Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto
In The End © Linkin Park
Rated : M
Warning : Yaoi. Narusasu. Implisit Lemon. OOC. OC. Typos. M-PREG
.
LOVE ACTUALLY
Chapter 1 : In the end, it doesn't even matter
.
I've put my trust in you
Push as far as I can go
For all this there's only one thing
You should know
.
Naruto lebih dari sahabat terbaiknya, dia juga cinta pertamanya. Orang yang terlampau peduli padanya, hingga rela melawan siapapun demi membawanya kembali kedesa. Satu-satunya pembela yang membuatnya diizinkan untuk tinggal dirumahnya kembali, setelah pelariannya sekian tahun yang menjadikannya pengkhianat desa. Namun hari ini ia bisa pulang, meski diiringi tatapan benci oleh penduduk desa dan teman-teman lamanya. Ia bisa berdiri lagi dilantai ini, diruang keluarga tempatnya menghabiskan waktu bersama keluarganya dulu. Merasakan kehangatan, yang perlahan mendingin oleh waktu, juga tragedi. Ia bisa berbaring diranjang ini lagi, didalam kamarnya yang seolah mengecil, atau dirinya yang telah tumbuh dewasa. Ia bisa mengunjungi 'rumah' keluarganya, orang tuanya, kapanpun ia ingin. Semuanya berkat dia, Naruto. Sahabat, sekaligus orang yang baru ia sadari, sangat dikasihinya. Dan ketika Naruto memutuskan untuk tinggal bersamanya, Sasuke tak mampu menolak, namun juga tak mengizinkan. Ia hanya diam membiarkan teman kuningnya itu nyelonong kedalam rumahnya, kamarnya, sambil membawa barang-barang yang entah berapa koper. Anak itu bahkan membawa lemarinya, kulkasnya, dan semua benda yang ada diapartemennya. Menjejalkannya sembarangan, kesudut ruangan di rumah ini yang bisa dijangkau. Dan Sasuke hanya diam, bukan karena ia suka, tapi ia tahu hanya membuang terlalu banyak waktu dan tenaga jika melawan keinginan Naruto.
Meski begitu, ada banyak sisi positif Naruto tinggal bersamanya. Bukan hanya karena ia bisa terus berdekatan dengan gebetan, atau karena ia tak akan lagi kesepian, tapi juga karena Naruto sekarang benar-benar menjadi penopang hidupnya. Sasuke tidak diizinkan untuk bekerja dalam bidang apapun, bahkan menjadi anbu yang jelas-jelas pasti membutuhkan kemampuannya. Ia hidup dari menanam beberapa sayuran dibelakang rumahnya, dulu saat kecil ia sering membantu ibunya berkebun, jadi ia mengerti sedikit hal soal ini. Tapi ia tidak bisa menjualnya, tak ada pedagang atau penduduk yang mau membeli sayurannya, meski barangnya adalah yang terbaik. Penduduk desa seperti mengasingkannya, meski 'mengizinkannya' kembali. Jadilah Naruto yang selama ini mencukupi kebutuhannya, pria itu juga sering menghiburnya agar tidak begitu mempedulikan omongan penduduk desa, karena cukuplah Naruto, juga Sakura dan Kakashi, dan sedikit temannya yang lain yang bersedia menerimanya, menjadi kebahagiaannya. Lebih baik memiliki sedikit teman, tapi memiliki ketulusan. Daripada seribu kawan, tapi bermuka dua semua.
" Tetaplah disampingku!".
Seperti itulah katanya. Sasuke telah meletakkan kepercayaannya pada Naruto. Bertahun-tahun hidup berdua, hingga mereka menjadi pria dewasa. Setiap manusia pada usia tertentu akan memutuskan untuk menikah, membangun rumah tangganya sendiri. Sasuke bukan tipe orang yang akan memikirkan hal semacam itu, hingga Naruto mengatakannya.
" Menikahlah denganku"
Sasuke bukannya tidak bahagia, ia sangat bahagia malah. Ia hanya tidak tahu bagaimana berekspresi, bagaimana harus merespon, namun ia tahu ia tak memiliki alasan untuk menolak, karena kebahagiaannya terasa lengkap.
Mereka menikah secara diam-diam, digunung Myoboku, tanpa pendeta yang mengesahkan janji mereka. Hanya disaksikan oleh beberapa ekor katak, juga Ogama Sennin yang menjadi saksi. Tidak ada catatan sipil, tak seorang pun penduduk didesa yang tahu. Pernikahan mereka seperti sebuah jantung yang membuat mereka hidup, namun tak terlihat.
