11:54 p.m. at London.

Sehun : Luhan…

Luhan : Iya?

Sehun : Kau belum tidur?

Luhan : Belum. Kenapa memangnya?

Sehun : Aku juga belum tidur.

Luhan : -_- Aish. Aku kira apa, ya.

Luhan : Lagipula disini masih siang.

Sehun : Haha. Hei. Disana tidak hujan, ya?

Luhan : Hujan. Sok tahu.

Sehun : Padahal aku sudah tanya peramal cuacanya.

Sehun : Tidak jadi pulang, ah.

Luhan : EH? SERIUS KAU MAU PULANG?

Luhan : KYAAA… ASTAGA KAU PULANG?

Luhan : MAMPIR KE RUMAH SINI. AKU MERINDUKANMU… :*

Sehun : Aku bilang tidak jadi, Sayang.

Luhan : AH, AKU MENANGIS. T-T

Sehun : -_-

Luhan : Hehe.

Luhan : Kapan pulang?

12:25 a.m. at London.

Luhan : Kau sibuk, ya? Tidak dibalas, ih. :(((

Luhan : Sehun Sayang…

Luhan : Oiya. Aku lupa kalau disana sudah malam. Maaf mengganggumu.

Luhan : Ya sudah. Aku tidur di kelas saja. Selamat malam :*

(Read) 12.45 a.m. at London.

Sehun membacanya dan tersenyum geli sendiri. Selamat malam juga, Sayang…


...


Happy Birthday, Honey

To Sehun : Ish! I Miss You So Badly!

"Heh, Luhan."

"Heh. Ayo bangun, tukang tidur."

Aku mengerjap pelan. Tepukan-tepukan ringan di bahuku itu terasa begitu mengganggu. Aku menyingkirkan tangan-tangan itu dan berusaha untuk menegakkan tubuhku. Aku menyandar pada kursi dan mulai merasakan pening yang mendera kepalaku. Leherku juga terasa pegal, aku meringis ketika mengusapnya. Mungkin hal ini karena efek posisi tidurku. Tadi aku melipat lengan di atas meja dan menjadikan lenganku itu sebagai bantal untuk tidur.

"Kelas sudah bubar, Luhan. Mau pulang, tidak?"

"Apa?" tanyaku serak. Aku membuka sebelah mata untuk melihat Baekhyun yang melipat lengannya di depan dada. Perempuan bermata sipit itu kelihatan jengkel. Dan aku sama sekali tak perduli.

"Mau pulang, tidak?" ulang Baekhyun mencoba untuk sabar.

Aku melirik jam tanganku, menguap kemudian. Aku mengangguk untuk pertanyaan Baekyun tadi. Setelah itu aku ditariknya untuk berdiri dan keluar dari kelas yang sudah sepi itu.

Hari sudah sore. Meskipun begitu, kampus ini masih ramai saja dengan mahasiswa yang dapat kelas malam. Aku dan Baekhyun berjalan di koridor yang ujungnya adalah tempat parkir. Setelah masuk semester lima ini, Baekhyun diperbolehkan membawa mobil untuk kuliah. Entah pikiran orang tua Baekhyun itu bagaimana, aku tidak tahu. Seharusnya di semester lima ini, Baekhyun harus lebih banyak fokus untuk belajar. Kalau diperbolehkan bawa mobil kan Baekhyun bi―Ah, sudahlah. Aku tidak ingin memikirkankannya.

"Kyungsoo mana?" tanyaku ditengah-tengah perjalanan.

Baekhyun hanya menjawab, "Tadi dibawa kabur sama Jongin." dengan mata yang fokus pada layar ponselnya. Ketika kulirik, pesan dari Chanyeol lah yang sedang Baekhyun balas saat itu. Aku memutar kedua bola mata jengah setelah melihatnya. "Aku pikir mereka berdua makin sinting."

"Biarkan mereka menikmati masa-masa pacaran mereka, Baekhyun." sahutku pahit.

Baekhyun lantas memandangku iba. Ia menepuk-nepuk bahuku seraya mengatakan, "Yang sabar, ya."

Aku berdecak pelan, menekuk bibir membuat wajahku terlihat sedih. Baekhyun yang melihatnya, tertawa terbahak-bahak. Aku mengangkat kedua alis tak mengerti dan memandang perempuan ini dengan aneh. Masa iya, aku sebegitu menyedihkannya sampai Baekhyun tertawa? Aku mendengus jengkel, tak ingin lagi mengetahui kenapa alasan Baekhyun bisa tertawa terbahak-bahak seperti itu.

Baekhyun masih belum bisa menghentikan tawanya ketika sudah mencapai tempat parkir kampus ini. Banyak candaan yang aku lontarkan sampai membuat Baekhyun hampir menangis karena tertawa. Jika ada Kyungsoo disini, pasti akan lebih seru. Terkadang Kyungsoo mampu membuat suasana seperti ini makin hidup karena kelucuannya saat sedang pura-pura sok polos dihadapanku dan Baekhyun.

Waktu di dalam mobil, candaan itu berubah menjadi obrolan-obrolan menyenangkan yang diciptakan Baekhyun untukku. Obrolan itu rata-rata tentang hal-hal berbau kampus. Aku tak begitu banyak tahu tentang kabar teman-teman satu angkatan karena memang aku tak begitu suka menggosip. Hanya Baekhyun dan beberapa temanku yang lain saja yang lebih suka bercerita tentang kampus padaku.

"Bagaimana kabar Sehun?" tanya Baekhyun mengganti topik pembicaraan.

Aku menoleh padanya, lalu menghela napas kecil. "Makin sibuk." jawabku murung.

Baekhyun menoleh sejenak padaku dengan pandangan yang menunjukkan bahwa ia juga turut merasakan apa yang sedang aku rasakan kali ini. Iya, rasanya sedih. Baekhyun kembali bersuara saat ia memelankan laju mobilnya hendak berhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah, menyala di depan sana.

"Mungkin Sehun sedang banyak kerjaan di London sana. Sebagai mahasiswa pertukaran dengan Universitas disana, Sehun pasti berusaha untuk membuat Negara asalnya bangga dengan prestasinya."

Aku terkekeh. "Astaga, bahasamu…"

Baekhyun mendengus. "Aku hanya menghiburmu, Luhan."

