Standart disclaimer applied

Warning : Alternate Universe, Typo, Out Of Character, dll . . .

.

.

.

.

"Aku mencintaimu Sakura." Sasori menggengam erat kedua tangan Sakura. Merasakan akumulasi rasa lembut dan hangat bersamaan dari permukaan kulit tangan sewarna susu itu.

"Tapi, kita adalah kakak dan adik Sasori-nii."

"Kita tidak sedarah Sakura." Sasori tetap keukuh memaksakan keinginannya.

"Meskipun seperti itu, mungkin ayah dan ibu tidak akan setuju dengan hal ini." Suara Sakura makin melirih. Sudah cukup banyak beban pikiran yang harus dia tanggung, sudah cukup dengan penyakit jantungnya, sudah cukup dengan umurnya yang sudah dipastikan tidak akan lama lagi, sudah cukup dengan penelitian untuk kelulusanya yang tak kunjung usai, dan harus lagi ditambah dengan masalah cinta konyol seperti ini. 'Hahhh, apakah semua orang juga pernah merasakan beban hidup seperti ini, jika tidak, mungkin di Surga nanti aku akan protes dengan Kami-sama. Ah! apa yang aku pikirkan. Maafkan aku Kami-sama aku janji tidak akan protes apapun'. Pikir nista Sakura.

"Akan aku pastikan mereka menyetujuinya." Sorot mata Sasori menajam. Seolah-olah akan melakukan apapun agar keinginannya bisa terwujud.

"Tapi..." Lidahnya Sakura kelu. 'Mungkin telah ada seseorang yang aku sukai.' Harusnya kalimat itulah yang kini keluar, namun rasa bimbang menyergap. Mengunci dalam-dalam enam kata itu disalah satu ruang di indra pengucapnya, tak membiarkannya keluar. Baginya mungkin sudah tidak ada ruang lagi untuk menyimpan harapan di keterbatasan umurnya.

"Baiklah." Pandangan Sasori melembut. "Mungkin memang butuh waktu bagimu untuk tidak lagi mengenggapku sebagai kakak. Aku akan menunggu jawaban, sampai kapanpun kau bisa menjawabnya Sakura."

Diam. Hanya diam yang Sakura lakukan saat ini, tak berniat menjawab apapun meski kata 'Tidak' kini berteriak-teriak meronta ingin keluar dari tenggorokannya.

Mengabaikan suara berisik percakapan dan tatapan aneh pengunjung lain restoran, Sakura dan Sasori menghabiskan beberapa menit hanya berdiri dan saling pandang tanpa melakukan apapun. Rasa canggung melingkupi keduanya.

"Ehemm. Bisakah kita duduk dan memesan makanan. Kau mengajakku kesini untuk makan, bukan?. Sasori-niisan." Ucap Sakura yang mulai jengah dengan Sasori yang hanya diam memandangnya tanpa berniat melakukan apapun.

Entah disadari atau tidak oleh Sasori, Sakura menekankan pengucapan kata Niisan untuk memperjelas hubungan keduanya.

"Ah, baiklah ayo makan!.

Kau!, memang lahir bagaikan selembar kertas putih, namun jangan berfikir kau bebas untuk mengisinya. Karena sesungguh nya selembar kertas putih itu telah terukir ribuan warna tinta disana hingga bercampur menjadikannya berwarna putih.

333

Thok! thok! thok!..

"Sakura-sama!. Tolong buka pintunya."

Thok! thok! thok!..

"Anda sedang melakukan apa didalam?!"

Pagi hari keributan terjadi di kediaman Akasuna. Tepat nya pada sisi bagian dapur yang kini telah di kuasai sepenuhnya oleh Sakura setelah berhasil menginvasi dan mengkudeta dari pemilik sah nya Sang kepala koki. Yang harus rela berteriak-teriak dari luar dapur karena pintu dapur terkunci dari dalam, jangan lupakan selembar kertas bertuliskan 'Jangan ganggu!. TTd. Sakura-chan.' Dengan aksara serba besar tertempel dengan tidak elitnya pada pintu luar dapur.

"Sakura-samaaa..."

