Naruto belongs to Masashi Kishimoto

.

Rate – M (Dewasa!)

Chapter 13

Let's talk about His Love!

.

HIUZULIA TO PRESENT

IMPOSSIBLE TO RUN AWAY FROM ME


Siapa pun akan menganggap tubuh atletis berbalut stelan serba hitam yang duduk kokoh sambil mendekap erat gadis yang saat ini tak berdaya bersamanya adalah… lelaki Sinting! Owh! Bukan… tetapi sangat sinting! Lihat, dia menambah nilai kegilaannya dengan seringai lebarnya…!

Naruto menyapa lewat mata kedua tamu istimewanya, ia tak terusik sedikit pun dengan makian tunangan gadis yang masih pada posisi terlelap dalam dekapannya.

"Singkirkan tangan mu dari tunangan ku!" Suara memaki Toneri bergetar oleh amarah yang membuncah, ia mengambil langkah cepat mendekat. Toneri tidak dapat berpikir jernih atas situasi yang ia hadapi.

Setiap label milik orang lain menjadi panggilan Hinata ada rasa benci dalam diri Naruto, lebih tepatnya iri… terlebih lagi dari mulut pembuat julukan itu sendiri. "Sssstt… pelankan suara mu, kau mengusik wanitaku!" Naruto berujar setenang mungkin meladeni amarah Toneri, sedetik kemudian ia mengecup sekilas kening Hinata, ia ingin mengusik tingkat kesabaran Toneri.

Graapp…! Suara tarikan terdengar cepat! Dia Toneri menarik kerah Naruto hendak mendaratkan tinjunya ke wajah Naruto, namun sedetik kemudian lelaki penuh amarah itu melepaskan, ia menyadari Hinata sedikit terusik dalam tidurnya. Toneri mengambil langkah mundur menetralkan emosinya. Ia balik mendelik tak suka pada Naruto.

Melakukan peregangan disekitar lehernya Naruto terkekeh geli sambil memperbaiki posisi tidur Hinata ia kembali menatap Toneri, ia merasa sedikit terhibur atas posisi mereka yang kini berbalik, ia ingin melihat bagaimana ekspresi tunangan Hinata saat lelaki lain sedekat ini dengan Hinata.

Sementara Ino yang sedari tadi menjadi saksi bisu masih belum dapat menghirup udara bebas, ia masih mencerna apa yang terjadi saat ini. Terakhir sebelum dia dan Toneri memasuki ruangan ini dia masih sempat sedikit bercanda dengan Toneri. Lalu saat ini apa yang terjadi?! Gadis blonde ini mencoba mengerti situasi saat ini, bagaimana Naruto bisa ada disini dan mengapa sang empunya ruangan sendiri dalam pelukan Naruto lebih buruknya begitu intim? Serta wajah garang Toneri bak hewan yang siap menerkam, kali pertama Ino melihat raut marah Toneri… ini sangat langka. Ia bahkan nyaris tak bernafas saat Toneri mau memukul Naruto. Kali pertama ia menghadapi kejutan beruntun seperti ini dan akhirnya ia menjadi penonton semata.

Ino merasa Toneri mengendalikan dirinya sendiri dan mengasihani Hinata secara bersamaan, benar-benar dilemma. Sedari awal Toneri tidak ingin membuat keributan sekaligus mempermalukan Hinata, Toneri masih mencoba berpijak pada akal sehat berusaha tak termakan tingkah picik Naruto. Ia bahkan meredam emosinya agar tidak berakhir adu tinju dengan Naruto. Toneri tidak mungkin menarik paksa Hinata dari pangkuan Naruto bukan, akan terlihat menyedihkan bagi dia dan Hinata. Tunangan mu tertidur dipangkuan lelaki lain dan untuk Hinata sendiri akan sangat buruk, tertidur dipangkuan lelaki lain disaksikan tunangan mu sekaligus sahabat mu. Hell nooo….! Lelaki ini mencoba melindungi harga diri tunangannya.

Dilain pihak Naruto tak sedikit pun berniat mengakhiri perdebatan ini, ia terlihat menikmati wajah tertekan Toneri. Meskipun perasaannya diliputi rasa jengkel, ya tentu jengkel! Seharusnya dia yang berperan menjadi ksatria dalam hidup gadis ini, namun biarkan dia menjadi villain agar gadis ini menjadi miliknya….!

"Mau sampai kapan kau akan mempermalukannya? Serahkan Hinata!" Nada suara Toneri menggeram rendah, tangannya terulur hendak mengambil Hinata dari pangkuan Naruto.

"Mempermalukan?" Naruto berujar kesal tak setuju, ia bersandar menjauh dari tangan Toneri. "Bagian mana yang mempermalukan Hinata?" Ia kembali tersenyum tanpa rasa bersalah.

"Brengsek!" Toneri hanya bisa memejamkan mata sambil mengernyitkan dahinya sebelah tangannya memijit keningnya yang kembali berdenyut, ia meredam emosinya. "Kau tidak bisa seenaknya berbuat hina seperti ini kepada Hinata, Naruto…! Terlebih lagi dia dalam kondisi tidak sadar! Brengsek, kau benar-benar rendahan dan berhenti menyakiti Hinata!" Kepalan Toneri semakin erat, siap untuk menerjang Naruto.

Ino merasa keadaan semakin runyam, ia tersentak saat Naruto berdiri cepat ikut membalas menatap tak kalah sengit, Naruto bahkan tanpa ragu menyelipkan tangannya di bawah paha Hinata tepat dihadapan Toneri. Ia lamat mengawasi tubuh gemetar Toneri, Ino yakin keterkejutan Toneri nyaris merusak pondasi pertahanannya, dasar Namikaze bajingan! Gadis blonde itu sedikit waspada pada pintu dibelakangnya, suara dari balik pintu mengkhawatirkan pikirannya, gedung ini mulai diisi karyawan Hinata, sekilas melihat pergelangan tangannya Ino menegang seketika, ini jadwal memberi laporan untuk Hinata. Lihat sekarang dia dalam posisi terdesak, memilih ikut dalam pergumulan kedua lelaki ini pun dia tak berani bahkan kakinya sendiri tak mampu sekedar melangkah keluar mengamankan bila salah seorang karyawan masuk memberi laporan.

"Cih, menyakiti kau bilang!"

Tersentak kembali, Ino merutuki kebebalan Naruto yang tak bisa sedikit saja mengalah dalam perdebatan ini, apa sih mau anak ini! Ia tak habis pikir.

"Kau membela sepihak Namikaze-san! Ada batasan dalam pola pikir yang kami sebut manusia. Apa yang kau harapkan dari ini semua? Keretakan hubungan kami? Pembatalan pertunangan?" Ujarnya sarkas menarik nafas singkat, Toneri mantap menyatukan tatapan mereka. "Jangan menganggap remeh kami berdua Naruto! Kami tak pernah memulai hubungan di atas pondasi pasir, sekali pun kejadian ini akan memperunyam hubungan kami nantinya. Saat ini kau berperan besar dalam menyakiti serta menghancurkan kehidupan Hinata. Namun, kau harus menggaris bawahi bahwa apa pun yang kau lakukan Hinata akan tetap memilih ku dan akan tetap menjadi miliki ku. Dan untuk mu sendiri kau bagai kerikil kecil dalam hubungan kami!" Dari awal lelaki berparas rupawan tunangan Hinata ini mengetahui alasan utama Naruto sering kali menjebak dia dan Hinata agar bersiteru, berkat pikiran warasnya dia selalu mampu menang melawan emosinya, tetapi saat ini bukan waktu yang benar menahan emosinya.

