Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

In Between © Linkin Park

Rated : M

Warning : Yaoi. Narusasu. OOC. OC. Typos. M-PREG.

.

LOVE ACTUALLY

.

Chapter 4 : Brother?

.

Sejak kecil Menma tidak mengenal banyak tentang keluarganya. Selain papanya, hanya Hiruma yang bisa ia ingat sebagai paman. Dibandingkan dengan Sasuke, Menma lebih suka bermain dengannya saat kecil jika pria tersebut tak sedang mengerjakan apapun. Biasanya mereka hanya akan membaca cerita bersama atau mengobrol jika tak ada ide untuk bermain. Hiruma dan papanya bekerja di malam hari, di waktu yang tak ditentukan. Menma akan dititipkan di rumah tetangganya yang juga memiliki anak kecil, namanya Karui. Seperti itulah awal persahabatan keduanya terjalin. Hingga usianya dua tahun, papanya tak lagi bekerja di malam hari, tapi ia lebih menyibukkan diri di waktu siang hingga sore. Sedangkan pamannya masih sering tidak ia jumpai saat jam tidurnya akan tiba. Namun mereka masih sering bermain bersama saat siang, bersama Karui juga.

Hingga suatu hari Hiruma sakit. Pria itu hanya berbaring di ranjangnya, dan terkadang berjalan keluar hanya untuk ke kamar mandi. Meski begitu Menma masih terlalu kecil untuk bisa memahami bahwa orang sakit membutuhkan banyak istirahat. Anak itu selalu berada di kamar Hiruma saat papanya tak bisa diajak bermain. Dan pamannya begitu baik meladeni setiap celotehannya yang tak jelas. Ada saat Menma merajuk dan memaksanya bermain-main seperti biasa, tapi Hiruma menolak dengan halus. Pria itu terlalu lemah meski hanya untuk melempar pesawat kertas ke udara. Tapi Menma hanyalah anak kecil, ia tak mau tahu alasan apapun. Jadi ia mengadu pada papanya yang malah membuatnya menangis. Sasuke memarahinya, memerintahnya untuk tidak mengganggu pamannya dan membiarkannya beristirahat. Sejak itu Menma tak lagi mengajak pamannya berbicara. Ia lebih sering menghabiskan waktu di rumah Karui, bermain-main disana sambil dijaga oleh neneknya. Terkadang Sasuke masih menyuruhnya untuk mengantarkan sesuatu seperti minum atau makan saat Sasuke tak bisa melakukannya sendiri. Hanya sekedar itu mereka bertemu, dan sedikit mengobrol. Kadang Menma juga bisa mendengar suara batuknya yang seperti menahan batu saat ia terbangun di tengah malam. Menma tidak tahu pamannya itu sakit apa, dan otak kecilnya mengatakan tak mau tahu. Suatu malam Sasuke membawanya ke rumah sakit, ia dibiarkan tidur di rumah Karui. Sasuke mengatakan kalau ia akan menjemputnya nanti. Tapi Menma tidak paham, nanti itu kapan. Anak itu terus menunggu, hingga dua hari kemudian Sasuke akhirnya menjemputnya, tapi tidak dengan Hiruma. Semenjak hari itu Menma tidak pernah bertemu lagi dengan pamannya. Di hari yang bahkan ia belum bisa menghitung usianya sendiri.

.

Menjadi sahabat Karui mengajarkan Menma banyak hal, terutama tentang keluarga. Di usianya yang ke-enam, ia memahami beberapa perbedaan. Jika sebelumnya ia hanya mengenal dua orang lelaki yang ia panggil papa dan paman, di keluarga Karui ia mengenal ibu dan nenek.

Nenek Karui adalah wanita yang sangat cerewet. Ia tidak terlihat sangat tua, mungkin faktor itulah yang menyebabkan ia bisa berbicara banyak hal. Menma dan Karui sering mendapatkan ceramah panjang lebar saat mereka bermain dengan berlarian di dalam rumah, atau ketika mereka mulai bertengkar dan membuat satu sama lain menangis. Meski begitu Menma tidak takut untuk menghabiskan waktu di rumah temannya tersebut karena ada ibu Karui. Benar, ibu Karui adalah wanita yang meskipun sedikit galak dengan temannya, tapi tak pernah membuat Menma merasa tak nyaman. Wanita itu seperti memberikan sentuhan yang berbeda pada dunianya yang sempit. Ia merasakan kasih sayang yang lain, yang berbeda saat ia hanya menghabiskan waktu bersama papa dan pamannya. Seperti tersenyum saat membuatkannya susu yang sama dengan Karui, membacakan dongeng, mengajarinya sopan santun, mengajaknya berbicara. Sebenarnya ia juga mendapatkan hal yang sama di rumahnya, tapi yang diberikan ibu Karui sensasinya terasa berbeda. Naluri anak-anaknya lebih bekerja. Ia merasakan kenyamanan yang terasa lain yang tak bisa dijelaskan dengan otak kecilnya.

Namun, sebetulnya ia juga tidak paham, kenapa tidak ada papa dan paman di rumah Karui. Seperti ia yang tak punya ibu dan nenek. Awalnya Menma merasa mungkin karena anak laki-laki tinggal bersama keluarga laki-laki, sedangkan anak perempuan tinggal bersama keluarga perempuan. Hingga asumsinya patah saat ia mengenal Sali, tetangga barunya yang datang dari Sunagakure. Sali adalah anak yang gemar merajuk dan pamer, dan sering mengganggu Menma dan Karui saat mereka tampak bermain di halaman. Potongan rambutnya disisir rapi di kedua sisinya, ia memakai kemeja lengan pendek yang selalu ia masukkan ke dalam celananya yang ia kancingkan tingi-tinggi. Tatapannya tampak meremehkan dengan bibir bawah yang selalu berusaha maju ke depan. Membuatnya tampak seperti seekor bebek.

