"ALMOST" Squel of LISTEN
Naruto belong Masashi Khisimoto
Warning!
DLDR, TYPOS, AU, EYD masih nyelempeng dst.
.
.
.
.
.
"Hinata—masihkah ada kah kesempatan untuk pria brengsek ini kembali bersama kalian"
Hinata masih diam membisu di hadapan pria yang terlihat sudah sangat pasrah dan putus asa. Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia menerima Naruto kembali? Tapi bagaimana kalau dia mengulang kesalahan yang sama?
Clek!
"Eng—Ibu aku haus" ucap Bolt sambil mengucek matanya, buru buru Hinata menghapus air matanya dan meninggalkan Naruto yang menatap sedih kearah Hinata yang bahkan tidak menatap matanya.
"Minumlah—ibu akan menyiapkan air panas untukmu mandi" ucap Hinata dan pergi ke kamar mandi
Bolt menghabiskan susunya dan duduk di samping Naruto sambil memakan sarapannya "Paman sudah sarapan?" tanya Bolt
Naruto menoleh pada Bolt dan mengusap kepala pirangnya yang mirip dengannya "Sudah, kau sarapan saja" ucapnya sambil tersenyum tulus namun penuh pilu, "Bolehkan aku mengantarmu ke sekolah nanti? Sekalian aku pulang"
"Tentu saja! aku saaaangat senang kalau paman bisa mengantarkanku" Bolt memamerkan cengirannya pada Naruto.
Setelah bersiap siap Bolt sudah siap dengan seragamnya dan mereka berdua pamit pada Hinata. tak lupa Hinata selalu meminta Morning Kiss dari anaknya walaupun Boly tidak suka karena malu tapi dia menyayangi ibunya melebihi apapun.
"Terima kasih karena telah merawatku dan mengijinkanku tinggal bersama kalian." Naruto menunduk 90 drajat pada Hinata yang mengalihkan pandangannya dari Naruto. Naruto hanya tersenyum kecut menerima reaksi Hinata
"Dadah Ibu!"Hinata tersenyum dan melambaikan tangannya pada anaknya
Setelah mereka sudah menghilang Hinata kembali masuk ke rumahnya menyenderkan tubuhnya ke pintu dan merosotkan dirinya ke bawah lantai sambil menangis menumpahkan emosi yang di tahannya sedari tadi.
Hinata PoV
Apa yang harus kulakukan? Siapa disini yang egois? Siapa yang bodoh sekarang? Siapa sebenarnya yang salah dan benar… aku harus berbuat apa? Apa yang kulakukan ini benar? Atau salah? Kami-sama… tak pernah ku pikir akan seperti ini jadinya.. aku telah menyakiti seseorang yang sangat kucintai seumur hidupnya… hanya karena keegoisanku—aku membuat dirinya hancur.
Sudah bertahun tahun aku mencoba melupakannya, menghapus kenangannya namun apa yang kudapat?, aku menipu diriku sendiri.
PoV end.
.
.
.
"Astaga tuan! Anda dari mana saja? anda membuat saya Khawatir semalaman" Jiraya khawatir sekaligus senang melihat Naruto kembali
Naruto hanya tersenyum tipis "Maaf sudah membuat mu khawatir paman. Aku baik baik saja kok" Naruto melewati Jiraya yang hanya menatapnya sedih
"Kalau ada yang ingin kau ceritakan—katakanlah aku akan mendengarkanya" Jiraya masih khawatir dengan keadaan Naruto
Naruto berhenti lalu menatap Jiraya dengan pandangan sulit di artikan "Aku ingin minta jawaban jujurmu paman— menurutmu aku orang seperti apa?"
Jiraya menaikan alisnya bingung, kenapa tiba tiba bertanya seperti itu? "Maksud tuan?"
Naruto hanya diam sambil menatap Jiraya seakan meminta jawabannya.
Jiraya menghela nafas "Anda terlalu memaksakan diri tuan, hingga tanpa sadar anda menyakiti diri anda sendiri atau mungkin orang lain juga—" Jiraya menepuk punggung Naruto dan menatapnya "—tapi saran saya cobalah tuan membuka pandangan tuan selebar lebarnya dan berfikir jernih dalam mengambil keputusan, Jangan hanya memandang di satu titik karena tuan tidak bisa melihat apa yang ada di sekitarnya"
.
Bruk
Naruto melempar dirinya di kasur dan menatap langit dengan kosong, perkataan Jiraya mengiang di pikirannya
"Melihat hal lain selain Hinata?—" tertawa sinis "—itu tidak mungkin, kenapa paman berbicara seperti itu? Tentu saja itu hal yang sia sia kalau kulakukan—" Naruto masih menatap langit kamar hingga menyadari sesuatu dan terdiam beberapa menit "Apa maksudnya sekitar –hinata?"
