MASK

WINNER Fiction

Characters: All WINNER member and other

Pairing: MinYoon (Minho X Seungyoon)

Warning: BL, Typo

Rated: T-M

Boomiee92

Hai ini chapter sembilan selamat membaca, maaf atas segala kesahalan terutama typo sudah saya baca ulang tapi setiap di pos muncul lagi muncul lagi. Happy reading all….

Previous

"Ah!" Seungyoon tersentak apa yang dilihatnya sekarang membuatnya kebingungan.

"Seungyoon, tenanglah. Sebentar lagi kita sampai."

"A—apa?!" Seungyoon benar-benar bingung, otaknya seolah memproses informasi dengan sangat lambat.

"Di mobil kita ke rumah sakit."

"Rumah sakit?" Seungyoon bertanya dengan bingung. "Untuk apa?"

"Kau pingsan di hadapanku Seungyoon, sebagai ayahmu aku peduli padamu."

Seungyoon menelan ludah kasar menatap wajah Taeyang dari jarak yang cukup dekat. Ia bisa melihat garis-garis halus meski Taeyang begitu tampan namun tak bisa dipungkiri jika Taeyang sudah melewati usia empat puluh tahunnya. Memilih menutup mulut, Seungyoon mencoba mengingat semua kejadian di taman tadi. Kejadian yang membuatnya tak sadarkan diri.

BAB SEMBILAN

Perlahan, Seungyoon memaksa untuk membuka kedua kelopak matanya meski ia masih ingin tidur lebih lama meski sesuatu yang ia pakai untuk berbaring terasa begitu nyaman, jauh lebih nyaman dibanding kasur lipat tua dan tipis yang selama ini ia gunakan untuk melewati malam. Dan ingatan itu yang membuat dirinya terpaksa untuk terjaga.

Dengan cepat Seungyoon mengenali tempat dimana dirinya terbaring sekarang. Kamar rumah sakit. Kamar rumah sakit VIP semuanya terlihat terlalu berlebihan sangat berbeda dengan ruangan para remaja mabuk atau para remaja yang mendapatkan luka kecil saat berpesta dan dia bawa ke rumah sakit olehnya.

"Hei Seungyoon kau sudah sadar, aku akan menghubungi ibumu supaya dia tidak cemas."

"Tidak." Cegah Seungyoon dengan cepat ia mendudukan tubuhnya kemudian bersandar pada kepala ranjang. "Biar aku sendiri yang menghubungi Ibu."

Taeyang mengangguk pelan keduanya saling menatap selama beberapa detik. "Dokter bilang kau hanya kelelahan. Kau harus banyak istirahat tubuhmu tidak dalam kondisi yang baik sekarang."

"Ya." Jawab Seungyoon singkat.

"Kau—kau kelelahan dan tertekan. Apa penyelidikan kasus Minzy yang membuatmu kesusahan seperti sekarang ini?"

"Ya."

"Maafkan aku."

"Itu kewajibanku untuk melayani masyarakat."

"Melayani masyarakat tidak lebih dari itu?"

Seungyoon menelan ludah kasar. "Kau yang memilih pergi dariku, dari Ibu. Semuanya berakhir saat kau memilih pergi, semua ikatan itu terputus saat kau pergi."

"Itu artinya kau tidak akan memanggilku Ayah, selamanya?"

"Apa kau menginginkannya?"

Taeyang mengangguk. "Aku menginginkannya."

Seungyoon berusaha mengabaikan suara di dalam kepalanya yang memintanya untuk menyerah dan memberi Taeyang kesempatan kedua. "Maaf, aku tidak bisa memberikanmu kesempatan kedua. Seharusnya kau sadar akan hal itu sebelum memilih untuk pergi."

"Seungyoon…,"

"Kau hanya takut kehilangan semuanya, kau takut sendirian, putrimu pergi dan sebentar lagi istrimu juga pergi. Istrimu sekarat karena kanker, aku bisa melihat semua ingatanmu dari kedua matamu."