Perkataan Toneri tunangan Hinata mengiris ulu hatinya ada rasa sesak menekan dadanya, pandangannya sedikit mengabur. Kata kami mendongkrak egonya! Pikirannya melayang jauh membuat Naruto tertunduk meratap. Naruto membenarkan semua ucapan Toneri, ia disini hanya sebagai pemeran piguran yang malang. Kerikil kecil…! Ya dia mulai menyadari perannya setiap kali ia dan Hinata beradu mata. Bola mata indah itu menyiratkan kalimat kenangan yang telah dihapus, sejak pertemuan dia dan Hinata kembali sedari awal ia menyadari tatapan gadis ini meredup melihatnya tak ada binar kekaguman seperti dulu lagi, hanya ada tatapan dingin penuh waspada, ia seperti tak berarti lagi bagi Hinata. Disini dia… tanpa sadar ia bercermin dari sikap Toneri, apa gunanya memiliki Hinata jika dia akan selalu menyakiti gadis ini, bukankah lebih baik Hinata bersama orang yang akan selalu melindunginya?

Cara tunangan Hinata melindungi gadis ini, menampar sisi kepeduliannya. Naruto kalut menanggapi ucapan Toneri, status gadis ini serta alasan utama dia ingin memiliki Hinata berlandaskan dendamkah? Atau murni mengingini? Dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa hubungan Hinata dan Toneri tidak akan mungkin mengalahkan niatnya. Namun, di sisi lain ada ikatan antara keduanya yang sulit dihancurkan Naruto, ia sadar akan hal itu.

Ia masih meratap mengiba…!

Lalu bagaimana dengan hidup gadis ini? Bagaimana jika poros kehidupan Hinata adalah tunangannya? Bagaimana seandainya gadis ini… tidak bisa…..

Hidup tanpa lelaki ini?

Dia Naruto mengiba pada dirinya sendiri, sedangkan dia tak bisa hidup tanpa gadis ini, tak bisa bernafas tanpa gadis ini, tak bisa meredam rasa rindu pada gadis ini. Ia tak yakin dapat hidup normal lagi jika Hinata menghilang dalam hidupnya. Tak yakin bisa melenyapkan bayangan gadis ini dan gadis ini sudah menjadi oksigen tersendiri bagi Naruto Namikaze. Hidupnya dijungkir balikkan tanpa ampun seolah apapun pada diri gadis ini menjadi obyek penunjang kehidupannya, obsesi dalam hidupnya! Hancur berkeping-keping, ia yakin akan benar-benar hancur tanpa Hinata disisinya dan sangat yakin ia akan terseret kejurang maut terdalam bila Hinata berhasil dimiliki orang lain dan bukan dirinya sendiri.

Saat tangan Toneri mulai terulur mengambil pelan Hinata dari gendongannya pun ia masih terhanyut dalam lamunannya…

Hingga… lenguhan pelan gadis ini menarik alam sadarnya, ia menatap dalam wajah cantik Hinata, kening gadis ini yang selalu ingin dikecupnya, pipi porselinnya yang begitu manis serta cahaya bulan di balik kelopak mata indahnya, gadis ini… wajah Hinata sangat memukau di mata biru Naruto, bahkan nyaris tak terbantahkan.

Ia merasakan lembutnya dan halusnya rambut Hinata menyapa kulit tangannya saat Toneri menarik lembut Hinata, lalu tatapannya fokus pada bibir Hinata. Cara bibir pink Hinata menggoda akal sehatnya, bibir itu adalah favorit Naruto, ia menyukai rasa bibir gadis ini, memabukkan bak racun sekaligus menjadi antidote secara bersamaan. Sering kali ia kehilangan akal setiap bibir keduanya bersatu, ia sangat menggilai berciuman dengan Hinata. Serta tubuh langsing ideal milik Hinata dan bagaimana badan Hinata begitu pas dalam pelukkannya, tanpa sadar dalam seperkian detik Naruto begitu memuja setiap inch tubuh milik Hinata.

Logikanya tersentak keras, ia erat menarik pikirannya agar sadar sepenuhnya.

Ketika tubuh Hinata nyaris sepenuhnya lepas dari jangkauannya, emosinya naik ke level tertinggi. Dengan cekatan ia menarik Hinata merebut kembali dari Toneri…dan…

BUAAGGHH….!

Tanpa aba-aba Naruto melepaskan sebuah tunjangan kearah perut Toneri, bukan sebuah tunjangan ringan! Tubuh besar Toneri terpental keras membentur lantai, ia mundur beberapa langkah.

Sang Sekretaris pribadi Hinata bahkan memekik tinggi di keterkejutannya, Ino cepat menghampiri tubuh tak berdaya Toneri yang kini memegang perutnya sambil meringis sakit terduduk dilantai.

"Kau gila Naruto-san! Kemana akal sehatmu?!" Teriak Ino keras marah sambil berusaha membantu Toneri untuk berdiri, ia tak peduli sekali pun Hinata harus melihat kejadian ini secara langsung. Ino tak dapat meredam rasa shock dan amarahnya.

Merasa Hinata dalam pelukkannya terusik dalam tidurnya, Naruto dengan lembut memperbaiki posisi Hinata agar lebih merapat pada dadanya. "Ssstt… tidak apa-apa! Tenanglah!" Bisik Naruto mengecup lembut kening Hinata berulang kali, menstimulasi agar Hinata kembali tertidur. Tak mempedulikan bagaimana wajah shock milik Toneri dan Ino menatap dirinya horror.

Naruto terkikik geli tanpa beban, Well, ini bukan salahnya sepenuhnya. Aura kecemburuannya berada di ujung tanduk, dia sudah tak tahan lagi dengan tunangan gadis ini. Dia muak lelaki ini leluasa menyentuh Hinata selama ini dan sudah saatnya adegan seperti itu dihentikannya. Akhirnya bola kebencian itu meledak saat tangan Toneri berusaha merebut Hinata, egonya berteriak kesal. Ayolah, kau cari mati berani menyentuh wanita milikku, lebih burukknya dalam dekapanku pula, kau memanggil monster! Akal lelaki ini sudah memburam.

"Maafkan kelancangan ku selama ini, aku terlambat memperkenalkan diri ku." Memberi jeda, Naruto menghela ringan, dia menegakkan tubuhnya sambil memasang evil smirk andalannya. "Gadis yang saat ini menjadi tunangan mu adalah wanita ku sedari awal… dari dulu sampai selama-lamanya. Untuk mu aku ucapkan terima kasih menjaganya selama ini, sekarang tugas mu sudah selesai." Ujar Naruto penuh penekanan, ada makna ancaman disetiap kata dari ekspresi tegas wajahnya.

"Sekarang kukatakan padamu, bahwa Hinata adalah mutlak wanita ku, tidak satupun yang dapat memiliki Hinata dan marga Hinata hanya boleh berubah menjadi Namikaze. Kau bodoh meremehkan ku!" Naruto menyeringai menang.

Menyakiti Hinata? Peduli setan! Sudah dari dulu dia lakukan dan akan dia lakukan sampai Hinata benar-benar menjadi miliknya seutuhnya. Sekali pun suatu hari Hinata akan memelas memohon agar melepaskannya, tidak akan pernah sampai selama-lamanya. Hinata tidak boleh lepas dari genggaman Naruto. Dia lebih baik disakiti Hinata jutaan kali daripada harus ditinggal Hinata, sekalipun itu kematian dia akan membawa Hinata bersamanya. Dia akan gila jika Hinata tidak ada disisinya dan akan menjadi monster bagi mereka yang berani merebut wanitanya.

"Ah, satu hal lagi aku bukan pria lemah yang hanya menginginkan wanita ku tetap disamping ku tanpa bisa melindunginya. Dengan senang hati aku akan menghancurkan siapa saja yang berani meletakkan seujung jari pada Hinata ku. Dan untuk mu tuan yang berani menghalangi Hinata kepangkuan ku… kematian ada disekitar mu sekalipun itu orang terkasih Hinata sendiri." Ucap Naruto mantap mengakhiri perkataannya.