Naruto langsung terbangun dan membayangkan semuanya seperti kaset yang di putar ulang, terus berputar dan berputar, Semua kenangan menyangkut Hinatanya dulu sampai sekarang dengan sudut pandang lainn. Bagaimana sikapnya, pandangannya dan semua perilaku Hinata.
"—Ini kah?" ucapnya ambigu
.
.
.
Sudah 5 hari berlalu semenjak kejadian tersebut.
Hinata menjadi sering melamun dalam pekerjaannya hingga tidak bisa sama sekali konsentrasi hingga memutuskan untuk mengambil libur lagi.
Sekarang dia sedang duduk terdiam di dalam rumah tidak ada kegiatan yang dilakukannya seperti biasa "Apa aku mencintainya?" gumam Hinata hingga air matanya jatuh tanpa alasan, dengan segera ia hapus air mata itu "Kenapa aku cengeng sekali?" Hinata kembali terdiam mengingat kehidupan suram yang selama ini Naruto lewati, kehidupan yang semu tidak ada tujuan yang belum tentu nyata.
"Ibu?" panggil Bolt
Hinata tersentak "I-iya kenapa Boruto?"
"Kenapa ibu jadi suka diam sendiri? Apa ibu sakit?" Bolt Khawatir
"Tidak, ibu baik baik saja kok—sudah lebih baik kamu segera berangkat sekolah nanti bisa telat loh"
Bolt hanya mengangguk lalu pamit untuk berangkat sekolah jangan lupa Kiss Morning untuk ibunya tersayang, mendapatkan itu Hinata tersenyum.
Benar, sekarang bukan saatnya mempermasalahkan masa lalu aku memiliki masa depan yang harus ku lindungi yaitu anakku.
.
Siang itu Hinata tidak pergi kemana mana, libur kerja dan hanya bersih bersih rumahnya. Di pikir pikir dirinya harus beristirahat agar berfikir jernih.
Tok tok tok
Hinata melepas celemeknya dan membuka pintu rumahnya
"Toneri-kun?" ternyata tamunya adalah Toneri
"Siang Hinata, apakah aku menganggumu?" ucap Toneri sambil tersenyum
Hinata menggeleng dan mempersilahkan Toneri masuk lalu menyiapkan minuman untuknya.
"Silahkan diminum" ucap Hinata sambil menyodorkan the pada Toneri
Toneri menerimanya dengan senang hati dan Hinata bingung akan kedatangan Bossnya ini ke rumahnya? Bukannya dia sudah izin tidak masuk untuk beberapa hari?
"Ano Toneri-kun, ada perlu apa kesini? Kalau masalah karena saya tidak masuk kerja, bukannya saya sudah meminta izin padamu waktu itu?"
Toneri meletakan gelasnya lalu menatap Hinata yang seakan meminta jawabannya, dia berdehem sebelum berbicara "Aku kesini untuk menjenguk keadaanmu karena kemarin kau terlihat tidak baik dan ternyata kau meminta libur jadi kufikir kau sedang sakit, aku khawatir Hinata"
"Aku baik baik saja Toneri-kun, terima kasih sudah menghawatirkanku" ucap Hinata tulus
Keheningan menyelimuti mereka, Toneri kembali berdehem dengan sedikit gugup " Sebenarnya aku ingin membicarakan sesuatu padamu" Toneri menatap serius Hinata.
"Apa itu?" Hinata bingung dengan suasana yang menjadi cukup serius ini, apa yang ingin di bicarakannya?
Toneri merogoh sakunya dan mengeluarkan kotak bluedru berwarna merah maroon lalu membukanya yang terdapat cincin perak yang begitu manis.
"Mungkin ini mendadak, tapi—" Toneri menatap Hinata yang terkejut "Hinata maukah kau menikah denganku?"
Hinata menutup mulutnya, Toneri melamarnya? Apa ini nyata? Atau dia hanya becanda?
"I-ini—" ucap Hinata yang terbata bata, sungguh dirinya sangat kaget menerima semua ini, terlalu dadakan
"Aku sudah mencintaimua sejak kita pertama kali bertemu, dan semakin aku mengenalmu aku semakin jatuh cinta pada sosokmu yang begitu tegar menghadapi semuanya dan juga kasih sayangmu yang begitu lembut pada anakmu—aku tidak memperdulikan masalalumu bagaimana karena aku sungguh mencintaimu dan aku akan menyayangi Boruto seperti anakku sendiri" ungkap Toneri
Hati kecil Hinata sedang bertarung sekarang, Hinata bimbang, ragu dan tidak rela.
