You Idiot

Coffey Milk

Meanie Couple

Mingyu/Wonwoo

Rate T+—M

Warn! OOC, Typos, RnR, DLDR, Sho-ai

AU, Hurt/Comfort, Romance, Drama

"Hari ini tutup? Kenapa?" tanya Mingyu lewat ponsel di depan restoran tempat dia bekerja.

"Ryewook-hyung bilang dia punya keperluan sangat mendesak jadi restoran untuk hari ini dan besok tutup." Jawab suara dari sambungan telepon.

"Tsk. Bilang dari tadi. Aku sudah di depan resto, lalu sekarang aku harus apa?" tanya Mingyu kesal.

"Pulang kerumah atau terserah kau mau melakukan apa."

Mingyu berdecak, "Aku luang hari ini… hmm… tidak ada yang menarik." Batinnya, "baiklah, thanks, sampai nanti." lanjutnya pada sambungan.

"Iyup, bye."

Mingyu bersenandung sambil mematikan ponsel dan menyimpannya dalam saku. Ia lalu melangkahkan kakinya entah kemana. Dia bingung harus melakukan apa. Ia lalu menghentikan langkahnya untuk menatap langit yang sedikit mendung hari ini. Ia terdiam lama sekali sambil menyimpan tangannya di saku long coat yang ia pakai.

"Sebentar lagi pasti hujan." Bisiknya.

Tapi Mingyu tidak ingin pulang, ia sangat bosan, dan di apartment-nya sendiri akan semakin bosan. Ia kembali melangkahkan kakinya, berhenti sebentar untuk menunggu lampu merah lalu lintas menyala. Kemudian melangkahkan kakinya untuk menyebrang jalan bersama pejalan kaki yang lain. Ia melintasi trotoar, melewati pertokoan di sepanjang jalan dan masuk ke wilayah rumah penduduk.

Sunyi. Tidak ada anak-anak lewat atau bahkan orang dewasa sekalipun. Hanya dirinya. Tapi keadaan cukup nyaman, ia menikmati jalan-jalannya. Ia menemukan sebuah taman yang tidak terlalu besar dan duduk disalah satu kursi panjang disana. Ia terdiam, tidak melakukan apapun selain menatap langit.

Ia menghela napas panjang. Lalu mengambil ponsel dengan niat membunuh kebosanan. Dinyalakannya ponselnya dan segera tampilan walpaper ponselnya muncul setelah ia mengetikkan password. Sebuah walpaper berupa foto seorang pemuda dengan rambut hitam yang poninya menutupi setengah matanya. Foto itu diambil secara diam-diam, di foto dari arah samping dan sedang menatap langit dengan damai. Senyum tipis tercipta di bibir pemuda dalam foto itu.

Mingyu tersenyum melihat walpaper itu. Foto itu membuat hatinya terasa sejuk. Pemuda itu adalah pujaan hatinya. Mingyu menyukainya, tapi tak pernah sekalipun terbesit di pikirannya untuk mengatakan perasaannya. Hanya memandang dan mencoba melindungi dari jauh.

Orang-orang bilang, ia bodoh karena tidak segera mengatakan perasaannya dan hanya menatapnya dari jauh.

Tapi Mingyu tidak peduli.

Lalu orang-orang kemudian bilang, dia tidak serius dengan perasaannya. Hanya menatap dari jauh tanpa melakukan apapun? Terdengar sangat pecundang.

Mereka mungkin benar, ia pecundang.

Mingyu menghela napas. Sudah lebih dua bulan ia tidak memandangi pemuda itu lagi selain yang ada di ponselnya, maksudnya, secara nyata. Foto itu sendiri ia ambil tiga bulan yang lalu saat ia gencar-gencarnya mengikuti pemuda itu. Tapi setelah itu Mingyu harus menguranginya, ia punya tugas akhir yang syukur sudah selesai sebulan yang lalu juga kelulusannya. Ia kemudian bekerja sebagai chef di sebuah restoran dan karena restoran itu cukup terkenal, ia jadi semakin sibuk.

Mingyu jadi rindu. Tapi dia tak punya ide untuk mencari dimana pemuda itu. Ia tidak menemukannya dimanapun saat ia mencari di sela waktu sibuknya. Ia jadi khawatir.

Apakah pemuda itu baik-baik saja? Sehatkah? Bahagiakah?

Dan Mingyu tidak tahu jawabannya.