Sementara Toneri hanya dapat terdiam memasang wajah kesal setengah meringis, rasa sakit pada perutnya meredam emosinya. Ino hanya dapat menganga sambil menggeleng takjub atas kegilaan Naruto. Sekarang ia benar-benar percaya bahwa semua itu bukan rumor belaka, bahwa benar adanya sang pewaris tunggal Hokage Group adalah monster berdarah dingin. Sungguh Immoral…! Ia bahkan tak peduli pada status Hinata dan Toneri sebagai pasangan tunangan. Ino akhirnya sadar bahwa ia terlibat dalam labirin hitam dan akhirnya dia menyadari siapa sebenarnya Namikaze Naruto, ia akui dia sangat takut sekarang pada kekasih gelap Hinata ini.

Dalam pangkuannya Hinata terlelap tenang, tak terusik sama sekali. Naruto berjalan santai melewati Toneri dan Ino, mengabaikan tampang tergoncang keduanya.

Saat akan meninggalkan keduanya, Naruto mengedipkan mata pada Ino sambil memasang evil smirk miliknya dan untuk Toneri ia mengintimidasi melalui sorot mata tajamnya.

Pintu terbuka dan akhirnya Naruto berlalu dari hadapan mereka. Ino menggeleng cepat… gadis blonde ini bergidik ngeri mengingat senyum Naruto, ia memandang kaku punggung kokoh Naruto yang perlahan menghilang. Dia sendiri tak memiliki nyali sedikit pun untuk menghentikan aksi Naruto membawa paksa Hinata.

"Bertahanlah Toneri-kun!" Suara batuk Toneri begitu mengkhawatirkan, perlahan Ino memapah Toneri agar duduk di sofa. Sekretaris Hinata kembali mendengus kasar, Naruto sepertinya melepaskan semua kekuatannya saat menunjang lelaki malang ini, terlihat dari raut meringis Toneri masih memegangi perutnya.

"Sebaiknya kita ke dokter saja, kau tidak baik-baik saja!" Balas Ino menanggapi gelengan Toneri. Ia bisa melihat keringat mengucur perlahan dari kening Toneri serta wajah memerahnya menahan rasa sakit.

"Bisakah kau rahasiakan ini semua dari Hinata? Aku tidak ingin Hinata lebih menderita lagi."

"Dia sudah dan lebih parah lagi Toneri-kun!" Balas Ino sengit, apa lelaki ini malaikat atau sejenisnya? Ia tidak habis pikir, ah… benar lelaki ini tulus mencintai sahabat berambut kelamnya. Dia masih berusaha menjaga martabat Hinata di depan orang lain?!

Tunangan Hinata masih terpaku pada dinding kaca lebar dihadannya, bola matanya menatap kosong diam. "Aku akan berusaha agar tidak ada yang menyadari aku disini, sisanya ku serahkan pada mu. Apa kau punya sesuatu untuk menutupi wajah ku?" Ia melihat sekeliling mencari sesuatu.

"Ka-kau bisa memakai masker—tunggu sebentar." Ino sedikit melamun, tepukkan pada bahunya menyadarkan lamunannya. Mencari dari dalam laci sebuah topi ataupun masker, ia dan Hinata sering menggunakan untuk keperluan tertentu.

"Kau baik-baik saja jika seperti ini?" Menyerahkan sebuah topi dan masker, Ino berbisik ragu bertanya. Dia kembali tersenyum kikuk membalas senyuman lirih Toneri, lelaki ini memakai tanpa sepatah kata, memperbaiki stelannya ia berjalan meninggalkan Ino dengan seulas senyum singkat.

Sebelum pergi ia memandang sekilas mawar merah yang ada di atas meja, tidak dalam kondisi baik, dia juga dapat melihat ada beberapa kelopak bertaburan dilantai. Naruto merapikan sedikit meskipun tidak bersih sempurna. Ia berbalik melihat Ino kembali. "Katakan padanya bahwa ada urusan mendadak yang harus ku selesaikan di Amsterdam dan aku tidak bisa menemuinya, kau tahu maksudku bukan?!" Memohon lewat tatapan, Toneri pergi meninggalkan Ino setelah membungkuk singkat. Dia harus segera pergi sebelum ada yang memergoki dia juga berada di lokasi kejadian saat ini. Bisa-bisa drama romantis sang CEO cantik berubah tragedi.

Gadis ini terduduk kasar diatas sofa, dia sunggguh kewalahan dan kesal mengatasi tingkah kedua pencinta Hinata ini. Satu menerobos dengan lancang dan satu lagi… entahlah dia sendiri bingung harus berkomentar apa. Dia melihat sekeliling ruangan Hinata, berakhir mengeluh lelah, bagus! Apa mereka berperang dengan bunga mawar, rutuk Ino dalam hati melihat kondisi mawar milik Hinata. Menghirup dalam, dia butuh oksigen yang banyak agar lebih rileks. Saat mendekati jejeran bunga mawar, Ino menggeleng singkat.

"Seingat ku jumlahnya tak segini, bertambah satu. Dasar dia nekat sekali!" Gadis itu merapikan beberapa kelopak mawar yang berjatuhan, minatnya terganti dengan keranjang bunga yang masih utuh, ia mencari kertas yang biasanya disisipkan di dalamnya. Bagi Hinata sendiri ini bukan sebuah privasi yang membuat dia bisa leluasa membaca surat dari Naruto.

Matanya perlahan membaca setiap jejeran huruf, namun terganti dengan tatapan kaget.

Waktu mu habis Hinata, Bersiaplah menjadi milik ku seutuhnya. Aku tidak akan lari lagi dan aku akan bertanggung jawab penuh atas semua perbuatanku.

"Astaga—astaga, bagaimana ini, Hinata—." gadis ini nanar menatap sekitar, ia yakin ini bukan sebuah ancaman biasa dan ini bersangkutan dengan semua hal hidup Hinata dan juga Naruto.

Ini surat perang, bagaimana Hinata dapat bertahan dalam situasi ini. Ino menjabak surainya, ia menggeleng takut. Dan kembali tersentak, ia lupa membereskan kekacauan diluar. Ulah Naruto pasti sudah terlihat karyawan Hinata, dengan tergesa-gesa ia berlari ke ruang kontrol. Semua CCTV yang merekam kejadian ini harus segera dimusnahkan. Mengesampingkan rasa cemasnya dan fokus mengatasi masalah utama saat ini jauh lebih mendesak.

Bertanggung jawab penuh? Atas apa?

.

.

Saat Naruto keluar dari ruangan Hinata, ia masih diliputi euphoria kemenangan. Bagaimana tidak, akhirnya dia bisa mengemukakan perasaannya selama ini kepada tunangan Hinata dan berharap lelaki itu sadar siapa sebenarnya dirinya bahkan Kami-sama seperti mendukung setiap aksinya, Hinata gadisnya tak ikut melawan dalam hal ini. Ah, ia baru sadar ada yang tak beres dengan kondisi Hinata, gadis ini masih tetap tertidur atau mungkin masih pingsan dalam gendongannya, sebisa mungkin dia harus merawat Hinata sekarang.

Dan disini lah dia berjalan arogan diliputi tingkah posesifsekaligus obsesi berlebihan. Seperti ada musik bermelodi kemenangan yang dipasang disekelilingnya.

Saat ia masih beberapa langkah menjauh dari ruangan Hinata, beberapa karyawan yang berlalu lalang pun membuat Naruto tak dapat menyembunyikan evil smirknya. Bagaimana tidak, beberapa bahkan ada yang mematung seketika sambil menganga tak jelas, Naruto juga sangat menikmati setiap aksi kocak karyawan Hinata, menjatuhkan sesuatu bahkan suasana mendadak sunyi tanpa ada riuh percakapan atau gossip di pagi hari. Dan dia menambah kesunyian menjadi tarikan nafas bersamaan oleh setiap mata yang melihat mereka berdua saat dia mengecup lembut kening CEO mereka berulang kali.

Naruto bahkan tersenyum ramah pada pegawai Hinata yang keluar dari dalam lift, untuk pertama kalinya ia 'menyapa ramah' pegawai Hinata. Mereka yang melihat Naruto menggendong yang mereka yakini sebagai CEO mereka pun ikut terpana bahkan ada yang harus ditarik rekannya sangking terkejut tak sanggup untuk berjalan keluar dari lift.