Aku ikut mendengus dan tak lagi membalas. Ponsel yang sedari tadi berada digenggamanku sama sekali tak ada tanda-tanda kalau Sehun sedang mengirimiku pesan. Aku mencoba untuk tak merasa terlalu sedih karena Sehun tak lagi menghubungiku sesering dulu. Sehun sibuk, dan aku tahu itu.

"Sebentar lagi Sehun ulang tahun. Kau ingat?"

"Apa?" Aku terkesiap kecil dari lamunanku. "Ya. Tentu aku ingat." kataku serak. Aku menghela napas kecil dan menunduk. "Tapi aku tak tahu apa yang harus aku berikan padanya."

Alis Baekhyun terangkat kedua-duanya. "Masih tiga minggu lagi, Luhan. Waktu satu minggu bisa kau gunakan untuk berpikir, dan sisanya untuk pengiriman barangmu ke London. Kau bisa berjaga-jaga kalau barangmu terhambat karena pengiriman barang yang lain."

Aku menarik salah satu ujung bibirku ke dalam, berpikir. Sehun suka apa, ya? Banyak hal yang sudah Sehun tunjukkan padaku, dan aku selalu suka. Tapi bagaimana dengan Sehun? Aku tak begitu tahu banyak hal tentangnya. Karena setelah dua bulan kami memulai hubungan sebagai sepasang kekasih, Sehun harus berangkat ke London karena program pertukaran pelajar itu.

Aku mendesah kecil. Gumaman, "Akan aku pikirkan nanti." adalah penutup pembicaraan kami di dalam mobil.



Long Distance Relationship.

Aku sudah melakukannya selama enam bulan dengan Sehun yang kini sedang berada di London. Selama enam bulan itulah aku berusaha menahan diri untuk tak menyusahkan Sehun. Waktu antara Korea dan London mempunyai selisih kurang lebih sembilan jam. Jadi saat disana pagi, disini sudah sore. Lalu kalau disana sore, disini sudah larut malam. Kalau disana malam, disini pasti sudah pagi. Sedangkan aku setiap harinya selalu sibuk di pagi hari, lalu mulai senggang di sore hari. Malamnya aku selalu menunggu Sehun memberiku kabar. Kalau sudah begitu, pasti aku tak bisa tidur karena menunggu.

Kalau Sehun. Katanya, sih, dia punya kesibukan baru disana. Setelah pulang dari kampus di sore hari, Sehun pasti main-main bersama temannya yang lain untuk berkeliling kota. Bangunan di London memang terkenal indah-indah. Jadi Sehun tidak sempat memberiku kabar karena mulai asyik sendiri dengan kegiatannya. Lalu malamnya, setelah pulang dari keasyikan barunya, Sehun mengerjakan tugas-tugasnya baru menghubungiku sesekali. Itu pun kalau aku membalasnya cepat, Sehun pasti akan membalas belasan atau puluhan menit kemudian.

Aih, aku dinomorduakan. Hiks.

Aku menghela napas berat. Aku kira menjalani hubungan seperti ini bukanlah hal yang sulit. Banyak orang yang melakukan hal ini tapi masih baik-baik saja. Lalu aku? Entah aku saja yang merasakannya atau Sehun juga merasakannya pula. Aku merasa kami semakin jauh karena jarak.

Aku merindukannya. Tapi mungkinkah dia merindukanku dengan kesibukannya disana?

Getaran ponsel di meja membuatku tersentak cepat-cepat mengambilnya. Notifikasi dari Sehun lah yang masuk. Aku senang bukan kepayang sampai rasanya ingin menjerit kencang. Aku meloncat kecil dan hampir menjatuhkan ponselku kalau aku tak sigap. Aku membalasnya dengan jemari bergetar kecil saking senangnya.

Sehun : Sudah tidur?

Luhan : Belum.

Luhan : Kemana saja kau ini?

Sehun : Maaf, Sayang. Aku mulai sibuk lagi.

Senyumku luntur. Tiba-tiba saja rasa nyeri menusuk-nusuk dadaku dengan sadis. Aku menggigit bibir bawahku ketika merasakan seluruh persendianku melemas. Kalau terus begini, apa yang harus aku lakukan?

Sehun : Marah, ya?

Iya. Aku marah!

Sehun : Maaf, Sayang. Besok di pagimu aku video call kalau begitu.

Pembual! Apa perduliku?

Sehun : Benar-benar marah? Kau ingin aku pulang kapan?

Secepatnya!

Sehun : Aku pulang sekarang kalau begitu.

Ya sini pulang!

Sehun : Aku merindukanmu…

Aku mengerang. Menendang-nendang udara dengan sebal dan hampir menangis rasanya. Terserah, terserah! Aku membenci diriku sendiri karena hampir luluh dengan kalimat yang baru saja aku baca itu. Ya Tuhan… Kenapa aku begitu lemah dengan kalimat-kalimat Sehun, sih?

Sehun : Aku benar-benar merindukanmu, Luhan. Kau tak merindukanku? Kau benar-benar marah karena hal tadi? Astaga, Sayangku. Kalau kau marah, bisa saja aku pulang sekarang.

Apa perduliku? Terserah! Aku memang merindukanmu, tapi kenapa kau selalu saja tidak ada saat aku ingin kau ada?

Aku menghapus cairan di ujung mataku dengan punggung tangan. Aku memilih untuk diam sejenak tanpa ingin membalas pesan Sehun yang terus saja masuk. Baru ketika Sehun menelponku, aku mengangkatnya. Meskipun aku sedang marah, aku masih punya rasa rindu yang membuatku terus tak bisa marah begitu lama dengannya. Aku tak bersuara walau ingin sekali menyahuti suara Sehun yang sesungguhnya aku rindukan.

"Halo, Luhan? Kenapa marah, hm? Karena aku sibuk, ya?"

Tuh. Sudah tahu masih saja tanya.

"Luhan, kau masih disana? Kau diam karena kau marah atau karena kau sudah tidur?"

Aku menggigit bibir bawahku lagi, dan tiba-tiba saja terisak. Suara isakan pertamaku terdengar sampai Sehun berkata, "Astaga, kau menangis?" dengan terkejut. Aku membekap bibirku dan makin terisak. Suara Sehun kembali terdengar.