Taeyang membisu selama beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Ternyata itu bakatmu, membaca ingatan manusia membaca kenangan mereka. Kurasa bakatmu itu yang membongkar perselingkuhanku."

"Kau menyembunyikannya dengan sangat baik, aku dan Minzy lahir di tahun yang sama."

"Maaf."

Kali ini Seungyoon tersenyum lebar. "Tidak apa, tidak usah minta maaf." Seungyoon menatap kedua mata ayahnya. "Karena kata maaf tidak bisa menyelesaikan setiap masalah."

"Aku datang ke tempat kerjamu dan mengatakan semua alasannya, kau diberi kelonggaran tiga hari lagi tapi untuk bulan ini kau tidak bisa menerima gaji."

"Aku tahu." Seungyoon membalas singkat kemudian memutuskan untuk kembali berbaring dan mengalihkan tatapannya pada tirai cokelat muda.

"Kenapa kau menghindari Mino? Apa karena dia pembunuh?"

"Dia membunuh karena alasan, aku bisa menerima alasan itu karena jika aku ada pada posisi Mino aku pasti akan melakukan hal yang sama dengannya."

"Kenapa kau menghindar?"

"Aku hanya ingin hidup normal dan bertemu dengan Mino hanya akan mengingatkan siapa diriku sebenarnya. Aku benci itu."

"Kau pikir seperti apa hidup normal itu?"

"Tidak melihat kenangan orang lain. Itulah kehidupan yang normal."

"Seungyoon…,"

"Kapan aku bisa pulang?"

"Dua hari lagi tapi aku ingin kau tinggal sampai tiga hari di sini, untuk memastikan jika kau baik-baik saja." Seungyoon mengangguk pelan. "Seungyoon..,"

"Aku ingin tidur lagi." Untuk kedua kalinya Seungyoon memotong kalimat Taeyang.

Taeyang tersenyum perih. "Tentang Mino aku tidak bisa melupakannya."

"Kau akan mati jika mendekati Mino."

"Kenapa kau peduli?"

"Meski aku kecewa padamu aku tidak mau melihatmu mati." Taeyang tak menjawab. "Sulit melihatmu sebagai ayahku tapi tidak sulit melihatmu sebagai seorang manusia, dan jika aku bisa mencegahmu mati aku akan melakukannya."

Taeyang berdiri dari sofa mendekati Seungyoon menepuk pelan tangan kiri Seungyoon. "Istirahatlah."

"Jangan mendekati Mino, jangan mengusiknya. Aku mohon."

"Tentu."

"Berjanjilah, kau harus berjanji padaku."

"Aku janji."

"Terimakasih."

"Tidurlah dengan nyenyak." Seungyoon mengangguk pelan, Taeyang menarik selimut sebatas dagu Seungyoon kemudian mengusak pelan rambut tebal Seungyoon sebelum melangkah pergi.

Seungyoon menatap pintu kamar rawat yang kini tertutup sebelum akhirnya ia memutuskan untuk duduk kembali dan melihat ponselnya di atas nakas. Tangan kirinya terulur mengambil ponsel melihat sedikit sisa batrei tersisa pada ponselnya. Tanpa menunggu lama lagi Seungyoon langsung menghubungi nomor ponsel sang ibu.

"Seungyoon!" Satu nada panggil kemudian dilanjutkan dengan jawaban dan panggilan nama yang syarat akan kecemasan.

"Ibu aku—aku akan pulang tiga hari lagi."

"Kau dimana Seungyoon?!"

"Ibu aku baik-baik saja, jangan cemas aku akan pulang tiga hari lagi atau mungkin lebih cepat."

"Seungyoon."

"Aku mohon jangan cemas. Sudah ya Ibu, batrei ponselku tersisa sedikit." Tanpa menunggu lagi Seungyoon memutus sambungan telepon memandang layar ponsel di tangannya, batrei ponselnya berwarna merah tersisa sepuluh persen.