Ketika dentingan lift berbunyi dan pintu lift tertutup menyembunyikan tubuh Naruto, akhirnya kesunyian pecah menjadi riuh ramai para penonton seperti sebuah gol dalam stadium. Mereka memekik shock dan takjub bersamaan, gossip dan spekulasi bertaburan di setiap obrolan. Mereka menyayangkan tak ada satu jepretan pun yang bisa mereka abadikan, ini akibat aura Naruto terlalu mendominasi atau mungkin akibat pemandangan live yang benar-benar langka untuk dilewatkan.

CEO muda itu mengamati wajah terlelap calon permaisuri dalam dekapannya, ia berpikir sejenak mengenai aksinya, banyak pasang mata yang telah melihat kejadian ini dan setelah ini dia yakin akan berargumen panjang dengan kekasihnya. Naruto melirik sekilas layar diatas, kata bertuliskan lobi, indera pendengarnya dapat menangkap perkacapan dari balik lift. Saat lift berdenting dan perlahan terbuka…

"It's show time baby…!" Naruto melakukan sedikit peregangan di leher dan kembali menyeringai bangga.

Ia melangkah pasti dan semua mendadak sunyi… Hanya ada derap langkah kakinya di ruangan luas penuh orang itu, beberapa karyawan bahkan menghentikan gerakan kaki dan tangan tak satu pun yang berencana melewatkan tontonan ini dan ketika Naruto kembali mendaratkan kecupan lembut pada kening Hinata, secara bersamaan mereka menarik nafas dalam. Sedikit pun Naruto tak ambil pusing, dengan sigap ia melewati semua dan memasukkan Hinata ke dalam mobil hitam metalik miliknya yang terparkir apik di depan lobi. Seperti tadi selepas kepergian Naruto membawa Hinata pekikan masal terdengar keras, mereka bergosip ria tanpa henti tak peduli siapa yang menjadi topik pembicaraan mereka.

.

Mansion pribadi Hinata.

Tubuh lemah Hinata akhirnya mulai membaik, wajahnya tak terlihat pucat seperti tadi sudah lebih cerah dan memerah. Pakaiannya pun sudah berganti menjadi piayama tidur. Sementara Naruto masih setia duduk mengamati wajah pulas Hinata, tangan kanannya menggenggam tangan Hinata dan sebelah tangan yang lain mengelus lembut kepala gadis ini. Dia menikmati setiap momen seperti ini bersama gadisnya, hangat dan membahagiakan.

"Kau menyakiti ku Hinata! Kau tahu aku tak suka melihat mu terluka seperti ini." Bisik Naruto setengah kesal, iris sapphirenya tenggelam menyelami wajah terlelap Hinata, perlahan jari-jarinya menyusuri kening, hidung dan berakhir pada bibir. Seulas senyum terpantri dari wajah tampannya saat Hinata sedikit geli merasakan gerakan lembut jari Naruto di bibirnya. Naruto menggit bibir bawahnya saat melirik botol infus yang tergantung di sebelah tempat tidur Hinata. Mendengus kasar tak habis pikir gadis ini tak bisa menjaga diri dengan baik.

Malnutrisi, stress dan kurang istirahat! Itulah diagnosis Suzunne pada Hinata, itulah sebabnya gadis ini tak dapat membuka matanya sedari kemarin. Tubuhnya terlalu diporsir melewati batas, belum lagi gadis ini sering terjun langsung mencek setiap proyek yang dikerjakan. "Setidaknya makanlah teratur—" kalimatnya terputus saat Naruto mengamati jarum infus di tangan Hinata, ia sadar sedikit banyaknya atau mungkin sepenuhnya penyebabnya karena dia akhir-akhir ini selalu menekan gadis ini. Tapi mau bagaimana lagi, jika saja Hinata mau mendengarkannya dan memberikan dia kesempatan untuk memulai kembali… gadis ini mungkin tidak akan terluka seperti ini. "Aku harus pergi, beristirahatlah kita akan bertemu kembali!" Ucap Naruto menyatukan kening mereka lalu mencium lembut bibir Hinata, hanya lumatan kecil dia tidak ingin mengganggu istirahat gadisnya meskipun dia tertawa kecil mengakhiri ciuman sepihaknya, hampir saja ia kelewat batas.

Banyak urusan yang harus dia kerjakan, ya setidaknya dia sudah melewati pertama saat dengan Suzunne. Sekitar beberapa menit dia harus meladeni pertanyaan menuntut dari dokter pribadinya ini… Bagaimana? Kenapa? Mengapa? Serta sedikit pernyataan ancaman dari mulut Suzunne, awalnya ia ingin maid Hinata mengurus keperluan gadis ini namun di urungkannya karena rasa ketidakpercayaannya, takut Hinata tidak mendapat dokter berpengalaman atau lebih buruknya seorang dokter pria! Dia lebih suka orang kepercayaannya yang mengurus semua kebutuhan gadis yang masih berbaring ini. Tingkat keposesifannya bertambah parah.

Dia juga harus menyelesaikan urusan di kantor, Shikamaru pasti sudah mendengar kabar ini. Dia yakin sepanjang hari ini dia akan berurusan dengan celoteh Shikamaru, tipikal Shikamaru saat sedang kesal.

Matahari sudah tidak seterik tadi, beberapa jam bersama Hinata membuat dia lupa waktu. Pukul dua siang membuyarkan pikirannya, perutnya sudah merongrong kasar. Sampai detik ini dia belum mengecap makanan sedekit pun begitu pula dengan pergelangan tangannya yang sedikit kebas akibat berjam-jam membawa Hinata. Mengisi tenaga adalah pilihan bijak saat ini. Saat akan memasuki mobilnya Naruto mengangguk sekilas membalas beberapa orang membungkuk ke arahnya.

Seseorang penting berperan sebagai bayangan Naruto dalam menjaga Hinata. Sekelompok suruhan miliknya mengamankan tempat tinggal Hinata. Laki-laki dan perempuan ditugaskannya untuk menjaga setiap aktivitas harian Hinata, bagaimana pun dia tidak mungkin membiarkan calon istrinya lepas dari pengawasannya. Tinggal berdua di temani beberapa maid dan seorang paruh baya sebagai penjaga rumah gadisnya? Oh, tidak sama sekali! Belum lagi hal ini membuat monster utama dapat leluasa masuk ke dalam, siapa lagi selain Toneri tunangan gadisnya. Pada akhirnya ia bertindak irrasional dengan membeli semua rumah yang bersebelahan dengan rumah Hinata, tak peduli kiri, kanan, belakang hingga depan pun semua dia beli. Uang tak penting baginya selama Hinata aman dalam jangkauannya. Dan merekalah yang bertugas untuk mengekori setiap aktivitas harian gadis miliknya serta mereka jugalah yang mengikuti Hinata dan Ino ke club waktu itu.

Dan inilah menjelaskan bagaimana Naruto di waktu bersamaan dapat bertemu Hinata. Ayolah, dia juga banyak urusan, mengenai pengantaran bunga pun dia masih bisa menggunakan jasa suruhannya, walaupun dia sering terjun langsung. Saat mendengar Hinata berangkat menuju kantornya pun, Naruto dalam kondisi hampir terlelap pulas. Namun berkat mata-matanya, ia memiliki peluang bertemu langsung dengan CEO cantik pemberani yang tak gentar menemuinya pada tengah malam.

.

Hokage Group Building.

Pukul setengah empat penyandang gelar CEO monster ini pun menapaki ruangannya, sedikit lega tak mendapati asistennya tak menunggu kedatangannya. Lain hal dengan tumpukan file diatas meja kerjanya, ia memicing ragu….siasat untuk membalikkan kondisi perusaahaannya. Belum sempat bokongnya menyentuh kursi kerjanya Shikamaru menerobos masuk bersama tampang kalap dan nafas memburu. Shikamaru berdiri di ambang pintu memicing kearahnya bersamaan dengan nafas tersengal. 'Dan… mari kita mulai!' batin Naruto mengeluh lelah.