"Baiklah, baiklah. Aku minta maaf karena hal itu. Maaf aku tak bisa memberimu kabar karena kesibukanku. Maaf karena aku tak bisa ada untukmu saat kau butuh. Maafkan aku, Sayang. Maafkan aku selama ini karena sudah membuatmu ikut merindu. Bulan depan aku berencana pulang."

Aku membersit hidung dan mulai menenangkan diriku sendiri. Namun aku masih bertahan untuk diam tanpa berniat untuk menyahut.

"Hei, aku merindukanmu, Luhan. Kenapa kau diam saja?"

"Bicara saja kau sama dinding kamarku!" seruku sebal dan serak. Pertahananku runtuh karena kata 'rindu' yang keluar dari bibir Sehun. Sialan!

Sehun tertawa diseberang sana.

"Aku capek menunggumu kembali. Satu tahun bukan waktu yang singkat. Meskipun sekarang sudah hampir lebih dari setengah tahun, sisanya terasa begitu lama." keluhku masih serak.

"Iya, Sayang. Sabar, ya…" ujar Sehun lembut. "Aku merindukanmu…" lanjutnya pelan.

Telingaku kegelian mendengarnya. Duh…

"Aku percaya." sahutku sebal. Sehun terkekeh karenaku.

"I miss you so badly, honey." kata Sehun lembut. Hatiku perlahan menenang mendengarnya.

Aku tersenyum membalasnya. "I miss you so badly too…"



"Oh. Luhan?"

Aku menoleh, lalu tersenyum pada Yifan yang berjalan mendekatiku. "Oh. Hai, Yifan," sapaku balik. Aku meletakkan keranjang belanjaanku di meja kasir, membiarkan si kasir menghitung seluruh barang belanjaanku, lalu mulai memberi Yifan perhatian penuh. "Kau disini juga? Bukankah rumahmu jauh dari sini?"

Yifan tertawa. Tawanya masih saja terdengar menyenangkan seperti dulu. "Hanya lewat saja." jawabnya cengengesan.

Tentang Yifan, setelah kejadian hujan-hujanan waktu itu, kami memang memutuskan untuk menjadi teman saja. Tak ada yang perlu aku tangisi lagi darinya karena aku sudah ada Sehun. Dan kini, kabarnya Yifan sedang mendekati Zitao lagi. Entah itu kabarnya benar atau tidak, aku tidak tahu. Yifan dan Zitao terlihat masih biasa saja ketika aku berada di kelas yang sama dengan mereka.

"Hei, hei." Yifan mencolek-colek bahuku. Aku mengerjap menatapnya. "Itu bayar dulu. Baru melamun."

Aku mengerjap lagi. Kali ini menoleh pada si petugas kasir yang sedang menyerahkan kantung berisi belanjaan tadi padaku. Aku menahan senyuman ketika menerimanya. Beberapa lembar uang pas pun aku berikan pada si petugas kasir dan beberapa langkah kuciptakan untuk memberi ruang pada Yifan.

"Tunggu saja di luar. Kita bisa mengobrol kan?" kata Yifan padaku.

Aku tersenyum, dan mengangguk. Meja dengan dua kursi yang saling berhadapan yang berada di luar supermarket sanalah tempat yang aku pilih untuk menunggu Yifan.

Yifan, ya? Eum… Biar aku pikirkan bagaimana dia sekarang.

Semenjak kami berteman lagi, Yifan mulai sedikit berubah, menurutku. Yifan jadi jarang ikut kumpul rapat anggota organisasi yang sama denganku lagi. Lalu Yifan yang biasanya sering terlihat di kantin untuk berkumpul bersama teman-temannya, kini tak pernah kesana juga. Beberapa kali aku menemukan Yifan sedang sendiri di kafe dekat kampus. Ketika aku bertanya waktu itu, Yifan hanya menjawab dengan kalimat; "Aku malas."

Mungkin hal itu Yifan lakukan karena ingin melupakan rasa sayangnya padaku. Bukannya percaya diri atau bagaimana. Pandangan Yifan padaku masih seperti dulu. Aku yakin kalau Yifan ingin aku kembali padanya. Tapi aku mencoba bersikap seolah aku menolaknya karena aku telah menemukan hati yang lain. Yaitu Sehun.

Ya… Mungkin itulah yang membuatnya memutuskan untuk kembali memulai hubungan dengan Zitao. Semoga saja hubungan mereka baik-baik saja setelah ini.

"Melamun lagi." suara Yifan membuatku tersadar. Aku menatapnya yang mulai duduk dihadapanku. "Sekarang kerjaanmu itu, ya, selain belajar di perpustakaan?"

Aku tersenyum miring, menggeleng kecil. "Sok tahu." sahutku pelan. "Kau saja yang kebetulan melihatku sedang melamun."

"Melamunkan Sehun?" tanya Yifan. Raut wajahnya tak bisa kutebak ketika aku menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Sehun masih di London kan?"

"Ya." aku mengangguk dan melipat bibir ke dalam. Pembicaran ini membuatku teringat tentang kenapa aku menangis dan Sehun yang menelponku semalam.

Entahlah. Semua orang seakan tahu kalau Sehun memang berada di London. Mereka seakan tahu kalau hubungan kami baik-baik saja dengan komunikasi yang lancar. Tapi mereka tak tahu kalau sebenarnya aku dan Sehun jarang berkomunikasi. Sering pun hanya sebatas beberapa jam saja. Setelah itu Sehun sudah kembali dengan aktivitasnya di London.

Aku menghela napas kecil. Diam-diam melirik apakah Yifan melihat hal itu atau tidak. Dan sial, Yifan melihatnya. Aku melirik ke arah lain untuk menghindari tatapan selidik Yifan padaku.

"Kalian ada masalah, ya?"

Aku menaikkan kedua alis pura-pura tak mengerti. "Apa?" Aku menegakkan tubuh, menyandarkan punggungku pada sandaran setelahnya. "Tidak. Kami baik-baik saja."

Yifan menyipitkan matanya selidik. Padaku lagi. Aku berdecak kecil kemudian. Yifan tahu aku baru saja berbohong.

"Kau tahu sendirilah batasanku dengan Sehun apa." kataku seadanya. Aku tersenyum masam. "Dia sibuk, aku tahu dan aku maklum. Jarak dan waktu selalu menjadi batasan kami. Kalau tentang itu, aku tak bisa memaklumi lagi."