Sasuke telah terbiasa dalam posisi ini, menyodorkan bokongnya untuk dieksploitasi oleh dominannya. Ia tidak pernah merasa dipecundangi, karena ia terlalu mencintai pria diatasnya ini. Baginya ini adalah bukti cinta, bagian yang harus dilakukannya untuk mempererat ikatan mereka, meski mati-matian. Karena semenjak Naruto diangkat menjadi hokage, ia sadar pria itu tidak sepenuhnya menjadi miliknya.
.
Naruto akan pulang malam lagi, Sasuke sudah terlanjur terbiasa dengan hal itu. Meski berusaha untuk terus menunggu, nyatanya ia selalu kalah oleh waktu. Jatuh tertidur dan terbangun saat Naruto tak lagi disampingnya. Ia tahu suaminya itu selalu memeluknya disaat tidur. Mereka bukan lagi jarang bertemu, rasanya mereka seperti hidup sendiri-sendiri. Perasaan ini terasa familiar untuknya, kehampaan yang tak berujung. Sasuke tidak tahu sampai kapan keadaan ini akan bertahan, namun ia bertekad untuk mengusirnya malam ini. Ia sudah tidur lebih dari cukup pagi tadi hingga siang, lalu sore hingga petang. Ia bangun hanya untuk mandi dan makan, lalu tidur lagi. Dan ia sudah bangun lagi dari dua jam yang lalu. Ia tidak tahu jam berapa Naruto biasanya pulang, karena ia memang tidak pernah menunggu sampai saat itu. Jadi ia tetap bersabar, menata diri sebaik mungkin. Ia tidak mau terlihat payah didepan Naruto. Dan saat akhirnya pintu depan terbuka, juga suara lirih penuh lelah, Sasuke seperti tak bisa menahan kebahagiaan. Tetap bertahan ditempatnya duduk, menunggu pria itu masuk keruang tv depan kamar mereka, berpura-pura tak peduli meski hatinya tengah berpesta. Ia sangat merindukan suaminya. Dan pria itu disana, berdiri didepannya yang menatapnya agak kaget, wajahnya terlihat lelah luar biasa. Ia tak memakai jubah hokagenya, hanya kemeja orange lengan panjang dan celana hitam yang biasa ia pakai.
" Okaeri". Sasuke berkata lirih, menjawab salam suaminya saat membuka pintu depan tadi.
" Kenapa belum tidur?". Naruto bertanya sambil berjalan kearahnya, juga senyumnya yang sangat dirindukannya.
Sasuke tidak akan menjawab pertanyaannya ini, gengsinya adalah setinggi-tinggi gengsi. Jadi ia diam saja saat Naruto telah duduk disebelahnya, mengusap rambutnya lembut, lalu memberikannya ciuman. Dibagian ini Sasuke tak mampu menahan diri untuk tidak memperdalamnya. Ada rasa ramen, apa pria ini mampir ke Ichiraku sebelum pulang? Atau ia makan dikantor hokage? Apa masakannya akan berakhir ke tong sampah lagi? Ahh, Sasuke tidak mau ambil pusing, yang penting kehangatannya kembali.
.
Mereka belum juga menutup mata setelah sesi bercinta yang meski hanya dua jam, rasanya seperti dua ratus tahun. Kualitas waktu yang nyaris tak bisa mereka dapatkan. Sasuke menikmati setiap kecupan dipundaknya, menyamankan diri dipelukan sang suami. Tak ada yang ingin mengakhiri momen ini.
" Apa kau kesepian?"
" Hn"
" Ahaha, maaf. Aku terlalu fokus pada pekerjaanku, tapi aku tak ada maksud melupakanmu"
Sasuke percaya itu, ia telah mempercayai Naruto sepenuhnya. Pria itu tak mungkin mengkhianatinya.
" Aku berfikir untuk membelikanmu anjing, mungkin aku bisa meminta satu pada Kiba"
" Tidak perlu"
" Kau butuh teman saat aku tak ada"
" Aku tidak ingin peliharaan". Aku hanya ingin kau.
" Tapi kau pernah memelihara anjing saat kecil"
" Itu masa lalu"
" Tidak ada salahnya memelihara lagi"
" Kalau aku bilang tidak, ya tidak"
" Baiklah"
Naruto tidak punya kata untuk membantah. Sasuke mungkin terlihat lebih tenang, dan pendiam, tapi sebenarnya ia sama kerasnya dengan dirinya.