"Ada apa ini, Akimichi-san?." Rupanya keributan menarik perhatian seluruh anggota keluarga Akasuna yang sedang melakukan rutinitas pagi mereka. Sang ibu Akasuna mebuki yang datang duluan bertanya.

"Ah. Mebuki-sama. Kizashi-sama. Sakura-sama berada di dalam dapur dan menguncinya dari dalam." Jelas Akimichi sang kepala koki yang masih berada didalam kebingungannya karena tidak dapat mengerjakan pekerjaan pagi ini karena pintu dapur yang terkunci dari dalam.

"Oh! Sakura-chan sudah besar rupanya." Tangis haru Kizashi dengan air mata anime kini mengalir deras dari pelupuk kedua matanya. "Mungkin dia sedang berusaha belajar menjadi calon ibu rumah tangga yang baik dengan belajar memasak." Ucap Kizashi yang menebak akan tingkah aneh Sakura.

Thok.. thok.. tok..

"Sakura-chan. Setidaknya biarkan Ibu membantu nak!." Kini Mebuki berteriak dari luar.

"Auhhhh!" 'Klontang!.'

Terdengar suara teriakan dan ribut Sakura dari dalam dapur.

Thok! thok! thok!

Karena kawatir Mebuki makin mempercepat ritme ketukan pada pintu dapur. "Buka pintunya sayang. Kau tidak apa-apa?." Ucapnya memastikan.

'Aku tidak apa-apa. Ibu tenang saja!' Teriak Sakura dari dalam dapur.

"Sudahlah sayang. Biarkan Sakura didalam. Bukankah kamu dulu juga seperti itu." Kizashi teringat dengan masalalu istrinya, yang mungkin seingatnya dulu juga melarang dia untuk masuk ke dapur saat Mebuki sedang belajar memasak. Padahal waktu itu dirinya ingin masuk ke dapur bukan karena ingin membantu, namun hanya untuk mempraktekan adegan romatis yang sering ditontonnya dalam dorama kesukaannya dimana sang pemeran utama memeluk dari belakang istrinya saat sedang memasak, sayangnya bukan ciuman mesra seperti yang terjadi didalam dorama yang didapatnya setelah mempraktekan itu, namun timpukan hangat sepatula lah yang dirasakannya.

Pipi Mebuki bersemu merah. Teringat awal pernikahannya dengan Kizashi.

Scene beralih kedalam dapur dimana kini Sakura sedang meringis kesakitan karena jari telunjuk kirinya tak sengaja tergores pisau dapur. "Ihhhh!. Itaiii!." Dengan gerakan cepat tangan kanan nya kembali merogoh saku celana jins pendek miliknya mengambil beberapa plester luka yang tersimpan disana.

Tiga kali jari lentik Sakura tersayat pisau. Terlihat dari jari manis, jari tengah dan jari telunjuknya yang terlilit plester luka dan untuk keempat kalinya kini dia membalutkan lagi plester luka pada jari telunjuknya yang lagi-lagi tersayat pisau.

"Dengar ya, Wahai kau adik kecil!." Sakura mengacungkan jari kelingking kirinya, yang saat ini adalah jari kiri satu-satunya miliknya yang tidak terbalut plester luka. Mengajaknya berbicara seolah-olah jari kelingking miliknya adalah keberadaan lain yang hidup selain dirinya. "Jangan mengikuti kecerobohan Kakak-kakak mu, yang terkena pisau." Pandangan Sakura menulusuri berurutan mulai dari jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis yang masing-masing terbalut manis plester luka, menganggap mereka adalah para Kakak-kakak ceroboh dari jari kelingking. "Mengerti!." Kembali memandang jari kelingkingnya. "Yosh!. Semangat Sakura!". Kembali bermonolog ria.

"Ahh!, Perihhhhh!." Teriak lagi Sakura. Tangan nya melepaskan pisau dapur yang sebelumnya dia gunakan untuk memotong bawang merah yang belum terpotong seluruhnya, beralih mengucek-ngucek matanya yang berair efek dari radiasi panas bawang merah.