Di komplek perumahannya tak banyak anak kecil, hanya ada Menma dan Karui di sekitar tempat tinggal mereka. Jadi seharusnya mereka berteman baik. Tapi agaknya itu tidak dipahami oleh anak sekecil Sali. Anak itu selalu mencari celah untuk mencemooh setiap tingkah Menma dan Karui, meski kedua anak itu selalu mengabaikannya. Terkadang jika mereka ditunggui ibu atau nenek Karui saat bermain, mereka selalu menjadi penengah saat Sali memulai rutinitasnya.

"Biarkan saja anak nakal itu. Jangan dihiraukan."

Suatu hari Sali dan orang tuanya berkunjung ke kedai Sasuke yang terletak di ujung gang saat Menma juga berada disana. Mereka mengajak papanya mengobrol dengan si anak nakal yang di gandeng ibunya, memelototinya sambil menggoyang-goyangkan rahang bawahnya kearah Menma. Terkadang ibunya memergokinya dan menegur, tapi hanya sesaat karena kemudian ia kembali ikut mengobrol dengan sang suami dan papanya, memberikan kesempatan si anak nakal untuk memulai aksinya lagi. Menma tidak berani membalas, tapi hanya menatap si anak nakal yang mencemoohnya dalam diam, berlindung di balik dekapan eratnya di kaki sang papa.

"Sali, hentikan!" bentak ibunya anak nakal. Sali tampak gusar dipermalukan di depan anak yang sering ia bully. Pandangannya tampak tak bersahabat, merajuk pada orang tuanya.

"Sali, minta maaf pada temanmu!" perintah si ayah dengan tegas. Tapi mereka tidak berteman, Menma tidak berteman dengan Sali, dan Menma tidak mau memiliki teman yang nakal seperti Sali.

"Tidak apa-apa, Kendo-san. Namanya anak kecil, harap dimaklumi. " kata papanya menengahi. Kedua orang tua di depannya tersebut tak lagi mencecar si anak nakal. Namun wajah mereka terlihat malu dengan ulah anaknya.

"Maaf, Sasuke-san. Sali memang anak yang nakal, susah diatur. Berbeda sekali dengan anak anda ini. Ia sangat pendiam dan manis." kata si ibu. Wanita itu mengatakan kalimat akhirnya sambil menatap Menma dan tersenyum yang ia buat semanis mungkin, meski tampak mengerikan di mata Menma.

"Ia hanya anak kecil." kata Sasuke.

"Saya berharap ia menjadi seperti anak anda. Ibumu pasti merawatmu dengan sangat baik, sayang." balas wanita itu sambil memegang dagu Menma dengan gemas. Setelah itu percakapan selanjutnya adalah tentang ibu Menma yang tidak diketahui. Si ayah bertanya pada papanya.

"Kalau boleh tahu dimana ibunya, Sasuke-san? Kami tak pernah bertemu dengannya."

"Ia tidak punya ibu." Sasuke menjawab dengan tenang dan pelan. Tampak tak terganggu.

"Ahh, maafkan kami Sasuke-san." si ayah buru-buru menyahut.

"Tidak masalah."

Setelah kejadian itu si anak nakal jadi mendapatkan bahan lain untuk mencemoohnya, mengatainya sepanjang permainannya bersama Karui.

"Anak kadal! Tidak punya ibu! Tidak punya ayah!."

"Hey, anak katak! Dimana ibumu? Dibuang ayahmu ya?"

"Ada anak ayam. Tidak punya ayah!"

Menma tidak mengerti kata sabar, tapi ia tidak ingin membalas. Seumurnya yang masih pendek, ia hanya tahu bertengkar dengan Karui yang berakhir dengan amarah papanya. Menma tidak ingin mengenal pertengkaran lain. Ia hanya meneruskan permainannya, tanpa memedulikan si anak nakal. Tapi Karui berbeda. Secepat Menma mendongakkan kepalanya, anak perempuan itu sudah hampir berada di depan si anak nakal untuk memukul kepalanya, namun Sali menghindarinya dengan baik. Karui mengejar Sali dengan penuh kekesalan, sambil berteriak marah ia akhirnya berhasil meraih rambut Sali, lalu menjambaknya sekuat mungkin. Membuat Sali menangis, berteriak memanggil ibunya. Menma hanya melihat sambil menjerit ketakutan saat Karui melayangkan tinjunya ke mata kiri Sali hingga menendang perutnya. Sali dan Menma menangis kencang. Sampai nenek Karui dan ibu Sali keluar memisahkan perkelahian mereka. Ibu Sali sangat marah, ia memaki pada Karui dan neneknya. Menma bisa melihat darah di wajah Sali. Masalah itu akhirnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Namun Menma yang bahkan tidak ikut sakit hati atas tindakan Sali, juga harus merasakan dampaknya. Sasuke sangat marah mendengar perkelahian tersebut.

"Tapi aku tidak ikut memukulnya, papa." kata Menma membela diri.

"Tapi kau juga ada disana." kata Sasuke.

"Tapi aku tidak bersalah. Karui juga tidak bersalah. Sali yang salah."

"Sali yang kalian pukul. Apa salahnya?"

"Dia mengejek kami. Katanya kami anak kadal dan ayam karena tidak punya ayah dan ibu. Dan aku tidak ikut memukulnya."