" Andai kita punya bayi?"
" Apa katamu?"
" Ahh, lupakan!"
Sasuke jelas mendengarnya, bukan hanya spontanitas biasa, ia bisa menangkap harapan yang besar melalui nada suaranya. Apa ini karena dirinya yang kesepian saat ditinggal sendiri dirumah, atau karena suaminya itu memang benar-benar menginginkan bayi?. Sasuke terlalu takut mencari jawaban, karena ia tidak akan pernah bisa memberikannya. Ia sadar, bukan hanya dirinya yang kesepian disini, bukan hanya dirinya yang merasa hampa. Tapi mereka merasakan hal yang sama, pada konteks yang berbeda. Jadi ia mencoba membuat dirinya seberguna mungkin. Ia merubah pola tidurnya hanya agar tetap terjaga saat Naruto pulang, mengisi kekosongan diantara mereka yang Sasuke pikir akan hilang setelah mereka bisa menghabiskan waktu setiap hari. Dan ia merasa berhasil karena Naruto tak pernah absen menyetubuhinya setiap malam. Ia tak memejamkan mata sedetikpun selama Naruto berada disampingnya. Ia akan mulai memasak, mempersiapkan kebutuhan Naruto setelah 'melayaninya'. Memastikan pria itu mandi dengannya, memakan sarapannya, mengantarnya kemuka pintu saat hendak bekerja. Lalu tidur seperti kelelawar. Sasuke pikir semuanya telah baik-baik saja. Tapi nyatanya ia salah. Malam itu Naruto pulang dengan raut wajah tiga kali lipat lebih lelah dari biasanya, juga sedikit kecemasan. Pria itu tak menyentuhnya bahkan setelah mereka sama-sama berbaring diranjang. Sasuke memakluminya, karena ia pikir suaminya itu butuh istirahat ekstra. Mereka saling diam, sampai Naruto memulai pembicaraan.
" Para tetua menyuruhku menikah" ucap Naruto terlalu tiba-tiba, membuat Sasuke emosi seketika, yang ditahannya sekuat mungkin.
" You did"
" Dengan seorang wanita".
Sasuke diam tak ingin menanggapi, namun tangannya mengepal erat penuh emosi.
" Mereka sudah mulai curiga soal kita, aku harus menikahi gadis pilihan mereka untuk membuktikan bahwa memang tidak apa-apa diantara kita. Kalau tidak mereka akan mengusirmu"
Cukup! Bagaimana mungkin Naruto bisa mengatakannya semudah itu?
" Mereka yang menyuruhmu menikah atau kau yang memang ingin menikah lagi?"
" Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan hal seperti itu?"
" Kau terlihat senang saat mengatakannya"
" Demi Tuhan, aku tidak ada maksud mengkhianatimu, Sasuke!"
" Itu hanya alasanmu saja agar kau bisa menikah lagi dengan wanita dan punya anak!"
" SASUKEE!".
Sasuke mematung ditempatnya. Tatapan dan bentakan yang penuh amarah, juga tangan besar yang hampir mendarat dipipinya. Sasuke paham sekarang, persetubuhan mereka selama ini bukan karena Naruto merindukannya, atau karena ingin mengikis waktu dengannya, mengembalikan kebersamaan yang terabaikan. Tapi karena pria itu berusaha untuk mendapatkan anak. Dan sekarang pria itu sadar, bahwa sekarang ia tidak akan pernah mendapatkan yang diinginkan dari lubangnya. Tangan itu perlahan mengepal, terjatuh disamping pemiliknya. Mata yang tadi begitu marah, perlahan melembut, menatap penuh sesal.
" Maafkan aku Sasuke, aku tidak bermaksud menyakitimu"
Sasuke menepis kasar tangan lain yang bermaksud membelainya, hatinya terlanjur gelap. Dengan emosi ia pergi dari rumah, menyelinap keluar melalui jendela, berlari sekencang mungkin, melompat melalui pohon dan rumah penduduk kearah hutan. Ia masih bisa mendengar suara Naruto meneriakkan namanya dari kejauhan, tapi tak mendapati pria itu mengejarnya.
