Naruto © Masashi Kishimoto

Bus and Hope © Lala Yoichi

Warning:

Fic abal, gaje, typo bertebaran, garing, ide pasaran,

judul tidak sesuai dengan isi dan lain-lain.

Don't Like Don't Read.

But review, please? #plakk :v

Happy reading~

.

.

.

Kaki yang dibalut sepasang flat shoes berwarna coklat muda itu melangkah, membawa sang empunya tertelan ke dalam bis. Hari ini tidak begitu banyak penumpang, jadi dia tidak perlu berdesak-desakan dengan penumpang lainnya untuk mendapatkan tempat duduk. Gadis dengan setelan mini dress selutut itu mengambil bangku kosong yang ada di paling pojok belakang, sendirian. Manik seindah batu gioknya menatap kosong keluar jendela. Ini sudah 3 hari semenjak hari itu, hari dimana dia bertemu dengan seorang pemuda tampan yang meyakinkannya akan adanya pertemuan kedua diantara mereka. Tapi sampai sekarang pemuda itu belum pernah menampakkan batang hidungnya sama sekali. Bohong. Pemuda itu pasti berbohong, harusnya dia tahu. Pemuda yang sudah lama bersamanya dan dia anggap paling mengenal dirinya saja tega berbohong padanya, menghianatinya. Apalagi dengan pemuda yang baru sekali ia temui? Ya. Sejak awal dia sebenarnya memang tidak percaya, tapi tak bisa dipungkiri jika jauh di dalam hatinya dia tetap berharap. Berharap masih ada seseorang yang benar-benar bisa dia percaya. Lagipula, sebenarnya apa yang dia harapkan dari pemuda asing itu? Kenapa dia merasa terhianati jika pemuda itu benar-benar tidak kembali untuk menemuinya? Toh jika mereka bertemu untuk kedua kalinya, pemuda itu hanya meminta emailnya bukan? Hanya email, bukan meminta yang lebih. Ck, terkadang dia kesal dengan dirinya sendiri yang terlalu bawa perasaan.

'Bodoh.' Batinnya. Haruno Sakura, mahasiswi kedokteran di Universitas Tokyo itu terlalu dalam menyelami lamunannya hingga tidak sadar jika dia sudah tidak duduk sendirian lagi. Tepat di sampingnya, sesosok pemuda bersurai kelam tengah menatapnya dalam diam. Cukup lama. Sudah 5 menit dia menatap si gadis pink, tapi sang gadis sampai sekarang masih belum menyadari eksistensinya.

"Aku tahu aku begitu tampan, tapi kau tak perlu sampai seperti itu melamun memikirkanku, Nona. Kau membuatku merasa semakin bersalah, kau tahu?" Sakura tersentak. Dia merasa sangat familiar dengan suara ini. Suara berat yang akhir-akhir ini ia nantikan menyapa indera pendengarannya.

'Suara ini…' Dengan cepat dia menoleh ke sumber suara dan saat itulah manik hijaunya bersirobok dengan manik hitam yang tengah menatap lurus ke arahnya. Manik hitam yang dibingkai bulu-bulu lentik di sekitarnya. Manik hitam yang selalu menatap tajam. Manik hitam yang selalu berhasil membuat hatinya bergetar setiap kali memandangnya.

"Kau…?!" Manik hijau Sakura melebar, antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Pemuda yang membuatnya menggalau selama tiga hari akhirnya muncul di hadapannya. Pemuda itu muncul dan menepati ucapannya. Tuan tampannya benar-benar muncul untuk yang kedua kalinya!

"Uchiha Sasuke."

"A-apa?"

"Itu namaku. Jadi sekarang, apa aku boleh minta emailmu, Sakura?"

Gadis bersurai merah muda itu memandang pemuda yang mengaku bernama Uchiha Sasuke dengan pandangan yang sulit diartikan. Sesekali dia memandang ke depan, kemudian kembali menoleh ke samping dan berkedip beberapa kali. Hanya ingin memastikan bahwa sekarang ini dia tidak tengah berhalusinasi atau semacamnya, tapi melihat bagaimana respon pemuda tampan itu yang memandang aneh ke arahnya membuatnya cukup yakin jika dia memang tidak sedang berhalusimasi. Apalagi rasa sakit yang menjalar saat dengan sengaja ia mencubit lengannya secara diam-diam.

"Jadi… Apa kau mau mengatakan padaku bagaimana kau bisa menemukanku, Uchiha-san?" ucap gadis itu pada akhirnya. Orang yang bersangkutan mendengus mendengar bagaimana gadis pink itu memanggilnya. "Sasuke. Panggil aku Sasuke saja." Ralatnya.

"Bagaimana kalau Tuan tampan?" goda Sakura seraya mengerling jail ke arah pemuda raven di sampingnya, mencoba mencairkan suasana. "Itu terdengar lebih baik." Balas Sasuke dengan seringaian yang tak kalah menggoda.