Sasuke terdiam mendengar balasan anaknya. Ia sebenarnya tahu bahwa anaknya menjadi bahan bully anak tetangga barunya tersebut. Namun melakukan pemukulan untuk membalasnya tetap tidak bisa Sasuke maafkan. Tidak ada saksi dewasa yang mengatakan bahwa anaknya tidak terlibat, yang mereka tahu Menma juga berdiri disana, mengabaikan tangisannya yang memilukan melihat temannya yang kalap. Jadi Sasuke memutuskan bahwa bagaimanapun juga anaknya ikut bersalah, agar menjadikannya pelajaran.

"Kau tetap akan dihukum Menma. Papa akan menyita semua mainanmu dan kau tidak boleh menonton televisi selama sebulan." kata Sasuke tegas.

"Tapi aku tidak bersalah, papa!" Menma meraung membela diri. Ia sudah menangis.

"Karui mendapatkan hukuman yang lebih berat darimu. Jadi tegakkan kepalamu dan jadilah lelaki yang jantan."

Menma tidak ingin menjadi lelaki yang jantan. Ia bahkan tidak tahu lelaki yang jantan itu seperti apa. Ia hanya tahu kalau ia tidak bersalah, tapi mendengar sahabatnya dihukum lebih berat darinya membuatnya sedih. Menma akhirnya menerima hukumannya seperti seorang lelaki yang jantan. Namun sesungguhnya ia memiliki pertanyaan yang sangat mengganggunya.

"Papa, kenapa aku tidak punya ibu?" tanya Menma. Sasuke tak langsung menjawab, ia terdiam selama beberapa detik. Sebelum akhirnya berkata.

"Karena kau memang tidak punya." jawab Sasuke. Itu bukan jawaban, itu elak'an. Dan Menma adalah anak yang pintar untuk bisa dikelabui.

"Iya, kenapa aku tidak punya, papa." cecar Menma.

"Karena kau sudah punya papa."

"Tapi Sali punya ayah dan ibu."

"Tapi Karui juga hanya punya ibu."

"Iya, tapi kenapa?"

"Karena meski hanya punya papa atau ibu, kau akan tetap bahagia. Tidak masalah meski hanya punya papa. Papa akan melengkapi kebutuhanmu sebaik Sali yang memiliki ayah dan ibu."

"Aku tidak mengerti maksud papa."

"Kau akan mengerti nanti."

Sebatas itulah pengetahuan Menma tentang ibunya. Dan sesungguhnya meski ia telah bertemu ayah kandungnya, pertanyaannya tentang sang ibu masihlah belum terjawab. Menma belum mengerti.

"Jadi, siapa ibuku?" tanya Menma tiba-tiba. Naruto menatap anaknya tersebut, kemudian tersenyum tipis.

"Bukankah sudah jelas?"

"Aku tidak melihat kejelasan. Kau belum mengatakan apapun tentang ibuku." Naruto tertawa renyah mendengar jawaban Menma.

"Kurasa kau tidak punya ibu."

"Kurasa?" Menma membeo. " Sebenarnya kau ini benar ayahku atau bukan?"

"Tentu saja aku ayahmu. Itu tak bisa diragukan lagi."

"Lalu kenapa kau mengatakan 'kurasa'?"

"Karena Sasuke tidak akan suka jika kau memanggilnya seperti itu."

"Maksudmu?" Menma membuat kernyitan yang dalam di dahinya mendengar jawaban Naruto. Ia merasa bahwa orang tua di depannya ini hanya membuatnya semakin bingung.

"Sasuke adalah pria yang jantan. Ia adalah salah satu legenda shinobi yang terkuat yang pernah ada, seorang pria yang tangguh dan terhormat. Jadi ia tidak akan suka jika kau memanggilnya seperti wanita."

"Sungguh, aku tak paham pada apa yang kau bicarakan."

"Menma, kalau yang kau bicarakan adalah orang yang melahirkanmu, dia adalah Sasuke. Tapi jangan mengharapkan kau bisa memanggilnya ibu. Kau hanya perlu mengenalnya sebagai papa dan aku adalah ayahmu."

Setelah berkata seperti itu Naruto kembali mengalihkan kepalanya ke depan, ke jalanan Konoha yang seolah tak pernah tidur. Satu tangannya masih menggenggam tangan sang anak, mencoba merasakan kehangatan Sasuke melalui dirinya. Meresapi rindu yang seolah mengeras menjadi karang, tertata tak beraturan seperti karang yang ada di giginya. Kebahagiaan yang penuh makna.

Menma melongo, sambil menatap Naruto yang terlihat begitu tenang, duduk bersandar pada kursi mobil. Ia melihat pria itu terasa penuh warna, senyumnya tak juga lepas. Angin malam yang berhembus melalui jendela di sampingnya tak membuatnya bergidik, ia bahkan tak bisa merasakan anginnya. Pikirannya seperti puzzle yang sebenarnya telah tersusun rapi, namun tak cukup memberikannya kejelasan. Hingga kesadarannya kembali, ia ikut mengalihkan pandangannya ke depan. Menatap pada jalanan yang tetap ramai meski hari sudah sangat malam.

"Itu lelucon." gumam Menma. Naruto mengalihkan pandangannya kearah sang anak. Mencoba menyatu dengan pikirannya.

"Itu kenyataan."

"Kenyataan yang lucu. Aku bukan anak kecil yang mudah ditipu."

"Aku tidak menipumu."

