Zero

.

.

.

Chapter 5

.

.

.

Sudah seminggu aku bersama Zero tinggal disini. Meskipun sering ribet karena ngurusin Zero yang aneh-aneh pertanyaannya (apalagi sibuk memakaikan baju yang agak rumit sejenis tuxedo ataupun jas), aku masih merasa ada yang janggal.

Aku hanya teringat akan penghancuran seluruh asset serta yang berkaitan. Apakah mungkin itu artinya saksi mata juga akan dilenyapkan?

"Oneesan?"

"?"

Tiba-tiba saja Zero menyerahkan sebuah lukisan dari arang yang ditemukannya di dekat perapian tempat pembuatan gerabah. Sikapnya yang innocent serta imut-imut itu cukup membuat para nenek-nenek pada sibuk mencubiti pipinya dan para kakek hanya senyum-senyum akibat teringat masa muda mereka.

Tapi kok aku tidak yakin ya kalau masa muda mereka seganteng Sai?

=,=

Kuperhatikan lukisannya yang memang terlihat seperti seseorang yang pro saja. Yang bikin malah sibuk cengengesan di depanku. Entah kenapa setelah sekian banyak hal-hal yang dia alami, dia tetap bersikap biasa-biasa saja. Apalagi terkait kejadian waktu dia kabur itu.

Apakah ini merupakan settingan dari lab?

Mataku memicing ke arahnya dengan maksud untuk mencari jawaban. Namun yang ada adalah dia yang memiringkan kepalanya ke kanan dan mendekatiku. Aku yang mendekat ditambah dia yang mendekat…

Cup!

Sebuah ciuman singkat mengenai pipiku. Aku pun langsung menonjok pipinya dengan keras akibat reflek. Sontak dia terjungkal ke belakang dan sibuk mengusap-usap pipinya yang memerah. Lalu dengan perlahan dia menekan bagian yang sakit dan bagian yang kemerahan itu menghilang.

Huft, untung yang kutonjok bukan orang biasa… =,=

"Oneesan kok marah?"

Bibir yang manyun…

Mata yang berpendar akibat air terjun yang siap meluncur….

Kok gini ya…

Zero, kamu bisa mewek?

Aku pun segera menepuk jidatku karena baru sadar kalau Zero memang dimodif seperti anak-anak yang penurut dan tanpa dosa. Ya ampun…

"Enggak, melakukan hal seperti tadi itu tidaklah pantas alias tidak sopan. Itu tidak sesuai dengan norma yang ada. Kecuali kalau hubungan antara dua orang yang melakukannya itu jelas, seperti saudara… suami istri….-"

"Pacar?"

Aku hampir saja tersedak. Ini anak main kemana saja sih? Kok perbendaharaannya aneh-aneh begini? Aku padahal sudah mewanti-wantinya untuk tidak aneh-aneh dan sekarang dia sudah tercemar.

Entah kenapa aku merasa bagai guru yang gagal… T_T

"Jadi kalau tidak ada hubungan apa-apa, yang digituin harus memukul yang melakukannya? Gitu?"

"Ya…. Gimana ya…"

"Jadi aku harus memukul wajah Shina-san kalau dia melakukan hal tadi padaku? "

HE?!

Aku hanya bisa termangap-mangap bak ikan koi di belakang toko kelontong seberang. Kok ini anak makin lama makin begini ya? Aku tahu kalau psikisnya memang harus begini mengingat umurnya yang diperkirakan sudah 'dewasa'. Tapi kalau perkembangannya secepat ini aku tidak kuasa!

Aku belum siap!

"Katanya Shina-san, itu adalah perwujudan cinta. Terus katanya dia suka padaku dan dia nanya apakah aku mau menerima. Emangnya suka itu apa? Nama makanan? Ataukah benda?"

Aku pun Cuma bisa memukulkan wajahku tepat di atas meja. Jujur, kepalaku pusing tujuh keliling ketika mendengar celotehan Zero yang begitu ringan, tanpa beban… tanpa dosa….

"Terus kamu jawabnya apa?" tanyaku was-was. Jujur, aku mulai khawatir tingkat dewa kalau jawaban Zero aneh-aneh. Bukannya aku tidak rela kalau Zero sudah besar dan…

"Kubilang 'biar kutanyakan Oneesan'," ujarnya tanpa dosa sedikitpun. Senyumnya yang lebar dan tiada beban menambah beban hidup yang harus kutanggung sebagai penjaganya. Belum lagi kabarnya organisasi yang kemungkinan besar masih simpang siur. Informan kepercayaanku masih belum memberikan kabar mengenai lab yang kumaksud.

Dan sekarang….

Oh tuhan…. Cobaan apa ini?

Apakah aku yang terlalu percaya diri untuk melepaskan Zero dari 'penjara'-nya?

Ataukah….

"Oneesan…. Aku gimana jawabnya ini? Masalah yang tadi? Apakah aku harus datang ke toko bunga tadi dan memberikan pukulan seperti yang Oneesan lakukan padaku?"

"enggak Zero… enggak begitu… Oneesan masih bingung ngejelasinnya gimana… tapi suatu hari nanti kalau Oneesan bisa jawab bakalan Oneesan jelasin deh… oke…" ujarku sambil menjentikkan jemariku di ujung hidung. Dia manggut-manggut bak anak yang baru saja dapat 'pencerahan'.

"Terus kalau misalnya aku digituin lagi, aku harus gimana?"