"Aku tidak tahu apa masalahmu dengan ibumu." Terkejut mendapati Mino sudah berada di dalam kamar rawatnya berdiri di ujung ranjang tersenyum ke arahnya. "Kenapa kau membangun tembok pembatas yang sangat kokoh pada wanita yang melahirkanmu?"

"Kenapa tidak kau cari tahu sendiri? Dan berhenti masuk ke dalam pikiranku."

Mino tersenyum miring. "Kurasa kita sama saja, kau dikhianati, aku juga. Orang terdekat adalah mereka yang mampu menyakiti dengan sangat parah."

"Setidaknya aku tidak membunuh siapapun." Cibir Seungyoon.

"Tapi kau pernah memikirkannya. Jangan mengelak." Mino melangkah mendekat kemudian meletakkan telunjuk kanannya di bawah dagu Seungyoon. "Kau pernah berpikir akan lebih baik jika ayahmu mati saja, laki-laki yang membuat ibumu menangis hampir setiap malam. Kau berharap dia mati. Perbedaanmu denganku hanya satu Kang Seungyoon, kau hanya memikirkannya saja sedangkan aku melakukannya."

Seungyoon memalingkan wajahnya dari Mino. "Pergilah, aku tidak ingin melihatmu."

"Tapi aku ingin melihatmu."

"Kenapa kau tertarik padaku?" Seungyoon bertanya tanpa menatap Mino.

"Sama seperti yang kau pikirkan tentang aku."

"Aku tidak memikirkan apapun tentangmu."

Seungyoon mendengar tawa mengejek Mino. "Jangan mengelak, aku mendengar suara pikiranmu dengan sangat jelas."

"Berhenti melihat isi pikiranku."

"Itu terjadi begitu saja seperti detak jantung, apa kau bisa menghentikan detak jantungmu sendiri."

"Pergilah, aku benar-benar tidak ingin berurusan lagi denganmu."

"Dan semua yang pernah terjadi di antara kita?"

"Lupakan saja."

Mino tersenyum miring. "Aku akan pergi jika kau berhasil membuatku pergi."

Pintu ruang rawat terdorong ke dalam, Taeyang melangkah masuk. "Ah maaf apa aku membangunkanmu?"

"Tidak…, aku belum tidur sebenarnya." Seungyoon menelan ludah kasar ia menatap Taeyang lekat, Taeyang tak menyadari kehadiran Mino berarti dugaannya tepat. Mino bermain-main dengan pikirannya.

"Aku pikir kau pasti ingin memakan camilan, buah mungkin?"

"Tidak." Seungyoon menjawab tegas. "Kau keluar saja aku butuh ketenangan." Taeyang tak menanggapi dan terus melangkah mendekati meja kopi. Di sana terletak mangkuk buah dari kristal lengkap dengan beraneka macam buah dan tentu saja sebilah pisau.

"Bagaimana dengan apel?"

"Tidak! Aku baik-baik saja. Keluarlah." Taeyang tetap melangkah dan Seungyoon melihat Mino menyeringai. "Jangan melukainya Song Minho." Ucap Seungyoon, Mino tak menjawab kecuali tersenyum tipis. Tenggorokan Seungyoon tercekat Taeyang menggenggam pisau dengan terbalik menggenggam bagian yang tajam dengan erat, Seungyoon melihat darah segar mengalir dari telapak tangan kanan Taeyang yang terluka. "Cukup." Seungyoon melompat turun dari ranjang bergegas menghampiri Taeyang, menepuk bahu kanan Taeyang.

CLANG! Suara benturan besi pisau beradu dengan lantai keras terdengar nyaring, Taeyang tersentak terkejut dengan luka di tangan kanannya, Mino menghilang begitu saja tanpa jejak. "Kau melukai tangamu." Bisik Seungyoon.

"Hanya luka gores kecil aku akan menemui perawat dan meminta lukaku diobati jangan cemas." Taeyang tersenyum.

"Luka itu akan dijahit." Balas Seungyoon.