"Kalau begitu jelaskan padaku bagaimana seorang pria bisa hamil dan melahirkan. Apa itu juga bagian dari jurus shinobi?"

"Kita akan tahu saat menanyakannya pada Sasuke." jawab Naruto santai. Namun cukup untuk membuat Menma geram. Entah kenapa ia merasa sangat dipermainkan.

"Jadi sebenarnya kau juga tidak tahu? Lalu kenapa kau mengatakan Sasuke adalah ibuku? Itu dasar darimana?"

"Dari instingku."

"Insting?"

"Sasuke adalah cinta sejatiku, kau adalah anakku. Ikatan kita terhubung satu sama lain. Jadi kita tak perlu ragu."

"Kau hanya membuatku semakin bingung."

"Maafkan aku. Tapi aku minta kau bersabar. Tunggulah sampai kita bertemu dengan Sasuke. Kita akan sama-sama mencari tahu. Tapi saat menghadapinya, pandanglah ia dengan cinta. Seperti ia memandangmu dengan cinta pula. Sehingga kau akan menerima setiap jawabannya."

"Darimana kau tahu kalau ia mencintaiku?"

"Karena kalian bertahan bersama-sama selama ini."

Menma tak lagi menjawab. Ia alihkan pandangannya ke depan. Mengulang memori yang terasa seperti letupan peluru yang sahut menyahut. Bagaimana ia tumbuh besar di pangkuan Sasuke, bertahan bersama meski hanya berdua. Papanya adalah pria yang pendiam. Meski tak banyak bicara tapi ia adalah sosok yang tak segan. Ditumbuhkan di bawah ketegasan seorang pria, membuat Menma jauh dari pemikiran keluarga yang penuh cinta. Mereka sama-sama lelaki. Mereka hidup menggunakan logika. Perasaan semacam itu tak mampu meresapi hatinya. Selama ini ia menjalani hidup apa adanya, menjadi anak apa adanya, dan Sasuke adalah papanya yang apa adanya. Tapi apakah benar tak ada cinta dalam keluarganya? Lalu bagaimana dengan hari-hari yang mereka jalani berdua? Pertahanan terbaik yang mereka miliki. Mungkin mereka memang tak membutuhkan kata-kata ajaib, perasaan yang seperti kembang api, atau drama keluarga yang penuh harmoni. Mereka hanyalah saling membutuhkan. Menma membutuhkan Sasuke, dan Sasuke membutuhkan Menma. Itulah yang ia yakini.

"Jadi akan kemana kita sekarang?" tanya Menma tanpa memandang Naruto.

"Menemui keluargamu yang lain." jawab Naruto.

"Keluargaku yang lain?" Menma membeo. Entah kenapa ia mulai berkeringat.

"Dengan saudara-saudaramu." balas Naruto sambil tersenyum penuh arti.

.

Hampir lewat tengah malam saat mereka sampai di sebuah hotel berbintang dekat kantor hokage. Awalnya Menma berfikir bahwa ia akan dibawa ke kediaman Hyuuga. Namun Naruto berkata bahwa ia sebenarnya tadi sebelum ke rumah Sasuke ia ada rapat dewan yang mengharuskannya menginap di hotel. Anak-anaknya datang untuk menemaninya. Pada bagian ini Menma bertanya-tanya, apa ia juga termasuk?

Menma mengedarkan pandangannya setelah turun dari mobil, mengamati suasana. Seumur hidupnya ia tak pernah pergi ke hotel. Bukan karena ia hidup di bawah garis kemiskinan, tapi karena ia memang tak memiliki tujuan untuk pergi ke tempat seperti ini. Perjalanannya ke Konoha kali ini pun mengharuskannya menginap di motel, untuk penghematan. Ngomong-ngomong soal perjalanannya, ia jadi teringat dengan kedua temannya. Ia mengira-ngira apakah Sora dan Kon telah menyadari ketiadaannya. Lalu alasan apa yang harus ia berikan.

"Ayo!" kata Naruto membuyarkan lamunan Menma, tidak memberikannya waktu untuk berfikir lama. Pria itu membimbing anaknya ke kamar yang ia sewa dengan langkah yang tegap, penuh percaya diri dan hati yang sumringah. Beberapa pegawai maupun pengunjung memberi salam hormat saat mereka berpapasan. Menma hanya bisa mengikuti Naruto dengan langkah yang kikuk.

Mereka berhenti di depan sebuah kamar di lantai enam. Seorang penjaga berpakaian shinobi membukakan pintu. Naruto menoleh kearah Menma sambil tersenyum, lalu membimbingnya masuk. Hal pertama yang menarik perhatian Menma adalah seorang anak laki-laki yang duduk di tepi ranjang sambil memainkan laptop, disebelahnya ada seorang anak kecil yang tertidur sambil mendengkur. Kedua kaki dan tangannya terlentang seperti kue jahe. Anak laki-laki tadi menoleh, ia menatap pada orang-orang yang baru datang. Pada Naruto kemudian pada Menma, lalu mengernyit penuh keheranan.

"Siapa dia?" tanya anak itu, tanpa basa-basi. Naruto bahkan belum sampai di depannya. Si ayah tak langsung menjawab, ia duduk di sebelahnya lalu mengacak rambutnya pelan. Membiarkan Menma berdiri tak nyaman tiga meter dari mereka.