"Aku tidak tahu Naruto—." keluh Shikamaru berjalan mondar-mandir, lagi kedua tangan lelaki berkuncir itu mengibas-ibas udara di hadapannya, ia mencoba menenangkan diri. Naruto menyamankan duduknya, kedua tangannya mengambil dokumen memulai membaca, ia mengabaikan sang korban disini.

"Aku nyaris tuli saat sekretaris Hyuuga Hinata menghubungi ku dan coba tebak dia menyapa ku dengan teriakkan bersamaan kalimat mengutuki. Sungguh luar biasa!" Shikamaru berucap cepat, membayangkan kembali setiap rentetan kalimat makian dari Ino, Shikamaru bergidik ngeri. "Awalnya ku pikir dia gadis sinting!" Pertama kali dalam hidupnya dia dimaki segini kasarnya, ya meskipun dia menikmati setiap ocehan di seberang telepon, rasanya dia seperti mendengar Donald bebek sedang marah namun ini versi Ino Yamanaka.

Celoteh Shikamaru terhenti sebentar, membuat Naruto menghentikan laju penanya melirik dari ekor matanya.

"Kau menikmatinya?" Shikamaru bertanya serius, bisa dibilang Naruto terlihat lebih santai dari hari terakhir dia dan Hinata bertemu di club kemarin. Sejak hari itu Naruto kembali murung, bingung atas sikap sahabatnya ini, seingatnya dia membawa Hinata ke penthouse miliknya ya biarpun Ino ikut juga. Dan alasannya karena pujaan hati Naruto tak sedikit pun memberi respon atas perhatian yang diberikannya, sebut saja bahwa pujaan hati Naruto tak termakan triknya sama sekali. Memanggil Toneri secara langsung, entahlah dia pun tak tahu detailnya. Akhirnya sahabat masa kecilnya ini uring-uringan setengah mati tak tahu cara mencari perhatian Hinata, hingga ide bunga muncul di kepalanya.

Naruto mengangkat bahu merespon.

"Ku tebak kau tak terlalu menikmatinya, yang ku tahu kau melakukan kekerasan pada lelaki itu." Menurut info dari sekretaris pujaan hati atasannya, sepertinya ini lebih runyam dari perkiraannya. "Berpikirlah waras, jernih, terkendali dan terstruktur, itu lebih berkelas dan memiliki nilai dimata Hinata, Naruto!" Kecurigaannya benar, raut wajah Naruto sedikit tertekan di akhir nasihatnya.

"Tak bisakah kau mendekatinya, bukan-bukan merebutnya secara halus?" Mendekat pada Naruto, kedua tangannya bertumpun pada meja Naruto.

"Itu cara terhalus yang terpikir ku!" Kilah Naruto menatap mantap Shikamaru. Jika ini cara terhalus, bagaimana dengan cara kasar? Shikamaru menggeleng cepat, ia tak mau sampai memikirkan cara radikal apa yang dilakukan Naruto nanti.

"Kau tahu, hanya saja sekarang ini aku tidak habis pikir dari sudut mana aku dapat menilai tingkat kewarasan mu." Shikamaru menangkap raut acuh Naruto. "Aku setuju membantu mendapatkan dia kembali, hanya saja… kau… aku tak dapat pencerahan dari aksi mu!" Sambung Shikamaru berterus terang. Sikap Naruto yang sekarang ini lebih kearah merusak diri. Yang lain juga mulai merasakan ada hal janggal dalam diri Naruto.

Naruto? Dia tahu siapa betul Namikaze Naruto yang sesungguhnya, anak ini bukan bocah biasa dalam dunia bisnis Jepang, dia dingin dan terstruktur dalam setiap langkah mengambil keputusan yang dibuatnya. Sering kali perusahaan ini mengalami goncangan namun tak sedekit pun mampu merusak pondasinya. Ia bahkan mampu membangkitkan kembali anak perusahaan di tengah ambang kehancuran. Kakashi bahkan Minato sekali pun tak dapat mengimbangi kemampuan anak ini, tak ayal membuat semua tanggung jawab berada di pundak Naruto, selama ia menjadi partner Naruto pun, ia tak bisa melepaskan kekaguman pada Naruto. Ia mengubah yang tak mungkin menjadi mungkin, enemy menjadi ally. Naruto bahkan mampu merebut gelar CEO termuda sepanjang Hokage Group yang menjadi salah satu perusahaan tonggak perekenomian Jepang. Sekali pun lelaki ini tak pernah menduakan pekerjaan.

Namun, semua berubah sejak kepulangan Hinata. Anak ini seperti lari jalur, baik adanya jika ia dapat sedikit beristirahat, tetapi bukan dalam hal pengabaian seperti ini, sudah beberapa bulan ini namun saham Hokage belum bisa pulih total. Tak seanjlok waktu ia pergi berbulan-bulan lalu memang, namun bukan ini kemampuan Naruto sesungguhnya, berbeda jauh saat dulu ia mampu memberikan ide brilian mengatasi krisis, tidak seperti sekarang Naruto lebih seperti robot yang harus diperintah. Lebih buruknya lagi ada banyak proyek telah lepas dari tangan mereka. Seharusnya inilah waktu Naruto kembali menunjukkan taringnya dan nyatanya Naruto seperti tak terlalu peduli.

Ia cenderung bergerak gegabah mengakibatkan semakin menurunnya nilai perusahaan, di lain pihak perusahaan Hinata semakin bersinar. Untuk urusan merebut Hinata kembali pun terlihat seperti terlalu merugikan diri sendiri.

Kehilangan arah adalah jawaban tingkah Naruto saat ini.

Satu hal yang pasti tindak tanduk lelaki malang ini diantara kehancuran.

"Impulsive! Kau bergerak impulsive saat ini! Mengabaikan logika dan menuju kehancuran!" Ia harus mencari tahu titik permasalahan Naruto.

Tertawa geli menanggapi, Naruto mengetuk-ketuk penanya. "Kau berlebihan, aku masih punya akal untuk menjauh dari kehancuran!" Jelas Naruto kembali fokus memeriksa dokumen di hadapannya.

Tawa Naruto terdengar janggal di matanya. Semua tak luput dari analisa Shikamaru, Naruto berusaha menghindari topik ini, otak jeniusnya harus bekerja ekstra untuk memahami perubahan sikap Naruto. "Ku lihat kau seperti sebuah timbangan bergerak mendapatkan Hinata? Kau masih bingung atas apa disini?" Tepat sasaran, iris sapphire Naruto memfrontal bulat, tubuh bergetarnya.

"Aku tak mahir urusan asmara Naruto, tapi wajah frustasi mu terlihat jelas!" Jelas Shikamaru bersidekap dada, ada keraguan kentara di wajah lelah Naruto. Antara maju atau mundur.

Iris Naruto memicing tak suka. Tak dipungkiri sahabat satunya ini selalu dapat menemukan sisi lemahnya. "Hm… apa terlihat jelas?" Balasnya masih acuh, ia sedikit mendengus kesal. Rasa lelah ini nyaris membunuhnya.

Kelakuan Naruto kembali mengusik Shikamaru, 'anak ini kesal atas apa… Hinatakah atau tumpukan kertas dihadapannya?' Jangan sampai opsi yang kedua, ini artinya Naruto sudah benar-benar hilang akal.

"Bisakah kau setidaknya bersikap profesional disini, kita tak terikat hubungan darah jadi aku paham posisi ku dalam keinginan pribadi mu. Tapi CEO-sama aku sudah cukup lelah, maksud ku sangat lelah menghadapi para monster di belakang." Sambil terus mengeluh Shikamaru menyodorkan tablet dihadapan Naruto. Tanpa penjelasan panjang lebar pun Naruto tahu grafik itu tetap menjadi pokok permasalahan, ia memijit pelipisnya membaca memo singkat pada layar tipis itu.

