bukankah berbincang berduaan di dalam kamar memang sudah menjadi hal biasa bagi mereka? Kenapa kini lelaki itu mempermasalahkan?

Sasuke mengangkat kepala dengan seringaian tersungging di mulutnya. "Apa kau tahu, kalau kau sangat keras kepala?"

"Huh?" Ino menautkan alisnya. "Kapan aku keras kepala?"

"Selalu," jawab Sasuke, mendekatkan wajahnya. "Seperti barusan."

Ino mengerutkan bibirnya. Tambah kesal, tangannya kini mencoba mendorong tubuh lelaki itu. "Lagi-lagi kau bicara seolah kau yang paling benar."

Dengan mudah Sasuke dapat menghentikan rontaan tersebut. "Tentu saja," timpalnya, semakin menutup jarak wajah mereka. "Karena semua yang kukatakan... memang benar adanya."

Cup.

Berhenti bergerak, Ino menerima ciuman tersebut tanpa melawan. Sang vampir telah berlaku curang karena memanfaatkan ketidakberdayaannya, namun meski demikian, Ino tidak bisa protes. Panas yang dihasilkan dari tautan bibir mereka, juga dari kehangatan sentuhan tubuh mereka, menimbulkan rasa nostalgia yang sangat ia rindukan. Membuatnya lemah. Ah, lelaki itu memang selalu bisa meluluhkannya.

Ino pikir semuanya telah berakhir setelah sang Uchiha menarik bibirnya, namun ternyata mulut Sasuke belum beranjak dari wajahnya, alih-alih mulai mengecupi pipi dan rahangnya, lalu turun untuk kembali menenggelamkan wajahnya di antara ceruk leher sang penyihir.

Diperlakukan seperti demikian, tak dipungkiri bahwa Ino jadi merasa gugup. Namun kemudian, sang penyihir berjengit saat tiba-tiba merasakan perih di kulit lehernya.

Grauk.

"Ukh," Ino memejamkan mata, menahan perih yang tiba-tiba menjalar. "S-sasuke!" pekiknya, tahu apa yang sedang dilakukan vampir itu saat ini. "Bukankah kau tidak butuh suplai chakraku selama berada di sini?" tuntutnya.

Sasuke tak segera menjawab, mulutnya betah menikmati aliran energi yang kini tengah diisapnya. Sampai ia merasakan perempuan di bawahnya mulai menggeliat. "Well," sambil sedikit mengangkat taringnya, ia berdesis. "Chakramu istimewa. Rasa yang berbeda yang tak bisa kudapat dari tempat mana pun di sini," jeda sejenak saat ia menjilat mulutnya. "Begitu murni dan... manis. Aku suka sekali."

Ah. Lagi-lagi hati Ino berulah. Bibirnya bergetar. Tubuhnya terasa panas, terutama setelah mendengar sendiri bahwa setidaknya Sasuke memang menyenangi dan membutuhkan chakranya. Maka, ia membiarkan saja saat sang vampir kembali menelusurkan mulut sampai mencapai dada atasnya dan menancapkan lagi taring-taringnya di sana.

Mungkin Ino sudah gila karena malah menyenangi dan menikmati sensasi perih yang tengah menusuki kulitnya itu. Rasa berat dari tubuh Sasuke yang sedang menekannya, cara lelaki itu membelai dan menciumnya, dan deru napas sang vampir yang hangat menyapu kulitnya, membuat tubuh Ino gemetar karena sensasi panas yang datang tiba-tiba.

"Sasuke..." Setelah jeda yang cukup panjang, jemari Ino mulai menjambak rambut hitam Sasuke, berusaha menarik kepala lelaki itu untuk melepaskan gigitannya. "Jika terus begini... kau bisa menyedot habis seluruh energi dari tubuhku."

Aroma tubuh sang penyihir yang ia rindukan dan kulitnya yang terasa selembut sutra, membuat Sasuke tak ingin beranjak. Chakra yang manis bagai anggur ini, seolah mampu menghiptonisnya sampai mabuk. Membuatnya kecanduan.

"Aku belum selesai..." gumamnya, "untuk menandaimu."

Ino mengerjap. "Apa—"

"Kupastikan kau tak akan pernah bisa pergi dariku," sambung sang vampir. Dengan enggan ia sedikit mengangkat kepalanya. Benaknya kabur oleh gairah, masih ingin menandai sang penyihir hanya untuk dirinya, sebagai miliknya.

Mata merah sang vampir yang sedang dipenuhi sesuatu yang panas dan sensual seolah memenjara sang penyihir, membuat si perempuan tak bisa bergerak.

Ino mengigit bibirnya. Lelaki itu terus memandanginya dengan tatapan yang semakin berhasrat, membuatnya menelan ludah karena sedang terkukung tak berdaya, namun ia tak bisa memalingkan muka.