Ia lalu menekan layar screentouch ponselnya dan membuka program game dan tenggelam dalam permainannya. Sampai akhirnya ia bisa merasakan angin kencang yang dingin menyapa kulitnya. Ia mendongak, melihat ke langit, lalu men-save permainannya dan mematikan ponselnya lalu menyimpannya dalam saku.

"Mendung." Lirihnya dan berdiri lalu merenggangkan otot-otot nya yang kaku.

Dan setelah itu ia melihat sesuatu, lebih tepatnya seseorang. Berdiri dibalik tanaman bunga tulip, membelakanginya dan tangan orang itu memegang sesuatu yang di todongkannya sendiri di kepala. Tidak perlu berpikir lama, Mingyu tahu apa benda itu. Pistol. Orang itu mencoba bunuh diri.

Mingyu jadi panik. Apa yang orang itu lakukan?!

Orang itu mulai menekan pelatuk dan menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya, terlihat dari bagaimana pergerakan bahunya yang naik lalu turun.

Mingyu makin panik dan tanpa pikir panjang ia berlari kearah orang itu, mencekal lengan orang itu untuk menjauhkan pistol dari kepala orang itu. Orang itu menoleh dengan terkejut, begitu pula Mingyu yang sama terkejutnya melihat siapa orang itu. Sesaat kemudian ia merasa ia butuh oksigen lebih bebas.

"Apa yang kau lakukan?! Kau mau bunuh diri?!" tanya Mingyu dengan sedikit berteriak kearah orang itu.

Orang itu terdiam sejenak sambil mencoba melepaskan cekalan Mingyu dari lengannya, "Memangnya apa masalahmu?" suaranya dalam, seperti Mingyu, tapi ini lebih dalam.

Mingyu merebut pistol itu dari tangan orang itu dan menjawab, "Tentu saja! Ini masalahku jika kau bunuh diri di depanku!"

Orang itu mencoba merebut pistolnya dan Mingyu tidak membiarkannya, "Berikan padaku pistol itu. Kalau kau memang ingin aku tidak mati di depanmu, biarkan aku cari tempat lain."

"Apa?! Tidak!" seru Mingyu.

"Memangnya apa masalahmu kalau begitu?! Tidak usah ikut campur." Balas orang itu, raut wajahnya yang sedari tadi datar kini berubah kesal.

Mingyu tidak menjawab, tapi dia melepaskan lengan orang itu saat orang itu mengeluh tentang lengannya.

"Tidak baik membuang-buang nyawa kau tahu… aku minta maaf telah ikut campur.. tapi, bunuh diri bukanlah jalan terakhir—" Mingyu menghentikan ucapannya saat ia mencoba melihat detil pistol itu dan menyadari jika itu pistol palsu, pistol anak-anak dengan peluru berupa butiran kecil dengan diameter tidak sampai satu centi, setengahnya mungkin.

Mingyu melongo, lalu menatap orang itu yang kini raut wajahnya berubah datar lagi. Ia lalu kembali melihat kearah pistol itu, mengarahkannya ke tanah dan menarik pelatuknya.

Dor.

Pelurunya melesat dan memasuki tanah.

Mingyu lalu menatap orang itu lagi, merasa dibohongi, wajahnya memerah antara malu dan marah. Sedang raut wajah orang itu tetap datar, bahkan saat ia mengeluarkan pistol lain dari saku jaketnya dan mengarahkannya ke Mingyu.

"Ini yang asli." Ucapnya, "bagaimana jika aku tembakkan padamu dan kau mati duluan jadi aku bisa bunuh diri tanpa gangguanmu lagi?" tanyanya sambil mengarahkannya lagi ke wajah Mingyu.

Mingyu terkejut, ia melangkah mundur, sungguh ia tidak mau mati sekarang. Ia juga tidak ingin orang di depannya mati juga. Orang itu adalah pujaan hatinya, bagaimana bisa ia membiarkan pemuda itu mati?

Ia berjalan mundur dan mundur hingga menabrak tiang, orang itu semakin mendekat bahkan menempelkan tubuhnya pada tubuh tinggi Mingyu tanpa mengubah arah pistolnya dari wajah Mingyu.

Jantung Mingyu berdetak kencang, karena baru kali ini ia sedekat itu dengan pujaan hatinya dan ia tidak bisa melakukan apapun, ia merasa dirinya melemah, bukan hanya karena kedekatan mereka tapi juga karena pistol yang di todongkan padanya.

Orang itu menekan pelatuk dan Mingyu memejamkan mata, menunggu bagaimana peluru menembus kulitnya. Tapi daripada merasakan sebuah peluru di kulitnya, ia malah merasa semburan air di wajahnya. Ia membuka mata dan mendapati raut wajah orang itu tetap sama, datar, lalu tersenyum puas sambil menekan pelatuk dan menyemprotkan air lagi dari pistolnya, berkali-kali.

