Naruto belongs to Masashi Kishimoto. Nggak ada keuntungan materi yang saya dapat dari menulis cerita ini.

Warning: Dont like dont read!


Hinata tidak menyangka dia akan bertemu dengan pemuda berambut raven. Jauh dalam imajinasinya dia tidak pernah membayangkan sesosok laki-laki itu. Pemuda dari klan Uchiha yang hampir punah, kabarnya mengembara dengan mengemban misi penting yang hanya hokage dan ajudannya yang tahu.

Hinata hampir berteriak saat telinganya menangkap derap langkah mendekat, meskipun sangat terlambat karena mungkin lelaki tersebut sudah berdiri di sampingnya. Darimana dia tahu jika lelaki tersebut termasuk klan Uchiha? Meskipun matanya buta namun Hinata masih bisa menangkap aura khas pemuda tersebut.

"Apa yang kau lakukan di sini, Hyuuga?" suaranya memecah lamunan Hinata. Gadis itu tersentak sambil menutupi tubuhnya dengan baju yang hampir basah. Nada Sasuke masihlah sama. Terkesan dingin dan to the point. Hinata hanya mengingat dengan samar. Kunoichi sepertinya harus memiliki daya ingat tajam, karena Hinata tahu tidak ada ninja bodoh di Konoha.

Hinata memilih diam karena dia merasa tidak nyaman. Apalagi dengan keadaan seperti ini. Memalukan. Hinata sungguh ceroboh. "Mandi." Hinata tidak bisa melihat seperti apa rupa pemuda tersebut.

Entahlah, Hinata tidak peduli. Pelan-pelan Hinata menarik bajunya agar tidak melorot. Sungguh, kaki Hinata masih melayang-layang di dalam air.

"Mandi di hutan timur. Kau aneh, Hyuuga."

"Kau lebih aneh karena tidak segera pergi." Dasar bodoh. Hinata merutukinya pelan. Tetapi Sasuke memang aneh. Kenapa dia tidak mengijinkannya berpakaian dahulu sebelum mengajaknya berbasa-basi.

"Kau akan kedinginan jika tidak berpakaian."

"Berbalik. Jangan gunakan sharingan." Perintah Hinata. Begitu mendengar pergerakan kaki, Hinata dengan cepat mengenakan bajunya. Astaga... Hinata tidak tahu bajunya terbalik atau tidak. Kemudian dia menepi dan duduk di atas bebatuan. Rasa hangat menjalar saat tubuhnya bersentuhan dengan batu di bawahnya. "Kau bisa berbalik."

Hinata menangkap pergerakan itu lagi, dia membayangkan jika Sasuke sudah berbalik. Tiba-tiba dia merasa sebuah kayu menyentuh pipinya. Hinata menebak pasti sarung katana pemuda tersebut.

Walaupun batinnya bergemuruh takut hinata mencoba untuk menjadi lebih tegas. Bukankah dia memiliki darah Hyuuga yang mengalir di tubuhnya. Klan Hyuuga adalah klan dengan wibawa penuh. Hinata bisa menjadi dirinya sendiri. Karena untuk saat ini Hinata tidak bisa melindungi dirinya sendiri.

"Bagaimana bisa kau berada di sini." Pertanyaan itu lagi.

Hinata menghela napasnya. Batinnya sakit saat mengingat dirinya terjebak di dalam hutan dengan kedua orang bernama Otsusuki itu, kekacauan yang disebabkan olehnya. Banyaknya warga sipil dan para ninja yang terluka atau bahkan mungklin meregang nyawa saat invansi itu terjadi. Semua karena matanya. Entah kenapa Hinata merasa jika klan Hyuuga dikutuk.

"Aku tidak tahu. Namun yang pasti, desa tidak dalam kondisi baik saat ini." Entah kenapa dia tiba-tiba teringat Naruto.

"Desa kacau. Banyak warga yang mati akibat ulahmu."

Hinata meremat tangannya sendiri. Telinganya berdenging karena kalimat terakhir yang dikatakan oleh Sasuke. "Aku memang tidak berguna." Hinata terkekeh.


