HUNjustforHAN

Presents

.

.

.

.

.

BLACK PIANO

.

Chapter 14

.

(I recommend you to listen a song from Davichi – This Love)

.

.

.

Ibaratmu adalah kitab

Tersedialah aku sebagai ayat

.

.

.

.

.

Ada waktu dimana Sehun memikirkan segalanya, dan terselip waktu pula dimana dia merasa pantas untuk sekadar bahagia; setidaknya dia harus membahagiakan Luhan. Malam itu, Sehun menikmati kelopak mata Luhan yang menutup, setelah sempat diomeli tentang dirinya yang menempel seperti lintah di sisi Luhan sampai wanita itu gerah.

Hari kemarin sangat melelahkan, Luhan butuh tidur sebanding dengan dia butuh nasi. Tapi Sehun malah mencuri nasinya, lewat kecupannya yang bertubi-tubi memenuhi seluruh permukaan wajah Luhan. Sehun mendengar Luhan bernapas panjang.

"Akhirnya kau bangun."

Segera dia menjauhkan mukanya begitu mata Luhan menyipit. Laki-laki ini butuh pelajaran. Sehun dapat membaca itu dengan jelas. Tapi dia malah senang, senyumnya terbentuk, menginginkan Luhan mengigitnya sampai retas, atau terputus-putus sampai habis.

"Sudah pukul satu, kenapa belum tidur?"

"Aku lapar."

Kening Luhan mengkerut, bersatu dengan kantuknya. "Makan malammu berjalan baik. Piringmu kosong tadi. Apa maksudnya dengan 'aku lapar'?"

"Aromamu sangat lezat, dan kupikir aku lapar. Bukan perutku."

Cubitan Luhan di perutnya sudah seperti jarum suntik vaksin. Menyakitkan, tapi itu membuatnya kebal.

"Tutup matamu, baca doa dan segera tidur. Setelah ini aku tidak mau dengar rengekanmu karena haus."

Meskipun terkesan malas, tapi letak selimut Sehun diperbaiki. Luhan melakukannya layaknya mengurus bayi berumur lima bulan, padahal bayi besar itu sanggup membuatnya luntang lantung di ranjang.

"Boleh aku memimpikanmu tanpa pakaian?"

Telapak tangannya mendarat di dada bidang Sehun, bergerak lembut sebelum berubah menjadi satu kepalan yang menarik keras baju kaus lelaki itu.

"Tidur sekarang sebelum aku mendidihkan air."

"Aku tidak butuh air panas. Kamu cukup untuk memanaskanku."

"Aku manusia, bukan kompor."

Berat badan Luhan harus ditambah agar Sehun tidak sebegitu mudahnya meraih pinggangnya lalu menariknya mendekat. Atau dia harus bawa garpu untuk menyingkirkan kaki Sehun yang melingkar di pahanya.

"Aku suka menggulungmu seperti ulat, seperti ini."

"Jaga milikmu baik-baik Oh Sehun. Kalau sampai terbangun, aku tidak bertanggung jawab."

"Sedang kutahan. Jadi diam di tempatmu, kalau kau senggol sedikit saja akibatnya bisa fatal."

"Posisi ini menjebakku."

.

.

.

.

Baekhyun pikir, dia lebih cantik dari putri kecantikan sebenua Asia. Jika otaknya cukup memadai, mungkin namanya sudah tercantum dalam list miss universe dan pulang mengantongi gelar terfavorit. Berbagai survey di media sosial juga mengatakan bahwa Baby B alias Byun Baekhyun itu punya kecantikan alami bahkan sebelum dia menetes dari rahim ibunya. Dia berada di peringkat teratas dalam kategori 'aktris wanita' yang ingin diajak kencan. Well, setidaknya itu cukup menjadi latar belakang kenapa dia merasa ada yang salah pada Chanyeol.

"Apa gaun tidurku kurang pendek?" serunya tiba-tiba, bersandar di kepala ranjang dengan tangan terlipat di dada dan kaki lurus bersilang.

Chanyeol, makhluk tinggi yang rasanya ingin Baekhyun lempari telur burung itu menoleh dari kursinya. Layar laptopnya masih hidup.

"Kurang pendek apalagi? Aku bahkan bisa lihat warna celana dalammu dari sini."