Taeyang terdiam untuk beberapa detik. "Aku rasa tidak masalah, berbaringlah kembali, jangan cemas."

"Aku akan menunggu, kurasa aku baik-baik saja dan aku bisa pulang sekarang."

"Seungyoon…."

"Terimakasih atas semuanya bisakah kau menyelesaikan semuanya, aku ingin pulang sekarang." Seungyoon menatap Taeyang dan Taeyang tidak memiliki kekuatan untuk menolak.

"Sopirku akan mengantarmu pulang, aku pergi dulu untuk mengobati lukaku." Taeyang tersenyum lebar, mata sipitnya tertarik ke samping membentuk bulan sabit. Sebuah senyuman yang seolah mengatakan semuanya baik-baik saja. Padahal, tidak ada yang berlangsung dengan baik-baik saja sekarang atau kemarin, atau mungkin esok hari, tidak ada yang baik-baik saja.

Seungyoon mendekati lemari pakaian, membuka lemari itu seperti dugaannya ada pakaian layak pakai di dalam lemari. Mengambil kaos berwarna biru tua, jaket jins biru muda, celana hitam, dan topi baseball hitam. Seungyoon memasuki kamar mandi untuk mengganti pakaian rawat rumah sakitnya dengan pakaian baru, mencuci muka, berkumur, kemudian keluar untuk mencari sepatu yang bisa dia kenakan. Seungyoon mendapati sepasang Nike merah di bawah ranjang tempat tidur, tentu saja itu bukan sepatu miliknya. Melihat ukuran yang sesuai dengan ukuran kakinya, Seungyoon memutuskan untuk memakai sepatu itu. Taeyang bisa membeli beberapa ratus pasang Nike yang baru, mengambil sepasang tidak akan menyakiti siapapun.

Pintu ruang rawat terdorong ke dalam, Seungyoon menatap seorang laki-laki yang melangkah masuk. "Apa Anda sudah siap?"

"Maaf, apa Anda sopir tuan Taeyang?"

"Anda benar, saya ditugaskan untuk mengantar Anda pulang, mari Tuan."

"Terimakasih." Seungyoon berucap sopan kemudian membungkukkan badannya.

.

.

.

Seungyoon menolak untuk diantar hingga di depan gedung flat sewanya, ia memilih untuk melanjutkan sisa perjalanan dengan berjalan kaki. Seungyoon berdiri di depan pintu flat, sedikit ragu apakah dia harus mengetuk pintu atau langsung masuk. Bersikap dingin atau memeluk hangat ibunya, semua pertimbangan itu membuatnya tiba-tiba merasa gugup hal yang selama ini tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Menahan bibir bawahnya dengan gigitan pelan antara gigi atas dan gigi bawah, Seungyoon akhirnya memilih untuk mengetuk pintu flat.

Langkah kaki terdengar tak berapa lama suara berdecit pintu besi flat yang memekakan telinga menyapa Seungyoon. "Hai, Ibu." Sapa Seungyoon canggung. Tidak ada balasan dan Seungyoon terkejut ketika ibunya menariknya ke dalam sebuah pelukan erat. Seungyoon menggigit lidahnya untuk menahan semua emosi yang seolah menekan, kedua tangannya terangkat untuk membalas pelukan sang ibu. Pelukan yang selama ini mati-matian ia hindari.

Pelukan itu berakhir, wajah Seungyoon dengan cepat berada di dalam bingkai hangat kedua telapak tangan ibu kandungnya. "Apa kau baik-baik saja? Apa kau baik-baik saja? Apa kau baik-baik saja?" Pertanyaan itu harus diulang sebanyak tiga kali. Seungyoon mengangguk pelan. "Syukurlah kau baik-baik saja, Ibu sangat lega."

Dan saat air mata dari kedua mata ibunya mengalir keluar, saat itulah Seungyoon melihat dengan jelas betapa lelahnya wajah sang ibu. Kantung mata hitam, mata sembab dan merah. "Apa—Ibu tidak tidur semalam?"