Hingga ia berakhir disini. Duduk termenung didepan makam kakaknya yang berada ditengah hutan dekat perbatasan desa. Naruto yang diam-diam memindahkan makam Itachi disini yang awalnya ada disalah satu markas Akatsuki agar Sasuke bisa sering 'mengunjungi' kakaknya. Memikirkan pria itu membuatnya kembali emosi. Sasuke tahu hokage adalah perantara para tetua agar mereka bisa mengatur desa semau mereka. Naruto hanyalah alat disini, yang mencoba patuh pada perintah tuannya demi desa yang dicintainya. Tapi sepatuh apapun Naruto, tak mungkin pria itu bermaksud mengkhianatinya. Kecuali jika memang dia telah berpindah haluan. Tapi apa iya? Sasuke mengenal pria itu tidak setahun dua tahun. Ia mengenalnya selama ia hidup di dunia ini. Mereka bahkan telah 'diperkenalkan' saat pria itu masih berada didalam kandungan.
Sasuke mungkin orang yang naif, tapi ia bukan orang bodoh. Ia tahu mana yang harus dipercayainya. Karena pada dasarnya ia tipe orang yang sulit percaya, pengkhianatan telah mengajarinya banyak hal. Dan Naruto bukan termasuk didalamnya.
.
" Karena kau temanku!".
Anak kuning itu mengatakannya lagi. Berapa pukulan yang diberikannya, berapa banyak penolakannya, sepertinya tak satupun mempengaruhi 'teman' yang ngotot menjadi temannya. Rasanya seperti bicara dengan angin, membantah sampai nafas berbusa pun tak ada guna. Tapi yang Sasuke tak habis pikir adalah selalu itu alasan yang diberikan. Sasuke kesal, capek mendengarnya. Ia ingin mendengar alasan lain. Namun ia hanya remaja labil, gampang meluapkan emosi yang tak sebenarnya ia rasakan.
" Aku sudah memutuskan ikatan itu"
"Kalau begitu aku akan menyambungnya lagi"
" Kau pikir ini tali"
" Ini memang tali. Tali persahabatan yang mengikat kita. Ikatan yang sudah menjadi takdir kita"
" Bisakah kau memberi alasan yang lebih cerdas?"
Sasuke melihat lawannya yang berdiri di tebing didepannya itu menghela nafas.
" Baiklah. Semua ini karena aku ingin kau kembali pulang"
" Untuk apa?"
" Untuk mengembalikan apa yang seharusnya kembali"
" Kalau yang kau maksud itu aku, aku tak ingin kembali"
" Aku tidak percaya itu"
" Kenapa kau tidak mencoba memahami perasaanku?"
Itu adalah pertarungan terakhir mereka disana. Di Lembah Akhir, tempat leluhur mereka bertarung untuk yang terakhir. Sesuai dengan janji mereka bahwa pria tak butuh kata untuk saling memahami, mereka hanya butuh beradu pukulan untuk saling membaca isi hati. Dan setelah sekian tinju yang mendarat di sekujur tubuhnya, akhirnya Sasuke memahami perasaan Naruto. Pria itu memang menginginkannya, untuk tetap disampingnya. Sasuke mendapati dirinya tak memiliki bantahan untuk menolak pria itu lagi. Hari itulah, ia meletakkan kepercayaannya sepenuhnya pada Naruto.
.
" Tch"
Sasuke mendecih mengingat semua kenangan yang menjadi pertimbangannya. Ia tak menemukan satupun ingatan yang memberinya jawaban bahwa Naruto barangkali sedang mencoba mengkhianatinya. Jadi Sasuke memutuskan untuk bertahan, demi kepercayaan yang sulit didapatkannya. Namun ternyata tak sesimpel itu, ia tak sanggup menghadiri pernikahan suami rahasianya dengan Hinata, kunoichi dari bangsawan terhormat.
.
Naruto sebenarnya sedih mengambil keputusan ini, tapi ia bukan orang yang munafik. Ia bukan tipe orang yang bisa dengan mudah mengingkari perasaannya. Setiap manusia memiliki sisi picik dalam dirinya. Bohong jika Sasuke tak memberinya kebahagiaan, namun benar ia merasa tak lengkap. Ada bagian dari diri Naruto yang kurang, ia merindukan apa yang menjadi keinginan banyak orang dalam sebuah pernikahan. Keturunan, itulah yang sering mengusik Naruto beberapa bulan terakhir. Namun ia tak sampai hati jika harus mengkhianati belahan jiwanya, Sasuke sudah seperti jantungnya. Satu-satunya hal yang membuatnya hidup. Tapi apalah daya, akhirnya ia kalah oleh nafsu. Naruto tak berfikir dua kali saat Sasuke akhirnya mengatakan iya untuk pernikahan keduanya. Pernikahan yang tidak didasari cinta, karena Naruto hanya tahu cinta itu Sasuke. Namun Naruto adalah pria jantan, wanita adalah amanah yang harus diperlakukan dengan baik, dan Hinata wanita yang baik. Ia menyayangi Hinata sebatas sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabnya, tak lebih. Ia hanya mencoba bersikap menjadi suami seharusnya.