Dada bidang Sasuke naik turun oleh deru napas yang tak bisa ia kontrol. Di bawahnya masih terbaring perempuan penyihir dengan busana terbuka tanpa perlindungan, bagai mangsa yang empuk. Situasi terburuk di saat yang buruk pula, di mana ia sedang kehilangan kendali diri.

"Bukankah tadi kau memintaku untuk menahanmu," Sasuke membelai wajah jelita Ino dengan buku jemarinya. "... dan kini kau ingin agar aku berhenti?" lanjutnya bertanya. "Kau tidak tahu sekarang kau sedang secantik apa, Ino..."

Menelan ludah, pipi sang penyihir bersemu merah, namun sorot matanya tak menunjukkan keraguan. "Aku tidak memintamu berhenti," timpalnya. "Hanya saja... lakukan pelan-pelan."

Mendengar jawaban yang berani itu membuat ruby sang vampir melebar beberapa saat, lalu ia tertawa. Merasa gerah karena suhu tubuh yang meningkat, Sasuke bangun untuk melepas kemeja yang dikenakannya. Menyaksikan pundak bidang Sasuke yang kini terekspos, rona di wajah Ino memerah semakin dalam.

Sasuke membungkukkan kembali badannya. "Hei nona penyihir," suara serak Sasuke berdesis dalam. "kalau sudah memulai, kau tidak bisa memintaku untuk berhenti di tengah-tengah," tuturnya. Sepasang pupil merahnya semakin berkilat liar. "Apa kau sudah membulatkan tekad?"

Menghirup napas dalam, Ino memejamkan matanya sebentar, berusaha menenangkan diri karena dadanya kini sedang berdebar kencang sekali. Ia tidak lugu ataupun polos. Juga tak mau pura-pura bodoh. Ia tahu pasti apa yang akan terjadi setelah ini jika ia terus membiarkan Sasuke berbuat sesukanya. Namun pertahanan dirinya pun kini sedang berada di titik paling lemah. Rasa lega saat mengetahui dirinya diinginkan, dan harapan untuk tidak lagi hidup sendiran, meluluhkan hatinya yang terbiasa waspada.

"Ini bukan perkara tekadku, tuan vampir," mutiara biru itu kembali terbuka dengan satu alis terangkat. "Masalahnya, apa kau pernah memberiku pilihan untuk menolak?"

Merespon pertanyaan tersebut, Sasuke menyeringai lebar. Melihat itu, diam-diam Ino menggigit lidahnya. Ia telah mengatakan kata-kata yang berani, yang pasti akan semakin menyulut api dari diri sang vampir. Tapi tentu Ino sudah tak bisa mundur dan menarik ucapannya lagi.

Selanjutnya, Ino kembali melirik paras memesona Sasuke. Lelaki itu sedang tampak luar biasa tampan dan sensual, dengan peluh yang membasahi rambut, kening, pundak dan seluruh dadanya, kulitnya terlihat berkilauan. Lalu sang penyihir memejamkan mata, mencoba untuk mempertahankan sedikit kerasionalannya yang masih tersisa. Saat merasakan berat tubuh sang vampir mulai membebaninya dan tangan lelaki itu mulai menjamahi tubuhnya, cepat-cepat Ino menahan napas dan berusaha mengaturnya setenang mungkin.

Wajah Sasuke semakin dekat sampai Ino bisa merasakan napas lelaki itu di mulutnya. Ketika bibir mereka kembali bertemu, kecupan ringan menggelitiki bibirnya beberapa kali, sebelum si lelaki mulai mengisap lembut bibir bawahnya.

Ino merasakan panas membara di pipinya. Sasuke mengubah posisinya dan mengunci bibir sang penyihir sekali lagi. Ciuman mereka terasa manis bagai anggur, membuatnya ketagihan. Ino agak melonjak saat lidah si lelaki bertemu dengan miliknya. Ciuman lembut itu perlahan memanas, sampai erangan keluar dari mulutnya.

Ketika Sasuke melepas tautan bibir mereka dari sesi ciuman yang panjang, napas Ino terengah-engah. Sang vampir memberi perempuan itu kesempatan untuk bernapas sebelum kembali meraup mulutnya. Ino menikmati rasa bibirnya yang kembali dikulum pelan namun dalam. Mendapati ototnya berangsur lemas, sang penyihir mengangkat kedua tangannya untuk merangkul pundak Sasuke erat-erat. Gesekan kulit terbuka mereka memberikan sensasi nikmat yang menyenangkan.

Merasakan tenggorokannya haus oleh dahaga dan taring yang mulai gatal, Sasuke menjulurkan lidah untuk mengecap rahang Ino, membasahi kulit di sepanjang leher perempuan itu sampai ke sela pundaknya. Tangannya yang besar meraih lengan Ino lalu mengisapnya, meninggalkan beberapa jejak merah di kulit si perempuan.