"Apa kurang tipis?"

Alis Chanyeol merapat, melekuk tiga puluh lima derajat. "Aku tidak yakin apakah itu kain atau hanya sebungkus plastik. Kau tidak pakai bra. Terlihat jelas."

Lalu telunjuk Baekhyun mengarah kepadanya. "Berarti masalahnya bukan pada gaun tidur ini, tapi pada kau, Park Chanyeol."

"Kenapa lagi Byun Baekhyun?" sahut Chanyeol tenang, kembali pada beberapa poin di laptopnya. Dia lupa pada seseorang yang meluangkan waktu sibuknya hanya untuk merasa terabaikan.

"Orientasi seksualmu masih mengarah pada wanita kan?"

"Jenis kelaminmu masih wanita kan? Kalau begitu, iya."

"Lalu maksudnya apa dengan masih berada disana?"

"Lalu maksudmu aku harus berada dimana?"

"Disini! Di atasku! Gaun tidur ini tidak kubeli untuk mengelap meja dapur!"

Chanyeol masih fokus pada laptonya, hanya saja Baekhyun tidak akan melihat betapa maksimal Chanyeol bertahan agar tidak meledak dalam gelegar tawanya. Baekhyun si jalang yang haus telah kembali, menginginkan Chanyeol menggodanya habis-habisan meskipun gaun tidur limited edition-nya harus berakhir menjadi potongan kain perca. Dia tidak peduli selama Chanyeol mau melompat ke atasnya.

"Sebentar. Urusanku belum selesai." Tapi Chanyeol malah tidak bergerak. Napasnya yang membuktikan dia masih hidup.

"Cepat selesaikan sebelum aku menyirammu dengan minuman peransang!"

Dia berusaha tidak terpengaruh pada kalimat kotor Baekhyun. "Minuman perangsang itu diminum, bukan disiram."

"Apapunlah! Yang jelas sekarang cepat tutup laptopmu sebelum aku menjambakmu dari sana!"

"Masih ada beberapa yang harus kukerjakan. Tidur saja duluan."

Apa Chanyeol bercanda?! Sejak tadi Baekhyun berteriak seperti singa betina di musim kawin, merengek-rengek minta digagahi sampai kerongkongannya perih, lalu tidur saja duluan apakah sebuah jawaban yang logis? Atau setidaknya berperasaan?

Park Chanyeol terkutuk!

Baekhyun juga punya harga diri meskipun harga dirinya menempel pada bra yang disembunyikannya di balik bantal. Apa bagi laki-laki merengek seperti ini tidak butuh perjuangan? Brengsek sekali.

Salahkan Baekhyun yang menggebu-gebu, tertawa girang ketika paket gaun tidur limited edition datang ke apartemennya. Imajinasinya berpencar liar, menggambarkan liur Chanyeol akan menetes tidak tertampung malam ini. Dan sekarang Baekhyun dimuntahkan oleh imajinasinya sendiri. Dia merasa payah.

Dengan hati yang setengah patah, diraihnya bra dari balik bantal. Gaun tidurnya tidak lagi membuat dirinya merasa cantik, jadi dia melepaskannya begitu saja. Dia butuh bra melingkar di dadanya sekarang karena Chanyeol bahkan tidak bernafsu menoleh. Baekhyun menyerah.

Dia berdiri, mengambil mini dress-nya di stand hanger belakang pintu, memakainya ringkas lalu menaikkan tali tas ke pundak. Pulang adalah hal terbaik yang melayang dipikirannya. Chanyeol menghempas angan-angannya untuk mengabiskan free weekend dengan kegiatan berkualitas di dalam selimut, lalu sekarang yang tertinggal hanya rasa kesal yang menggumpal rekat-rekat.

"Dimana gaun tidurnya?"

Baekhyun tidak menjawab, fokus mengikat rambutnya membentuk ekor kambing.

"Gaun tidurnya bagus. Kenapa diganti?"

Sumpalkan saja gaun tidurnya pada mulut Chanyeol! Baekhyun butuh kunci mobil.

"Mau kemana?"

Pulang tentu saja. Apalagi?

"Sudah larut. Bahaya kalau— Baek! Baekhyun!"

Oh, Sial! Kenapa jadi begini?