Sakura berjalan mondar-mandir. Kepalanya mencoba berfikir keras bagaimana cara agar matanya tidak terasa perih karena efek bawang.

"Ah. Iya!." Kepala merahmuda nya mendapat pencerahan. Bibirnya terkembang tersenyum lebar.'Jangan remehkan otak seseorang yang akan meraih gelar strata duanya.'.

Brak!

Suara pintu dapur yang terbuka mengejutkan ketiga orang yang berada di luar dapur.

"Haaa!" Mulut Kizashi, Mebuki, dan Akimichi Terbuka lebar karena terkejut dengan penampilan berantakan Sakura yang keluar dari dalam dapur. Bagaimana tidak mulai dari rambut hingga tangannya coreng-moreng dengan tepung dan beberapa bagian kaos pink yang dikenakannya basah terkena cipratan ntah cairan apa.

Cklekk.

Sakura kembali mengunci pintu dapur dari luar. Tidak membiarkan seseorang pun memasuki dapur dan melihat hal hina yang dilakukannya didalam. Tersenyum lebar menghadap ketiga orang yang memandangnya heran.

"Sakura-chan!. Kau tidak apa-a…

"Aku tidak apa-apa ibu." Masih dengan tersenyum, berbanding terbalik dengan keadaannya yang acak-acakan, Sakura memotong ucapan ibundanya seraya dengan langkah lebar melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas.

Beberapa menit kemudian Sakura kembali turun dari lantai atas.

"Haaa!." Untuk kedua kalinya tiga orang yang masih berada di depan pintu dapur dibuat tercengang saat melihat Sakura turun dari lantai atas dengan kaca mata hitam membingkai wajah nya.

Brukkk. Cklekkk!

Sakura kembali memasuki dapur tidak lupa menguncinya dari dalam, mengabaikan ketiga orang yang masih cengo dengan tingkah absurbnya.

"Yatta! Akhirnya tidak lagi terasa perih!."

Mungkin kegilaan sudah mulai merambah otak Sakura saat ini.

Gelap. Gelap menyergap setiap inchi radius penglihatan ku, hingga hampir lupa jika mataku dapat melihat. Dingin. Dingin merayap menjamah permukaan kulit ari, seakan mematikan sistem saklar suhu di dalam tubuh ku. Hanya setitik cahaya hampir redup kutemukan di kejauahan. Lampu?.Bukan. Lilin kecil setelah ku cermati. Redup,mulai meredup. Kutangkupkan kedua tangan ku agar cahaya itu tetap terjaga. Seakan merespon permintaan ku. Cahaya lilin perlahan menyala terang, menyibak perlahan kegelapan yang menyelimuti sekitarku. Sesuatu berbisik memberitahu, Oh inilah hatiku, yang tak lagi gelap dan dingin karena pancaran sebuah lilin.

333

Suara ribut disekitarnya malah menjadi melodi indah pengantar tidur baginya. suhu dingin dan udara pengap pun masih bisa ditolerir tubuhnya hingga terasa seperti suhu kamar berpendingin udara. Lantai keras yang terkorosi oleh waktu sehingga penuh dengan debu pun tak kalah nyaman dengan ranjang berkasurnya dulu. Itulah Naruto Saat ini, tidur bersedekap dada di pojok Sel miliknya. Tak lagi teringat suasana tenang dengan alunan musik klasik yang sering terdengar sayup-sayup di kamarnya dulu. Seakan telah lupa dengan tempetatur suhu nyaman dan bau aroma terapi khas yang selalu tercium dari kamarnya dulu. Juga tak lagi rindu tempat tidur dengan kasur empuk dan kain selimut lembut yang sering menemaninya menjelajahi alam mimpi. Namun mungkin masih ada satu yang masih dia ingat dan rindukan saat ini.

"Kaa-san!"

Naruto terjaga dari tidur siangnya karena mimpi. Bayang-bayang keluarganya masih menghantui mimpi di tiap tidurnya hingga saat ini.

"Anak mama sudah bangun." Celetuk Hidan teman satu sel Naruto, yang sejak tadi mendengar Naruto mengigau dalam tidurnya.

