Naruto © Masashi Kishimoto
Bus and Hope © Lala Yoichi
Warning:
Fic abal, gaje, typo bertebaran, garing, ide pasaran,
judul tidak sesuai dengan isi dan lain-lain.
Don't Like Don't Read.
But review, please? #plakk :v
Happy reading~
.
.
.
Semilir angin menerpa lembut dan menerbangkan helaian surai merah mudaku yang terurai. Memejamkan mata, aku mengambil nafas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Mencoba melepaskan segala keluh kesah yang tengah ku rasakan saat ini. Pukul 08.40 pagi, harusnya aku sudah berada di kelas, duduk manis dan mendengarkan dosen yang tengah menyampaikan materi dengan khidmat. Tapi, coba lihat apa yang sedang ku lakukan sekarang? Duduk sendirian di halte bus dalam diam. Angin memainkan dedaunan hijau yang masih menempel pada ranting pepohonan, menciptakan bunyi gemerisik yang indah. Aku membuka mata dan menghela nafas pelan. Menatap iba dedaunan kering yang tersapu angin setiap kali kendaraan melintas. Kasihan, mereka diterbangkan lalu dijatuhkan dan diinjak dengan kejam. Daun-daun kering itu tak jauh berbeda denganku. Dicampakkan dan diabaikan.
'Brumm'
Deru khas mesin kendaraan beroda empat terdengar semakin dekat, emeraldku menoleh dan saat itulah aku melihatnya berhenti di hadapanku. Ya. Bisku sudah datang. Aku berdiri, melangkah masuk. Penuh, emeraldku menyapu setiap sudut bis, berharap menemukan satu bangku kosong untuk ditempati. Dan yah, aku melihat satu bangku kosong di samping seorang pemuda bersurai gelap.
"Boleh aku duduk disini?" Tanyaku sopan. Iris obsidiannya melirik ke arahku sebelum mengangguk samar. Tersenyum kecil, aku mulai mengambil tempat di sampingnya. Pemuda itu kembali memandang ke luar jendela. Dari samping, aku bisa melihat jika pemuda berwajah datar itu ternyata mempunyai bulu mata yang cukup lentik untuk ukuran seorang laki-laki, hidung mancung, mata seindah pualam hitam dan kulit seputih porselen. Satu kata yang terlintas di benakku saat melihatnya, tampan. Sangat malah.
"Ada yang salah dengan wajahku, Nona?" Aku terperanjat ketika manik sekelam malam itu melirik ke arahku. Tersenyum canggung, aku hanya bisa menggeleng pelan dan merutuki kekonyolanku.
"Maaf." Pemuda itu tampak mendengus, sebelum menatap manik hijauku dengan sepasang manik hitamnya yang jujur saja membuat darahku berdesir. Sial, pemuda ini semakin tampan jika di lihat dari depan! umpatku dalam hati.
"Tak apa. Aku sudah terbiasa dengan itu." Ucapnya dengan wajah datar, walaupun terselip nada tengil di sana. Aku menaikkan salah satu alisku, menatap dengan pandangan bertanya. Sekali lagi, pemuda itu mendengus, melemparkan pandangannya ke luar jendela sesaat sebelum kembali memandang ke arahku.
"Resiko memiliki wajah tampan." Jelasnya seolah mengerti arti dari tatapanku padanya dan yah, sekarang aku memang sudah paham. Aku mendengus menahan tawa, tidak menyangka seseorang dengan ekspresi stoic sepertinya bisa mengucapkan kata-kata semacam itu.
"Baiklah, baiklah. Kau benar, Tuan. Ku akui, kau memang sangat tampan." Ucapku sekenaknya sambil mengedikkan kedua bahu kecilku. Bisa ku lihat, pemuda dengan model rambut mencuat ke belakang itu tengah tersenyum bangga mendengar pengakuanku. Hah, dia terlihat menyebalkan sekarang.
.
.
.
Bis melaju dengan kecepatan normal, membelah jalanan kota Tokyo yang bebas dari kemacetan. Para penumpang tampak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang tengah mendengarkan musik melalui headset untuk menghilangkan rasa bosan, membaca buku, tidur atau sekedar menatap ke luar jendela selama perjalanan seperti yang dilakukan gadis bubblegum saat ini. Pandangannya lurus ke depan, memandang jalanan melalui kaca bening yang ada di depan sopir. Sesekali, kelopak mata yang ditumbuhi bulu mata yang lentik itu berkedip cepat, menghalau cairan bening yang hendak keluar. Dari luar memang terlihat tenang, tapi sebenarnya banyak hal yang berkecamuk di dalam hatinya.
"Universitas Tokyo?" Tersadar dari lamunan, gadis itu menoleh ke arah pemuda di sampingnya. Untuk kesekian kali, pandangan mereka kembali bertemu.
"A-apa?"
"Kau kuliah di sana?" Seolah mengerti ke mana arah pembicaraan pemuda asing yang baru ditemuinya itu, sang gadis mengangguk.