Mingyu merasa emosinya naik karena di permainkan dan di permalukan. Ia lalu mencekal lengan orang itu dan membawanya turun dengan kasar. Tangannya yang satu lagi mengarahkan pistol yang ber-peluru butir tadi kearah kepala orang itu kali ini.

"Berani sekali kau mempermainkanku. Kau tahu pistol mainan ini jika ditembakkan juga membuat sakit kulitmu karena pelurunya yang keras juga daya lesatnya yang cepat." Ucap Mingyu.

Orang itu menatapnya tepat dimata, "Lakukan kalau begitu, aku ingin merasakan sakitnya." Jawabnya.

Mingyu terdiam. Ditatapnya orang itu. Kulitnya yang pucat, mata yang tajam, bulu mata yang indah, hidungnya yang bangir, bibirnya yang pink, dan poni yang sebelumnya menutupi setengah mata kini bergeser hingga menampakkan kening. Wajah yang sempurna.

"Ayo." Ucap orang itu lagi.

Mingyu tidak tega, sejak awal ia tidak mau melakukan hal ini. Orang itu memejamkan mata. Menunggu rasa sakit yang akan datang. Namun setelah semenit ia menunggu rasa sakit itu tak kunjung datang. Ia membuka matanya, menatap Mingyu yang mendongak ke langit, dia jadi ikut mendongak kearah langit.

Hujan turun, bersamaan dengan munculnya aroma kuat petrichor yang menusuk hidung. Aroma—hujan yang jatuh ke tanah—yang menenangkan. Keduanya terdiam menatap hujan yang menghujam tanpa ampun ke bumi. Pakaian yang mereka pakai bahkan mulai basah.

Keduanya saling bertatapan. Mingyu lalu membuang pistol itu ke tanah juga pistol air yang di pegang orang itu kemudian menariknya untuk melangkah.

"Ayo berteduh." Ucapan Mingyu terdengar disela suara hujan.

Orang itu mengerjap menatap punggung pemuda tinggi dihadapannya itu. Ia membiarkan Mingyu menariknya untuk berteduh di sebuah halte.

.

.

"Dimana rumahmu?" tanya Mingyu.

Orang itu tidak menjawab. Mingyu jadi menyesal kenapa ia tidak pernah mengikuti orang itu sampai ke tempat tinggalnya, ia tidak ingin di cap stalker mengerikan.

Setelah menunggu lama sekali dan tanpa jawaban apapun, Mingyu menyerah, diliriknya diam-diam orang itu, dia tampak kedinginan. Tapi Mingyu tidak peduli, salah sendiri tidak menjawab pertanyaanku, pikirnya. Dan sebetulnya ia juga kedinginan.

Sebuah bus datang, dan tujuan bus itu merupakan tujuan Mingyu untuk pulang ke apartment-nya yang nyaman. Jadi, setelah permisi pada orang itu, ia naik bus. Orang itu tidak menjawab, malah mengikuti Mingyu masuk bus.

Mingyu menatapnya heran, "Kau juga punya tujuan yang sama?" tanyanya sambil membayar tarif bus dengan kartu id.

Orang itu mengangguk kecil, setelah itu keduanya berdiri sambil berpegangan pada gantungan tangan di bus itu. Keduanya diam, canggung. Mingyu baru kali ini sedekat pujaan hatinya dan mengalami hal diluar nalar yang membuatnya bingung, karena setahunya, pujaan hatinya tidak bersikap seperti ini, berpura-pura bunuh diri dan memainkan orang. Pujaan hati yang ia tahu orang yang baik dan lembut, juga pemalu.

Atau dia yang kurang memperhatikan?

Diliriknya diam-diam orang itu sepanjang perjalanan hingga akhirnya ia harus turun di sebuah halte. Anehnya, orang itu juga turun.

Keduanya terdiam. Mingyu memperhatikan hujan yang sepertinya tak kunjung reda. Mendapati dirinya sendiri sudah basah kuyup, ia memutuskan untuk menerobos hujan sambil menikmati bagaimana air hujan mengenai badannya.

Dan lagi-lagi, orang itu mengikutinya.

Mingyu meliriknya gelisah, seperti inikah rasanya di ikuti? Ia jadi ingat bagaimana dirinya dulu mengikuti orang itu, kali ini ia yang di ikuti oleh orang yang pernah ia ikuti.