Memutar manik hijaunya, Sakura tertawa renyah."Yare-yare… Apa kau selalu percaya diri seperti itu?"

"Well, kurasa percaya diri itu selalu diperlukan. Apalagi untuk bertemu gadis cantik sepertimu." Ucap Sasuke sambil mengedikkan kedua bahunya santai. Sekali lagi, gadis yang identik dengan bunga kebanggaan Jepang itu tertawa dibuatnya.

"Baiklah, baiklah… selain tampan, ternyata kau juga pintar merayu ya. Biar kutebak, kau pasti mempunyai banyak pacar." Ucap Sakura.

"Tentu saja. Mungkin sekitar 20 orang." Jawab Sasuke asal. Pemuda itu bersidekap dan menatap lurus ke depan, sehingga dia tidak melihat bagaimana kedua tangan mungil itu terkepal erat.

"Oh…" awalnya Sakura hanya main-main, tapi mendengar jawaban Sasuke entah kenapa membuat hatinya tercubit. Apalagi setelah mengetahui jika pemuda itu seorang playboy. Uh, dia benci playboy. Harusnya dia sadar sejak awal, tidak mungkin pemuda yang nyaris sempurna seperti Sasuke itu lajang. Tch. Salahkan akan sifat naifnya.

"Bercanda." Sambungnya kemudian, membuat kepala pink itu menoleh cepat ke arahnya. Lagi. Dua pasang netra yang berbeda warna itu kembali dipertemukan. Saling menjerat satu sama lain. Saling menenggelamkan satu sama lain.

"Meskipun aku tampan, kaya dan pintar. Aku bukan tipe laki-laki yang suka bermain perasaan." Sakura tidak bergeming, bahkan dia tidak tertawa seperti sebelumnya saat mendengar bagaimana pemuda di sampingnya menyombongkan diri. Waktu seakan berhenti berputar, bahkan suara bising yang sebelumnya terdengar kini menghilang. Dia terus menyelam ke dalam jelaga hitam Sasuke. Meskipun pemuda itu tampak biasa, entah itu benar atau tidak, tapi sepasang mata giok itu menangkap sekelebat kesedihan di sana.

"Apa kau pernah dipermainkan?" Sasuke tersentak mendengar pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari bibir tipis Sakura. Kepalanya menoleh ke jendela yang berada di samping kirinya, memutuskan kontak di antara mereka.

"Pertanyaan macam apa itu?" ucapnya ketus. Gadis di sampingnya berdecak kesal. "Sudaaah, katakan saja!" paksanya. Sasuke bersidekap dada, manik hitamnya masih melempar pandangan ke luar jendela.

"Hn." Setelah terdiam beberapa saat, hanya jawaban ambigu itu yang keluar dari mulutnya. Dia melirik ke arah Sakura melalui ekor matanya dan tatapan bertanya dari sepasang manik emerald lah yang ia dapatkan. Tatapan yang mengisaratkan bahwa sang gadis tidak puas dengan jawabannya dan meminta lebih. Berdecak pelan,"Kekasihku menghianatiku. Dia memiliki kekasih lain. Kau puas?" Ucap Sasuke pada akhirnya.

"Apa kau mencintainya?" tanya Sakura yang mulai merasa tertarik dengan kisah cinta si Tuan tampan, meskipun dia harus rela mendapat delikan yang super tajam. Sasuke menghela nafas melihat wajah penasaran Sakura. Dia tidak suka membahas masa lalu sebenarnya.

"Sangat. Dia perempuan kedua yang kucintai setelah ibuku. Aku berencana menikahinya setelah kuliahku selesai, tapi ya begitulah." Sasuke bukan tipe orang yang mudah terbuka dengan orang lain, apalagi dengan orang yang baru dia temui. Tapi tidak dengan Sakura, dia merasa tidak keberatan. Baiklah, itu karena dia tidak tahan dengan tatapan penasaran gadis itu yang menurutnya bisa meledakkan salah satu bagian vital yang ada di dalam tubuhnya. Maksudku, sungguh, jantung Sasuke berdetak tak karuan setiap kali pandangan mereka bertemu.

"Bagaimana denganmu?" tanya pemuda itu balik, membuat sang gadis tersentak kemudian tersenyum kecut. "Melihat ekspresimu, sepertinya kau juga pernah." Tebak Sasuke dengan nada mengejek.

Sakura mendengus, menyangga dagunya menggunakan tangan kanannya yang ia tumpukan pada sisi jendela. Ucapan Sasuke benar-benar menohok hatinya. Ah, salahnya juga yang memulainya duluan. Emeraldnya menerawang jauh ke jalanan.