Baekhyun tidak pernah main-main dengan kata pulang apabila tali tas sudah tersangkut di pundaknya. Chanyeol yang totol hanya bisa mengejar, mencegat wanita itu sebelum dia meraih pintu keluar.

"Baekhyun."

Jawaban kosong. Namun ketika Chanyeol membalik tubuh Baekhyun menghadap ke arahnya, urat leher Baekhyun menandakan dia menampung banyak kekecewaan. Matanya sudah merah, siap meledak kapanpun Chanyeol mematik korek api.

"Masuk ke kamar."

"Aku mau pulang," tolak Baekhyun, menyingkirkan lengan Chanyeol.

"Siapa yang mengizinkanmu?"

"Siapa yang meminta izin?"

Batok kepala masing-masing mulai terbentuk, keras dan saling terbentur.

"Byun Baekhyun, ikut aku ke kamar."

Baekhyun tidak mau! Tangan Chanyeol terhempas sekali lagi. Hormon kebahagiaannya sudah kacau balau, melintang pungkang saling bersenggolan. Dia tidak mau bicara lagi karena ujung lidahnya sudah penuh dengan makian. Fuck it!

High heel hitam terpasang di kakinya yang dingin, berkata bahwa tumit ini akan menyelamatkannya sampai ke negeri seberang. Bersama satu helaan napas demi menahan air yang menggantung di pelupuk matanya –oh, Baekhyun benci ini—, knop pintu diraih. Terbuka, sebelum Baekhyun terlonjak kaget dengan satu dentuman tepat dihadapannya, lalu… tertutup.

Satu lengan Chanyeol berada tepat di sisi telinganya. Aroma woody yang masukulin mengganggu penciumannya, napas Chanyeol di leher juga mengganggunya.

"Candaanku keterlaluan, maaf."

Getaran di jantungnya sudah Baekhyun stabilkan, hanya saja suhu tubuhnya yang bermasalah ketika Chanyeol mengecup rambutnya.

"Mengabaikanku itu tidak lucu."

"Aku hanya terlalu suka kau menggodaku seperti tadi."

"Tapi tidak untuk berjam-jam."

"Itu salahku. Maaf."

Baekhyun menggigit bibir. "Mood-ku sudah hancur," keluhnya kemudian menunduk.

"Tidak akan sehancur itu kalau kita kembali ke kamar."

"Aku tidak mau menggodamu lagi."

Syaratnya dikeluarkan, namun Chanyeol malah mengecup lehernya dan menetap disana.

"Aku yang akan menggodamu habis-habisan," bisik laki-laki itu, menarik resleting belakang minidress Baekhyun, menjatuhkannya dari pundak dan memojokkannya di dinding. Tangannya mulai menjalar ke dalam ujung minidress pacarnya, dan yang bisa Baekhyun lakukan hanya bertumpu pada dinding agar tidak tumbang, atau berkonsentrasi baik-baik agar mood-nya tidak terjun bebas lagi.

.

.

.

.

"Jadi, maksudmu?"

"Aku akan pindah. Jongin mengajakku tinggal bersama dan kupikir Sehun sudah disini untuk menjagamu."

Luhan terdiam, berpikir sebentar. Cangkir tehnya diletakkan ke meja. Dihadapannya ada Kyungsoo yang nampak senang sekaligus bersalah. Bulat matanya mengerjap sesekali.

"Jadi kita akan hidup di rumah terpisah?"

"Yeah, begitulah normalnya." Normalnya pada wanita yang sudah berpikir tentang rumah tangga.

"Kapan Jongin akan merampokmu dari sini?"

"Tiga hari lagi, itupun kalau dia tidak berubah pikiran dan mempercepat semuanya."

"Aku akan menginap di kamarmu sampai hari kau pindah."

Senyum Kyungsoo sedikit sangsi. "Lalu Sehun?"

"Bisa kutidurkan terlebih dahulu."

"Aku tidak yakin tenagamu masih cukup untuk pindah ke kamarku setelah menidurkan bayi besar itu. Dia bahkan pernah membuatmu nyaris pingsan kan?"

Kyungsoo mengelak dari bantalan sofa yang dilemparkan Luhan, tapi pundaknya masih terkena sedikit.

"Berhenti membahas masalah ranjang orang lain, Do Kyungsoo! Kau punya laki-laki cokelat seksi di ranjangmu!"