Ada rasa untuk menerimanya namun hati kecilnya kadang berkata untuk tidak menerimanya. Sebenarnya apa alasannya untuk tidak menerima Toneri yang jelas jelas menerimanya apa adanya? Apa? Hinata sungguh bingung dengan perasaannya sekarang ini.
Tapi kalau menerimanya apa Hinata sanggup? Lalu kenapa dia tidak sanggup? Kenapa?
Naruto.
Tiba tiba bayangan Naruto muncul di pikirannya yang kelut. Senyuman pria itu.. senyuman yang begitu menyakitkan akan semua kehidupannya selama ini namun berusaha tegar.
Ekspresi kebahagiaan pria itu saat bersama anaknya dan berbincang ringan dengan Boruto.
Dan ucapan Naruto akan kesalahannya dan penyesalannya.
Hianta tiba tiba menangis diam.
"Hinata! kenapa kau menangis?" ucap Toneri panic.
Hinata sadar.
Dia masih mencintai mantan kekasihnya itu.
Naruto Uzumaki.
Dia tidak bisa bersama pria lain selain bersamanya, Hatinya menutup untuk pria lain selain pemuda tan itu.
Hinata menatap Toneri menyesal dan Toneri yang di tatap seperti itu seakan tahu apa jawabannya.
"Aku mengagumimu Toneri-kun, bahkan aku merasa sangat beruntung bisa di cintai oleh dirimu. Aku menyukai mu—sosokmu yang begitu dewasa seperti kakakku tapi Toneri-kun maafkan aku—aku tidak bisa" Hinata menunduk
Toneri menghela nafas ikhlas "Sudah kuduga akan seperti ini—kau masih mencintai dia kan? Ya walau rasanya sangat menyebalkan dan kesal karena kau tetap memilih dia yang jelas jelas sudah menyakitimu tapi—" kembali menghela nafas "apa kah kau benar benar tidak memberiku kesempatan barang sekali pun Hinata?" Toneri berharap Hinata bisa membuka hatinya sedikit untuknya.
Hinata mengigit bibirnya gelisah, pikirannya menjadi penuh dengan pria tan yang sempat di bencinya namun berakhir gagal itu.
Hinata mengelengkan kepalanya pelan dengan masih menunduk "Maafkan aku Toneri-kun—" Hinata menatap sedih ke Toneri "A-aku tidak bisa, a-aku tidak bisa membencinya walaupun sekeras apapun usahaku—aku mencoba mengubur kenangannya namun – tidak bisa. Maafkan aku Toneri-kun"
.
.
.
Hampir seminggu Naruto terus berfikir dan berfikir akan sikapnya selama ini.
Dirinya sangat kekanakan.
Egois.
Pemaksa.
Sikapnya yang di lakukan selama ini pada Hinata tidaklah benar, Hinata ingin kebebasan namun Naruto seakan mengikatnya.
Hinata membencinya karena sikapnya ini.
Kekanakan, Egois dan pemaksa.
Mana ada yang bertahan karena perilakunya ini? bahkan Hinata sekalipun. Sikap yang terus menghantuinya dengan berbagai upaya untuk membuatnya kembali padahal sudah jelas tidak ada ruang kembali untuknya.
Naruto ingin Hinata bahagia, dengan atau tidak dengan dirinya.
Naruto sempat tidak rela—sangat tidak rela. Harus melepas Hinata untuk pria lain. Dirinya belum sanggup melihat suatu saat Hinata mengandeng pria lain selain dirinya terlebih menjadi ayah baru untuk anaknya—Bolt.
Tidak. Dia tidak akan sanggup
Tapi sampai kapan dia harus mengikat paksa Hinata yang jelas jelas ingin bebas? Selama ini kau selalu mengikatnya dengan kuat tanpa memberinya kesempatan Naruto! kau terlalu gila karena begitu mencintainya sampai kau melakukan hal yang sangat tidak rasional.
Dia harus rela melepas Hinata.
"Hari ku pastikan akan menjadi akhir kemana takdir kita akan berjalan Hinata" gumam Naruto sambil mengenggam kotak bludru ungu berisi cincin yang dulu ingin diberikan pada Hinata.
bila Hinata memberinya kesempatan sekali lagi, dengan seluruh Hidupnya akan menjadi jaminan untuk menjaga Hinata dan anaknnya.
Bila Hinata tidak memberinya kesempatan, dirinya akan pergi dari kehidupannya selama lamanya bahkan kehidupan anakknya.
Naruto sudah sampai di depan rumah Hinata, menatap pintu di depannya dengan rasa gugup
'Mungkin ini mendadak, tapi—Hinata maukah kau menikah denganku?'