Anak itu mengabaikan Naruto yang merangkak mencium si anak kecil, pandangannya terjaga pada Menma yang berdiri grogi. Tatapannya tak bersahabat, penuh intimidasi pada sekujur tubuhnya. Mengamati dengan jeli. Dari sudut pandangnya ia bisa melihat anak itu yang terlihat sama dengan Naruto. Seperti foto copy yang buram. Karena Naruto adalah yang asli, dan memang benar si ayah terlihat lebih tampan. Anak itu memiliki tubuh yang lebih besar dibandingkan dirinya, ia juga sepertinya terlihat lebih tinggi. Mungkin usia mereka berbeda sedikit. Menma berasumsi bahwa anak itu adalah kakaknya.

"Ayah, siapa dia?" anak itu bertanya lagi. Naruto semakin tersenyum. Namun tetap membisu, lalu turun dari ranjang, berjalan kearah Menma dan menggandengnya untuk maju mendekat. Si anak dewasa hanya mengamati penuh keheranan.

Naruto menghentikan langkah mereka di depan anak yang memanggilnya ayah. Lalu berkata dengan penuh kebanggaan.

"Boruto, perkenalkan ini Menma. Dia adalah adikmu." kata Naruto.

Semua membisu. Suasana terasa begitu berat bagi Menma, tapi terasa hangat bagi Naruto. Pria itu sepertinya tak paham pada suasana.

Boruto meletakkan laptopnya, lalu menatap dua pria yang berdiri di depannya.

"Bawa dia pergi lagi ayah. Aku tidak butuh adik pungutan untuk mengurus Hima." kata Boruto. Menma sungguh kaget. Jawaban yang tak terduga itu sangatlah tajam. Nadanya tak bersahabat, sangat meremehkan. Sebetulnya ia telah memperkirakan ketidak terimaan keluarga tirinya, namun ia tak menyangka bahwa ia ditolak dengan hina'an.

"Jaga bicaramu, Boruto! Menma adalah anak kandungku. Adik tirimu. Jangan mengumpamakannya seperti barang yang bisa dipakai dan dibuang." balas Naruto menghardik anak sulungnya.

"Jadi kau bermain api di belakang ibu dan mengakuinya padaku, begitu?" jawab Boruto, nada suaranya telah naik tapi belum berteriak. Menma semakin tak nyaman di tempatnya berdiri, matanya bergerak-gerak kekanan-kekiri seperti ingin berlari.

"Aku tidak akan menjelaskan apapun pada orang yang terbakar amarah. Mau tidak mau Menma adalah adikmu, terima kenyataan itu. Jika kau tidak mau berbagi ranjang dengannya, aku akan menyewakan kamar sendiri untuknya. Tapi sebaiknya kau mulai belajar untuk membiasakan diri menjadi kakak yang baik untuknya, anak muda." kata Naruto penuh ketegasan, namun tak terlihat marah. Benar-benar seorang pria yang jantan. Ia hendak akan dibawa pergi lagi namun terhenti saat Boruto kembali berbicara.

"Aku tidak tahu ia lahir darimana tapi aku tidak akan pernah sudi menyebutnya adikku. Dan jika kalian memaksa, aku sendiri yang akan menyingkirkannya. "

"Aku tidak akan membiarkanmu."

"Kau tidak akan bisa mencegahku."

"Kau mengancam ayahmu?"

"Tidak. Hanya ingin mengingatkan bahwa aku adalah anakmu. Dan ini sudah terlalu larut untuk memulai keributan." kata Boruto. Setelah berbicara seperti itu ia beranjak kearah pintu. Namun langkahnya tercegah saat Naruto membalasnya.

"Dia anak Sasuke."

Boruto langsung berbalik, matanya langsung mengunci pada Menma. Mereka bertatapan sebentar, sebelum si adik melepaskan pandangannya. Ia bisa melihat kebencian yang seperti tak berujung.

"Jadi ini biang keroknya? Pantas ayahku begitu membelamu. Ternyata kau anak si Uchiha." kata Boruto dengan sengak sambil berjalan kearahnya.

"Jaga bicaramu, Boruto! Aku tidak mendidikmu seperti itu."

"Memang kau mendidikku seperti apa? Bukankah selama ini kau menghabiskan waktumu untuk bekerja dan mencari selingkuhanmu itu? Sekarang yang kau dapatkan malah lebih. Bukan hanya gigolo tapi jug-"

"PLAK!"

Sungguh Menma tak mampu melihat pemandangan seperti ini. Kedatangannya ternyata benar-benar menimbulkan kekacauan. Selama ia menjadi anak Sasuke, tak pernah sekalipun ia dikasari. Namun sepertinya berbeda dari potret keluarga ayahnya. Mereka terlihat tak bahagia.

Keributan itu mengusik tidur satu-satunya orang disana. Anak kecil itu terbangun, mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Ia perempuan, usinya mungkin sekitar sepuluh tahun. Saat ia melihat Naruto kedua tangannya menggapai dengan jari-jari yang dibuat membuka menutup seperti memainkan sesuatu. Lidahnya menjulur, air liurnya menetes melalui sela-sela bibirnya. Raut wajahnya terlihat seperti anak linglung. Menma bertanya-tanya apa anak itu mengidap sebuah penyakit.

"A-aiah." panggil anak tersebut, namun tak mampu meluluhkan hati yang penuh amarah.

"Aku sebaiknya pergi." kata Menma sambil melangkah cepat kearah pintu. Ia sudah tidak tahan lagi berada di tengah kekacauan.

"Tidak. Tunggu Menma." kata Naruto sambil berlari mengejar Menma, mengabaikan panggilan si anak kecil yang seperti ingin menangis, juga Boruto yang tetap mematung.

.

Menma baru berjalan dua puluh tiga langkah dari kamar saat Naruto mampu mencapainya. Pria itu mencekal lengannya untuk memaksanya berbalik.