"Yang tahan lama."

"Sialan!"

Gelak tawa ini akan menjadi sebuah kerinduan, maka Luhan menikmatinya dengan baik sebelum tercipta jarak antara dirinya dengan Kyungsoo. Akan sulit menemukan sosok cerewet tapi penuh kasih sayang seperti makhluk betina ini.

Kyungsoo menyesap teh agar tawanya reda, meskipun sesekali dia tetap tersenyum.

"Kemana Sehun?" tanyanya.

"Busan."

"Menghindari zombie?"

"Dia induk zombie kurasa. Kerjaannya hanya menggigitiku sepanjang hari."

Kyungsoo terbatuk, jenis batuk disengaja.

"Oke, sudah cukup bagian cerita zombienya, jadi sekarang beritahu aku alasan manusiawi kenapa Sehun ke Busan?"

Luhan meraih cookies buatan Kyungsoo dari dalam toples. Butiran coklatnya sangat menarik.

"Ibunya menitipkan sebuah surat, dan sekarang Sehun mengantarkan surat itu kepada pemiliknya."

"Surat apa?"

"Aku kurang tau. Amplopnya merekat."

.

.

.

.

Amplopnya tersampaikan disini, pada seorang laki-laki umur lima puluhan yang tersenyum ramah. Meskipun ada pengharum ruangan di salah satu sudut, tapi Sehun masih mencium bau obat-obatan yang steril.

Dr. Yoo yeon seok, spesialis bedah saraf. Sehun membaca nama di dada kiri laki-laki itu. Sepertinya dia punya jabatan tinggi lain daripada sekadar dokter spesialis yang luar biasa.

"Tiffany yang— maksudku ibumu— yang menulis surat ini?" Apa kabar? Kau sudah besar.

Sehun mengangguk ragu, "Ya. Ini dari ibu. Maaf, tapi saya tidak pernah tau jika ibu mengenal anda," canggung pada senyum ramah yang diberikan dokter Yoo.

"Ada sesuatu yang ibumu katakan tentangku?"

"Teman."

"Teman?" suratnya dilipat, kemudian masuk dalam saku jas dokter Yoo, menyelip di antara pulpen dan penlight. "Hanya teman?"

"Saya rasa begitu."

"Bagaimana dengan, mantan kekasih?"

"Maaf?" tanda tanya besar Sehun pasang di kedua bola matanya. Sedangkan dokter Yoon malah menggeleng sambil tertawa kecil.

"Tidak. Bukan apa-apa. Hanya candaan gagal."

Sehun tidak punya alasan tersenyum, namun dia tetap melakukannya, setidaknya agar dokter Yoo tidak patah semangat pada candaannya yang kelewat garing. Dan dia tidak punya alasan lain untuk berlama-lama disini. Rindunya mulai bergemuruh menginginkan pelukan Luhan.

"Karena suratnya telah sampai pada anda, kalau begitu saya permisi."

"Tunggu." Dokter Yoo beranjak dari duduknya, mengambil sesuatu di laci dan kembali pada Sehun. "Ini." sebuah kartu nama diberikan padanya, namun bukan milik dokter Yoo.

"Yoo In Ha, Vresler Company."

"Itu perusahaan adikku. Aku akan mengirimkan surat rekomendasi untukmu."

"Tapi—"

"Jangan kecewakan ibumu, dia yang memintanya." Dan karena kamu adalah anak laki-lakiku.

.

.

.

.

Setengah genggam sawi Luhan masukkan lagi dalam kulkas. Sambil menunggu Sehun pulang, Luhan berencana masak sedikit lebih banyak. Dia mau mengisi perut Kyungsoo dengan segala sesuatu yang enak sampai wanita itu kesulitan bernapas.

Tapi sialnya, Jongin adalah kesialan.

Tiba-tiba saja kepalanya muncul di balik pintu dan menculik Kyungsoo begitu saja tanpa sempat Luhan melemparkan panci ke kepalanya. Keparatnya lagi, Jongin berteriak kalau dia tidak akan memulangkan Kyungsoo malam ini. Well, sebenarnya pindah tiga hari lagi itu tidak benar sepenuhnya. Yang belum Kyungsoo lakukan hanya memindahkan barang ke apartemen Jongin, sementara mereka sudah saling memiliki tubuh di ranjang.