Momoshiki menyeringai. Dia menggunakan chakranya terbang melintasi hutan dengan mudah. Hutan timur yang konon tidak bisa sembarangan dimasuki.

"Kinshiki, aku mencium gelagat mencurigakan."

Kinshiki mengangguk. Dia yang bertubuh besar mengekor putranya. Momoshiki memasuki lorong-lorong gua yang membingungkan. Kemudian mereka berjalan menuju tempat di mana putri pertama Hiashi disandera.

Senyuman Momoshiki melebar saat mendapati tawanannya tengah terduduk menghadap tembok batu. "Kau menikmati harimu, Hyuuga."

Gadis itu cepat-cepat berbalik. Tenaganya sudah pulih ternyata. Momoshiki menggerakan tangannya, Kinshiki mengangguk paham dan kemudian lelaki tersebut mengikat tubuh Hinata dengan tali chakra.

"Lepaskan aku! Kalian sudah mengambil mataku, seharusnya kalian melepaskanku." Teriak Hinata. Tubuhnya bergerak-gerak bermaksud melonggarkan ikatan chakra namun nihil.

Pelan-pelan Hinata menangkap pijak kaki berada di dekatnya, " Aku mencium aroma Uchiha di sini. Rupanya kau berhasil keluar yah?"

Hinata menggigit bibirnya. Cepat atau lambat Momoshiki akan menyadari jika Hinata berhasil keluar dari gua ini. Dan Hinata menyesali kebodohannya karena tidak meminta bantuan Uchiha tersebut. Hinata bergidik ngeri saat merasakan kulitnya bersinggungan dengan jemari Momoshiki yang mengelusnya pelan. Kukunya seperti mengancam kulit Hinata, terasa sangat tajam dan dengan mudah melukai wajahnya.

"Kau benar-benar berniat kabur setelah membakar mata ayahku." Kuku Momoshiki menusuk leher Hinata. Darah segar mengalir dan luka itu tidak terlalu dalam. Lelaki tersebut benar-benar mengerikan.

Benar, Hinatalah yang membakar mata byakugan milik Kinshiki. Tapi bukankah mata dibayar mata. Dan Hinata sudah kehilangan matanya dengan paksa. Hinata menangis tanpa dia kehendaki. Sungguh, dia sudah lelah. Dan kini, usaha yang dia lakukan agar bisa kabur dari jeratan Momoshiki telah diketahui. Bukankah sudah kelihatan jika mungkin Momoshiki akan menge-block semua akses jalan keluar. Atau mungkin mereka tidak akan pergi lagi seperti biasanya?

"Kinshiki, tutup semua jalan keluar. Ketika aku pergi kau tetap tinggal di sini. Jangan biarkan sandera kita kabur." Momoshiki mengamati wajah Hinata yang terkejut. Dia tertawa terbahak dan pergi meninggalkan Hinata sendirian.

Sungguh sial, kenapa harus hari ini niatnya diketahui? Kenapa mereka tahu dengan cepat jika Hinata baru bertemu dengan Sasuke Uchiha. Kenapa? Hinata meremat dadanya. Dia menangis diam-diam.

Semetara itu Momoshiki meremukan sesuatu dengan tangannya. Kinshiki sudah berdiri tegap di depan jalan keluar satu-sartunya. Jalan keluar lain sudah ditutup mengakibatkan dinding gua bergerak-gerak menyatu.

"Pastikan dia tidak kabur. Aku harus mencangkok byakugan ini di reruntuhan Tenseigan."


Naruto membuka matanya pelan. Ia menyipit saat cahaya matahari langsung masuk ke matanya. Naruto belum terbiasa.

Ruangan ini kosong, angin berhembus dari jendela yang terbuka. Tangan Naruto diperban. Selang infus tertancap di sana. Naruto menggerakan lengannya. Sangat berat. Tubuhnya tidak bertenaga.

"Hinata...Hinata." bibirnya terus meracau. Pandangan matanya kosong menatap langit-langit kamar.

Naruto mengingat-ngingat bagaimana bisa dia berada di sini. Seharusnya dia menikahi Hinata Hyuuga. Naruto memegang kepalanya, denyut-denyut itu menguat. Membuat naruto sakit kepala. Desa diinvasi, Hinata diculik. Nakama terluka warga sipil jadi korban dan desa rusak sebagian. Naruto meringis. Dia mengepalkan tinjunya.