Gerakan tangan Naruto langsung terhenti mendengar suara dari dalam rumah Hinata, suara Toneri. Boss sekaligus seseorang yang menyukai wanitanya itu jangan kira Naruto tidak tahu apa apa tentangnya.
'Aku sudah mencintaimua sejak kita pertama kali bertemu, dan semakin aku mengenalmu aku semakin jatuh cinta pada sosokmu yang begitu tegar menghadapi semuanya dan juga kasih sayangmu yang begitu lembut pada anakmu—aku tidak memperdulikan masalalumu bagaimana karena aku sungguh mencintaimu dan aku akan menyayangi Boruto seperti anakku sendiri'
Naruto meremas jemarinya yang masih melayang itu dan menurunkannya perlahan, hatinya sesak sangat sesak. Seakan lupa cara bernafas seperti apa nafasnya tercekak.
Rasanya begitu menyakitkan, meremas jantungnya yang begitu linu. Ini kah takdirnya? Takdir memang tidak menginginkannya untuk kembali pada Hinata.
'—Aku menyukai mu—'
Naruto menjadi hampa seketika. Tatapannya menjadi kosong tidak ada kehidupan di dalamnnya.
Naruto tertawa pelan saat air matanya jatuh begitu saja tanpa terkontrol. "Sudah jelas—sangat jelas kalau Hinata tidak menginginkanku" Naruto masih tertawa pedih menerima kenyataannya.
Naruto pergi meningglkan rumah Hinata dengan sangat berat. Karena ini adalah langkahnya yang terakhir baginya yang begitu dekat dengan Hinata.
Setelah semua ini dia akan pergi untuk selamanya dan tidak akan pernah bisa melihat Hinata dan anaknnya kembali.
Sebelum begitu jauh Naruto membalikan tubuhnya untuk menatap rumah kecil yang begitu hangat di huni oleh Hinata dan Anakknya itu.
"Semoga kau bahagia selalu Hinata, jaga anak kita dengan baik ya, maafkan tingkahku yang sudah membuatmu muak dan menyakitimu—aku sangat mencintai kalian melebihi apapun di didunia ini"
Pepohonan di sana menjadi saksi bisu ucapan Naruto yang tidak mungkin dapat di dengar oleh Hinata.
.
.
.
.
Keesokan harinya Hinata sudah bekerja normal.
Walaupun kejadian kemarin membuatnya canggung saat bertemu dengan Toneri tapi dia harus bersikap professional pada pekerjaannya begitu juga dengan Toneri.
Dan setelah ini dia akan mencari Naruto dan mengungkapkan semuanya. Hinata tersenyum membayangkankan.
"Hei kalian tahu tidak, pemuda tampan yang waktu itu?" ucap buru tani kebun lain yang berada di belakang Hinata. mereka sedang mengurmpi
"Iya, pemuda bule itu kanya? Memang ada apa?" sahut buru tani lain yang tertarik akan ceritanya.
Apakah yang dibicarakannya itu Naruto? sepertinya sudah pasti iya. Hinata sedikit menajamkan pendengarannya
"Iya, katanya dia hari ini akan kembali ke tempat asalnya"
"Benarkah?! Yahh padahal aku belum betemu dengannya seceara langsung"
Hinata yang mendengar itu langsung membelalakan matanya dan menghampiri Suki—buru tani tadi. dengan panic
"Kau bilang apa tadi? dia akan kembali pulang hari ini?"ucap Hinata yang tiba tiba.
"Iya Hinata, aku juga tahu dari Jiraya-san tadi pagi buta"
"Kau tahu dimana dia sekarang?!"
Suki dan yang lainnya merasa heran pada Hinata yang sangat terlihat panic mereka menganggukan kepalanya "Semuanya juga tahu kalau dia berada di kediaman Nara, di bukit sana" Tunjuk Nar eke arah bukit tertinggi yang lumayan jauh dari sini.
Hinata langsung bangkit dan pergi begitu saja meninggalkan meraka. Yang bertampang bingung akan sikap aneh Hinata.
Hinata langsung lari cepat ke bukit kediaman Villa Nara yang lumayan jauh disana. Tidak memperdulikan jalanan yang mendaki karena yang di pikirkannya sekarang hanyalah bertemu dengan Naruto
"Semoga masih sempat Kami-sama!" doa Hinata
Hinata berkali kali tersandung akar pohon dan terjatuh berkali kali namun tidak mengendurkan tekadnya, dia harus buru buru sebelum semuanya terlambat.
.
.
.
"Tuan, mobilnya sudah sampai" ucap Jiraya pada Naruto yang menatap pemandangan desa di teras kamarnya
"Aku akan rindu pemandangan ini" gumamnya
"Anda bisa kembali ke sini tuan, tempat ini selalu terbuka untuk anda"
Naruto tersenyum sedih mendengarnya, mana mungkin dia akan kembali kesini disaat dirinya sudah berjanji akan pergi dari sini selamanya.