Lalu ketika irisan terakhir bawangnya selesai, pintu depan rumah bergeser. Laki-laki tampannya muncul dengan wajah lelah. Kancing atas kemeja birunya sudah lepas.

"Temukan sesuatu di dapur!" teriaknya, berhasil membuat Sehun menoleh lalu berjalan cepat ke arahnya dengan senyuman. Lelah Sehun tersamarkan. Rindunya seperti tidak pernah habis.

"Pisau selalu membuatmu bertambah seksi." Ujar Sehun yang tiba-tiba sudah berada di balik punggungnya. Luhan menemukan kepala Sehun merunduk tepat di atas bahu sebelah kanannya.

"Jauhkan tangan itu dari pahaku kalau tidak mau pisau seksi ini menjadi kalung di lehermu."

"Akan ku jauhkan." Sehun menjauhkan tangannya, tapi malah membuat Luhan menggeram.

"Pindahnya bukan di dadaku, Oh Sehuuuun."

Dan Sehun tidak pernah benar-benar peduli. Disingkirkannya pisau itu jauh-jauh lalu membelit tubuh Luhan seperti lakban di kotak paket. Semakin bergerak semakin erat.

"Apa yang kau lakukan?! Longgarkan sedikit, aku sesak."

Sehun malah menyelinap di lehernya, menghirupnya sampai seluruh cairan di tubuh Luhan mengering.

"Menurutmu apa mejanya cukup kalau kau kubaringkan disini?"

"Oh Sehun, kerasukan apa sih?"

"Bukan aku yang kerasukan, tapi aku yang ingin merasukimu. Kau selalu terlihat lezat, lebih dari apapun."

"Otakmu kau jual ya?"

"Kalau iya memangnya kenapa?"

"Seharusnya kau jual ginjal saja, kita bisa dapat uang banyak, tapi tetap membuatmu jadi manusia berotak."

Ada senyuman terselip saat Sehun menggigit rahangnya, menggesek-gesekkan giginya dan Luhan tau itu cara Sehun menggemas. Rahangnya jadi lembab kalau begini, Sehun terkadang jorok. Tapi mereka punya banyak tisu dan Sehun punya banyak ciuman.

Kemudian jemarinya diraih laki-laki itu, dimainkan sampai Luhan merasa dandelion sedang beterbangan di atas kepalanya.

"Jari manismu kosong."

Satu titik di remang ingatan Luhan mengulas sesuatu, otot pipinya berkedut secara involunter.

"Cincinku patah."

"Mau kubelikan yang baru?" Dia menoleh ke belakang, dengan satu memori yang menghamburkan hormon oksitosin menyebar ke seluruh pembuluh darahnya. "Tapi syaratnya," Dia masih ingat kelanjutan dialog ini, dan itu membuatnya menarik napas. Sehun mendekat ke telinganya, "menikah denganku."

"Ini lamaran?"

"Bukan. Tapi pemberitahuan kalau kau harus menikah denganku. Tidak ada option menolak disini, sayang sekali."

"Lalu kapan cincin barunya masuk ke jari manisku?"

"Minggu depan menurutmu oke? Hanya pernikahan sederhana, sebuah pemberkatan di gereja dan sedikit pesta kecil, sebelum aku masuk kerja. Aku sudah minta bantuan Baekhyun."

"Kerja? Kau dapat kerja?"

"Ya. Teman ibu yang kutemui tadi merekomendasikanku ke perusahaan milik adiknya. Kurasa pengalamanku cukup membantu disini."

"Dimana? Sebagai apa?"

"Vresler Company. Sebagai manager pemasaran. Kebetulan manager yang lama harus pindah ke luar kota."

"Apa aku calon istri seorang manager pemasaran sekarang?"

Dulu kau hampir jadi istri seorang CEO. "Ya, begitulah. Apa terdengar keren?"

"Tentu saja! Kau akan jadi manager tertampan disana, dan aku adalah calon istrinya."

"Tapi banyak wanita seksi disana, mereka mungkin akan bergelantungan di lenganku."

"Kau mau kugantung dimana? Pintu rumah atau pintu kamar mandi?"