"Ckk. Berisik!." Naruto kembali merebahkan tubuhnya, menikmati sensasi perpindahan rasa dingin dari permukaan lantai. "Apa yang kau lakukan jika mendapati keluargamu telah dibunuh?." Gumam Naruto, lirih seakan-akan pertanyaan tersebut tidak di ajukan untuk siapapun.

"Balas dendam!."Teriak Hidan. "Tentu saja. Iya kan?." Mengalihkan pandangan ke arah Kakuzu yang duduk agak jauh di sebelahnya. Sama-sama merapat bersandarkan teralis besi sel.

"Merelakan." Kakuzu mengelus dagu.

"Apa?!." Hidan mengorek-ngorek telinga kiri miliknya. Seakan tidak percaya dengan jawaban berbeda dari Kakuzu. "Kau bercanda bukan Novelis-san?." Dilihat dari mana pun balas dendam adalah jalan terbaik. Bohong dibalas dengan kebohongan, Menyakiti dibalas dengan rasa sakit, dan pembunuh sudah semestinya dibalas dengan kematian. Bukankah begitu harusnya hukum timbal-balik yang ada di Dunia ini, pikir Hidan.

"Merelakan, Bukan berarti kalah. Namun memasrahkan pada otoritas takdir. Terima apa yang telah terjadi. Dalam posisi mu yang tinggal menunggu eksekusi moncong senapan memuntahkan timah panasnya menembus jantungmu, mungkin hanya itulah yang bisa kau lakukan." Kemampuannya menulis Novel sedikit banyak mempengaruhi kepandaian Kakuzu dalam memilih kata. "Keluargamu orang-orang baik bukan?. Mungkin mereka sudah berada di Surga saat ini, menunggu mu untuk menyusul mereka. Jangan biarkan dendam bersarang di hati mu karna mungkin dendam itulah yang membawamu jatuh ke Neraka tak membiarkanmu bertemu mereka di Surga Uzumaki-san."

"Kata-kata bodoh." Ucap Hidan menyanggah. Namun dalam hatinya membenarkan apa yang dikatakan oleh Kakuzu.

"Merelakan ya." Naruto bergumam. Matanya perlahan terpejam menyelami makna kata-kata Kakuzu.

"Keluarkan aku!..."

"Penjaga bodoh!..."

"Mati saja kau sialan!.."

Terdengar suara dari kejauhan.

"Diam! dasar sampah masyarakat!. Ibumu menyesal tlah melahirkan kalian!. Dasar anak haram." Teriak penjaga penjara membalas lontaran-lontaran kotor dari para tahanan didalam tiap-tiap sel yang dia lewati. Berjalan perlahan memasuki lorong jalan menuju sel paling ujung.

Penjaga penjara itu berhenti ketika menyadari nomor sel yang menjadi tujuannya berada didepannya.

Klekk..

Membuka kunci sel.

"Tahanan nomor 333, Ada seseorang dengan izin khusus ingin bertemu dengan mu!." Ucap penjaga penjara. Pandangan nya berkeliling melihat satu persatu nomor baju tahanan yang dipakai para tahanan di dalam sel.

Menyadari dialah yang dimaksud oleh penjaga, Naruto beranjak berdiri. Kakinya berjalan perlahan mengekori langkah kaki penjaga penjara keluar dari sel.

Lorong-lorong sel gelap yang dipenuhi tatapan-tatapan benci, takut, dan kadang putus asa menjadi latar kiri dan kanan Naruto berjalan. Kadang teriakan-teriakan kotor, kata-kata kasar, umpatan-umpatan tak bermakna terdengar bagai sebuah musik latar perjalanan Naruto mengikuti langkah penjaga menuju ruang jenguk yang di sediakan khusus bagi para tahanan.

Tak lama berselang keduanya sampai.

Krieet..

Suara derit engsel yang telah berkarat terdengar saat penjaga membuka daun pintu. Merah muda dan Hijau giok, dua hal pertama yang tertangkap oleh indra penglihatan Naruto dan satu nama yang berhubungan dengan dua hal itu, Sakura. Gadis yang beberapa hari ini dapat mem-banned rasa sengsara, dendam, dan rasa sakit akan takdir, dan me-rework nya menjadi sesuatu rasa nyaman di hatinya.