"Jangan cegah aku!" kata Menma dengan keras. Kilatan amarah terlihat dari kedua matanya.

"Jangan seperti ini!" kata Naruto lembut.

"Jangan seperti ini katamu? Yang seperti apa? Aku dan papaku dihina, apa kau tidak sadar?"

"Kakakmu hanya belum siap. Ini terlalu tiba-tiba untuknya." kata Naruto menenangkan.

"Dia bukan kakakku. Dia tidak sudi memiliki adik seperti aku, dan aku juga tidak sudi memiliki saudara seperti dia," kata Menma " Kau bilang dia bersikap seperti itu karena ini terlalu tiba-tiba untuknya, memangnya ini juga tidak terlalu tiba-tiba untukku? Aku baru tiba di Konoha tadi siang untuk mencari kebenaran keluargaku, lalu malamnya aku dihadapkan pada ayah kandungku. Dan sekarang aku harus menerima penghinaan dari saudaraku sendiri atas kenyataan yang bahkan tidak pernah aku harapkan. Katakan itu padanya kalau kau memintaku untuk memakluminya." kata Menma penuh emosi. Naruto lantas memeluk putranya tersebut, mencoba berbagi rasa.

"Aku tahu kau anak yang baik, Boruto sebenarnya juga anak yang baik. Kalian sama-sama belum siap menghadapi ini. Tapi Menma, dia kakakmu, dan kalian bersaudara. Cobalah untuk saling memahami." kata Naruto " Aku akan berbicara padanya. Tapi kumohon, kembalilah. Demi aku, demi ayahmu ini." kata Naruto lagi. Menma kemudian melepas pelukannya.

"Aku tidak bisa. Ini bukan waktu yang tepat."

"Jadi kau akan kembali lagi nanti?"

"Iya, mungkin. Entahlah. Aku harus menenangkan diriku, baru aku bisa menghadapi saudara-saudaraku." kata Menma sambil mengusap wajahnya. Naruto bisa melihat jejak air mata yang telah dihapus.

"Baiklah. Aku menghargai keputusanmu asalkan ini bukan pertemuan terakhir kita. Tapi akan kemana kau sekarang?"

"Aku akan kembali ke motel. Aku kemari bersama teman-temanku. Mereka mungkin sedang mencari ku sekarang."

"Aku akan menyuruh orang untuk mengantarmu."

"Tidak perlu. Aku bisa naik taksi." kata Menma menolak tawaran ayahnya.

"Ini sudah terlalu malam untuk anak seusiamu bepergian sendirian. Lagipula kau juga belum mengenal Konoha. Ada banyak kejahatan dan kau bisa tersesat. Menurutlah padaku." kata Naruto tegas.

"Oke, you win." balas Menma pasrah. Ia telah terlalu lelah untuk menanggapi apapun itu yang keluar dari mulut ayahnya.

"Berikan ponselmu!"

"Untuk apa?"

"Sudah, berikan saja!"

Menma kebingungan, tapi tetap melakukan apa yang diminta ayahnya. Ia merogoh ponsel dari saku celananya dan memberikannya pada Naruto. Kemudian pria itu menekan beberapa tombol, lalu melakukan panggilan pada ponselnya sendiri. Sekarang Menma mengerti.

"Nanti ayah akan menghubungimu, dan jangan mengganti nomormu!" kata Naruto tegas. Menma hanya menggumam untuk menanggapinya. Ia tak ingin membantah.

.

Naruto melihat sulungnya sedang memangku adiknya sambil mengelap air matanya saat ia masuk. Pria itu kasihan melihat mereka berdua. Si adik yang menyadari kehadiran ayahnya langsung berhambur memeluk sambil menangis.

"Aiah~"

"Cup! Cup!"

Naruto menggendong anak itu sambil mengusap rambutnya halus, mencoba menenangkannya. Boruto tak melihat sedikitpun. Ia tetap meratap entah pada apa. Mengabaikan keberadaan ayahnya. Juga canda yang sesekali ia dengar. Ia bisa merasakan ayahnya menidurkan adiknya ke ranjang, lalu ikut naik untuk memeluknya. Mereka tetap berceloteh. Itu adalah trik dari ayahnya untuk membuat sang adik kelelahan agar ia cepat tertidur. Dan ia masih menunggu dengan sabar. Sesabar sang ayah yang menanggapi sang adik.

" Let me apologize to begin with

Let me apologize for what I'm about to say

But trying to be genuine was harder than it seemed

And somehow I got caught up in between."

Adiknya selalu meminta dinyanyikan sambil diusap kepalanya lembut menjelang tidur. Boruto paham betul hal itu, dan ayahnya sedang memulai ritualnya.

" Let me apologize to begin with

Let me apologize for what I'm about to say

But trying to be someone else was harder than it seemed

And somehow I got caught up in between."

Tapi tidak. Sesungguhnya ayahnya itu bukan hanya sedang mencoba menidurkan adiknya, namun ia juga sedang curhat. Suaranya lirih, lembut menyapa telinganya. Ia tahu lagi ini. Dibawakan oleh band yang sangat ia favoritkan. Dan ayahnyalah yang mengenalkan band itu padanya. Ia ikut meresapi lagunya, lalu pelan mulutnya ikut bernyanyi.

" Between my pride and my promise

Between my lies and how the truth gets in the way

The things I want to say to you get lost before they come

The only thing that's worse than one is none

The only thing that's worse than one is none."

" And I cannot explain to you

And anything I say or do or plan

Fear is not afraid of you

But guilt's a language you can understand

I cannot explain to you

And anything I say or do

I hope the actions speak the words they can."