Sehun hampir tersedak ketika menahan diri agar tidak tertawa, namun pada akhirnya dia tetap meledak. Kenapa Luhan menggemaskan sekali? Rasanya Sehun ingin menjilatnya sampai lecet.

"Jadi, mau menikah denganku 7 hari lagi?"

Luhan menggumam panjang, mengetukkan jari pada lengan Sehun yang melingkar di pinggangnya. Jantungnya berdebar, tapi dia bertingkah baik-baik saja, atau berpura-pura teguh di atas kakinya yang nyaris meleleh.

"Kalau begitu kita tidur terpisah sampai minggu depan."

"APA?! Kau bercanda?!"

"Aku serius."

"Tidak, Tidak boleh begitu."

"Harus."

"Kalau begitu pernikahannya dipercepat. Tiga hari lagi?"

"Kau mau aku pakai daun pisang ya di hari pernikahanku?"

.

.

.

.

Yang Luhan tau dari seorang Byun Baekhyun, dia punya penggambaran teramat bagus tentang apapun yang terlintas dalam otaknya, melalui beberapa runtai kalimat ataupun berbagai tingkah yang kadang membuatnya sedikit aneh. Tapi secara keseluruhan, Byun Baekhyun itu incredible thing.

Seperti saat dia berteriak heboh begitu Luhan muncul di pintu apartemennya, atau ketika dia tiba-tiba mati kutu begitu menemukan Kyungsoo ada di belakang Luhan. Byun Baekhyun itu lucu, kadang-kadang.

Dan Luhan menemui betina ini untuk konsultasi gratis mengenai gaun pengantin, Sehun yang merekomendasikannya. Menurut Sehun, Baekhyun itu punya banyak kenalan sehingga peluang dapat potongan harga lebih besar. Luhan langsung setuju, tentu saja.

"Ini cokelat pemberian fans saat aku fansmeeting di Paris. Itu teh hijau ku beli langsung saat pemotretan di Jepang. Dan yang itu, aku bahkan tidak tau namanya. Atau yang itu, namanya terlalu sulit di lidahku. Yang jelas semua ini bersih. Kalian tidak perlu khawatir, tanggal kadaluwarsanya masih lama kok. Ayo di makan."

Lalu yang terjadi selanjutnya adalah Luhan dan Kyungsoo saling berpandangan. Bukan karena ada lalat di minuman mereka ataupun belatung di irisan cokelat cake di piring kecil itu, tapi meja kaca bulat berdiameter sekitar satu setengah meter ini sudah seperti buffet dengan menu all you can eat. Baekhyun bahkan menyiapkan teh hijau, air mineral dan orange juice sekaligus.

"Kau baru mengadakan pesta ya?" Kyungsoo mencicipi permen coklat dari salah satu wadah. Diet kalorinya sedikit terabaikan. Kapan lagi bisa menikmati cokelat paris yang lezat dan mahal?

"Pesta? Aku tidak punya pesta apapun semalam."

"Lalu semua hidangan ini?"

"Tentu saja untuk kalian."

"Kurasa semua tamumu akan merasa duduk di toko roti alih-alih ruang tamu. Dari persediaan makanan yang luar biasa, kau pasti menerima banyak kunjungan."

Pipi Baekhyun menggembung, dia menggeleng. "Tidak juga," katanya, meraih gelas orange juice-nya. "Hanya ibu, ayah, Sehun dan managerku yang sering kesini. Kalian adalah teman perdana yang berkunjung ke apartemen pribadiku. Aku senang punya teman. Kalina harus sering-sering kemari."

"Teman? Apa kita termasuk teman?"

Luhan menyenggol siku Kyungsoo saat dia merasa wanita itu berlebihan, Baekhyun terlihat murung. Bulu mata palsunya melengkung. Seperti baru saja ditolak bahkan hanya untuk sebuah pertemanan. Bagaimana mencairkan suasana ini?

"Aku berteman dengan siapapun," ujar Luhan akhirnya, meraih potongan waffle vanilla dalam piring putih, berharap Kyungsoo tidak terlalu kejam ataupun Baekhyun cukup berhati lebar. Kemudian Baekhyun mengejutkan Luhan dengan meloncat ke sampingnya.

"Kau dengar itu? Luhan temanku sekarang." Dia bersemangat, sengaja menyinggung Kyungsoo. Mereka seperti anak TK yang berebut penghapus Barbie.