"Tigapuluh menit. aku akan kembali kesini. Nikamatilah waktumu." Ucap penjaga penjara. Tangan nya kini sibuk membuka borgol ditangan Naruto dan berbalik menuju ruangan kerja miliknya yang tepat berada di hadapan ruangan jenguk yang saat ini Sakura dan Naruto tempati.

"Silakan duduk Naruto." Sakura tersenyum hangat. Seperti hari-hari saat dia berkunjung sebelumnya Sakura selalu membawa banyak makanan dan menatanya secara rapi diatas meja sebelum Naruto datang. "Makanlah." Mata Sakura berbinar penuh harap.

Pandangan Naruto menyapu seluruh hidangan yang tertata rapi diatas meja. Hal janggal tak luput dari penglihatannya, dimana biasanya makanan yang dibawa Sakura selalu terlihat menggugah selera dengan bermacam-macam penyajian serta topping yang dibuat semenarik mungkin, namun kali ini berbeda terlihat mengerikan di mata Naruto, dan apa-apaan itu sayuran yang mungkin dimasak berlebihan hingga menimbulkan gosong di beberapa bagian.

"Apa kau salah memilih restoran?." Tanya penasaran Naruto.

Twich..

Kedutan timbul di jidat lebar Sakura. "Jangan banyak tanya. Cepat makan!." Menodongkan garpu kearah Naruto.

Dengan sigap Naruto mengangkat kedua tangan nya, tanda menyerah, sedikit mencondongkan badannya kebelakang berusaha menghindari garpu yang terarah kearahnya. Tak sengaja mata Naruto melihat jari-jari tangan kiri penuh dengan plester luka milik Sakura yang kini digunakannya untuk menggenggam garpu. "Ada apa dengan tangan mu Sakura-chan?." Tanyanya penasaran.

Tangan Naruto berusaha menggapai jari-jari milik Sakura

Dengan usaha berlebihan Sakura menarik tangannya kebelakang, menyembunyikan rapat-rapat di balik punggung miliknya. "Bukan apa-apa. Aku hanya sedikit.. ehmm.." Berusaha memikirkan alasan yang tepat. jangan sampai hasil aibnya belajar memasaknya diketahui oleh Naruto. "... Terkilir, iya terkilir." Tersenyum lebar menyembunyikan kegugupannya.

"Tunggu. Jangan-jangan Sakura-chan sedang.." Naruto mengelus dagu mendramatisir keadaan.

"Bukannn! Ini bukan karena aku belajar memasak atau yang lainnya." Intonasi berteriak ala Sakura, menyangkal prediksi kata-kata yang mungkin akan dikeluarkan oleh Naruto.

"Oh. Padahal aku tidak mengatakan itu sebelumnya." Naruto Tersenyum.

"Whatt the.." Apa-apan senyum menjengkelkan itu. Mata Sakura melotot tajam mengira senyum biasa Naruto adalah senyum mencemooh yang ditunjukan untuk dirinya.

(^_^)

"Jangan tertawa baka!." Teriak Sakura, tangan nya kembali mengacungkan garpu kearah Naruto, yang sebenarnya hanya tersenyum. Naruto yang tertawa hanya ada di dalam pikiran imajiner Sakura saja.

"Baik-baik, aku menyerah. Aku akan menilainya untuk mu." Tangan Naruto menarik kursi agak kebelakang untuk nya duduk.

"Ah. aku jamin rasanya tidak mengecewakan." Sakura tersenyum lima jari, mungkin telah kembali pada mode mood baiknya.

"Pertama-tama dari segi bentuk penyajiannya, Buruk sekali. Sama sekali tidak menarik per.."

"Ehemmm" Tangan Sakura menodongkan garpu.