Oh Tuhan….

.

.

.

Aku baru dapat info kalau lab itu masih beroperasi. Tapi aku tidak tahu bagaimana dan apa yang sedang berlangsung di dalam sana karena pengawalannya yang ketat. Aku bahkan kesulitan untuk menyusup. Tapi dengar-dengar mereka melakukan pengembang terkait potensi manusia yang super. Bukankah asset mereka sudah kabur?

Aku mencoba untuk membaca ulang pesan yang disampaikan oleh informanku. Dan disini aku yakin-seyakin yakinnya kalau mereka berniat mengembangkan sesuatu yang lebih baik dari Zero. Sesuatu yang bisa mengungguli Zero.

Aku pun melirik ke arah taman yang digunakan oleh anak-anak sekitar untuk bermain-main. Berkali-kali mereka mengajak Zero untuk ikut serta. Namun akhirnya Zero hanya bisa tersenyum dan menolak secara halus.

Jujur, setelah 3 hari dua malam melatih Zero dalam bertutur kata dan memahami berbagai macam norma yang ada, akhirnya Zero bisa 'paham' dan agak bisa bertingkah sesuai dengan kebiasaaan masyarakat sana.

Namun hal itu masih tidak menghentikan para nenek-nenek yang suka mencubiti pipinya. Aku pun maklum saja, disini kan susah ditemukan anak muda yang model-model Zero begitu (atau bisa dibilang Sai?)

Namun tiba-tiba saja mata Sai berubah dan ekspresinya menjadi penuh aura waspada. Dia memperhatikan sesuatu yang berada di kejauhan tepatnya di daerah pegunungan dan matanya segera bergerak ke arahku. Yang kutahu setelah itu adalah dirinya yang berlari dan merangkulku. Lalu dengan gerakan yang cepat Sai membuat kami berdua berlindung di bawah meja ketika sebuah peluru melesat dengan kecepatan tinggi melewati bagian atas kami.

"Kurasa mereka mengincar kita. Kita harus gimana?"

Tenang…

Mereka memiliki prinsip dan kedisiplinan yang tinggi. Aku yakin kalau mereka tidak mau melibatkan rakyat sipil. Peluru tadi melesat mengenai pot bunga mungil yang tertata di dekat jendela. Aku pun menghela napas dan menyadari kalau Sai masih dalam mode petarung. Dekapannya agak mengerat dan matanya masih sibuk menelusuri sesuatu yang mencurigakan di kejauhan.

"Neesan-"

"Kita masih di keramaian. Tidak apa-apa karena mereka tidak akan pernah melibatkan warga sipil. Lebih baik kita jalan-jalan keluar dan mencari keramaian dimana kita bisa berbaur dan menghilang…"

"Kita pindah tempat?"

Aku pun hanya tersenyum ketika melihat wajah penuh tanyanya yang imut-imut itu. Aku pun mengajaknya untuk berkemas barang-barang yang diperlukan. Dia hanya menurut dan ikut-ikutan mengemasi barang dan beberapa pakaian.

"Enggak… kita akan rekreasi!" ujarku dengan ceria. Dia hanya bingung karena kosakata yang kukatakan tadi termasuk baru baginya.

.

.

.

"Itu namanya gajah…."

"oooo…."

"Itu-"

"Monyet!"

"Enggak… itu namanya Gorilla.. memang asalnya sama tapi bentuknya saja yang beda," ujarku sambil menahan tawa. Sai malah sibuk memicingkan matanya dan mendekatkan diri ke arah dinding kaca yang membatasi antara dirinya dan gorilla itu. Yang diperhatikan akhirnya memukul bagian dinding kaca tepat di depan wajah Sai.

Untung Sai tidak dalam mode bertarung. Kalau sedang 'mode', kurasa dinding kaca yang berada di depannya sudah pecah berkeping-keping plus akan terjadi adegan gulat seru antara Sai dan gorilla.

Aku pun tepok jidat ketika bayangan hina itu menghampiri kepalaku. Sedangkan Sai sudah beralih ke bagian harimau yang bayinya malah sibuk mengikuti gerakan kepala Sai.

Beberapa pengunjung ikut menahan tawa ketika kepala bayi harimau ikut miring ke kanan dan ke kiri mengikuti gerakan kepala Sai. Namun Sai tiba-tiba saja terkejut dan memperhatikan refleksi orang-orang yang lewat melalui kaca dinding.

"Neesan, orang itu seringkali melihat ke arah kita," ujarnya sambil berbisik di telingaku. Tanganku sudah siap dengan senjata api yang kusembunyikan di dalam tas jinjingku. Kurasa mereka sudah tidak mengikuti kode lagi.

Ketika aku disibukkan dengan berbagai macam strategi yang harus kususun secara cepat, aku melihat seseorang berdiri tepat di belakang Sai yang menghadap ke arahku.

Dari releksi yang tertangkap di dinding kaca, aku bisa melihat dengan jelas….

Kalau sebuah pucuk senjata api sibuk menekan punggung Sai.

.

.

.

Tbc…

.

.

.

Well, sebelum Kasumi akhiri Kasumi ucapin met idul Fitri yachh…. (Kasumi bingung bikin kata-katanya karena Kasumi sendiri bukan ahli yang begituan *plak*) dan makasih sudah setia sama fanfic ini dan sabar menunggu hingga karatan…

Akhir kata

See you in the next chapter…. *tebar confetti di depan kipas angin*