Ia melangkahkan kakinya menuju gedung apartment-nya. Diliriknya lagi sosok yang mengikutinya. Orang itu menunduk.

Sebetulnya Mingyu tidak ingin berprasangka buruk, mungkin saja orang itu satu apartment dengannya, entah tetangga sebelah unitnya atau tetangga beda lantai. Tapi keadaan orang itu menunjukkan dia tak punya tujuan, hanya menunduk menatap tanah yang ia pijak, atau langkah kaki Mingyu yang berjalan menuju apartment-nya? Pokoknya, ia mengikuti Mingyu. Pemuda tinggi itu merasa punya ekor.

Ia membuka pintu kaca itu lebar-lebar, di suguhi pemandangan ruangan lobby dan melewatinya untuk berjalan menuju lift. Orang itu tetap mengikutinya dengan langkah yang terseret.

Mingyu jadi takut. Ia menatap orang itu sambil menekan tombol lift.

"Hey, kau tidak sedang mengikutiku kan?" tanya Mingyu, dan tak ada balasan.

Ting!

Lift terbuka dan orang itu masuk duluan. Mingyu melongo. Dia yang menekan tombol lift dan orang itu yang masuk duluan? Dengan dongkol ia pun kemudian masuk lift.

"Lantai berapa?" tanyanya dan tidak dapat balasan lagi.

Mingyu menghembuskan napas kasar dan bersikap tidak peduli. Ia menekan lantai tujuannya. Lantai lima. Orang itu tetap tidak bersuara dan Mingyu tetap sesekali melirik kearahnya.

Ting!

Sampai di lantai lima, Mingyu keluar dari lift dan berjalan menuju unitnya, dan seperti tadi orang itu tetap mengikutinya. Mingyu sekarang benar-benar yakin orang itu mengikutinya. Tapi dia sedikit khawatir jika ia memarahi orang itu, ternyata mereka bertetangga. Tidak lucu. Apalagi ia sudah di permainkan di insiden—bunuh diri dengan pistol—tadi. Ia tidak ingin malu lagi.

Ia sampai di depan pintu unit nya dan menekan tombol password dengan cepat. Orang itu berhenti di belakangnya. Mingyu menghela napas. Pintu unitnya terbuka, tapi ia belum mau masuk dengan keberadaan orang itu.

"Dimana unit mu? Nomor berapa?" tanya Mingyu kesal dan tidak ada jawaban.

"Oh, lebih penting lagi, dimana tempat tinggalmu?" tanya Mingyu lagi dan tidak ada jawaban.

"Sekarang aku yakin kau sedari tadi mengikutiku." Ucap Mingyu, ia menatap orang itu yang semakin menundukkan kepalanya.

"Jangan menunduk." Perintah Mingyu sambil menangkupkan kedua tangannya di sisi kepala orang itu dan mendongakkannya. Ia terdiam saat orang itu menatapnya masih dengan raut yang datar, tapi kali ini tatapannya kosong dan tidak bercahaya, pipinya juga basah. Mingyu tidak yakin apakah itu bekas air mata atau air hujan atau campuran dari keduanya.

Mingyu menatap mata itu, mencoba menyelami tatapan kosong itu. Wajah dan badan mereka dekat sekali.

"Apa yang kau inginkan?" bisik Mingyu.

Bibir itu bergetar saat menjawab, "B-b-biar-kan aku… t-ting-gal b-bersa-mamu…"

Dan Kim Mingyu tidak tega untuk menolak.

.

.

.

HAPPY BIRTHDAY KIM MINGYU—oppa.

Habis UN malah publish ff. baru pula. Wow. Lempar saja tomat untuk author satu ini. Dua ff meanie yang lain aja belum selese, buat lagi.

Yah.. pokoknya…

Met ultah buat abang tertinggi di Sebeuntin yang bertaring panjang kayak aku (btw, taringku lebih panjang dari dia, dua2nya bagian atas lagi, suwer/gadaygnanya) moga tambah tinggi/ey/ tambah ganteng, tambah pinter, tambah hitam/dilempar/, tambah sayang Mas Won to the Woo/woiwoi/-sama member yang lain juga deng—maksudku, moment kalian berdua ditambahin/dzigh, tambah lucu, tambah menggemaskan, tambah hot, tambah baik lagi, dsb, dll, etc.

Ini ff buat ultah dia? Mungkin u,u tapi ini belum selese hohoho… gatau juga mau nyelesein apa kagak, tergantung respon sih.

Key,

TBC or END or Delete?

Review~