"Ah!. Maksudku ini menarik sekali, sangat menggugah selera untuk segera memakannya." Ucap Naruto terbata karena sedang dalam tekanan hidup dan mati menurutnya. "Err.. Baik masuk pada penilaian kedua, dari segi rasa. Singkirkan dulu itu Sakura-chan!." Naruto bergidik ngeri ketika Sakura tetap mempertahankan posisinya menodong garpu kearah dirinya.

Slurppp..

Satu sendok suapan dari mangkuk sup masuk berpetualang menuju kerongkongan Naruto. "Uhukk.. Uhukk. uwekk!." Namun belum sampai satu detik kembali dimuntahkan. "Apa yang kau masukan di dalamnya Sakura-chan?!." 'Asin mungkin, sedikit asam, atau mungkin pahit. Sungguh rasa yang mengerikan.' Pikir Naruto.

"Apaan sih!." Tangan Sakura merebut sendok dari tangan Naruto, kemudian mengambil satu suapan penuh dari mangkok sup yang sama yang telah dirasakan oleh Naruto. "Uhukkk.. uwekkk..!"

"Kau tidak apa-apa?."

"Ini tidak terlalu buruk." Sakura kembali mengambil satu suapan. "Uhukk.. Uwekkk.." Lagi-lagi kembali dimuntahkan.

"Kau tidak apa-apa Sakura-chan?!." Ucap Naruto yang mulai kawatir.

"Ini enak kok." Kembali dengan tangan sedikit gemetar Sakura mengambil suapan ketiganya.

Greppp..

Tangan Naruto menggenggam tangan Sakura. Merebut sendok makan yang dipegang nya.

"Aku akan menghabiskannya!." Entah setan apa yang mempengaruhi pikirannya hingga kalimat itu keluar dari mulut Naruto. Padahal didalam hatinya mengutuk rasa dari semangkuk sup dihadapannya.

Slurpppp..

Dengan perjuangan keras menahan rasa pahit dan terbakar dilidahnya Naruto menelan bulat-bulat cairan dengan rasa nano-nano tersebut.

Satu fakta tiba-tiba menghantam kepala pink Sakura. 'Tunggu dulu! bukankah sendok tadi berasal dari mulutku, dan kemudian digunakan pada mulut Naruto. Bukankah sama saja kita melakukan frechkiss?!.' Karena memikirkan hal yang tidak senonoh membuat pipi Sakura bersemu merah. (Sakura mesum :v)

"Ada apa?." Naruto menyadari gelagat aneh Sakura. "Kau Sakit?."

Sakura menggelengkan kepalanya. Mencoba menormalkan raut wajah mesumnya. "Ah tidak. Teruskan saja makanmu."

"Jadi. Bagaimana dengan jantung mu?."

Salah satu yang Sakura tidak sukai ketika orang-orang mulai menghawatirkan dirinya, tanpa terkecuali Naruto. "Sssttt.!" Sakura menempelkan jari telunjuk pada bibirnya. "Aku baik-baik saja dan aku tidak ingin berbagi kesedihan dengan orang lain yang lebih menderita dari ku seperti kamu, Naruto." Sakura menjulurkan lidahnya. Mengejek Naruto yang juga memiliki nasib buruk sepertinya.

"Maksud ku, Apakah tidak ada cara lain, Selain menunggu ajal mu sendiri?." Pertanyaan Naruto seolah-olah ditunjukan untuk dirinya sendiri yang kini menunggu kematian di tiang eksekusi.

"Hei!. Jangan anggap aku pasrah dengan keadaanku saat ini ya!. Aku sedang menjalani pengobatan kok, juga sedang menunggu pendonor untuk jantung ku. Mengerti!." Jawab Sakura ketus.

"Pendonor ya.." Ucap pelan Naruto. Seolah tidak ingin Sakura mendengarnya.

"Baiklah. Selanjutnya mari kita selesaikan penelitianku." Senyum Sakura mengembang.

Aku tidak ingin berbagi kesedihan dengan orang lain yang lebih menderita dari ku. Sebaliknya sedikit kebahagiaan ku lah yang ingin ku bagi dengan mereka.

333

Brakkk

Suara benturan keras beberapa lembaran kertas yang dipisahkan didalam beberapa map yang dilempar asal kesebuah meja.