Boruto menghentikan nyanyiannya sambil menahan nafas. Ia sadar ia sedang menangis sekarang. Namun ia masih mendengar suara ayahnya di antara dengkuran adiknya.

" For my pride and my promise

For my lies and how the truth gets in the way

The things I want to say to you get lost before they come

The only thing that's worse than one is

Pride and my promise

Between my lies and how the truth gets in the way

The things I want to say to you get lost before they come

The only thing that's worse than one is none

The only thing that's worse than one is none

The only thing that's worse than one is none."

"Maafkan ayah, Boruto! Ayah tak bisa mencintai ibu kalian. Ayah tak bisa memaksakan diri ayah lebih dari ini. Ayah tak bisa mencintai orang lain selain Sasuke. Ayah terlalu mencintainya. Maafkan ayah, sungguh maafkan ayah."

Lagu mereka berhenti, namun tangisan mereka tak kunjung berhenti. Hati mereka sama-sama sakit pada apa yang tak mampu mereka jelaskan.

"Just love your kids then." Sebuah kalimat yang sungguh menyakitkan. Sesuatu yang seharusnya bisa mengubah mereka. Bisa mengubah keluarganya. Namun Naruto hanyalah seorang pria. Ia tak bisa menuruti kehendak semua orang. Ia tak dilahirkan untuk itu. Dan Boruto tak bisa menggali hal itu. Ia hanya tahu keluarga ini harus utuh. Ego yang sama-sama tak mampu mereka bakar. Naruto telah menahannya terlalu lama, anaknya telah terbiasa melepaskannya bebas. Sebebas langkahnya saat keluar kamar. Meninggalkan ayahnya yang sama tersedu dengan dirinya.

Terlalu banyak hal yang menyakitkan hari ini.

Naruto. Boruto. Dan Menma. Mari kita biarkan mereka sama-sama meratap.

.

Begitulah!

Seorang yang bijak berkata, "Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup untukmu, maka pintu yang lain akan terbuka."

Berarti jika dibalik, ketika kau mendapatkan satu kebahagiaan maka kebahagiaan lain belum tentu mengikutimu. Betul?

Namun orang bijak lainnya berkata, "Sebagian manusia mungkin diciptakan untuk menjadi serakah. Namun jangan harap keserakahan akan membawa kebaikan." Tapi Menma kan tak sedang mencoba menjadi serakah dengan berusaha menguasai ayahnya sendiri. Jadi pepatah yang kedua tak cocok untuknya. Tapi kalau dikaitkan dengan yang pertama, berarti Menma sedang ditimpa kesialan dong? Rasa-rasanya juga tak cocok. Menma ke Konoha dengan membawa niat baik. Ingin mencari jati dirinya dan mencari keluarganya yang mungkin hilang. Tanpa bermaksud merebutnya dari keluarganya yang lain. Bukankah (katanya) sebuah niat baik akan membawa kebaikan pula? Jadi kalau dikatakan sial rasanya tidak bisa diterima. Itulah yang Menma pikirkan.

Ternyata ia terlalu meratapi nasibnya sampai kebablasan. Karena sesungguhnya cerita ini belum selesai.

Ketika seseorang dilanda kebingungan, ia pasti tak doyan makan. Menma juga demikian. Ia kebingungan meratapi nasibnya, sebingung kedua kawannya yang meratapi dirinya.

Kon dan Sora saling melempar pandangan tanya, berharap mendapatkan jawaban. Namun tidak akan, mereka sama-sama melempar tanya. Apa yang bisa kau harapkan pada orang yang sama-sama tak memiliki pengetahuan? Yang ada kau hanya akan berakhir menjadi Si Tukang Prasangka. Atau yang lebih buruk menjadi Si Tukang Gosip. Kecuali jika kau menanyakannya pada yang bersangkutan langsung. Kon lebih peka dari Sora, meski nilai matematikanya tak lebih bagus. Setidaknya ia lebih tahu keadaan, apa yang harus ia lakukan.

"Bro, makanlah!" ucapnya kalem sambil menyodorkan sandwich yang ia pesan sebelum kedua temannya bangun.

Kon bertanya pada saat yang tepat. Menma telah berada di kondisi yang lebih 'sadar', cukup sadar untuk menangkap perhatian temannya. Meski ia tak memberi respon yang bagus. Ia hanya menghela nafasnya, lalu menolak temannya dengan halus.

"Aku tak lapar. Kau makan saja." katanya. Kon dan Sora semakin kebingungan. Yang kemarin mereka lihat adalah Menma yang bersemangat, tapi hari ini ia seperti orang yang mati tak mampu, hidup pun seperti lampu. Kadang terang, kadang buram. Kadang bahkan mati. Sesuai bagaimana manusia yang mengatur dirinya. Sora yang tak lebih peka hanya bisa ikut meratap, ikut larut dalam kebingungan yang masih ia bingungkan. Tapi Kon tidak suka ini. Ia tidak suka punya teman seperti ini. Terutama laki-laki.

"Menma, kami tahu kau sedang ada masalah. Kau bisa berbagi apapun pada kami. Karena kita bukan hanya sahabat, kita juga saudara. Kau ingat hal itu, kan?" ucap Kon sabar. Menma hanya berdecak menanggapi sambil melirik malas padanya. Ternyata Kon tak terlalu bisa membaca situasi, Menma tak cukup sadar untuk bisa diajak komunikasi dengan baik. Kon masih bermaksud untuk mencecar namun urung ketika pintu kamar motel mereka diketuk. Sora yang beranjak membukakan pintu.