"Sejak kapan mereka berani mengusik ku, kurangkah hujan madu untuk mereka?" Kesal Naruto bersandar kasar, kecewa dan semakin lelah.

"Sejak kau lebih sibuk untuk Hinata!"

Sejujurnya Shikamaru mengacungi jempol pada pribadi Naruto. Pria ini belum pada usia matang mengenal cinta, jika dihitung pun hanya dua kali Naruto terlibat asmara dan sebaliknya tak terhitung berapa kali Naruto dapat lolos dari kehancuran. Anak ini babak belur menghadapi kisah cinta tragisnya. Untuk dirinya sendiri saja ia tak mungkin dapat mengimbangi kemampuan Naruto dalam mengatasi konflik cintanya. Dulu ia pernah stress berhari-hari sampai tak nafsu untuk hidup saat Temari memutuskannya. Untungnya Naruto memberi dia semangat bahkan sampai ikut merepotkan yang lain. Semakin membuat dia tak bisa lari dari semua budi Naruto. Hebatnya Naruto masih memiliki kepercayaan diri untuk merebut Hinata ke sisinya.

Dilain pihak semua harus pada posisi semula, perusahaannya tidak mungkin harus ikut terombang-ambing dalam konflik pribadinya. Awalnya para, sebut saja para penerima masih memaklumi sikap kenak-kanakkan Naruto kemarin mengingat kemampuan Naruto selama ini. Tetapi sikap lambat Naruto membuat mereka semakin ragu atas Naruto, pergantian CEO pun menjadi topik baru diperbincangkan.

Ya, manusia tetap manusia, Naruto juga butuh fokus antara bisnis dan kelangsungan hidupnya. Dia berusaha menyesuaikan keduanya, akhirnya berakhir berantakan bagi keduanya pula.

"Bagaimana jika kau membuat kesepakatan damai dengannya? Tak adakah ide dari mu untuk memperbaiki hubungan kalian?" tanya Shikamaru mencoba berpikir, ia khawatir atas tampang kelelahan Naruto, sepertinya atasannya butuh break. Wow, ia tak terkejut… Naruto yang semula terpejam lelah tiba-tiba duduk tegap merespon.

"Sudah ku coba semua cara!" tiba-tiba Naruto sedikit gelagapan menanggapi dengan wajah kebingungan. "Dari membujuk sampai memberikan dia kejutan, aku bahkan memberikan semua padanya hal yang tak pernah ku berikan pada wanita mana pun!" Naruto setengah membentak. Sepertinya raga Naruto sudah menapaki tanah kembali, terlihat dari raut antusianya. Apa pun pembahasan gadis itu menjadi mood buster Naruto.

Shikamaru agak kikuk mendengar ocehan Naruto, seingatnya hanya ada dua wanita dalam hidup Naruto, juga kata membujuk seharusnya dihapus dalam kalimat itu. Karena dia tahu pasti, setiap Naruto bertemu Hinata yang ada perkelahi hebat. Ia menggaruk kepalanya sambil tersenyum miris, Naruto sangat naif dalam hubungan ini.

"Maksud mu mengancam?" diakhir kata Shikamaru tersenyum geli melihat ekspresi tak suka Naruto. Cemberut. Kesal dibarengi mengiyakan tak mampu menyanggah.

"Dia yang membuat aku bertindak kasar padanya." Menurutnya semua perlakuannya pada sang kekasih sempurna. Dia masih memberikan kesempatan pada gadis itu atas semua kebohongan gadis itu. Bahkan rela meluangankan waktu serta menghabiskan banyak uang demi Hinata. Lalu bagaimana dengan semua bunga pemberiannya? Ya tidak dipungkiri ada unsur paksaan dan kekerasan di setiap aksinya, pada titik ini dia… Naruto mengagap itu juga sesuatu yang normal.

Sepertinya Shikamaru menemukan titik permasalahan Naruto. "Kau terlalu berkarat mendekatinya, wanita tak suka sesuatu hal berbau karat!" Naruto sudah lama tak melakukan kontak pada wanita, hasilnya ia bergerak menurut logika dan hatinya tanpa melihat dari sisi sang kekasih.

"Hah! Berkarat?" Naruto bertanya tak mengerti, ia menyisir rambutnya dengan jarinya, berusaha mencerna. "Oh astaga…. kau benar! Wanita menyukai benda mengkilat bukan?" ia berspekulasi tanpa pikir panjang, ia benar-benar berkarat dalam urusan wanita.

Shikamaru memukul jidatnya, tak habis pikir kemana arah pengertian Naruto.

"Bawakan semua berlian yang dapat kau temukan di Konoha sekarang. Aku tidak tahu-menahu soal ini, tapi—" kalimat Naruto terpotong saat Shikamaru memberi isyarat jeda melalui tangannya. Ia kembali bersandar sambil bernafas kasar, tak suka diinterupsi, ia harus bergerak dengan cepat.

"Berkarat bukan dalam arti benda Naruto! Tanpa pemberian darimu Hinata mampu memiliki semua itu!" Bila dipikir-pikir Naruto nyaris buta soal wanita. Ia memberi menarik nafas, ini pasti akan panjang. "Wanita menyukai lelaki yang fleksibel…"

Naruto menyamankan duduknya, ia mendapat kuliah dadakan.

"Pertama, kau harus menjadi diri gadis yang kau incar. Perhatikan dan pelajari semua sifatnya, semakin kau bertolak belakang dengan kepribadiannya semakin kecil kesempatan mu." jelas Shikamaru serius, sekarang ia paham mengapa pria sekeren dan sekelas Naruto dapat di tipu wanita dua kali.

"Aku tak mengerti! Kau menyuruhku menjadi dirinya?" terang Naruto tak masuk akal.

"Kemana IQ jenius mu pergi Naruto, maksudnya ku… kau harus mendekati dia seperti kepribadian Hinata sendiri. Hinata tipikal wanita manis dan lembut—" Shikamaru mengangguk meminta maaf, Naruto tak suka ada pria lain yang memuji kekasihnya. Posesif sekali.

Ia menarik nafas memulai kembali. "Jadi, maksud ku kau juga harus bersikap manis dan lembut padanya. Ini tak kalah penting dari pertama, kedua jangan dan selamanya… jangan libatkan apapun yang berkaitan langsung dengan masa lalu mu mendekati Hinata, dalam hal ini your ex-gf. Dan kau sudah gagal dua tahap!" tatapan Shikamaru mengantisipasi respon Naruto, ia menerawang jauh mengenai semua perilaku Naruto di masa lalu.

Naruto tersenyum miris, bisa dibilang dia tidak tahu apa pun tentang cara mendekati Hinata. Dulu dia tak sesulit ini mendapatkan Shion, berbekal perhatian dan statusnya dengan mudah Shion kepelukkan. Seandainya…

"Jangan membawa masa lalu mu kembali Naruto….!" Shikamaru memotong tegas, raut wajah Naruto seperti tertarik ke dalam kenangan masa lalu nya.

"Kau tahu mawar merah kesukaan Shion, aku lupa gadis itu juga menjadi sumber kesedihan Hinata, lalu aku tanpa tahu diri membawakannya pada Hinata. Pantas Hinata lebih membenci ku." Sesal Naruto mengingat masa lalu gadis itu. Entah sudah berapa kali pun ia tak bisa mengingat usaha Hinata dulu menyatakan cinta padanya. Karma sungguh menyeramkan.

"Kenapa kau bawakan dia itu?" memang dari awal Naruto ragu memberi Hinata mawar adalah ide bagus. Namun, Shikamaru tidak sempat memperingatkan karena Naruto terlebih dahulu bertindak tanpa bertanya.