"Batasan pasangan yang sama seperti kalian memang itu. Kau harusnya mengerti." nasehat Yifan. Aku hanya tersenyum masam sebagai balasan. "Yang sabar, ya.." sambungnya. Yifan menepuk-nepuk bahuku sebagai rasa simpatinya padaku. Aku menyingkirkannya dengan lembut lalu tersenyum baik-baik saja.

Aih. Sampai kapan aku terus begini?



"Kau ini bagaimana, sih? Kenapa membungkus kado saja kau tak bisa?"

Aku menyerah. Kedua tanganku terangkat ke udara lalu menggeleng-geleng kecil. Kotak yang nantinya dibungkus oleh kertas kado itu aku serahkan pada Kyungsoo yang sedari tadi mengomel-omel tak jelas. Kuhempaskan tubuhku ke belakang, pada tempat tidur yang empuk dan selalu aku rindukan di hari Minggu ini.

Kyungsoo kembali mengomel. "Berterimakasihlah kau pada Jongin yang mau memberi saran untukmu. Berterimakasih pulalah kau pada Chanyeol yang mau mengantarkanmu membeli barang yang disarankan Jongin. Berterimakasihlah juga pada Baekhyun yang sempat-sempatnya mengomel karena kau tak menepati deadline mu membeli kado untuk Sehun. Berterimakasih juga kau padaku karena aku yang membungkus kado ini untuk Sehun. Aih… Simpan semua terima kasihmu pada yang lain setelah kado ini sampai di Sehun."

Aku mendesah kecil, kembali mendudukkan diri. "Kyungsoo," panggilku pada Kyungsoo yang sedang membungkus kotak tadi dengan kertas kado. Kyungsoo bergumam tak jelas sebagai jawaban. "Sejak kapan kau hobi mengomel-omel seperti ibuku? Ibuku saja diam―aduh, aduh! Sakit―hei!"

"Rasakan itu." sungut Kyungsoo menjauhkan cubitannya dari pinggangku. Aku tertawa karenanya, meski rasa sakit bekas cubitan tadi masih terasa. "Tertawa saja kau. Atau aku tidak akan membungkuskan kado ini untukmu."

"Iya, iya." aku menghentikan tawa dan mulai memperhatikan Kyungsoo seraya tersenyum. "Kyungsoo. Kenapa kau begitu mudah membungkusnya?" tanyaku iseng. Kyungsoo melirikku tajam dan aku cemberut ditatap seperti itu oleh Kyungsoo.

"Diam kau, Luhan." gumam Kyungsoo. "Kau ini perempuan. Seharusnya kau bisa melakukan hal-hal seperti ini…"

Aku memutar kedua bola mata malas. Membaringkan tubuhku lagi, aku tak ingin mendengar omelan Kyungsoo lagi. Tadi saja aku sudah diomeli Baekhyun sampai rasanya telingaku panas mendengarnya. Sekarang, di kamarku, aku mendengar omelan dari orang yang lebih cerewet dibandingkan Baekhyun, yaitu Kyungsoo.

Aduduh… Bersabarlah telingaku…

Memang salahku, sih. Tapi kan tadi petugasnya bilang kalau barangku bisa datang tepat ditanggal dua belas April kalau aku segera menyerahkan kadonya malam ini.

Tiba-tiba getaran ponsel yang tidak jauh dariku membuat omelan Kyungsoo berhenti. Aku meraihnya, dan tersenyum sendiri. Kyungsoo yang melihat senyumku mencibir tak jelas. Aku tak perduli. Karena yang aku perdulikan saat ini adalah Sehun yang menghubungiku via video call sore ini.

Eh, bukankah seharusnya ia masuk kuliah?

Segera aku bangkit dan meninggalkan Kyungsoo di kamarku agar Sehun tak tahu tentang kado itu.

"Hai."

Aku tersenyum lebar pada Sehun yang muncul di layar ponselku. "Kau sedang senggang, ya, sampai bisa melakukan hal ini untukku?" tanyaku tanpa membalas sapaannya.

Sehun terkekeh, dan aku memandangnya dengan siratan sejuta kerinduan. Duh, ini anak kenapa semakin tampan, sih? Ingin rasanya kupeluk, kucium, kujadikan suami dari anak-anakku kelak―eh, lupakan yang terakhir itu.

"Kenapa menatapku seperti itu?" Sehun tersenyum jahil, dan rona di wajahku tak bisa disembunyikan darinya. "Iya, aku tahu aku tampan."

Aku berdecih. Berkata, "Kalau sendirian, iya, kau tampan." walau dihati berkata lain.

Sehun tertawa lagi. Dan aku gemas sungguhan ingin melompat-lompat riang karena melihat wajahnya itu. "Aku sedang istirahat. Jadi sekalian menghubungimu tidak apa-apa kan? Lagipula beberapa jam ke depan aku tidak ada kerjaan."

Aku tersenyum. "Boleh saja. Asal jangan lupakan tugas-tugasmu itu." kataku menunjuk tumpukan buku dan kertas-kertas yang berada di belakang Sehun dengan dagu. Sehun membalasku dengan senyumannya seraya mengangguk.

"Kau di rumah saja? Aku kira kau sedang bersama yang lain." tanya Sehun kemudian.

Aku menahan senyuman. "Aku sedang bersama Kyungsoo. Dia di kamarku. Tapi aku kemari karena tak ingin mengganggunya. Kau tahu, aku diomeli banyak orang hari ini."

Sehun menahan tawa. "Memangnya apa yang kau lakukan?" tanyanya geli.

Setelah itu, yang ada hanyalah aku yang bercerita pada Sehun tentang hari ini. Tentang aku dan teman-teman yang berkeliling kota karena mencari sesuatu. Namun aku tak menceritakan benda apa yang aku cari pada Sehun. Lalu tentang Baekhyun yang mengomel, tentang Kyungsoo, ah banyaklah.

Dan karena ceritaku, Sehun tertawa. Melihat caranya tertawa yang selalu membuatku terpana itu, aku senang sendiri. Pipinya akan terangkat naik hingga menghimpit matanya yang akan membuat lengkungan manis dan menyenangkan ketika dipandang. Aku tersenyum lembut melihat tawanya.