"Haa..."

Sengatan demi sengatan membuat Ino mengernyit, namun anehnya hal terakhir yang ia inginkan adalah menghentikan apa yang sedang dilakukan Sasuke sekarang. Sampai kemudian Ino menyerah dan menenggelamkan wajahnya di pundak tegap sang vampir.

Ia tahu ini baru awalnya saja. Entah berapa lama ia bisa bertahan, sampai akhirnya hilang kesadaran.

Di tengah panasnya malam, seraya tubuh sang Uchiha menekannya, Ino bisa merasakan jantung Sasuke berdegup kencang di dadanya. Dalam benaknya langsung muncul pikiran bahwa, kaum vampir yang dulu pernah ia pandang sebagai makhluk yang angkuh dan dingin ternyata juga memiliki hati... yang terasa begitu hangat dan kini sedang berdenyut seirama dengan miliknya sendiri.

.

.

Bayangan sinar mentari membentuk siluet yang menari-nari di dinding kamar. Sang surya telah bersinar terik sepanjang cakrawala di luar sana, menebar panasnya ke seluruh Alzandria.

Sasuke merasakan tubuhnya seolah meleleh ke dalam kasur sesaat setelah ia membuka mata. Segar di kepalanya memberinya perasaan aneh, karena baru kali ini ia rasakan. Linglung sempat menguasai benaknya, sampai akhirnya sang vampir menyadari dirinya baru saja terbangun dari tidur lelap yang menyenangkan.

Sasuke baru hendak menegakkan badan, ketika bunyi napas lembut dari perempuan di sampingnya membuat lelaki itu sontak melebarkan mata. Sepasang obsidiannya mendapati tubuh Ino yang hanya berbalut selimut, dan menyadari dirinya sendiri sedang tak berbusana. Memori kejadian semalam langsung berputar-putar di kepalanya. Sakit yang amat sangat mendadak menyengat pelipisnya ketika perlahan ia mengingat semua yang telah terjadi semalam.

Panik segera melandanya.

Cepat-cepat Sasuke mencondongkan badan untuk meraih tubuh sang penyihir dan mengecek kondisinya. Mendekap perempuan itu, si lelaki langsung merasa lega ketika mendapati Ino masih bernapas teratur dengan temperatur tubuh yang normal.

Mengembuskan napas dalam, sang Uchiha tertunduk lemas. Satu tangannya terangkat untuk meremas keras satu sisi kepalanya. 'Bodoh! Apa yang telah ia lakukan?!' Sasuke mengutuk diri sendiri, tangannya yang terkepal gemetaran.

Sasuke melirik Ino yang masih terlelap dalam pelukannya. Jelas perempuan itu kelelahan. Dicermatinya jejak merah yang banyak tertinggal di tubuh sang penyihir. Hatinya langsung mencelus diresapi ketakutan.

Tak seharusnya ia... kehilangan kendali sampai melakukan ini...

Bukan tanpa sebab Uchiha pernah dikatakan sebagai makhluk terkuat di dunia, karena kaumnya memang mengemban daya dan tenaga yang jauh lebih besar dibanding makhluk lain. Ini alasannya mereka tidak dapat hidup berbaur dan bercampur dengan kaum lain, karena seorang Uchiha bisa menyedot energi seseorang sampai habis saat dirinya kehilangan kontrol. Seseorang yang dicampuri oleh Uchiha, konon energinya akan terserap pelan-pelan dan berakhir pada kematian. Itu hal yang lumrah jika mengingat bangsa Uchiha adalah makhluk penyerap energi kehidupan untuk mempertahankan eksistensinya.

Sang vampir merasakan kepalanya berdenyut keras lagi. Lantas bagaimana jika...

"Sasuke...?"

Dirasakannya Ino menggeliat lemah. Perempuan itu kini tengah melongok padanya dengan sepasang mata biru jernihnya. Rasa bersalah semakin menghujam Sasuke dengan telaknya.

Tetapi seolah mengerti keadaannya, Ino hanya tersenyum lembut. "Kenapa kau memasang wajah seperti itu?" bisiknya.

Sasuke tak menjawab. Kata-kata seolah terkunci di mulutnya. Tenggorokannya tercekat.

Melihat ekspresi itu, Ino merengut. Ia paham apa yang tengah berputar di pikiran sang vampir sekarang. Mereka telah terhubung secara fisik di level terdalam yang memungkinkan. Sebuah percakapan tanpa untaian kata. Koneksi paling dalam dan berat yang hanya bisa dibagi dua orang.

Tetapi kengerian yang ditunjukkan paras Sasuke saat ini seolah mengatakan kebalikannya.

Mau tak mau Ino jadi merasa sedikit kecewa. Ia menegakkan badan untuk memperbaiki posisi duduknya. Lalu jemarinya menggapai tangan si lelaki yang ternyata sedang bergetar. "Jangan bilang, kau menyesalinya?"