"Sasori!." Muka Kizasi merah padam karena amarah. "Jelaskan apa maksud berkas-berkas ini?!." Kizashi si pelaku tunggal pelempar beberapa map ke atas meja, berteriak marah.

Saat itu di kediaman keluarga Akasuna tengah menjelang siang hari saat Sasori pulang dari rutinitas kantornya karena panggilan mendadak dari ayahnya Kizashi.

Sorot mata Sasori menajam melihat beberapa map di atas meja. Sedikit banyak dia tahu berkas-berkas apa yang ada di map tersebut. "Apa maksudmu?." Sasori mencoba berdalih. Berharap dugaannya tentang isi dari map-map tersebut salah.

"Aku tak menyangka anak ku yang selama ini aku bangga-banggakan akan meneruskan peran ku sebagai anggota politik yang bersih melakukan hal-hal kotor seperti ini. Anak buahku yang cukup aku percaya melaporkan tindakan politik gelap yang kau lakukan, Bahkan disertai bukti-bukti otentiknya." Kizashi mendudukkan badannya pada kursi. Menyandarkan bahunya seolah olah sandaran tersebut bisa sedikit mengurangi beban rasa kecewa akan perilaku anaknya.

"Anata, ada apa?." Mendengar suara keras Kizashi, Mebuki pun yang sebelumnya berada jauh dari ruang tamu, datang untuk memastikan apa yang terjadi.

Kizashi hanya memandang datar Mebuki, kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke arah Sasori yang masih berdiri diam.

"Apakah Sakura-chan sudah pulang Mebuki-kaasan?." Mengabaikan amarah ayahnya, justru Sasori berbalik bertanya pada Mebuki yang baru datang.

"Sakura masih berada di luar Sasori." Jawab Mebuki.

"Jelaskan semua ini Sasori!." Teriak kembali Kizashi. Peluh keringat beserta pembulu darah pada wajahnya terlihat karena marah.

"Tidak ada yang perlu aku jelaskan." Ucap Sasori datar. "Dan ada hal yang aku ingin kalian berdua ketahui, Aku mencintai Sakura dan ingin menjadikan dia istriku." Kembali dengan intonasi datar terucap dari bibir Sasori.

"Apa!?." Kizashi berdiri dari duduknya, Jari telunjuknya kini menunjuk tepat kearah Sasori. "Kau tahu dalam map ini juga terdapat data-data tentang berapa banyak wanita yang telah kau hamili anak keparat!."

Brukkkk

Tangan Kizashi mengambil map di atas meja dan melemparkannya ke arah Sasori.

"Jangan harap kau bisa memiliki Sakura. Selama aku hidup, aku tak akan membiarkannya terjadi!."

"Kalau begitu kenapa kau tidak mati saja. Ayah." Tangan Sasori mengeluarkan sebuah pistol dari balik jas nya. Pistol yang selalu dia bawa untuk menjaga diri. Orang penting dalam dunia politik seperti dirinya memang diperbolehkan membawa pistol, dengan harus memenuhi tes dan persyaratan-persyaratan sulit tentunya. Menodongkan kedepan, kearah Kizashi.

Dorr!

Timah panas meluncur lurus menembus udara dengan kecepatan tinggi menembus kulit, mengoyak pembulu darah, merusak tulang dada, dan akhirnya bersarang pada jantung, membuat sebuah lubang menganga disana.

"Anataa!." Teriak histeris Mebuki seraya tangannya merangkul Kizashi yang kini jatuh tergolek dengan nafas tersenggal-senggal tak beraturan. "Apa yang kau lakukan Sasori!." Berteriak pada Sasori yang masih menodongkan pistolnya.

"Dan kau Mebuki-san." Sasori memanggil Mebuki dengan cara berbeda. Bukan lagi dengan Kaa-san seperti biasanya." Untuk sekedar kau ketahui, Aku tidak pernah menganggap mu sebagai pengganti Ibuku. Namun terimakasih telah melahirkan Sakura."

Dorr!