"Dulu aku tidak memiliki perasaan apapun padanya, kami hanya berteman dekat. Lalu suatu hari dia mengatakan bahwa dia mencintaiku. Awalnya aku tidak percaya, tapi dia selalu meyakinkanku. Selalu. Dan saat aku mulai jatuh… diam-diam dia kembali menjalin kasih dengan kekasihnya yang dulu." Sakura menghela nafas panjang di akhir ceritanya. Kembali, hatinya terasa tercubit.

"Bukankah ini lucu?"

"Apanya yang lucu?" tanya Sasuke mengernyit heran.

"Kita. Maksudku, kita baru saja bertemu, tapi kita saling membicarakan masa lalu kita seolah kita ini sudah berteman lama. Dan hei! apa-apaan itu, kita sama-sama pernah disakiti oleh orang yang kita cintai. Benar-benar lucu, bukan?" Sakura memang terlihat tertawa, tapi tidak di mata Sasuke. Gadis itu terlihat sedang menahan sesuatu. Sebelah tangannya terulur menyentuh bahu kecil di sampingnya dan menariknya mendekat. Emerald Sakura melebar saat tiba-tiba wajahnya bertubrukan dengan dada bidang pemuda raven yang kini tengah mengalihkan pandangan darinya. Jantungnya berdetak kencang dan pipinya terasa terbakar sekarang.

"Menangislah. Tidak ada yang lihat. Untuk kali ini, aku akan menjadi sandaranmu." Ucap pemuda itu setengah berbisik. Mereka terhenyak dalam keheningan. Jemari panjang itu mengelus lembut surai merah muda saat dirasanya cairan hangat membasahi kaosnya. Sasuke tidak mengerti kenapa dia melakukan ini, semua terjadi begitu saja. Tapi ya, untuk kali ini saja biarkan dia menjadi sandaran gadis rapuh yang ada di dekapannya saat ini, ucapnya dalam hati. Dan tanpa mereka sadari, benang merah tak kasat mata terhubung di antara jemari mereka.

.

.

.

The End

.

.

.

Omake

Senyum itu tak pernah luntur dari wajah pemuda tampan yang kini tengah memainkan ponsel pintarnya. Sesekali jemarinya mengetik cepat pada permukaan layar touchscreen. Dan saat mendengar bunyi email masuk, tawa kecil keluar dari bibirnya. Dua orang yang memiliki gender sama tapi berbeda sifat itu saling melempar pandangan. Ini sudah 15 menit temannya itu tertawa sendiri sambil menatap layar ponselnya. Mungkinkah teman ravennya yang selalu memasang wajah datar itu sudah gila karena gagal kawin dengan mantannya?

"U-hum, Teme…" pemuda berambut jabrik seperti durian matang itu mendekat dan duduk di sampingnya, begitu juga dengan pemuda berwajah pucat yang sebelumnya duduk di depan pemuda yang dipanggil Teme. Sasuke, pemuda raven itu melirik ke arah Naruto, pemuda berambut kuning jabrik.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada khawatir. Sasuke menaikkan sebelah alisnya.

"Tentu saja, Dobe. Apa kau tidak bisa lihat?" jawab Sasuke datar.

"Dari tadi kau tertawa dan senyum-senyum sendiri, kami berfikir kau sudah gila, Sasuke." Kini giliran pemuda berwajah pucat yang bicara. Sasuke mendengus.

"Satu-satunya orang gila yang ada di sini hanya dia, Sai." Ucap Sasuke seraya melirik ke arah Naruto.

"Sialan kau!" Naruto meninju bahu Sasuke main-main.

"Jadi bisa kau ceritakan pada kami apa yang sedang terjadi, Sasuke?" pinta Sai dengan pandangan menuntut. Sasuke mengubah duduknya menjadi senyaman mungkin, ponselnya ia taruh di atas meja. Sepasang manik hitamnya melirik ke arah Sai kemudian Naruto secara bergantian.

"Kau ingat gadis berambut pink yang aku ceritakan tempo hari?"

"Ah, gadis yang kau mintai email itu?!" tanya Naruto bersemangat. Sasuke mengangguk dan bergumam sebagai jawaban. Sepasang alis hitam Sai mengkerut.

"Bagaimana caranya kalian bisa bertemu untuk kedua kalinya? Jangan bilang kau menjaga halte sepanjang hari Sasuke." Ucap Sai asal. Mana mungkin temannya yang super sibuk itu mau repot-repot membuang waktu hanya untuk mendapatkan email seorang gadis? Seperti tidak ada gadis lain saja di Tokyo, batinnya. Tapi tunggu! Senyum, senyum macam apa itu! Manik hitam Sai melebar melihat Sasuke tersenyum, bukan, lebih tepatnya menyeringai.

"Sasuke, jangan katakan kau…" seringaian Sasuke semakin melebar.

"Menurutmu?" Sai menepuk jidatnya. Dia lupa jika Sasuke adalah keturunun Uchiha dan seorang Uchiha tidak akan pernah main-main untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Benar begitu Sasuke?

.

.

.

.

.

End of the end. (?)