Melebarkan mata, Sasuke segera menyangkal. "Mana mungkin—"

"Lantas apa yang kau takutkan?" Ino menelengkan kepala dengan polosnya.

Ekspresi bersalah kembali muncul di wajah sang vampir. "Ino, kau tahu ini bisa saja menyakitimu—"

"Tapi aku baik-baik saja," potong perempuan itu lagi.

Kali ini Sasuke menatapnya tajam dan serius, campur frustasi. "Untuk saat ini. Tapi kita tak pernah tahu, akan selalu ada konsekuensi yang harus dibayar jika melanggar hukum yang telah ditetapkan."

Diluar dugaan Sasuke, sang penyihir malah terkekeh. "Ya, aku paham resiko apa yang harus kutanggung... jika ini memang salah."

Sasuke tampak terluka. Ia tidak suka saat mendapati sang penyihir seolah menganggap hal ini sebagai sesuatu yang sepele. Ia pasti akan sangat membenci dirinya sendiri jika sesuatu yang buruk terjadi pada perempuan itu.

Pada akhirnya ia hanya bisa menyalahkan ketidakmampuannya untuk menahan diri. "Maaf—"

"Jangan meremehkanku," sela Ino. Bibirnya mengerut karena tidak suka melihat Sasuke yang sedang tampak begitu menyedihkan. "Kau pikir aku akan membiarkan semua ini terjadi jika pada akhirnya hanya akan merugikanku?"

Sasuke menatapnya dengan onyx yang bingung.

Meraih wajah si lelaki dengan kedua tangannya, Ino mencondongkan badan untuk mengecup masing-masing pelupuk mata Sasuke. "Ini penyebabnya... sharingan milik kaummu," bisik sang penyihir. "Manusia, atau bahkan Yamanaka lain, mungkin bisa hancur karena tidak bisa menahan kekuatan kalian yang terlampau besar."

Sasuke berjengit ngeri saat mendengar langsung fakta tersebut. Tetapi ia tidak mengalihkan pandangannya dari Ino yang tengah menatapnya dengan penuh keyakinan.

"Tetapi aku berbeda," sambung sang penyihir. "Aku sama-sekali tidak memiliki darah manusia dalam tubuhku."

Mata Sasuke melebar dalam diam.

"Bukankah itu berarti... aku adalah pengecualian?" Ino tersenyum selagi mengatakannya, berusaha meyakinkan Sasuke bahwa semuanya akan baik-baik saja. Meski sebenarnya ia tidak tahu pasti.

Menanggapi itu, Sasuke tertawa lemah.

Benar, perempuan di hadapannya memang bukan makhluk biasa. Garis keturunan golongannya jauh lebih kuno dari bangsa manusia, bahkan lebih murni dari anggota klannya yang sekarang telah banyak didominasi oleh darah campuran. Seorang Yamanaka asli dengan garis keturunan yang nyaris sama dengan silsilah kaumnya.

Sasuke mencoba untuk percaya, meski kegundahan dalam hatinya masih belum sepenuhnya sirna. Merengkuh ke arah sang penyihir lagi, Sasuke membenamkan wajahnya di pundak halus Ino dan memeluk perempuan itu erat sekali. Tubuhnya sendiri mulai berhenti gemetar dan hatinya berangsur tenang... setidaknya untuk sekarang.

"Ya, kau memang... istimewa," ujar sang Uchiha dengan suara parau.

Sekali lagi dipermainkan oleh jalan nasib dan hukum yang mengekangnya, ia tak tahu takdir seperti apa yang sedang menanti mereka di masa depan. Satu yang pasti, Sasuke berjanji tak akan melepaskan perempuan yang kini berada dalam dekapannya, seperti ia yang harus merelakan nyawa seluruh kaumnya yang sempat lolos dari genggamannya.

Apa pun yang terjadi.

Meski ia harus mengalahkan takdir itu sendiri.


-TBC-

A/N

Aloha, vika kembali setelah hiatus lumayan lama~ moga ga pada lupa dengan cerita ini #DIKEROYOK/

Belum bisa bikin konten yang berat seperti chap-chap sebelumnya, jadi terbentuklah kisah yg adem-melow-manis-perih-nano-nano-AH ENTAHLAH seperti di atas LOL

Sepertinya hiatus akan jadi makanan sehari-hari, jadi mohon pengertiannya XD

Sampai ketemu lagi suatu hari nanti di next chapter :)

Makasih banyak bagi yang masih sudi menunggu dan membaca kelanjutannya hahahahaha

Btw anggap ini sebagai persembahan buat merayakan early birthdaynya Sasuke tanggal 23 nanti~

Yeay happy bornday for me and my forever crush!

Review?


Updated : 16/07/19