Ada rasa berat untuk meninggalkan desa kecil yang indah ini tapi Naruto harus pergi.
Naruto segera turun dan bersiap berangkat ke Tokyo. Seharusnya kemarin dia berangkat namun ada kendala di kendaraan yang baru bisa datang hari ini.
"Apakah anda memiliki pesan yang ingin ku sampaikan tuan?" ucap Jiraya saat Naruto membuka jendela mobilnya.
Banyak sebenarnya yang ingin Naruto katakan pada Jiraya terlebih untuk anakknya Bolt, tapi dia mengurungkan niatnya "Tidak paman, aku harap paman sehat selalu" Naruto tersenyum
"Anda juga tuan"
Mesin mobil sudah menyala, Naruto menutup jendelanya dan mobil Ferrary silver itu melaju meninggalkan Villa.
Hinata yang sudah bisa melihat Villa tersebut tersenyum sumringan dan mempercepat larinya dengan paksa.
Namun senyumnya menghilang saat ada mobil yang melaju dari Villa itu "TUNGGU NARUTO!" teriaknya.
Nafasnya sudah sangat berantakan, berlari dan berlari sedari tadi.
"Paman tolong hentikan mobil itu!" teriak Hinata yang berlari mengejar mobil itu.
Jiraya yang melihat Hinata membelalakan matanya "Nona Hinata?! apa yang anda lakukan?"
Jiraya menopang tubuh peluh keringat dan kotor dengan tanah milik Hinata "Paman tolong hentikan mobil itu, aku ingin bertemu Naruto!" Hinata memohon pada Jiraya dengan uraian air mata
"Aku tidak bisa Nona, maafkan aku tapi Tuan Naruto sudah pergi—" ucap Jiraya menyesal
"TIDAK! Aku akan mengejarnya! Aku harus bertemu dengannya!" Hinata kembali lari dengan terseok seok karena kakinya yang terluka karena tadi.
"NARUTO BERHENTI!—"
"Naruto!"
Hinata mati matian mengejar mobil Ferrary silver itu dengan sisa tenaganya yang ada "Naruto jangan pergi!"
Bukannya semakin dekat namun jarak Hinata dan mobil itu semakin jauh namun Hinata masih kekeh berlari mengejar mobil itu.
"Naruto—" teriak lemah Hinata sambil beruraian air mata
.
Naruto menatap kosong pemandangan desa yang terpampang dari kaca mobil, dirinya benar benar hampa sekarang.
"Tuan?" panggil Genma—supir
Naruto tersadar dari lamunanya "Ada apa?"
"Sepertinya kita sedang di ikuti?" ucapnya tidak yakin
"Apa maksudmu?"
"Dibelakang ada orang yang berlari mengajar mobil ini tuan" Genma melihat seseorang yang sedari tadi berlari untuk mengikuti laju mobil ini.
Naruto menaikan alisnya bingung lalu menatap ke kelakang kaca mobilnya dangan seketika matanya membelalak kaget itu HINATA!
"Berhenti!"
Ciitttt!
Naruto langsung keluar dari mobil itu dan berlari menghampiri Hinata
"Hinata! apa yang kau lakukan?! Apa kau gila hah!" Naruto panic melihat keadaan Hinata yang amat tidak baik.
Kedua Kakinya berdarah, baju biru langitnya dan rok hitam selututnya itu penuh dengan tanah dan ada beberapa yang robek. Apa yang terjadi sebenarnya?
Naruto akan memeluk wanita rapuh itu namun seketika gerakanannya terhenti karena teringat janjinya. Meremas kedua tanganny lalu mundur satu langkah dan menatap Hinata sedih "Hinata— apa yang kau lakukan? Kau akan membuatku mati dengan melihatmu seperti ini" ucapnya begitu pilu melihat Hinatanya seperti ini
Hinata yang melihat Naruto ingin memeluknya, membuatnya sangat rindu akan pelukan pria itu. Hinata tersenyum
Namun senyum itu hilang saat Naruto memilih menjauh darinya dan tidak memeluknya seperti dulu? Dulu Naruto selalu memeluknya dikala dia membutuhkan pelukan pria tan itu, Hinata kembali menangis menatap Naruto yang menatapnya dengan tatapn sedih juga. "Hinata— apa yang kau lakukan? Kau akan membuatku mati dengan melihatmu seperti ini"
Grep!
Hinata memeluk Naruto, Hinata yang menghampiri Naruto—kerena dirinya tidak bisa melangkah menjauh lebih jauh lagi dari pria tan itu.