Mengapa bisa aku terlalu jatuh pada jurang milik Sehun yang menyenangkan itu? Aku bahkan merasa baik-baik saja ketika jatuh terlalu dalam di sana. Aku merasa, kalau itu Sehun, maka aku akan baik-baik saja.

"Oiya. Bagaimana dengan kuliahmu?" tanyaku mengganti topik. Sehun menghentikan tawanya dan menatapku lembut.

"Aku banyak tugas, tuh. Di belakangku kau bisa lihat sendiri. Tugas dua bulanku aku kerjakan dalam satu bulan ini. Bagaimana, keren, tidak?" tanyanya jenaka. Aku memutar kedua bola mata malas. Sehun terkekeh geli. "Hanya bercanda. Itu hanya tugas-tugas biasaku."

"Segitu banyaknya?" Aku berdecak-decak heran. "Ah, kau memang anak yang pintar, sih. Mungkin tugas segitu bisa kau selesaikan dengan cepat."

"Memang hampir selesai."

Aku menganga. "Itu? Hampir selesai?" aku menggeleng-geleng takjub. "Otakmu encer sekali."

Sehun tertawa lagi. Dan aku hampir pingsan rasanya. "Kyungsoo bagaimana di kamarmu? Kau tak melihatnya?"

Aku mengangkat kedua alis. Mengobrol dengan Sehun rasanya waktu berlalu begitu cepat sampai-sampai tak terasa waktu yang sudah aku lewatkan adalah satu jam lamanya. Aku berbalik dan membuka pintu kamar. Aku mengintip Kyungsoo, dan hampir berteriak saking kagetnya.

Kyungsoo tertidur dengan posisi bukan-perempuan seraya memeluk kado untuk Sehun yang berukuran cukup besar yang sudah rampung itu. Aku membekap bibir menahan tawa setelah menutup kembali pintu kamarku. Lalu beralih pada Sehun yang menungguku di seberang sana.

"Kyungsoo tertidur." kataku dan tertawa kecil. "Mungkin dia kecapekan tadi setelah berkeliling kota."

Sehun tersenyum memandangku. Tatapan teduhnya membuatku hampir meleleh. Aduh, jantungku. Riwayatmu sebentar lagi habis kalau terus-terusan memandang senyum milik Sehun yang manisnya ingin sekali kukecupi itu.

Aaaaa! Ya Tuhan… Kerasukan setan macam apa aku ini?

Hendak aku kembali membuka suara. Namun tiba-tiba saja suara seorang perempuan lain yang memanggil nama Sehun dari seberang sana membuat keningku berkerut. Sehun terlihat menoleh ke belakang, meneriakkan, "Wait for a minute." pada si perempuan, lalu kembali beralih padaku. Senyumnya masih terlihat sama, tapi tatapan matanya yang berbeda dari sebelumnya membuatku terdiam.

"Kita sambung nanti, ya? Ada yang memanggilku."

Aku mengangguk tanpa bersuara. Setelah Sehun mengatakan bahwa ia mencintaiku dan merindukanku, ia memutuskan komunikasi kami begitu saja. Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan. Aku bangkit untuk kembali menuju kamarku. Niatnya ingin membangunkan Kyungsoo agar ia bisa mengantarku ke tempat pengiriman barang. Tapi yang aku dapati adalah aku yang menangis di depan Kyungsoo. Kyungsoo yang baru bangun dari tidurnya tentu saja panik melihatku menangis tiba-tiba setelah dihubungi Sehun. Dengan pelukannya yang nyaman, Kyungsoo pun menenangkanku.

Apalah aku ini cengeng sekali. Biar saja begitu. Karena aku sedang ingin menangis. Tentang kesibukan Sehun, tentang kerindukanku padanya, dan tentang jarak yang memisahkan kami.



"Eojjeom neoui yeope neowa

Hamkke hago sipeun nareul arajulkka

Chagawojin I sigani jinamyeon

Neoui mami naege dagaolkka meoreojilkka…"

-" Karena aku di sampingmu, aku penasaran apakah kau tahu

Bahwa aku ingin bersamamu

Ketika saat dingin ini berlalu

Akankah hatimu datang kepadaku atau semakin menjauh?..."-

Aku mendengus. Setelah lagu itu terputar, aku me-pause lagu tersebut dan melepaskan earphone dari telinga. Gila saja saat aku sedang merana begini, yang terputar malah lagu itu. Hiks. Lelah hati ini diuji oleh hubungan macam Long Dinstance Relationship oleh Sehun.

Aku menempelkan bantal pada wajahku, lalu berteriak sekeras-kerasnya disana. Biarlah disangka orang tak waras oleh Ziyu. Setelah kejadian saat Sehun dipanggil perempuan asing itu, pikiranku jadi bercabang kemana-mana. Sehun tak bisa dihubungi sampai sekarang. Dan aku pening luar biasa karena hari ini adalah tanggal dua belas April. Tepat hari ulang tahunnya Sehun!

Bahkan ibu jadi heran aku berubah layaknya zombie minta makan otak―Euwh~ katanya ibu seperti itu soalnya― kalau aku sedang berkumpul di ruang keluarga. Ayah juga begitu. Kalau aku sedang melamun, dikagetkanlah aku dengan seruan, "Anak siapa ini yang melamun di rumah Ayah?" hingga aku cemberut dan makin badmood pula aku dibuatnya.

Omong-omong soal berteriak, aku jadi teringat akan tepian bukit tempat dimana aku meneriakkan segala kekesalanku tentang Yifan. Tempat itu mengingatkanku tentang Sehun lagi. Tentang bagaimana dia bisa dengan mudah membuatku terpesona oleh sosoknya dengan background hutan pinus beserta cahaya matahari sore yang menenangkan itu.

Aih, Sehun, Sehun. Kau benar-benar ingin membuatku sinting, ya?!

Aku merengut. Mengusap cairan di ujung mata yang hampir keluar, aku bangkit. Aku mengganti pakaian yang lebih layak untuk keluar dari rumah dan meraih ponsel beserta tas kecilku. Tiba-tiba aku ingin kesana dan mengajak teman-teman yang lain. Beruntung yang lain sedang berkumpul di kafe dekat rumahku, mereka mengabariku tadi. Sebenarnya tadi aku diajak untuk ikut bergabung, tapi aku menolak karena ingin menghabiskan waktu bersama bantal dan guling kesayanganku hari ini.