"Bagaimana kabar managermu? Maksudku, manager sekaligus pacarmu. Kalian sudah baikan?"

"Yap. Kami baikan. Dia sedang beli buah di minimarket bawah. Mungkin sebentar lagi kembali."

Uhuk!

"Kyung, kau baik?"

Air mineralnya tinggal separuh, Kyungsoo mengetuk dadanya selagi dia mengangguk. Mukanya terlihat merah. Lalu pintu depan rumah menginterupsi kegiatan mereka.

"Itu dia, manager sekaligus pacarku. Park Chanyeol."

Dan dari mata yang bertemu sosok tinggi berjaket hitam, menjinjing kantong putih berisi banyak buah, ataupun topi yang baru saja dilepasnya, Luhan nyaris mati tersedak. Otomatis lirikannya tertuju pada Kyungsoo yang menarik napas pelan-pelan. Tidak sempat dilihatnya Chanyeol yang mundur beberapa langkah ke belakang, sama terkejutnya.

Baekhyun melompat lagi, menghampiri Chanyeol lalu mengapit lengannya, dan kesempatan itu Luhan gunakan melirihkan nama Kyungsoo.

"Kyung.."

"Sstt. Diam."

Astaga! Kenapa Luhan bodoh sekali! Kenapa dia tidak menyadarinya sejak awal! Dari ribuan laki-laki bernama Park Chanyeol, kenapa harus yang ini?

.

.

.

.

"Semuanya baik?"

Menggigit bibirnya, Luhan mengangguk pelan. Sayangnya Sehun tidak makan kebohongan selahap dia makan sup jamur.

"Baekhyun dan Kyungsoo tidak saling jambak kan?"

Dia menggeleng, tersenyum simpul. "Untungnya tidak. Tapi….."

"Tapi?"

"Ini tentang manager Baekhyun." Sendok di tangan Luhan langsung tersusun rapi di samping mangkuknya, dia punya semangat yang tinggi dan kening Sehun hanya bisa berkerut. "Kau kenal Chanyeol sudah lama?"

"Kira-kira empat atau lima tahun lalu. Kenapa?"

"Sudah berapa lama Baekhyun dan Chanyeol menjalin hubungan? Maksudku, hubungan yang special."

"Entahlah. Tiga tahun atau berapa, aku tidak yakin."

Sehun menyuap satu sendok ke mulutnya selagi menunggu Luhan selesai memutuskan apa yang akan dia bicarakan. Wanita itu sedang menggigit kuku. Biasanya Sehun akan menegurnya, tapi kali ini tidak.

"Sehun, aku mau cerita sesuatu."

"Apa?"

"Aku terlambat menyadarinya, dan sekarang aku paham kenapa Kyungsoo tidak menyukai Baekhyun."

"Maksudmu?"

"Sebelum bersama Jongin, Kyungsoo pernah punya hubungan serius. Mantan pacarnya itu sangat sibuk sehingga aku jarang melihat mereka berdua. Dari pembicaraan di telpon, aku tau Kyungsoo punya perasaan yang bagus pada pria itu. Lalu tiba-tiba saja, mereka putus."

"Karena?"

"Mantan pacar Kyungsoo jatuh cinta pada artisnya."

Sehun rasanya ingin menelan sup jamur itu berserta mangkuknya. Luhan jadi humoris sekali. "Jadi maksudmu, mantan pacar Kyungsoo itu fanboy paling beruntung yang jatuh cinta pada artisnya lalu dicintai balik?"

"Kau benar-benar menjual otakmu." Luhan cemberut, dan Sehun masih saja belum mengerti.

"Lalu maksud jatuh cinta pada artisnya sendiri itu ap— tunggu! Jangan katakan kalau—"

"Iya! Chanyeol itu mantan pacarnya Kyungsoo. Baekhyun adalah alasan mengapa mereka putus. Dan itu melatar belakangi kenapa Kyungsoo menjadi antifan sejatinya Byun Baekhyun. Tapi sepertinya Baekhyun tidak tau dan Kyungsoo maupun Chanyeol sama-sama menyembunyikannya."

"Oh, ini pertanda buruk."

"Semoga tidak seburuk itu."

"Sebenarnya ada yang lebih buruk."