"Jangan pergi! Aku dan Boruto membutuhkanmu" ucap Hinata di sela pelukannya, Hinata mengeratkan pelukannya pada Naruto "Aku mencintaimu Naruto"
Naruto kaget saat Hinata tiba tiba memeluknya dan memintanya untuk tidak pergi, Naruto ingin sekali membalas pelukan wanita ini tapi Naruto tidak bisa—aku tidak ingin menyiksamu lebih lama lagi Hinata.
"Aku mencintaimu Naruto"
Kalimat itu—kalimat yang hampir membuat Naruto gila namun mendengarkannya Hatinya hangat.
Grep!
"Aku lebih mencintaimu Hinata!" balas Naruto sambil membalas pelukan Hinata juga.
Naruto merapihkan rambut indah Hinata yang menghalangi wajah cantik Hinata pelahan Naruto mendekatkan wajahnya pada wajah Hinata.
Cup!
Naruto mencium dahi Hinata pindah ke mata kanan dan kirinya lalu hidung lalu pipi kanan dan kirinya lalu dagu dan yang terakhir adalah bibir manis Hinata yang begitu Naruto rindukan.
Mengecup bibir manis itu dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, terus dan terus mengecup bibir yang bagaikan gula itu begitu juga dengan Hinata yang terus dan terus membalas kecupan yang di berikan oleh pria di hadapannya ini.
"Ehem! Maaf menganggu Tuan, tapi lebih baik anda melakukannya di ruangan tertutup mengingat ini desa" sebenernya Jiraya tidak enak menganggu mereka tapi apadaya?
Naruto langsung menggendong Hinata ala bridal style lalu membawanya ke villa Nara sedangkan Hinata hanya menyembunyikan wajah malunya di dada bidang Naruto
Saat sampai di kamar Naruto meletakan Hinata dengan hati hati di ranjang dan mengambil kotak obat
"Ugh" rintih Hinata yang kesakitan
"Maaf, aku akan lebih hati hati lagi" Naruto dengan cekatan dan teliti mengobati luka luka Hinata
setelah selesai Naruto mentap Hinata "lalu obat tambahan untuk lukanya"
Hinata bingung dengan ucapan Naruto "Ap—"
Cup!
Naruto mencium dahinya yang terluka lalu pindah ke pipinya yang juga tergores lalu ke kedua telapak tangannya begitu lembut lalu pindah lagi ke siku kanannya lalu siku kirinya dia kecup dengan penuh kasih sayang.
Hinata ingat, ini adalah caranya yang biasa dia dilakukan saat Naruto terluka, dia tidak menyangka kalau Naruto masih mengingatnya.
"Nah sekarang pasti akan cepat sembuh" Naruto tersenyum tulus pada Hinata "Ah ada yang terlewat"
Naruto merangkak mendekati Hinata yang terlihat bingung lalu menunjuk bibir mungil Hinata "Sepertinya disini juga terluka ya?"
Dengan segera Naruto mencium Hinata kembali dan dibalas oleh Hinata, ciuman yang awalnya hanya kecupan kini menjadi lamutan yang memabukkan
Naruto memasukan lidahnya ke mulut Hinata dan bertarung di dalam sana, Naruto memegang kepala Hinata untuk memperdalam ciumannya dan Hinata meremas kemeja Naruto pindah ke rambut Naruto dan meremasnya
Bihari Naruto mulai naik dipindahkan ciumannya ke leher putih Hinata dan mencium aroma yang sudah lama dia tidak rasakan, aroma yang memabukan milik Hinata yang mampu membuatnya gila.
"Engh Stop Narutoh!"
Hinata menjambak rambut Naruto dan menariknya untuk menjauh dari lehernya, sontak hal itu membuat Naruto kesakitan karena jambakan Hinata pada dirinya "Sakit Hinata" Naruto mengelus kepalanya yang di jambak dan menatap Hinata bingung
"Kita harus jemput Boruto, sekarang sudah jam pulangnya" ucap Hinata setelah nafasnya normal
Naruto menghela nafas lalu mencium cepat Hinata "Baiklah, ayo kita segera jemput anak kita!—tapi setelah itu kau tahu apa yang akan terjadi ne Hime" bisik Naruto nakal
"Dasar mesum!"
Naruto hanya tertawa pelan, moment ini Naruto sangat bersyukur dapat memilikinya kembali.
.
.
.
.
"Ibu!" Bolt menghampiri Hinata yang sudah menunggunya "Ah! Ada paman Naruto!" dengan kegirangan Bolt loncat ke gendongan Naruto yang untung langsung dengan sigap di tangkap oleh Naruto
"Boruto jangan seperti itu! Kasian pamannya tahu"
"Maaf kan aku paman, Habisnya aku kangen dengan paman soalnya tidak ada teman main lagi" ucap Bolt sedih
"Hei jangan sedih begitu Bolt! Mulai sekarang paman akan bersama Bolt terus!"