Tapi berubah. Semuanya berubah karena pikiran tentang Sehun. Ish!

"Eh, Luhan?" kaget Baekhyun. Ia mengelus-elus dadanya untuk menenangkan diri, lalu bertanya, "Sedang apa kau disini? Bukannya kau sedang tak ingin keluar?"

"Kalian mau kemana?" tanyaku balik. Tak hanya bertanya pada Baekhyun, aku juga bertanya pada Kyungsoo, Jongin, dan Chanyeol yang bertemu denganku saat mereka hendak keluar dari kafe.

"Memangnya kenapa? Kau ingin ikut kami?" tanya Kyungsoo.

"Aku ingin kalian ikut denganku." pintaku serak. Keempat orang yang berada di depanku ini memandangku bingung kemudian. "Aku ingin kalian ikut denganku ke tempat yang ada Sehun-nya."

"Apa?" sahut Chanyeol memundurkan kepalanya kaget. "Kau ingin mengajak kami ke London?"

"Bukan…" Aku merengek. "Ikut saja denganku. Aku ingin ke tempat yang ada Sehun-nya."

Mereka memang bingung. Tapi akhirnya mau juga setelah aku membujuk dan merengek pada mereka.

Di perjalanan, aku hanya diam. Berada di dalam mobil bersama Baekhyun dan Chanyeol membuatku merasa seperti angin lalu. Chanyeol selalu membuat Baekhyun tersipu dengan rayuan-rayuannya. Ih, aku juga ingin diperlakukan seperti itu oleh Sehun! Aku merengut melihat mereka. Tapi kalau dipikir-pikir, berada satu mobil dengan Chanyeol dan Baekhyun masih ada untungnya. Kalau bersama Jongin dan Kyungsoo? Aduh, bisa mati karena iri aku nanti. Mereka pasangan baru, hubungan mereka masih penuh dengan bunga-bunga cinta yang―lupakan, lupakan.

"Jadi setelah ini kemana?" pertanyaan Chanyeol membuatku tersadar dari lamunan singkatku.

Aku memberi arah padanya. Dan Chanyeol mengikuti arahanku dengan baik.

Pemandangan pantai sebelum kami mencapai bukit, terlihat di sebelah barat tidak lama kemudian. Baekhyun yang melihatnya benar-benar terlihat seperti anak kecil. Dia bilang dia tak tahu kalau ada pantai sekeren itu di sekitar sini. Dan aku hanya tersenyum menanggapinya. Kalau begitu, bukan hanya aku saja yang tak tahu tempat ini kalau tak diberi tahu Sehun.

Lalu kami melewati jalan menanjak. Hutan pinus itu menghalangi pemandangan indah pantai yang dikagumi Baekhyun. Jalanan mulai terasa lenggang dan sepi. Hanya ada mobil Chanyeol dan mobil Jongin saja yang melewati jalan selebar tiga meteran itu. Cahaya matahari siang yang saat itu masuk melewati celah-celah dedaunan pohon pinus, menghiasi jalanan yang rindang. Aku merasa tenang melewati tempat ini.

Aku meminta Chanyeol untuk berhenti tepat di tempat Sehun menghentikan mobilnya waktu itu. Segera aku keluar setelah Chanyeol memarkirkan mobilnya sembarang di tempat yang jarang ditumbuhi pohon pinus. Rerumputan yang dulu setinggi lututku, kini hampir mencapai separuh pahaku. Aku berjalan menuju tepian bukit yang rerumputannya semakin memendek.

"Hei, Luhan! Apa yang kau lakukan disana?"

"Hei! Kau ingin bunuh diri?"

"Luhan! Tidak ada Sehun disini!"

Aku menoleh pada mereka yang memandangku khawatir, kemudian aku tersenyum. Aku memberi isyarat pada mereka untuk jangan mendekatiku dan percaya saja padaku. Aku tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Dan aku bilang, "Kalian tetap disana saja, ya. Aku hanya ingin melakukan sesuatu."

Mereka terlihat diam saja dan akhirnya mempercayai apa yang baru saja aku katakan pada mereka. Aku kembali pada posisi semulaku. Aku memejamkan mata, menghirup udara banyak-banyak, lalu mulai berteriak.

"Ya! Oh Sehun! Dasar laki-laki jahat!"

Dadaku sesak meneriakkan namanya.

"Apa saja yang kau lakukan disana sampai-sampai tak bisa kuhubungi?"

Sial. Aku mulai menangis.

"Kau sibuk dengan tugasmu atau sibuk dengan perempuan waktu itu? Ingin rasanya aku membencimu, tapi rasanya tak bisa. Apa yang harus aku lakukan? Kau selalu menghilang saat aku ingin kau ada disampingku. Aku ingin selalu melihatmu, aku ingin selalu berada disampingmu. Benar-benar berada disampingmu. Aku ingin memelukmu, aku ingin melakukan banyak hal bersamamu. Tapi sampai kapan? Kau jauh disana, dan semakin jauh untuk kuraih lagi."

Aku jatuh ke tanah, dan tangisanku makin deras. Menutup wajahku dengan kedua telapak tangan, aku berusaha untuk tak terlihat begitu menyedihkan didepan teman-temanku. Gumaman, "Selamat ulang tahun, aku merindukanmu." terus saja aku gumamkan untuk menyamarkan suara isakanku.

"Luhan," suara Baekhyun terdengar di bahuku. Baru saja ia memelukku dari belakang. "Aku tak tahu kalau ternyata bebanmu sebegini beratnya pada Sehun. Kenapa kau menyembunyikannya dari kami?"

Suara langkah kaki lain yang bergesekan dengan rerumputan tinggi itu semakin terdengar begitu dekat. Setelah itu suara Kyungsoo lah yang aku dengar. "Sabar, ya. Sehun pasti sudah berusaha untuk meluangkan banyak waktu untukmu."

Aku menggeleng. "Sehun jarang menghubungiku, Kyungsoo. Sering pun hanya berkisar beberapa jam saja. Itupun seminggu atau dua minggunya lagi dia baru bisa menghubungiku. Atau kalau tidak, Sehun sama sekali tak menghubungiku selama satu bulan."

"Aku tahu perasaanmu." balas Baekhyun lembut. Pelukannya mengerat dan membuatku nyaman sendiri.