Sasuke awalnya senang karena meski waktu yang diberikan kepadanya tak sebesar pada istri kedua, setidaknya Naruto tak mengingkari janjinya. Pria itu rajin mengunjunginya dua kali seminggu, agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dan bukan pada saat akhir pekan, karena itu waktu yang entah didasari oleh apa, sepertinya menjadi hak Hinata sepenuhnya. Sasuke hanya bisa mengalah, awalnya.
Bulan pertama kedua, masih berjalan seperti itu. Hingga bulan ketiga saat Sasuke mendengar bahwa Hinata hamil, tentu saja anak Naruto. Seluruh Konoha menyambutnya penuh suka cita, hanya Sasuke yang menganggap itu bencana. Karena Naruto langsung mengingkari kepercayaannya. Jangankan mengunjungi sesekali, pria itu hanya menelponnya beberapa minggu sekali yang awalnya menanyai kabar, meminta maaf belum bisa mengunjunginya, lalu berakhir dengan curhatan bahwa ia sibuk mengurus pekerjaannya yang semakin ini itu. Belum lagi perhatiannya yang harus terus berpusat pada Hinata, karena wanita itu tengah hamil anak pertamanya. Naruto seperti membagi kebahagiaan dengannya, tidak sadar bahwa itu adalah siksaan batin bagi Sasuke. Ia sadar, ia telah kalah telak. Sasuke menyalahkan dirinya, menyalahkan takdir yang membawanya seperti ini. Menyalahkan hati yang menyuruhnya untuk percaya. Ia tak pernah menyesali keadaannya, namun ia berfikir mungkin segalanya akan lebih mudah jika ia perempuan. Akan lebih mudah jika ia bisa memiliki anak. Jadi ia mencoba peruntungannya, pasti ada yang bisa ia lakukan untuk membalik keadaan.
.
Ada dua ekor ular besar yang menghadangnya saat Sasuke sampai didepan gua Ryuchidou, tempat Hakuja Sennin berdiam. Kedua ular itu merayap melingkarinya, memberikan sambutan 'hangat'.
" Akhirnya setelah sekian lama kau menemukan alasan untuk kembali mengunjungi tempat ini, Sasuke"
" Ia tak memiliki alasan untuk kembali kemari. Ia bukan lagi bagian dari 'keluarga' ini. Perjanjiannya telah lama dibatalkan"
Sasuke terdiam ditempatnya berdiri, memerhatikan kedua ular itu mengintimidasinya. Namun ia sadar ia takkan diberikan jalan dengan mudah jika hanya membisu.
" Aku kemari untuk alasan itu"
" Kheh, kau ingin melakukan perjanjian lagi? Untuk apa?"
" Untuk apa itu bukan urusanmu"
" Sombong seperti biasanya. Daripada memberikanmu jalan, sebenarnya kami lebih suka memakanmu, jiwa yang diincar para iblis. Tapi iblis seperti kami takkan mampu melawanmu"
Ular naif, pikir Sasuke. Ia kembali melenggangkan langkahnya untuk masuk kedalam gua, ketujuannya yang semula setelah kedua ular itu menyingkir memberinya jalan. Meminta bantuan pada Hakuja Sennin untuk memperbaiki nasibnya. Dan disinilah ia sekarang, berdiri didepan seekor ular raksasa yang duduk santai melingkar diatas singgasananya, dengan cerutu sebesar pipa pengebor minyak, dan topi kebesaran para pertapa, dialah Hakuja Sennin. Salah satu hewan sennin yang terkuat. Sasuke pernah terikat perjanjian dengannya, dan ia kemari untuk mengulangi hal itu.
Pertapa itu tak memberikan ekspresi berarti saat salah satu 'anak emasnya' pulang. Ia sudah memperkirakan hal seperti ini akan terjadi, seorang yang pernah terikat perjanjian dengannya akan sulit menemukan jalan pulang. Itu adalah caranya untuk mendapatkan mangsa yang berkualitas. Dan Sasuke itu 'platinum', kualitas tertinggi.