"Bukankah mawar merah menjadi kesukaan wanita dan sudah biasa kekasih memberikan mawar?" pertanyaan Naruto seolah mencari dukungan. Dia tak terlalu memedulikan jenis bunga pemberiannya, pikirnya semua wanita menyukai mawar merah dan untuk Hinata sudah barang tentu.

"Kulihat Hinata tipe gadis yang memiliki persepsi berbeda, dia gadis bangsawan kau tahu itu! Setahu ku perempuan yang dibesarkan dalam lingkungan seperti itu, memiliki kesukaan tersendiri, ya meskipun ada menyukai mawar juga."

Tersentak dan tersadar, Naruto merutuki kebodohannya. Lavender. Hinata menyukai bunga itu, semua berbau lavender melekat pada Hinata. "Aku bodoh sekali, kenapa aku harus sampai lupa?"

"Tak usah ambil pusing untuk itu Naruto, kau sudah bergerak dan mustahil untuk mundur. Tugas mu sekarang hanya perlu sedikit memelas padanya, ini jurus ampuh untuk mendapatkan perhatian wanita. Mereka lemah dengan hal itu. Pulanglah dan beristirahat, besok kita harus memulai strategi baru, lain hal jika kau ingin mundur dari jabatan mu. Banyak yang harus kau hadapi!"

Dilubuk hatinya Shikamaru merasa ada gejolak kelegaan besar mengalir. Untuk kali ini sepertinya Naruto sedikit mau membuka diri padanya.

Naruto memosisikan pikirannya untuk lebih tenang, ia harus rasional disini. Anggap saja ia memang butuh ruang untuk berpikir hubungan dia dan Hinata. Tapi saat ini dia juga terpojok, beban dipundaknya tak dapat dipindah ke orang lain. Saat ini dia harus berekstra hati-hati dalam melangkah. Nyawanya juga jadi taruhan.

Selepas kepergian Naruto, Shikamaru mengetik cepat pada smartphone miliknya, dia harus membereskan kekacauan akibat ulah Naruto, syukurnya sekretaris Hinata mengamankan jalur utama. Membersihkan lokasi kejadian. Gadis itu sigap membersihkan semua bukti dan menutup mulut semua pegawai Hinata. Beruntungnya lagi tak satu pun yang memiliki bukti fisik yang membuat mereka lebih diuntungkan. Tugas Shikamaru hanya tinggal memastikan tak ada satu pun wartawan atau media yang membahas hal ini. Akan berakibat fatal bagi keduanya, bahkan perusahaan sekelas Hokage Group pun tak akan bisa membendung mengingat perusahaan ini dalam kondisi kritis juga. Rival Naruto akan menganggap ini sebagai peluang emas. Skandal tak bermoral mungkin akan benar-benar merusak reputasinya bersamaan klan keluarganya.

.

.

Matahari sedari tadi sudah memancarkan cahayanya, bunyi padat kendaraan mu terdengar semakin ramai. Waktu menunjukkan pukul 05.30 waktu Konoha. Suara ketikkan pada keyboard mengiringi pagi Naruto di temani segelas kopi ia berkutat dengan serius. Masih jauh dari waktu masuk kerja tapi dia bersama Shikamaru sudah sibuk mengurus bahan yang akan di tampilkan dalam presentasi rapat nanti. Mengeluh pun ia tak bisa, tubuh letihnya tak sebanding dengan Shikamaru, lelaki itu tidak pulang sama sekali, jas yang ia kenakan pun sama. Lelaki berkuncir itu harus mengorbankan jadwal istirahatnya untuk membantu Naruto. Mereka duduk berhadapan di dalam ruangan Naruto, hanya berbatas meja lengkap tumpukan kertas.

Detik berikutnya Naruto gelagapan untuk kembali fokus. Shikamaru berdehem keras saat menangkap basah dirinya mengamati smartphone miliknya. Ia kepikiran keadaan Hinata.

"Belum sampai 24 jam kau berpisah darinya Naruto, hanya sampai petang… kau bebas ketika petang, sebagai gantinya jiwa ragamu harus berada di kantor ini!" telunjuk Shikamaru mengaruh pada plat nama bertuliskan namanya dan jabatannya. "Sampai petang ini kau mempertaruhkan ribuan nyawa dan termasuk kau dan aku!" Naruto memutar mata kesembarang arah, ia tahu betul kekesalan Shikamaru. Dia tak terintimidasi tatapan tajam asistennya, hanya saja pikirannya tak dapat diajak kompromi saat ini. Semalam pun ia berakhir menatap kosong langit kamarnya, tidak dapat terpejam barang seditik, gadis itu melayang-layang dipikirannya. Hingga akhirnya dia harus bergegas berangkat pagi-pagi buta, karena ada hal yang tak bisa diselesaikan Shikamaru.

Kembali memusatkan pikirannya, hasilnya kembali nihil. Dia masih belum mampu untuk sadar sepenuhnya, ingin rasanya Naruto berlari dari ruangan ini dan langsung memenjarakan Hinata seutuhnya. Ini akibat kemarin dia menggebu-gebu meladeni tunangan Hinata, akal sehatnya masih tertinggal di rumah Hinata.

Detik berlalu ke jam, keduanya masih sibuk mencerna setiap barisan angka dan huruf secara bersamaan. Sedari tadi jari jemari Shikamaru tak berhenti berkutat pada layar tabletnya, ia harus teliti memasukkan data pada aplikasi akuntansi miliknya, sedangkan Naruto mengetik cepat menuangkan segala ide dan penjelasan pada power point miliknya.

"Astaga!" Shikamaru memecah kesunyian, dengan nanar ia memperhatikan pakaiannya. Bola matanya beralih pada jam dipergelangannya. "Aku masih punya waktu!" menghitung waktu sambil beranjak dari duduknya Shikamaru kembali memberikan death glare pada Naruto dengan menunjuk pada dokumen yang harus diselesaikan Naruto. Mengangguk mengiyakan, Naruto tak dapat membantah.

.

Jarum jam kecil terhenti pada angka enam, sinar mentari perlahan menggelap. Konoha bersiap memasuki zona malam, riuh ramai kendaraan dan klakson pun perlahan memudar terganti dengan lampu jalanan menyala berjejer.

Lorong panjang berlantaikan marmer kualitas unggulan beradu dengan sepatu pentofel, menghasilkan irama maskulin. Derap langkah tak sabaran bersamaan deru nafas mengiringi kedua lelaki berparas rupawan ini.

Pintu terbuka dan tertutup kembali.

Sosok tegap Naruto mematung di pertengahan jalan, hanya berjarak beberapa langkah mencapai tahtanya. Sementara Shikamaru memilih bersandar bersidekap dada pada pintu ruangan sang atasan. Dalam diam lelaki jenius itu mengamati punggung bergetar Naruto, kepalan tangan itu pun tak luput dari pikirannya.

BRAAKKK…. ! PLUUUKK…!

Bunyi hantaman keras terdengar nyaring. Akhirnya terjadi lagi. Untuk yang kesekian kalinya terulang lagi!

Benda-benda berharga jutaan yen satu persatu membentur lantai tanpa ampun, tidak satu pun luput dari objek amukan Naruto. Tubuhnya butuh pelampiasan jika tidak ingin meledak. Meledak dalam arti sesungguhnya. Secara random Naruto mengambil apa saja yang dapat dijangkau matanya… membanting, melempar bahkan tak segan melukai tangan dan kakinya sendiri. Lima menit pun belum berakhir ketika dia dan Naruto memasuki ruangan ini… dan dalam tempo sesingkat itu Naruto meluluh lantahkan semua mengubahnya bak dilanda topan.

Setidaknya kerugian seperti ini mampu meringankan amarah Namikaze Naruto. Bom waktu ditubuhnya sepertinya sudah menghilang.

Banyak penghargaan terpajang dalam ruangan Naruto sebagai bukti betapa di pujanya lelaki muda ini, ia berbakat dan bertalenta. Dulu ia tak pernah menyentuh benda-benda bukti keberhasilannya sebagai alat objek pelampisannya. Dan, kini semua hancur tak berbentuk, kerusakan permanen terbukti nyata.