Ada lima pria di luar kamar mereka. Gerombolan remaja. Empat di antaranya lebih tinggi darinya, yang seorang lagi mungkin hanya setinggi hidungnya. Tubuh mereka tegap berotot, namun masih wajar untuk anak yang berada di masa pubertas. Dan yang mengesalkan adalah dengan tidak sopannya mereka menyerobot masuk tanpa santun.

"What the hell, men!" Sora berkata keras. Namun tak cukup keras menghentikan mereka. Kon dan Menma juga langsung sigap, menghadap pada tamu yang kurang ajar.

Kon berdiri di sebelah Menma, ia tahu mereka bukan orang-orang baik. Tapi Menma lebih tahu. Ia tahu siapa mereka, dan apa mau mereka. Seseorang yang terlihat paling angkuh di antara mereka menghampiri Menma, lalu mencengkeram kerah bajunya sambil mendorongnya menabrak dinding. Kon dan Sora yang melihat temannya dalam bahaya hendak menolong, namun gagal saat mereka lebih dulu di sergap oleh dua orang lainnya.

"Hei, lepaskan! Apa mau kalian, brengsek!" teriak Kon berang. Ia tidak suka ada yang mengganggu teman-temannya. Namun semakin mereka meraung untuk lepas, semakin kuat mereka terjerat. Kon sadar, mereka bukan hanya kalah jumlah tapi juga kalah kuat.

Berbeda dengan Kon dan Sora yang terlihat panik, Menma justru begitu tenang. Meski tak menampik ia juga terlihat kesal.

"Aku tidak tahu apa motif ayahmu, untuk apa ia mengirimmu kemari. Tapi aku hanya akan mengatakannya sekali jadi dengarkan baik-baik! Kalau kau ingin teman-temanmu selamat, pergilah hari ini juga, jauh-jauh dari sini. Jangan pernah kembali dan lupakan tentang ayahku. Jangan pernah kalian berharap untuk bisa merusak keluarga kami. Jangan pernah!" kata Boruto penuh kebencian. Menma tak gentar, ia menatap Boruto tak kalah benci.

"Dan kau juga dengarkan ini baik-baik, kau tak perlu cemas pada aku dan papaku karena kami tidak tumbuh dalam kelicikan. Kami tidak tumbuh dalam kenelangsaan. Kau tidak akan mendapati keluargamu semakin rusak oleh tangan lain. Tangan kalianlah yang akan merusak diri kalian sendiri."

"Bangsat! Kau mau mengatakan kami keluarga yang busuk, huh?" bentak Boruto semakin marah.

"Aku tak bisa sedikitpun melihat kebaikan di dalam diri kalian."

BUGH!

"FUCK YOU!" Kon berteriak melihat temannya jatuh. Ia menyodok perut orang yang ada di belakangnya, lalu berkelit meloloskan diri. Belum sempat ia menjatuhkan tinjunya pada Boruto, dua orang yang lainnya langsung menyergapnya, lalu memukulinya tanpa ampun. Di ikuti orang ketiga, Menma langsung kalap. Ia menerjang orang-orang tersebut, bermaksud menyelamatkan temannya. Tapi Boruto berhasil memisahnya, kemudian memukulinya seorang diri. Menma menyesal ia bukan shinobi, atau setidaknya belajar sedikit ilmu bela diri. Di antara rasa sakit yang terus ia coba tahan, ia melihat Sora yang daritadi tidak berani melawan ikut dipukuli.

Tubuh mereka tak sampai babak belur, Boruto masih meninggalkan sedikit kebaikan. Namun tetap saja, ngilu serasa di seluruh tubuh mereka. Ini hanya sebagai peringatan pada Menma bahwa anak itu tak main-main.

"Ingat betul-betul perkataanku." katanya sambil berlalu. Meninggalkan kekacauan, rasa sakit, dan penghinaan yang dalam.

"ARGGGHH!" Kon meraung penuh amarah sambil meninju udara. Rasanya ia seperti ditelanjangi. Sora meringis kesakitan, dan sedikit sesenggukan. Menma melihat pada teman-temannya. Pada kekacauan yang menimpa mereka. Harga diri mereka sebagai pria serasa lenyap.

.

To Be Continued.

Sebenarnya saya bermaksud mengupdate cerita ini pada hari ulang tahun Sasuke nanti. Tapi hari ini adalah ulang tahun kakak saya. Bukan, saya tidak bermaksud menjadikan ff ini sebagai hadiah. Melainkan saya memang memiliki komitmen untuk mengupdate cerita pada tanggal-tanggal tertentu.

Lalu, karakter Sali di sini terinspirasi oleh karakter Dill Harris dari novel To Kill A Mockingbird karya Harper Lee. Sepintas tentang novel tersebut, novel ini dianggap sebagai novel terbaik sepanjang masa dan sebagian besar orang mengatakan bahwa itu adalah bacaan yang harus Anda baca sebelum Anda mati. Menurut saya tak harus sewajib itu. Tapi percayalah, ketika Anda memutuskan untuk membaca novel ini, ini adalah bacaan yang memang Anda cari. Pada Anda yang suka membaca atau tidak, novel ini akan memikat Anda seumur hidup. Saya sangat merekomendasikan Anda membaca novel ini. Cobalah untuk membacanya.

Dan lagi, karena ini masih suasana lebaran, saya ingin mengucapkan maaf atas semua kesalahan yang saya sengaja maupun tidak. Termasuk kesalahan yang menurut saya bukan kesalahan.

Terima kasih.