"Serius paman?!" Bolt berbinar binary di gendongannya
"Iya, tapi sebelumnya paman ingin tanya sesuatu padamu" Naruto menurunkan Bolt lalu mensejajarkan tinggi mereka "Apakah kamu ingin bertemu dengan Ayah kamu?"
"Tentu saja paman! Aku ingin sekali melihat ayah tapi ayah tidak pernah datang—" Bolt menunduk "Mungkin Ayah tidak akan pernah datang untuk menemui aku karena aku anak nakal, aku ingin minta maaf pada ayah agar ayah kembali bersama aku dan ibu"
"Tidak tidak, itu tidak benar! Bolt anak yang baik dan pemberani ayah senang sekali punya anak pemberani seperti kamu nak" Naruto mengusap kepaa pirang Bolt "Seharusnya Ayah yang minta maaf pada kalian" ucap Naruto bernada lirih
"Paman ayah aku?" ucap Bolt bingung
Naruto mengangguk "Iya, maafkan ayah nak baru menemui kalian. Bertahun tahun ayah selalu mencari kalian dan akhirnya bertemu dengan kalian. Ayah takut kamu membenci ayah—maafkan ayah yang terlalu pengecut ini Bolt"
Grep!
"Ayah! aku sangat senang kalau ayahku ternyata paman Naruto! aku sayang ayah! aku tidak pernah benci Ayah" Naruto membalas pelukan anaknnya dan menciumi puncak kepala Bolt sayang
"Apakah kamu mau ikut ayah ke Tokyo?"
"MAU! Asik ! " Bolt melompat lompat kegirangan. Hinata hanya tertawa pelan dan Naruto tersenyum bahagia melihat semua ini
Akhirnya keluarga kecil yang selama ini dia impikan bisa terwujud.
"Aku sangat menyayangi kalian" ucap Naruto sambil mencium kepala anaknnya yang di gendongnya dan kening Hinata yang berjalan di sampingnya
"Aku juga menyayangimu Naruto"
"Aku sayang Ayah dan Ibu!" Bolt mengeratkan pelukannya di leher Naruto dan membuat Naruto sedikit tercekik akan tingkah anaknnya
"Yak Bolt!, ayah kecekik nih"
"Hihihi maaf yah!" Bolt hanya tertawa senang melihat ayahnya tersiksa dan Hinata hanya tertawa melihat keakraban kedua orang yang di cintainya itu.
Sebulan kemudian mereka menikah di Tokyo dengan bahagia dalam keadaan suka cita dan berjanji akan selamanya bersama.
.
.
Hinata bangun dari tidur lelahnya, bagaimana tidak lelah Naruto terus terusan meminta jatahnya di saat Hinata sudah sangat lelah bahkan tadi malam dia ingin pingsan rasanya dalam permainan mereka, orang ini kenapa memiliki stamina yang kuat sekali? Hinata hanya menggelengkan kepalanya mengingat itu.
Hinata ingin bangun tapi pelukan Naruto di pinggang polosnya semakin erat "Naruto, aku ingin mandi dan menyiapkan sarapan" ucap Hinata
Bukannya menjawab pertanyaan Hinata, Naruto mala semakin merapatkan tubuh mereka dan mencium aroma curuk leher Hinata.
Dengan jahil tangan Naruto mengusap bagian bawah Hinata dan sontak hal itu membuat Hinata membelalakan matanya "Morning sex baby?" bisik Naruto seduktif di telinga Hinata
Hinata langsung menghadap Naruto dan menatapnya kesal "Tidak! Aku lelah karena semalam jadi—" Hinata mencubit idung mancung Naruto hingga memerah "—cepat mandi dan aku akan menyiapkan sarapan"
"Aw! Sakit tau Hinata" Naruto mengusap hidungnya yang memerah "Ayolah Hinata~" rayu Naruto pada Hinata yang sedang mengenakan kaos miliknya
Naruto memeluk pinggang Hinata dan meletakan kepalanya di bahu pendek Hinata "Hime~" Naruto mencium leher Hinata mengkode.
Hinata dengan susah payah mencoba melepas tangan nakal Naruto yang mulai naik ke dadanya yang tidak memakai dalaman "Naruto! aku serius! Kalau kau tidak menurut aku tidak memberimu jatah sebulan!"