" Aku tidak akan berbasa-basi. Aku kemari untuk meminta bantuanmu"
" Aku tak menerima tangan kosong"
" Kau akan mendapatkan apa yang kau mau"
" Kheh"
Hakuja Sennin itu menyeringai melihat betapa mudahnya mangsanya itu masuk kedalam permainannya. Sepertinya anak didepannya ini telah kehilangan akal.
" Katakan apa yang kau mau"
" Aku mau anak. Anak yang aku kandung sendiri dari kekasihku "
" Jadi kau menyesal dilahirkan sebagai laki-laki? Aku tidak tahu kalau Uchiha bisa serendah ini"
" Jangan membawa nama klanku! Percepat saja ini!"
" Pastikan kau tidak akan menyesal. Kuberi kau waktu sampai anakmu cukup siap untuk kau tinggalkan. Sepuluh tahun dari sekarang"
" Dua puluh lima"
" Kenapa kau berpikir aku sebaik itu?"
" Dua puluh tahun"
" Saat anakmu berusia tujuh belas tahun"
" Itu akan menjadi kado terburuk untuknya"
" Setuju atau tidak sama sekali"
" Kuterima itu"
" Nikmati sisa hidupmu sebaik mungkin, Uchiha Sasuke"
Sasuke melihat ular putih kecil seperti milik Orochimaru menyusup keluar melalui sisik sang pertapa, terus memanjang kearahnya, lalu memberinya gigitan kecil di perpotongan lehernya. Namun efeknya luar biasa. Tulangnya seperti dipisah secara paksa dengan dagingnya, sekujur tubuhnya mati rasa. Nafasnya semakin pendek-pendek, ia pikir ia akan mati saat ia menyerah pada rasa sakit yang ia dapatkan. Namun ternyata ia terbangun setelahnya, entah setelah berapa lama.
Ia terbangun di ranjangnya. Awalnya ia belum sadar pada apa yang terjadi, namun setelah melihat foto dirinya dan Naruto yang ada diatas meja samping ranjang, ia mengingat semuanya. Misinya.
.
" Datanglah malam ini!"
" Entahlah, Sasuke. Aku tidak tega membiarkan Hinata sendirian"
" Jadi kau tega membiarkanku sendirian?"
" Bukan begitu maksudku!"
" Lagipula istri tercintamu itu tidak sendirian. Ada keluarga besarnya yang akan selalu melindunginya"
" Jangan berkata seperti itu Sasuke. Aku juga mencintaimu"
" Kalau begitu buktikan! Kutunggu malam ini!"
Sasuke memutus sambungan, ia letakkan gagang telepon ditempatnya. Lalu pria itu merenung. Merenung pada rencananya. Rasanya seperti mengundi nasib. Ia tidak tahu ini akan berhasil atau tidak, namun ia sudah terlanjur memasang taruhan yang besar. Dan ia sangat berharap bahwa sekali ini saja para dewa yang telah ia khianati sudi berpihak padanya.
Sasuke mempersiapkan segala sesuatunya sebaik mungkin. Ia merasa begitu rapuh. Tak ada kekuatan yang bisa diandalkannya, kecuali Naruto. Hanya dia satu-satunya kekuatannya saat ini. Sasuke akan mempertahankan miliknya itu, dengan cara apapun. Jadi ia meminum 'obat kuat' yang dimintanya dari Sakura agar mampu mengimbangi chakra kyuubi Naruto nantinya. Ia tahu betul seperti apa 'kekuatan' suaminya tersebut saat bergulat.
Ia yakin Naruto akan datang, ia pasti datang. Dan seperti yang diperkirakannya, pria itu benar-benar datang. Tapi diluar dugaan, ia 'pulang' sangat awal. Ramen yang sedang dimasak Sasuke bahkan belum matang.
" Sasuke, tadaima"
Sasuke tak langsung menjawab, ia diam menatap suaminya itu sambil berdiri didepan kompor tempatnya memasak. Naruto kikuk ditatap seperti itu, ia sadar ia telah melakukan kesalahan fatal. Dan membayangkan perasaan Sasuke yang tersakiti adalah mimpi buruk baginya. Tapi memikirkan istri kedua saat ini juga membuatnya semakin berdosa. Ia seperti memakan buah simalakama. Bertahan dirumah suami sama saja membawa Sasuke ketiang gantungan, tapi jika bertahan dirumah sang istri seperti menyuruh Sasuke bunuh diri.