"Kau ada di mana Hinata" lirih Naruto lagi.

"Astaga... Naruto, kau sudah sadar? Sakura! Cepat masuk!" Shikamaru tergopoh mendekati Naruto. Kemudian Sakura menyusul di belakangnya. Sakura dengan cekatan menyuplai cakra medis. Karena mereka sudah diberitahu Nona Tsunade jika kemungkinan ketika Naruto sadar nanti lelaki berambut pirang itu akan merasakan kesakitan yang sangat luar biasa.

Shikamaru keluar ruangan. Alisnya bertekuk karena perasaan cemas dan khawatir. Dia menunggu kedatangan Nona Tsunade. Saat manik Shikamaru sudah melihat wanita itu berjalan cepat ke arahnya, Shikamaru bernapas lega. Perempuan awet muda tersebut langsung masuk tanpa berbasa-basi dulu. Tak lama Sakura keluar sambil meremat tangannya sendiri.

"Naruto...dia benar-benar parah." Sakura berbisik. Gadis berambut merah jambu tersebut terisak kemudian memeluk shikamaru. "Bagaimana ini, Shika-kun."

Shikamaru mencoba untuk tenang. Mata malasnya melirik ke arah gadis yang masih memeluknya, rasanya ingin melepaskan dekapan tersebut namun Sakura begitu erat memeluknya. Shikamaru merasa kurang nyaman dengan pelukan sepihak Sakura.

"Tenang dan lepaskan pelukanmu." Ujar Shikamaru akhirnya. Sakura pelan-pelan melepaskan pelukannya. Gadis itu terisak. Shikamaru memang dididik untuk tidak melukai hati perempuan, namun lelaki tersebut tidak tahu caranya untuk menenangkan hati perempuan yang sedang gelisah. Apalagi menangis. Kemampuan Shikamaru nol besar.

Manik jelaga Shikamaru menatap pintu yang tertutup. Dari dalam dia mendengar teriakan kesakitan Naruto. Tsunade menangani jinchuriki seorang diri. Entah akan seberapa banyak chakra yang dibutuhkan untuk menyambung nyawa Naruto. Shikamaru berharap agar Naruto segera pulih dan Nona Tsunade baik-baik saja.

Sekitar dua jam kemudian perempuan yang pernah menjadi hokage tersebut keluar dengan peluh bercucuran. Matanya sayu kelelahan. Tubuhnya lunglai, bahkan hokage ke lima tersebut berjalan sambil meraba dinding rumah sakit. Tubuh Nona Tsunade roboh dan dengan cepat ditangkap Shikamaru.

"Tsunade-sama bertahanlah." Shikamaru memapah wanita tersebut. Dia membawa Nona Tsunade ke ruang pemulihan.

Sakura memasuki ruangan Naruto. Lelaki tersebut tertidur pulas namun raut wajahnya menunjukan kesakitan yang amat sangat. Sakura meraih tangan Naruto, dia mengelusnya pelan. "Cepat sembuh Naruto. Kumohon." Bisiknya.


Sasuke melompati dahan menuju mata air. Sebuah sungai yang terdapat air terjun di sisinya. Ia tidak menemukan gadis itu. Hyuuga itu tidak muncul di sana, dan Sasuke tidak merasakan chakra yang mengikuti ke mana Hyuuga itu pergi.

Tch.

"Aku harus benar-benar bertindak."


Maaf kalau pendek ya. Dapet feel-nya segini. Hehe

Maaf jika ceritanya membosankan, kan saya sudah bilang kalau saya masih belajar. Dan ada warning Dont like dont read. Tetapi saya masih menemukan user ghaib /gak punya akun kali ya trus ngeriview/ cerita saya. Well, kayaknya saya kurang gede masang warningnya. Ekhem.

Sankyuu buat responsya. Ada kemungkinn matahari bakal dirombak, wkwkwk tapi enatr kalo udah kelar.

Sempet ilang mood karena kesibukan duta jadi ceritanya ngalor ngidul.

With love,

Yoshiro no Yukki