Sesuatu yang kau pandang penting hingga kau rela bertaruh segalanya. Hingga nyawa pun akan tidak berarti untuk ditukar denganya. Namun terkadang sesuatu itu tidak begitu penting bagi sudut pandang orang lain, tak berharga dibanding sampah sekalipun.

333

Kriettt!

Naruto membuka pintu ruangan jenguk tahanan, setelah beberapa menit sebelumnya dia mendapat panggilan dari penjaga penjara jika ada seseorang yang ingin menjenguknya.

Melihat kedalam ruangan berharap sosok gadis berambut pink lah yang ada di dalam. Namun tidak seperti harapanya, ternyata sosok berambut putih melawan gravitasi lah yang menyambutnya di dalam. "Kakashi?." Heran bukan kepalang, sosok terakhir yang dia bayangkan akan menjengkuknya ternyata duduk bersedekap dada menunggunya.

"Naruto. Bagaimana kabarmu?." Ucap Kakashi. Tak kunjung mendapatkan jawaban dan malah justru mendapatkan tatapan aneh dari Naruto membuat Kakashi tertawa hambar. "Jangan seperti itu Naruto. Apa salahnya aku menjengukmu sekali-kali."

"Ada apa Kakashi-san?." Ucap Naruto to the point.

"Ah Baiklah." Kakashi menghembuskan nafas. "Aku membawa berita buruk untuk mu."

Alis Naruto mengernyit. "Apa itu?."

"Sakura dalam keadaan koma dan kritis saat ini. Kau tahu bukan tentang keadaan jantung Sakura?."

Naruto menganggukkan kepalanya. Raut biasa terpampang pada raut muka Naruto, namun siapa tahu di dalam hatinya kini berteriak kawatir.

"Keadaan jantung nya memburuk pasca mendengar kedua orang tuanya meninggal terbunuh karena insiden perampokan di kediaman Akasuna kemarin." Raut sedih mengiringi berita duka Kakashi.

"Apa?." Pikiran Naruto kalut, Karena kehadiran Sakura lah sejauh ini dirinya bisa mencoba menerima Nasib buruk yang menimpanya. Dan kini nasib yang lebih buruk dari dirinya harus diterima oleh Sakura sebegitu tidak adil kah Tuhan terhadap keduanya. "Jadi Sakura adalah seorang Akasuna bukan Haruno?." Satu fakta baru diketahui oleh Naruto.

"Bisa dibilang keduanya benar, Ayah Sakura seorang Akasuna dan ibunya seorang Haruno." Jelas Kakashi.

Akasuna Sasori nama itulah yang kini terngiang di benak Naruto ketika mendengar Kakashi menyebutkan marga Akasuna, Seseorang yang berurusan dengannya di meja pengadilan sebelum segala nasib buruk menimpa dirinya dan keluarganya. "Kakashi-san. Bukan kah para terpidana mati sebelum eksekusi bisa mengajukan sebuah permintaan?."

"Menurut aturan, memang seperti itu Naruto. Jadi kau mengajukan permintaan untuk menjenguk Sakura?." Tebak Kakashi.

"Hal seperti itu tidak ada gunanya bukan." Menyangkal pernyataan Kakashi. "Aku ingin mengajukan dua permintaan. Pertama aku ingin hukuman mati ku dipercepat.."

Raut kaget dan rasa tidak percaya dengan apa yang didengarnya nampak jelas di raut muka Kakashi.

"Dan yang kedua aku ingin…"

jika dunia ini tak mengizinkan raga kita berdua untuk bersama. bila cinta ini tak begitu di anggap sebagai sebuah frasa yang bernilai untuk ada di dunia ini. dan jika arus dunia begitu kuat memisahkan antara aku dan kamu. maka izinkan bagian kecil dari ku, menemanimu sepanjang jalan dunia ini mengizinkan mu untuk hidup.

.

.

.

Bersambung.


Saya ucapkan terimakasih untuk yang sudah membaca maupun mereview, dan utuk Preservedpearls saya ucapkan terimakasih karena telah menginspirasi untuk melanjutkan cerita Gaje ini. Mungkin Chapter depan adalah chapter terakhir. Happy Ending?. Bisa diatur hehehehe.

333 out.