"Bagaimana Ibu bisa tidur jika kau tidak pulang tanpa kabar."

"Bukankah aku sudah sering melakukannya." Seungyoon tak mendapat jawaban. "Apa Ibu tidak tidur setiap kali aku tidak pulang ke rumah?"

"Ibu akan menyiapkan air panas kau harus mandi dan Ibu akan memasak daging kesukaanmu."

"Ibu jangan menghidari pertanyaanku, apa Ibu selalu seperti ini? Tidak tidur setiap kali aku tidak pulang ke rumah?"

"Ibu selalu mencemaskanmu, bagaimana jika remaja yang kau tangani memutuskan untuk menyerangmu. Pikiran-pikiran negatif seperti itu yang membuat Ibu selalu terjaga sampai kau kembali dengan selamat ke rumah."

Seungyoon melangkah memasuki flat menutup pintu flat. "Aku ingin mandi sekarang."

"Ibu akan menyiapkan air hangat untukmu."

"Maafkan aku Ibu."

Terperanjat kemudian tersenyum nyonya Song mengusap pelan puncak kepala Seungyoon. "Tidak perlu meminta maaf."

Dan hari itu Seungyoon untuk pertama kalinya mengetahui setiap kecemasan sang ibu terhadap dirinya, untuk pertama kali mereka makan bersama, untuk pertama kali saling bercerita, untuk pertama kali Seungyoon mengungkapkan betapa dia sangat menyayangi wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya seorang diri. Dan hari itu Seungyoon mengetahui jika ibunya sama sekali tidak membenci laki-laki yang telah mengkhianantinya dan laki-laki yang memilih pergi. Dan hari itu Seungyoon merasa dia belum pernah bertemu dengan seseorang yang memiliki jiwa besar seperti ibunya.

.

.

.

Hari ini Seungyoon berangkat sangat pagi, tiga jam lebih awal dari jadwal masuk kerjanya. Matahari belum terbit bahkan, semua orang di kantor pasti akan melempar tatapan bingung nanti. Seungyoon tidak peduli dia menginginkan sedikit kedamaian. Berjalan kaki menikmati pagi dan mendengar suara di dalam kepalanya dengan tenang.

"Aku turut senang kau baik-baik saja Seungyoon." Seungyoon menelan ludah kasar menatap Mino yang menunggunya di depan kantor polisi. "Kurasa kebetulan aku menunggumu sepagi ini. Kau berangkat pagi sekali bahkan matahari belum terbit. Apa kau menghindari sesuatu?" Seungyoon memilih bungkam. "Seungyoon." Mino menahan lengan kanan Seungyoon. Memberi tatapan tajam, Seungyoon melepaskan pegangan Mino pada lengannya sebelum melangkah memasuki kantor tempatnya bertugas.

"Seungyooon!" Sambutan hangat dari teman-teman yang terkadang membuat Seungyoon merasa heran sekarang membuat Seungyoon merasa sangat bahagia. Ia membalas pelukan Seunghoon, Jinwoo, dan Taehyun.

"Apa kau yakin sudah baik-baik saja?" Jinwoo bertanya dengan nada cemas.

"Iya, aku baik-baik saja." Seungyoon tersenyum membalas beberapa candaan murahan Seunghoon dan beberapa pukulan untuk Taehyun sebelum memutuskan mengambil segelas air untuk membasahi tenggorokannya.

Aroma wangi mawar yang tercium kuat membuat tubuh Seungyoon menggigil ia memutar tubuhnya dengan cepat setelah mendengar letusan senjata api. Taehyung, Jinwoo, dan Seunghoon sudah tergeletak di atas lantai dengan darah segar, dan tiga senjata api di tangan masing-masing. Seungyoon berlari gelagapan menuju pesawat telepon menghubungi paramedis. Seungyoon berdiri terpaku menatap ketiga sahabatnya, ia benar-benar ketakutan sekarang. Kehilangan ketiga sahabatnya adalah mimpi buruk. Dengan langkah gontai Seungyoon mencoba memeriksa seberapa fatal peluru yang menembus tubuh ketiganya. Aroma mawar kembali tercium. "Kenapa kau melakukannya padaku?" Bisik Seungyoon dengan nada lemah, ia lelah dengan semua tindakan Mino sekarang.