Entahlah. Aku merasa begitu egois. Aku hanya menuntut kabar dari Sehun. Sudah itu saja. Tapi mengapa rasanya Sehun begitu sulit untuk memberiku kabar? Tidak apa-apa walau sebatas sapaan 'hai' dan setelah itu tak dibalas lagi. Aku hanya memastikan bahwa disana kau baik-baik saja tanpa aku, Sehun.

Aku… Kalau begini terus, akulah yang berlari sendiri. Bukan kita berdua yang seharusnya berlari bersama-sama untuk berhenti di satu titik. Sampai sekarang, bukan aku saja kan yang berjuang sendirian? Iya kan, Sehun?



Sehun is calling…

Aku menatap layar ponsel yang berada di meja itu dengan tatapan tanpa minat. Aku mengalihkan perhatian tak lama setelah panggilan terputus. Aku menghela napas pelan. Tidak lama kemudian, Sehun kembali menelponku lewat LINE. Helaan napasku berubah menjadi kesal dan aku berdecak. Kuterima saja panggilan dari orang ini kalau tak ingin risih dengan getaran-getaran ponselku.

"Halo, Sayang?"

Bicara sendiri saja kau, ya! Aku malas bicara denganmu walau sebenarnya aku ingin.

"Hei, apa disana masih malam?" tanyanya. Aku masih diam. Dan Sehun menghela napas diseberang sana. "Kau marah?" tanyanya pelan.

Aku ikut menghela napas. Mengangguk atas pertanyaannya.

"Kebiasaan sekali diam saja kalau marah." kata Sehun jenaka. Ia tertawa kecil, hingga ingin rasanya kutinju wajah tampannya itu. "Tapi terima kasih, ya, kadonya."

Eh?

Aku menegakkan tubuh, cepat-cepat mengambil ponsel yang masih berada di meja, dan menempelkannya di telinga. Tanganku tanpa sadar terkepal saking ingin tahunya kalimat apalagi yang akan keluar dari bibir Sehun.

"Dan apa ini? Kartu ucapan macam apa ini?" Sehun tertawa renyah setelah dirinya diam sebentar. Mungkin diamnya Sehun tadi digunakan untuk membaca kartu ucapanku untuknya.

Aku menggigit bibir keras-keras. Rona merah dipipiku rasanya tak bisa ku tahan dengan mudah.

"Kau memintaku untuk cepat pulang? Oke. Aku berharap juga begitu. Lalu kau memintaku untuk terus berada disampingmu? Ha-ha, sebentar." Sehun berdeham beberapa kali dan kembali melanjutkan. "Iya, Sayang. Aku berusaha untuk itu. Dan untuk ucapan-ucapan yang lain, aku tak bisa membalasnya. Apalah kau ingin aku jadi seorang yang―aih, dasar kau ini. Kau juga hanya mengirimiku jam tangan, kenapa kotaknya besar sekali?"

Aku menahan senyuman lebar. Wajahku benar-benar panas rasanya.

Kemudian tak ada yang berbicara lagi. Sehun sepertinya juga mulai sibuk dengan aktivitasnya yang lain. Aku mendengar suara gemerisik di seberang sana dan aku tak ingin bertanya. Aku masih ingin diam. Aku hanya masih ingin mendengar suaranya yang aku rindukan. Namun, ketika Sehun memulai pembicaraan lagi, aku merasa jahat jika aku hanya diam saja.

"Luhan, meskipun kau sedang marah padaku dan diam saja, aku tahu kau masih mendengarkanku. Chanyeol tadi bilang padaku kalau kau mengajak yang lain ke tepi bukit waktu itu. Kau menangis dan melakukan apa yang pernah kau lakukan sebelumnya disana." Sehun terdengar menghela napas lagi. "Maafkan aku. Seharusnya, iya, aku meluangkan banyak waktu untukmu. Maaf aku tak bisa melakukan hal itu untukmu. Maafkan aku jika selama ini sudah membuatmu sedih."

"Sehun," panggilku serak. Aku membersit hidung dan berusaha membuat suaraku terdengar ceria. "Hei, kau ini sedang berulang tahun. Tidak apa-apa. Jangan kha―"

"Sayang, bukan masalah kau baik-baik saja atau tidak. Ini masalah kita. Masalah kau dan aku, Sayang. Berhentilah bersikap baik-baik saja jika memang kau sakit hati. Tidak apa-apa kau mengatakan hal itu padaku. Maka aku akan membuat diriku lebih baik lagi untukmu."

"Maaf." balasku singkat, sayup. Aku menghapus jejak-jejak air mataku dengan punggung tangan dan kembali bersuara. "Aku hanya ingin tahu kabarmu saja, Sehun. Aku hanya tidak ingin terjadi kesalahpahaman diantara kita. Aku benci diriku sendiri jika kau melirik perempuan lain disana. Kan di London perempuannya cantik-cantik. Apalagi kalau kau pergi ke pantai. Aduh. Kau harus membawa penutup mata kalau kesana!"

Sehun terkekeh geli. "Iya, cerewet." balasnya. Aku cemberut dibuatnya. "Aku sedang berusaha meluangkan banyak waktu untukmu. Maaf, ya, jika selama ini kau menunggu kabarku. Aku selalu baik-baik saja disini. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan."

Aku menunduk, memandangi lantai kamarku, dan tersenyum sendiri. Aku merasa lega setelah Sehun mengatakan hal itu padaku. Sehun baik-baik saja, dia bisa menjaga dirinya dengan baik. Sementara aku? Aku disini menunggunya, terkadang merasa gelisah sendiri apakah dia baik-baik saja atau sedang sakit karena tugasnya yang banyak. Aku begitu khawatir kalau saja Sehun sakit dan tidak ada yang mengurusnya. Terakhir kali Sehun sakit, adalah saat ia mengaku padaku kalau dia juga jatuh cinta padaku.

Mengingat momen itu membuatku tertawa geli sendiri. Bodohnya aku sama sekali tak tahu kalau ada orang yang mau saja memotretku diam-diam seperti Sehun.

"Kenapa tertawa, hm?"

Aku menggeleng, menghentikan tawaku. "Hanya teringat dirimu."

"Apa? Aku?" nada suara Sehun terdengar terkejut dan tidak percaya. Kemudian ia tertawa. "Aku kira kau hanya merindukanku."