Sasuke sebenarnya sangat senang suaminya itu akhirnya pulang, tapi melihat wajahnya rasanya seperti membakar amarah. Ia ingin meluapkan kekesalannya, juga rindunya yang lebih besar. Jadi ia mencoba untuk mengalah lagi.
" Hn, okaeri. Akhirnya kau ingat untuk pulang kemari"
Sasuke berkata sarkastik. Naruto semakin menyesal, ia langkahkan kakinya mendekati pria tersebut. Memeluknya erat dari belakang saat Sasuke kembali pada pekerjaannya. Ia sebenarnya sangat merindukan pria ini. Tapi tanggung jawabnya bertambah sekarang. Tanggung jawab yang disaksikan banyak orang. Sasuke mungkin orang pertama yang ia nikahi, tapi statusnya seperti simpanan. Karena kenyataannya hubungan mereka tak terlihat, tak diakui. Berbeda dengan Hinata, semua orang berdoa untuk hubungan mereka. Entah keadilan untuk siapa ini. Yang jelas Naruto berada dalam posisi yang sulit.
" Sasuke, maafkan aku. Aku tak pernah bermaksud membuatmu seperti ini"
"..."
" Aku harus menjaga jarak denganmu. Kalau tidak mereka akan curiga, aku tidak mau mereka memisahkan kita. Aku tidak mau mereka menyakitimu"
"..."
" Aku tak pernah sekalipun berhenti memikirkanmu. Aku menyesal hanya sebatas itu yang mampu aku lakukan"
Sasuke paham itu. Antara dirinya, Hinata, dan posisi Naruto. Untuk tetap menjaga 'kebaikan' bersama dan seluruh penduduk desa, Sasuke harus menjadi bagian yang paling dirugikan. Tidak masalah, Sasuke sudah terbiasa dengan pengasingan. Dan ia tidak mau ambil pusing. Karena ia akan memberikan kebahagiaan bagi Naruto, malam ini. Harus malam ini.
" Makanlah"
Sasuke meletakkan ramen yang baru disiapkannya keatas meja.
" Ahh, maaf. Tapi Hinata sedang menungguku. Aku sudah mencoba menjelaskannya padamu tadi"
Sasuke membisu menatap suaminya. Jadi selama ini pria itu selalu pulang tepat waktu dirumah sang istri, dan melupakan keberadaan dirinya sebagai suami. Menikmati makan malam sebagai keluarga yang bahagia, mengabaikan Sasuke yang nelangsa.
" Hinata sedang hamil tua, permintaannya semakin banyak. Kandungannya juga lemah, aku tidak bisa mengabaikannya. Kuharap kau mengerti Sasuke. Aku berjanji akan sering-"
" Tinggallah!"
" Apa?"
" Tinggallah, untuk malam ini saja berikan hakku sebagai orang yang juga kau nikahi. Aku merindukanmu"
Kali ini Sasuke memohon, Naruto mengerti kepiluannya. Jadi pria itu menurutinya. Ia tidak sanggup lagi mengabaikan Sasuke, pria yang sangat dicintainya.
Mereka menghabiskan malam itu bersama. Bercinta seperti kuda, meluapkan kerinduan yang tak terbatas. Sasuke dengan senang hati terus membuka hatinya untuk cinta yang diluapkan Naruto, juga tubuhnya. Ia tidak ragu sedikitpun untuk menuruti permintaan 'eksperimen' suaminya tersebut yang memang selalu aneh-aneh diatas ranjang. Naruto terlihat sangat bersemangat menanamkan benihnya ditubuh Sasuke. Seolah lupa pada orang ketiga, pada sang istri yang juga sedang menunggunya pulang.
.
" Kau percaya padaku?"
" Hn"
" Aku tak pernah berhenti memikirkanmu"
" Hn"
" Aku berjanji akan lebih sering berkunjung meski hanya sebentar"
" Hn"
" Aku mencintaimu Sasuke"
" Hnn..." Aku juga mencintaimu.