Paramedis datang dengan cepat, ketiganya dibawa ke dalam ambulans tentu saja semua itu menarik perhatian cukup banyak orang. Seungyoon mengikuti ambulans menggunakan taksi. Seungyoon berdiri dari duduknya menatap tim dokter yang menghampirinya, ia berharap tidak ada kabar buruk yang perlu ia dengarkan. "Bagaimana?"

"Ketiga temanmu selamat, selanjutnya tentu saja kau harus memberi keterangan tentang percobaan bunuh diri ketiga temanmu."

"Terimakasih." Seungyoon berucap penuh kelegaan sebelum menjatuhkan tubuhnya kembali ke atas kursi plastik keras ruang tunggu rumah sakit.

"Keluarga teman-temanmu sudah dihubungi mungkin kau bisa pulang." Ucap dokter Kwon, dokter yang sering menangani para polisi yang terluka saat bertugas.

"Saya akan pulang sebentar lagi." Jawab Seungyoon, dokter Kwon mengangguk pelan kemudian berjalan pergi.

Ponsel di dalam saku Seungyoon bergetar, panggilan dari ibunya. "Hai Ibu."

"Maaf ini Seungyoon?"

"I—iya." Terbata Seungyoon menjawab, ia bisa merasakan jantungnya berdetak liar untuk kedua kalinya hari ini. Ia merasa apa yang akan didengarnya bukanlah berita yang baik. "Ada masalah apa?"

"Aku Bibi Jeon, tetangga di lantai dua. Ibumu tergelincir dari tangga tapi tidak ada yang parah hanya terkilir di pergelangan kaki kanan. Aku membawanya ke klinik di depan flat, sebentar lagi aku akan membawa ibumu pulang."

"Te—terimakasih bibi Jeon."

"Tentu, selamat bekerja Seungyoon."

Tangan kiri Seungyoon menggenggam ponselnya erat, atau lebih tepatnya meremas ponsel tak bersalahnya itu. Ia berlari cepat menyusuri lorong rumah sakit bahkan ia tak menyadari keluarga ketiga sahabatnya ketika mereka berpapasan. Seungyoon tak berpikir untuk menghentikan taksi dengan bodoh dia berlari menuju apartemen Mino yang letaknya cukup jauh dari rumah sakit. Pikirannya berkabut sekarang, ia ingin menyelesaikan semuanya dengan Mino secepat mungkin.

.

.

.

"Kenapa kau melakukannya?!" Seungyoon berteriak sekuat tenaga di hadapan Mino yang duduk di atas meja makan dengan santai.

"Aku bisa mendengar suaramu dengan jelas jangan berteriak."

"Brengsek!" Seungyoon kembali berteriak berlari menghampiri Mino menarik kerah kemeja Mino dengan kasar. "Kau mengirim ibuku ke rumah sakit!"

"Itu hanya kecelakaan kecil, kaki ibumu hanya terkilir jangan membesar-besarkannya Seungyoon."

Seungyoon lantas mendorong kasar dada Mino. "Terkilir untuk sekarang, tapi selanjutnya apa? Kau akan membuat kepala ibuku meledak? Membuat ibuku tertabrak mobil? Membuatnya kejang? Membuatnya bunuh diri? Apa yang akan kau lakukan?! Apa kau menikmatinya?! Kau menikmati setiap penderitaan dan kematian? Kau ingin mengambil semuanya dari hidupku? Teman-temanku? Ibuku? Semuanya! Kau ingin mengambil semuanya agar aku merasakan penderitaanmu? Kenapa aku?! Apa salahku?! Aku datang padamu untuk mencari kebenaran dan kau menghukumku?!"