Sepontan Naruto melepas tangannya dari Hinata dan memasang muka kesal pada Hinata "Kenapa kau jahat sekali Hime—aku bisa mati kalau tidak dapat jatah darimu"
"Makannya menurut kalau dibilangin" Hinata meninggalkan Naruto yang masih merengek di kasur "Naruto!" ucap Hinata penuh penekanan
"Hai" Naruto segera menuju kamar mandi dengan buru buru mendengar Hinata yang sudah menekankan kata katanya
Dan Hinata hanya cekikikan melihat tingkah suaminya itu "Dasar"
Si ruang makan mereka sarapan bersama, Naruto dan Bolt semakin dekat bahkan Bolt selalu menempel pada Naruto bagaikan lem.
Kemanapun ada Naruto pasti ada Bolt, pokokknya mereka sekarang keluarga kecil yang bahagia sekarang.
Tidak ada lagi keputusasaan yang di rasakan Naruto
Tidak ada lagi usaha membenci masalalu bagi Hinata
Tidak ada lagi yang dapat mengatainya 'Tidak punya Ayah' bagi Boruto
.
.
.
.
.
.
.
.
Omake
"Haaah" Naruto merebahkan tubuhnya yang hanya menggunakan celana piyama sehabis mandi, terlalu lelah sehabis main di kamar Bolt "Benar benar deh" gumamnya menghadapi tingkah anaknnya yang terlalu bersemangat untuk bermain, anak itu tidak ada lelahnya sama sekali kalau sudah bermain.
Terlebih Bolt selalu menempel padanya kemanapun dia pergi, tidak pernah bisa lepas dari ayahnya. Naruto tidak marah malahan sangat senang karena bisa menghabiskan waktu dengan anaknnya tapi …. Naruto juga manusia yang membutuhkan belaian istinya
"Lebih baik kau segera tidur kalau lelah" Hinata meletakan bukunya dan kacamatanya saat Naruto datang ke kamar
Naruto langsung bangkit dari tidurnya dan menatap Hinata dengan tatapan aneh? Namun Hnata merinding melihatnya "Kau tahu kan Hinata beberapa minggu ini aku selalu bermain dengan Bolt bahkan kami bagaikan lem yang tidak bisa di pisahkan, aku senang bisa sangat dekat dengan anakku hingga dia mau menemaniku di kantor tapi –" Naruto semakin mendekatkan dirinya ke Hinata dan mengusap pipi istrinya itu "waktu kita ber dua menjadi berkurang—ne Hime ayo kita 'bermain' "
Bruk!
Belum sempat Hinata menjawab Naruto sudah menguncinya di kekangannya di bawah "Aku sangat merindukan dirimu Hinata"
"Aku juga Naruto"
Naruto mencium pelan namun lama kelamaan menjadi ganas dia mencium bibir mungil istrinya yang hampir bengkak itu "Ahh"
Naruto sudah tidak bisa menahan hawa nafsunya mendengar desahan Hinata, dengan pelan namun pasti tangan Naruto melepas kancing piyama istrinya setelah terlepas Naruto menyeringai "Kau nakal ya tidak pakai dalaman, sayang" goda Naruto saat Hinata tidak memakai branya, Hinata tidak menanggapi karena nafasnya masih memburu karena ulah Naruto
"Ahh!" pekik Hinata saat Naruto meremas dada Hinata
"Ah kau sangat menggoda sayang~ ittadakima—"
Brak!
"AYAH!"
Sepontan Hinata mendorong Naruto dengan kekuatan yang entah datang dari mana hingga Naruto terjelembab ke lantai "Aduh!" pekiknya saat punggungnya mencium lantai
"Aku ingin tidur dengan Ayah huweee!" Tangis Bolt saat sadar dari tidurnya tadi Ayahnya tidak ada di sampingnya padahalkan Bolt sudah minta pada ayahnya untuk tidur bareng dengannya.
"N.a.r.u.t.o" ucap Hinata penuh penekanan yang dapat di artikan Hinata marah padanya
Dirinya hanya menepuk dahinya frustasi dan mungkin dirinya tidak akan mendapat jatahnya beberapa minggu lagi "Ah Bolt" gumam Naruto di lantai dengan pasrah sambil menepuk jidatnya
END
EDIT dikit, astaga typonya kebangetan parahhh T_T maafkan diriku reader T_T, maaf banyak typo karena diriku tidak melukakan edit ulang *karena males* *digeplak*
pokok e Thanks banget buat kalian yang udah menyadarkan kesalahan si org yg buat cerita ini T^T
.
AND U CAN SEE AND READ FF 'SORRY' *Wink* *Iklan dikit* and Show me, U review or a good idea or Criticism for them hmm blame? NO, I'm baper peson -_-
Final Big THANKS TO U READER SILENTT OR REVIEWER *tebar lope lope di udara*