"Ya. Aku mengambil Kedokteran di sana."
"Wow, sekarang aku tidak heran kenapa kau mempunyai jidat yang lebar, Nona." Ucap sang pemuda dengan ekspresi wajah takjub yang dibuat-buat. Gadis bersurai pink itu memutar bola matanya jengah.
"Kuanggap itu sebagai pujian, Tuan." Pemuda itu terkekeh pelan, sebelum kembali bersuara. "Dulu aku juga mengambil S1 di sana." Imbuhnya.
"Dulu?" pemuda itu mengangguk, jemari panjangnya menyisir surai hitamnya ke belakang. Baiklah, dia terlihat seperti seorang model sekarang, seorang model yang sedang menguji iman seorang gadis bermata emerald.
"Ya. Sekarang aku sudah hampir menyelesaikan program S2 ku." Sang gadis menatap tak percaya, bahkan bibirnya sedikit terbuka karenanya.
"Kau pasti bercanda. Kau masih terlihat sangat muda."
"Dan tampan." Sambung sang pemuda dengan seringaian. Memutar mata bosan, sang gadis terkekeh pelan. "Haha, baiklah. Dan tampan."
"Ah, sepertinya kita akan segera berpisah Tuan. Tujuanku hampir sampai." Manik emerald itu melempar pandangan ke luar dan diikuti oleh manik obsidian.
"Aa… Sayang sekali, waktu berjalan begitu cepat. Boleh aku tahu emailmu?"
"Ah… apa ini sebuah tanda?" tanya sang gadis mengerling jail. Sang pemuda hanya mendengus. "Katakan saja." jawabnya.
"Maaf, aku tidak bisa memberikan emailku ke orang asing. Tapi…" gadis berhelaian merah muda itu memberi jeda perkataannya, menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga kemudian memandang wajah datar yang tengah menatapnya dari samping, "Aku akan memberikannya jika suatu saat kita bertemu untuk kedua kalinya." Sambungnya.
"Hn. Aku mengerti." Sang pemuda mengangguk paham. Sang gadis tersenyum kecil, kembali menatap lurus ke depan. Emeraldnya melembut dan hatinya menghangat. Dia tidak tahu, perasaan macam apa ini. Tapi dia merasa sangat tidak asing dengan perasaan ini, perasaan yang ia rasakan saat ia… jatuh cinta. Menggeleng pelan, ia mencoba mengenyahkan pikiran konyolnya. Jatuh cinta? Itu tidak mungkin! Lagipula mereka baru saja bertemu, jadi tidak mungkin dia jatuh cinta. Dia tidak pernah percaya dengan yang namanya cinta pada pandangan pertama. Karena menurutnya itu konyol, bagaimana mungkin seseorang yang baru saja bertemu bisa langsung jatuh cinta? Omong kosong.
"Halte selanjutnya sebentar lagi sampai, sepertinya kau harus bersiap-siap, Nona." Sepasang emerald itu melirik melalui ekor matanya, kemudian menatap ke depan.
"Kau benar. Aku harus bersiap." Gadis itu berdiri, tapi sebelum dia mengambil langkah, sebuah tangan besar menahan lengannya. Refleks, gadis itu menoleh dan menatap heran pemuda raven yang tengah menahannya.
"Paling tidak, beritahu aku siapa namamu."
"Sakura." Sang pemuda melepas genggaman tangannya dan kembali mengambil posisi duduk yang nyaman. Membuat sang gadis bersurai merah muda mengernyitkan alis.
"Hanya itu?" tanyanya.
"Hn."
"Kau tidak ingin memberitahu aku siapa namamu, Tuan?" tanyanya sambil menaikkan sebelah alis merah mudanya.
"Aku akan memberitahu mu saat kita bertemu untuk kedua kalinya." Ucap sang pemuda cuek yang tak khayal membuat Sakura tertawa kecil.
"Baiklah. Sepertinya aku tidak akan pernah tahu namamu, Tuan." Kedua alis yang senada dengan arang itu mengernyit heran, seakan paham, Sakura tersenyum kecil dan menjelaskan, "Sebenarnya, bis ini berlawanan arah dengan rumahku. Aku menaiki bis ini hanya untuk melarikan diri. Jadi ku rasa kita tidak akan bertemu lagi, karena aku tidak ingin terus berla-"
"Firasatku berkata, kita akan bertemu lebih cepat dari yang kau duga, Nona." Sakura tersentak, saat tiba-tiba pemuda yang baru ia temui itu memotong perkataannya. Kedua tangan kecil itu terkepal erat, perasaan itu datang kembali, perasaan yang membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Kenapa, kenapa pemuda itu begitu…
"Akan ku pastikan kita akan bertemu lagi." Gadis itu hanya tersenyum sebelum melangkah dan meninggalkan pemuda tampan itu dengan sebuah harapan, sebuah harapan baru yang mengembang di hatinya setelah orang yang sangat ia kasihi menghianatinya. Ya. Masih boleh kah dia berharap?
.
.
.
The End