"Aku hanya takut kau pergi dariku, karena aku bukan manusia normal. Kenapa kau pergi? Kenapa kau takut? Kenapa kau tidak menerima bakatmu?"

"Aku punya alasan." Balas Seungyoon singkat.

"Jangan pergi Seungyoon, aku mohon. Aku selalu sendiri dan hanya kau yang aku miliki. Kau bisa melihat ingatanku aku tidak berbohong."

"Kau tidak berbohong tentang masa lalumu, tapi aku tidak tahu apa yang kau katakan tentang menginginkan aku adalah kejujuran."

"Apa lagi yang harus aku lakukan agar kau percaya?"

"Yang aku tahu kau mengirim teman-teman dan ibuku ke rumah sakit, aku membencinya."

"Maaf."

"Berhenti! Aku muak dengan kata maaf, semua orang mengatakan maaf tapi apa?! Tidak ada masalah yang selesai karena kata maaf jadi tutup mulutmu."

Seungyoon membisu, tersentak karena pandangannya sedikit kabur dan sesuatu yang basah berbau tembaga keluar dari salah satu lubang hidungnya. Tangan kirinya terangkat menyentuh bawah hidungnya, dia melihat darah segar di telapak tangan kirinya. Seungyoon menatap Mino kemudian tersenyum. "Sekarang kau menyerangku? Bagus sekali."

"Aku tidak bisa mengontrolnya saat emosiku tidak stabil, maafkan aku."

"Bohong, kau melakukannya karena kau selalu melakukannya. Saat semua berjalan tak sesuai dengan skenario sempurnamu kau akan memilih menghancurkan semuanya. Kau menginginkan aku, tapi aku menolakmu, karena itu kau berpikir….,"

"Lebih baik kau mati saja Kang Seungyoon." Potong Mino melanjutkan kalimat Seungyoon.

"Tapi kau memilih orang yang salah untuk bermain, Song Minho."

Seungyoon menghampiri Mino. Mino tersenyum miring meremehkan. "Memangnya apa yang akan kau lakukan?"

"Yang aku lakukan….," Seungyoon sengaja menggantung kalimatnya sebelum tangan kanannya mencengkeram kerah kemeja Mino, kali ini ia menatap kedua mata kelam Mino.

Mino tersentak napasnya tercekat, kepalanya seolah terhantam benda tumpul yang keras, kesakitannya begitu menyiksa. Seungyoon menyerangnya, mengirimkan gambar-gambar ke dalam otaknya dengan kecepatan berbahaya. Semua potongan ingatannya di masa lalu dan Seungyoon memilih semua ingatan buruk. Tentang kesedihan, kesendirian, kekecewaan, kesakitan, ketakutan, dan rasa bersalah. Pengalaman pertama ketika giginya tanggal, terjatuh dari sepeda, digigit anjing, ditolak cinta pertamanya, dikhianati kekasih, dikhianati sahabat, teriakkan kematian semua korban yang ia pilih untuk dihabisi, semua ingatan menyakitkan itu Seungyoon kumpulkan menjadi satu untuk menyerang kepala Mino.

Lutut Mino seolah kehilangan tulang penyangga, tubuhnya terjatuh berlutut ke atas lantai keras. Ia membungkuk, perutnya seperti dipelintir darah segar mengalir, menetes dari kedua lubang pernapasannya. "Kau menyerangku dengan telak." Bisik Mino sebelum tubuhnya tanpa daya jatuh dalam posisi terlentang di atas lantai yang dingin.

"Kau bermain dengan orang yang salah."

"Aku tidak bermain denganmu, kau yang memilih untuk menghindar. Semua yang aku katakan, tentang perasaanku semuanya aku katakan dengan jujur."

Seungyoon tersenyum tipis kemudian menjatuhkan tubuhnya ke atas lantai. Pandangannya berkunang-kunang, menyerang Mino menguras seluruh tenaganya. "Aku menerimamu," bisik Seungyoon disela napasnya yang terengah.