"Ish! Aku juga memikirkanmu!" seruku sebal. Aku merengut, menaikkan kedua kakiku di kursi, menekuknya, dan memeluknya. "Aku merindukanmu… Kau bilang bulan ini kau pulang. Kapan kau pulang?" tanyaku merengek dengan pipi yang tertempel pada salah satu lututku.

"Iya, Sayang. Aku sedang mengatur waktu. Jadi sabar, ya…" ujarnya lembut. Hatiku menenang dibuatnya. Senyumku pun tertoreh di wajah tanpa sadar.

"Luhan!"

Aku tersentak kecil. Suara ibuku terdengar keras dari luar kamar. Aku membatin, ibu mengganggu acara mesra-mesraanku dengan Sehun saja. Aku bangkit dan berjalan keluar dari kamar untuk menghampiri ibuku yang beberapa kali memanggil namaku. Sebelumnya aku mengatakan, "Sebentar, ya?" pada Sehun dan memintanya untuk jangan memutuskan panggilan terlebih dahulu.

"Apa?" tanyaku pada ibu yang baru saja keluar dari ruang tengah.

"Itu ada paket untukmu." kata ibuku seraya menunjuk kotak yang berukuran cukup besar dengan dagunya. Aku mengerutkan kening bingung. "Tidak tahu, itu dari siapa. Buka saja kalau kau penasaran." sambungnya sebelum pergi meninggalkanku.

Aku menghampiri kotak itu, mengambilnya, dan meletakkannya di pangkuanku setelah aku duduk di sofa. Pertanyaan, "Ada apa?" yang terlontar dari Sehun membuat rasa penasaranku teralihkan.

"Aku dapat paket. Tapi tidak tahu dari siapa." jawabku pelan. Aku mengguncang kotak itu untuk menebak-nebak benda apa yang ada di dalam kotak berbalut pita berwarna putih itu.

"Oh… Ya sudah. Buka saja dulu." sahut Sehun yang aku turuti.

Aku menguraikan ikat pita itu dan membuka tutup dari kotak berwarna hijau tersebut. Buku bertuliskan 'The Journey' di bagian sampulnya tersebut membuatku mengerutkan kening. Ini benar untukku? Atau si petugas itu salah kirim kemari?

"Isinya apa?" tanya Sehun kemudian. Aku mengapit ponselku dengan telinga dan bahu seraya menjawab, "Buku."

"The Journey, ya?"

Aku yang hendak membuka sampul untuk melihat halaman pertama dari buku itu pun, membeku. Aku terdiam sejenak dengan kadar ketidakpercayaan yang tinggi. Selain itu, aku sama sekali belum bisa mencerna apa yang dikatakan Sehun barusan. Entah sinyalnya yang kurang bagus atau karena pendengaranku saja. Mengapa Sehun mengatakannya seolah-olah dia memang sudah tahu akan hal itu?

Segera aku membuka sampul tadi, dan menghembuskan napas yang sedari tadi aku tahan. Dasar, ya. Kejutan basi! Teriakku dalam hati. Sebuah foto seorang laki-laki yang sedang tersenyum beserta nama dari si laki-laki membuatku gemas sendiri untuk tak merobek halaman itu.

"Ini dari kau, ya?" tanyaku mencoba untuk biasa saja. Meski dalam hati senang dan jengkel luar biasa, aku berusaha untuk tak memperlihatkan rasa-rasa itu pada Sehun.

Sehun tertawa pelan. "Kejutan…" serunya tertahan. Aku menahan tawa mendengarnya. "Itu untukmu. Aku memberinya judul The Journey karena isinya foto-fotoku di London. Anggap saja sebagai obat rindumu padaku kalau aku sedang tidak bisa menghubungimu sama sekali."

Aku tersenyum. Buku yang memang buku jurnal ini memang sederhana. Tapi isinya saja yang luar biasa bukan sederhana lagi. Banyak foto Sehun beserta bangunan-bangunan indah di London yang ada di sini. Aku jadi berpikir. Sebelumnya Sehun sibuk berkeliling kota London untuk mencari foto-foto mengasyikan bersama teman-temannya setelah pulang dari kampus. Mungkinkah ia bersama teman-temannya melakukan hal ini untukku? Hanya untuk membuat buku jurnal sederhana ini?

Aih. Aku terharu lagi.

"Bagaimana, kau suka?"

Aku makin tersenyum lebar. "Iya. Terima kasih." kataku pelan. "Tapi seharusnya kan kau tak memberiku hadiah macam ini. Yang ulang tahun itu kau, bukan aku."

Sehun tertawa. "Tidak apa-apa, Sayang." balasnya lembut. Hatiku meleleh rasanya. "Sudah, ya? Disana sudah malam kan? Aku juga ada urusan sebentar lagi."

Aku mengangguk lemah. Senyumku luntur seketika. "Ya." jawabku singkat. Sebelum Sehun mengatakan kalimat-kalimat penutupnya seperti biasa, aku segera menyela. "Sehun, selamat ulang tahun yang ke dua puluh satu tahun."

Dan aku yakin Sehun pasti tersenyum mendengarnya. "Iya, Sayang. Terima kasih." sahutnya lembut. Kemudian ia mulai mengatakan kalimat-kalimat penutupnya yang menenangkan hati. "Aku mencintaimu. Cepat tidur dan mimpi indah…"

Aku menghela napas pelan setelah Sehun memutus sambungan jarak jauh ini. Aku merasa jauh lebih baik. Tapi juga merasa buruk seketika. Baik karena Sehun dengan senang hati memberiku buku The Journey ini, dan buruk karena aku harus menahan kerinduanku pada Sehun kurang lebih enam bulan lagi.

Cobaan yang berat. Hiks.


Next Chapter :

To Luhan : I'm Perfect‚ Right?


Selamat ulang tahun mai bebi unyu-unyu Oh Sehun muach :* Wkwk. Maaf aku alay :3 Ciyee yang umurnya udah 23 tahun aja. Makin ganteng makin sukses ya beb. Luhan sayang kamu~ :*

Wkwk. Chapter kedepan ada yang bakal nangis-nangis gara-gara kejutannya Sehun. Ditunggu tanggal 20 April ya~

See you~

Jangan lupa review. Hari spesialnya mas Sehun kok pada pelit review sih ya... :')