Sasuke sudah terlanjur meletakkan kepercayaannya pada Naruto. Meski hatinya kembali kecewa. Karena kenyataannya Naruto tak sekalipun mengunjunginya setelah malam itu. Ia terus menunggu kepulangan suaminya, berharap pria itu menepati janji. Hingga sebulan, Sasuke sadar ia hamil. Akhirnya. Sasuke tak kuasa menahan kebahagiaannya, ia ingin mengatakan hal ini pada Naruto segera. Jadi ia tidak mau menunggu lagi, ia akan datang sendiri. Tepat saat diakhir pekan, ia pergi kerumah istri suaminya yang ada diklan Hyuuga. Sasuke mengabaikan pandangan orang-orang, hatinya terlalu bahagia untuk sekedar menaruh perhatian kepada mereka. Ia sebenarnya agak heran saat berpapasan dengan beberapa penduduk yang keluar dari kediaman Hyuuga, juga raut bahagia mereka. Sedikit ia mendengar pembicaraan orang-orang itu.
" Benar-benar pasangan yang serasi"
" Keluarga yang sempurna"
" Semoga dewa merestui hubungan mereka"
Begitu yang sedikit Sasuke bisa dengar. Namun ia mengabaikan, ia punya misi yang harus diselesaikannya. Ia masuk kerumah itu tanpa halangan berarti, penjaga yang berjaga didepan gerbang cukup ramah. Sepertinya mereka mempersilahkan siapapun yang berniat menamu, entah untuk apa. Sasuke bertemu Sakura yang berjalan pelan-pelan didepannya. Wanita itu menoleh kearahnya saat menyadari keberadaannya.
" Sasuke" sapa Sakura semangat sambil melambaikan tangan. Wanita itu kemudian menghampirinya, memeluknya sebentar lalu berjalan beriringan.
" Aku cukup terkejut kau juga datang, kupikir kau akan absen seperti saat pernikahan Naruto. Kalau tahu begini kan kita bisa jalan bersama dari rumah"
Sasuke mengabaikan perkataan Sakura. Ia diam memikirkan kenapa disini begitu ramai. Ada banyak temannya, juga beberapa penduduk desa yang berdatangan. Seolah sedang ada acara besar.
" Sasuke, aku senang akhirnya kau mau keluar rumah. Sesekali kau memang harus berjalan-jalan keluar. Kau butuh udara-"
" Apa sedang ada acara disini?" Sasuke berkata memotong kalimat Sakura.
" Lho, Sasuke tidak tahu?"
"..."
" Kalau begitu ada perlu apa kau kemari?"
"..."
" Ahh, keluarga Hyuuga mengadakan acara terbuka yang mengundang seluruh penduduk desa untuk merayakan tujuh bulan kehamilan Hinata. Kupikir kau kemari untuk ikut merayakannya juga, apa Sasuke ada perlu lain?"
Sasuke terkejut pada bagian ini. Jadi Naruto dan keluarga istrinya sedang merayakan kebahagiaan tanpa memberitahunya? Apa ia benar-benar tak penting lagi bagi Naruto? Biasanya pria itu selalu mengatakan hal apapun soal rumah tangganya dengan sang istri. Karena sebagai suami Sasuke juga berhak tahu agar dirinya tak merasa diasingkan. Tapi sebenarnya siapa yang mengasingkannya disini?
" Ahh, itu mereka! Naruto-kuun"
Naruto tak mendengar panggilan Sakura, atau melihat lambaian tangannya. Sasuke hanya diam mematung melihat wanita itu berjalan mendekati rekan tim mereka dulu, juga teman-temannya dan beberapa penduduk desa yang lain. Sasuke menutup aliran chakranya, keberadaannya tak akan bisa disadari oleh Naruto, atau Hinata, atau teman-teman shinobinya, apalagi penduduk desa. Keberadaannya tak terlihat, ditutupi oleh kebahagiaan Naruto yang mencium perut buncit istrinya, yang disambut tepukan riuh penuh kebahagiaan. Mengabaikan satu-satunya orang yang nelangsa. Tak ada satupun yang menyadari keberadaannya. Sasuke akhirnya membuka matanya, hatinya, pikirannya. Seperti terbangun dari tidur yang panjang, Sasuke sadar ia memang sudah kalah telak sejak awal pernikahan mereka. Ikatan yang memang tak mungkin diteruskan. Sasuke pergi hari itu juga, meninggalkan Konoha tanpa sepengetahuan seorangpun. Karena bahkan keberadaannya tak diketahui, sambil memikul kekalahan dan kebahagiaan diperutnya. Ya, setidaknya masih ada alasan baginya untuk bertahan hidup.
.
I tried so hard and got so far
But in the end it doesn't even matter
I had to fall to lose it all
But in the end it doesn't even matter
.
TBC
Maaf idenya pasaran, mungkin readers pernah membaca ff dengan tema yang sama. Saya harap ff ini juga menghibur.
Jadi, review? :-D