"Kenapa kau berubah pikiran?" Mino bertanya dengan berbisik tubuhnya serasa remuk sekarang, dia tersenyum setelah mendengar pikiran Seungyoon. "Kau juga mencintaiku kenapa kita harus bertarung sampai nyaris tewas seperti sekarang?"

"Aku ingin kau melepaskannya, mari hidup normal."

"Normal?"

"Kita tidak bisa mengontrol semuanya biarkan semuanya berjalan normal. Jangan membaca pikiran orang lain, jangan menyerang orang lain dengan bakatmu. Aku tidak akan membaca ingatan masa lalu orang lain, aku tidak akan memasuki ingatan mereka. Kita manusia, kita terbatas, dan aku—aku menyukai keterbatasan itu."

Mino menatap langit-langit apartemennya membisu, membuat pertimbangan, menghirup dalam aroma mawar segar yang memenuhi apartemennya. "Itu akan butuh waktu." Bisik Mino memecah keheningan.

"Aku tahu, aku hanya menginginkan jawabanmu. Iya atau tidak?"

"Ya, kurasa tidak ada salahnya untuk dicoba."

"Terimakasih."

Keduanya saling bertatapan berbaring di atas lantai dengan tenaga terkuras dan darah segar mengalir dari hidung masing-masing. Tangan kanan Mino bergerak perlahan menggenggam tangan kiri Seungyoon. "Maaf, aku membuatmu terluka, membuat teman-temanmu terluka, membuat ibumu terluka. Aku meminta maaf dengan tulus, aku mohon jangan menolak permintaan maafku kali ini."

Seungyoon mengangguk pelan. "Aku lelah, aku ingin tidur dan pasti akan sangat lama."

"Aku juga. Apa kau bisa berdiri? Kita pergi ke kamar dan berbaring di atas kasur yang nyaman bukan di lantai keras dan dingin seperti sekarang."

"Kurasa aku masih bisa bergerak, tidak ada salahnya mencoba." Jawaban Seungyoon membuat Mino tertawa pelan, ia memaksa tubuhnya untuk bergerak sesekali mengerang karena setiap pergerakan membuatnya benar-benar tidak nyaman.

"Baru kali ini aku mendapat perlawanan telak, kau membuat tubuhku seperti tertabrak mobil."

"Karena tak semua orang memiliki bakat supernatural, dasar bodoh!" Maki Seungyoon. "Kau membuat kepalaku seperti dipukul tongkat baseball."

Semua orang memakai topeng untuk menutupi sesuatu, sesuatu yang tidak ingin diketahui semua orang. Hanya beberapa yang berani untuk membuka topeng mereka dan menujukkan kebenarannya. Butuh seseorang yang benar-benar dipercayai untuk diperlihatkan apa yang ada di balik topeng, sesuatu yang tersembunyi, dan mungkin sesuatu yang gelap.

Keduanya tertawa pelan dan seperti seekor siput bergerak saling menopang satu sama lain, bergerak merayap, tertatih menuju kamar untuk berbaring dan tidur. Mino melingkarkan tangan kanannya pada pinggang Seungyoon, menoleh ke kanan menghirup aroma rambut Seungyoon yang beraroma mint segar. Bukan kisah cinta memabukan, bukan kisah cinta dramatis Romeo dan Juliet, tidak, tidak setragis itu namun juga tidak sangat indah. Kepala Seungyoon bersandar pada bahu kanan Mino, tanpa penolakan kali ini, iya ini memang kisah cinta.

END

Halo semua…., terimakasih sudah membaca dan mengikuti cerita ini sampai akhir. Terimakasih atas dukungan, kritik, dan sarannya. Terimakasih review kalian Guest, Hyukgii, baityexoshinta1, luciel, oddie, harmiyunia, Lizz Danesta, shinhy, Park Rinhyun Uchiha, victli9ht, parkcheonsafujoshi, KaiNieris, byul173, GithaAC, SherryMC, carkipul94. Sampai jumpa dicerita yang lain. Bye…. Bye….