Punggung kokoh bergetar Naruto mereda perlahan, geraman pada nafasnya pun kembali netral… sedikit demi sedikit jiwa raganya menyatu.

Shikamaru memposisikan berdiri tegap, tubuh dan beban pikiran Naruto sudah meringan. Dia mengeluarkan smartphonenya, mengirimkan memo menata ulang keperluan Naruto. Matanya menyapu setiap benda tergeletak hancur di lantai. Fokusnya terganti pada lantai marmer di sekitar pijakan Naruto. Terkotori darah Naruto, darah segar masih mengalir dari kedua tangannya. Pecahan kaca tertancap di tangan Naruto alasan mengapa darah masih mengucur deras.

Shikamaru pelan menghampiri Naruto, ia menepuk pelan pundak Naruto menyadarkan lelaki itu dari lamunannya. Saat posisi mereka berhadapan, Shikamaru mendadak lemas… seperti tak ada tulang menyagah tubuhnya. Jika tak ada meja di belakang tubuhnya sebagai penyanggah ia dipastikan tumbang melihat tampang menyedihkan Naruto. Putus asa. Naruto lagi-lagi putus asa.

"Shika! Apa bedah jantung bisa menghilangkan rasa sakit ini?!" Naruto meraba dada kirinya, ia menunjuk pada posisi letak jantungnya. Rasanya sungguh menyakitkan serasa dihujani ribuan mata pisau. "Bagaimana jika aku menusuknya dengan pisau sekali saja, hanya sekali saja...apakah rasa sakitnya bisa menghilang?!" ia masih tertunduk memandang nanar lantai pada pijakan kakinya.

Bola mata biru Naruto meredup tanpa ada pancaran kehidupan lagi, genangan air mata di pelupuk matanya pun siap untuk mengalir. Shikamaru bahkan ngeri mendengar kalimat Naruto dan bagaimana darah itu mengotori jasnya saat ia menunjuk jantungnya.

Semua ini disebabkan, rapat terkutuk yang baru mereka hadirkan. Tetua klan pencipta Hokage Group sialan! Tanpa konfirmasi lebih lanjut dengan sepihak mereka menerobos masuk, merusak semua rencana Naruto. Agenda rapat yang semula mempertanyakan kecakapannya merubah menjadi sidang dadakan, terang-terangan mereka menolak Naruto tetap menjabat sebagai CEO. Sedari awal mereka memang tidak menyukai keberadaan Naruto sebagai tonggak utama kepemimpinan, usia dan temperemen Naruto menjadi alasan kuat mereka tak menyetujui Naruto mengambil ahli dari Kakashi. Berkat kemampuan Naruto menghandle semua urusan dari terkecil sampai hal mustahil, membuat mereka mundur teratur. Namun sisi sentimen Naruto memberi mereka peluang, puncaknya saat Naruto memutus kontak sepihak dalam jangka waktu lama, hal ini menjadi celah yang tak bisa di pungkiri oleh Naruto.

Hingga harga dirinya benar-benar terkoyak ketika nama Hinata dan kedua orangtuanya diseret secara bersamaan. Perbandingan kemampuan keduanya pun tak luput dari serangan untuk Naruto, dan benar adanya bahwa puncak kesuksesan Naruto ditenggelamkan oleh bakat cemerlang Hinata. Romansa keduanya pun semakin menyudutkan Naruto. Tuduhan tak bermoral dan tak tahu diri menjadi label baru yang disematkan padanya. Tak akhyal itu semua masih mampu ia tanggung.

Semua pertahanannya akhirnya luluh lantah saat pusat untuk mencela dirinya ada pada diri orangtuanya. Terngiang jelas masih di pendengarannya….

"Selaku CEO Hokage Group sendiri anda tak mampu menjaga martabat Minato dan Kushina, mereka besar dengan semua atribut kepahlawanan dalam mempertahankan perusahaan ini. Hebatnya, dalam tempo singkat mereka berdua menjadi pengemis mengatasi ketidakbecusanmu, tebak siapa yang harus mereka jilat? Seorang Hyuuga, bocah ingusan Hyuuga yang baru menumbuhkan gigi susunya! Dan dengan beraninya bocah ingusan itu menawarkan recehannya atas perusahaan ini?! Ratusan tahun. Sudah ratusan tahun perusahaan ini berdiri dan pertama kalinya dipimpin oleh sampah seperti mu! Jika bukan karena kau keturunan langsung Minato dan Kushina, kau hanya bocah angkuh tak tahu malu!"

Naruto di serang bertubi-tubi, tak ada ruang membela diri. Diluar dugaan tidak seorang pun yang membantu Naruto saat itu, untuk Shikamaru pun hanya bisa membantu sebisanya… ini jauh dari kata bantuan melihat posisi terpojok Naruto. Mereka menjadikan Naruto sebagai sasaran panah mereka. Tak berdaya dan tak berguna. Kemampuannya tidak diakui sama sekali.

Ada hal positif memang yang dapat dipetik… Naruto tersadarkan dari mimpinya atas kukungan Hinata. Mata Naruto akhirnya benar-benar terbuka atas kondisi kedua orangtuanya saat invasi Hinata, selama ini dia tidak pernah bercermin dari rasa malu kedua orangtuanya menghadapi Hinata. Dia anak yang tidak tahu membalas budi. Selama ini dia terlalu sibuk mengurusi kehidupan kekasihnya, akhirnya mengabaikan atas luka orangtuanya.

Beruntung Shikamaru waktu itu sigap menghubungi Kakashi, akhirnya bantuan muncul dari keluarga Naruto. Tidak hanya Minato dan Kushina bahkan Jiraya dan Tsunade ikut membantu. Membuat tetua bodoh Naruto dipukul mundur dengan telak.

Kini semua terasa nyata baginya, ini seperti tumpukan kotoran mengenai langsung wajahnya. Menampar egonya selama ini, bahwa ia Namikaze Naruto masih tidak bisa lepas dari bayang-bayang keluarganya. Bakat yang dimilikinya masih tumpul dan perlu diasah terus menerus.

Panggilan pada namanya belum mampu menyadarkan lamunannya, gerakan lambat tangan Shikamaru menyodorkan ponselnya sambil menyebutkan…

"Hinata! Angkatlah!"

Keinginan besar untuk menangis hampir saja mempermalukannya. Rasa rindunya pada Hinata membuncah tak terkontrol.

Bisakah… Bisakah kali ini dia berharap pada Hinata untuk membantunya meringankan sakit di dadanya dan berbagi sedikit penderitaannya? Hanya Hinata jalan satu-satunya agar bangkit dari keterpurukkan ini.

.

.

.

Akan Berlanjut….!

.

.

.

Maaf….. beribu maaf aku memohon… aku tidak bisa menepati janji untuk tetap stabil dalam mengupdate fanfic ini.

Dan aku juga minta maaf, chapter ini lebih fokus pada NARUTO saja. Karena tujuannya juga seperti itu awalnya. Ya aku akui akui tersesat menaikkan imajinasi kalian di chapter ini…he…he…he..

Ini peringatan bagi kalian untuk chapter mendatang, AKU AKAN MENJUNGKIR-BALIKKAN semuanya tanpa ampun. Jadi kuharap kalian mau bersabar….!

Terima kasih banyak atas kesetian kalian mengikuti fanfic ini. Aku tidak menjanjikan akan update cepat, tapi aku mencoba meyakinkan bahwa fanfic ini akan ku buat sampai selesai.

Akhir kata kuucapkan terimakasih untuk Fav&Fol dari kalian. Terutama setiap kalimat dukungan kalian. Aku menikmati setiap kata demi kata dari kalian, komentar dan saran kalian menyadarkan ku bahwa aku menyakiti rasa penantian kalian.

Teringatnya, ff sering error aku jadi sulit untuk login…

Terimakasih sekali lagi dan HIUZULIA undur tangan, aku tepar dengan ch ini…...