Luhan melototkan matanya, "Apa?" desaknya pada Sehun, penasaran setengah mati. Apa yang lebih buruk daripada ini?

"Malam ini kita tidur terpisah."

Lalu saat Sehun terdengar mengaduh, itu berarti tendangan Luhan di tulang kakinya tepat sasaran.

.

.

.

.

Katakanlah bahwa Sehun itu tampan, Luhan sudi berenang sepanjang Sungai Han dua kali putaran untuk mengatakan pada anak kodok bahwa laki-lakinya benar-benar tampan. Dia juga berani menampar mulut piranha jika heartless fish (versinya) itu berani mengingkari ketampanan pacarnya. Tapi Luhan akan menyimpan semua itu untuk dirinya sendiri. Rasa kagumnya pada dagu Sehun, air liurnya yang nyaris jatuh setiap kali melihat Sehun hanya dililit handuk sepinggang, atau rambut hitam lebatnya yang ingin Luhan jambak sepanjang hari, Luhan rasa di berada pada fase kenyang dengan nafsu makan yang menyala-nyala. Dia ingin melahap Sehun habis-habisan, namun harga dirinya membuat Luhan bertingkah seolah dia seorang vegetarian.

Mulut Luhan sudah melebar lima kali, kantuknya mulai membuat matanya berair, hanya saja kutu beras bernama Sehun itu masih melingkarkan lengan di pinggangnya, bertanya tentang model undangan pernikahan yang bahkan sudah mereka bahas sejak kemarin. Lagipula, mereka hanya mengundang orang terdekat, tidak sampai 50 malahan.

"Yang hitam, pita silver! Aku tidak mau yang lain! Dan sekarang bisakah aku pergi tidur?!"

Sofa mulai terasa keras dan berapi di bawah pantat Luhan, mungkin sebentar lagi asapnya mengepul. Saat seperti ini, Luhan ingin menarik semua ludahnya yang keluar demi melantunkan pujian untuk Sehun.

"Undangan sudah, kalau begitu menu makan. Kita belum memilih menu makan yang—"

"Oh Sehun! Menu makanannya sudah kita pesan kemarin! Tolong, hanya tidur yang kubutuhkan sekarang! I'm badly sleepy!"

Telinga Sehun tidak tuli untuk mendengar bahwa Luhan mulai berteriak di dekapannya, tapi dia malah meletakkan dagunya di bahu sempit Luhan lalu menguap.

"Aku juga mengantuk. Sangat"

"And what the hell are you doing now?!"

"Aku lebih baik menahan kantuk daripada tidur terpisah."

"Demi Tuhan Oh Sehun! Hanya tidur di kamar berbeda, yang bahkan pintunya saling berhadapan! Kenapa bertingkah seperti aku tidur di surga dan kau hampir ditendang ke neraka?!"

"Otakku butuh operasi. Kenapa kutukanmu terdengar sangat seksi?"

Meskipun senyum idiot itu hinggap di sudut bibir Sehun, namun rambut-rambut halus di lehernya berkata lain.

"Oh Sehun."

Panggilannya tidak bernada.

"Ya?"

"Dengarkan aku baik-baik."

Seperti malaikat maut.

"Ya"

"Singkirkan tanganmu, sebelum kakiku menginjak sesuatu di antara selangkanganmu. Aku-serius."

Oh Sehun cukup tau, ini kata lain dari pistol berisi peluru timah panas yang ditodongkan tepat di kepalanya, dan itu membuatnya mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. Namun sebelum Luhan beranjak dari sisinya, Sehun masih sempat berbisik. "Jangan menginjak-nya, karena dia yang membuatmu puas." Dan dia cukup puas mendapatkan ujung siku Luhan tertancap tepat di sudut perutnya.

Ah, sepertinya Sehun butuh transplantasi ginjal besok.

.

.

.

.

Terdapat pertengkaran-pertengkaran kecil tidak bermutu yang terjadi beberapa hari sebelum pemberkatan. Luhan sibuk melatih mentalnya, ditemani Baekhyun dan Kyungsoo yang mulai terlihat akur, dan Sehun yang sibuk memintanya kembali ke rumah. Sialnya lagi, Baekhyun dan Kyungsoo sepakat menculik Luhan dan tidak mengembalikannya sampai sekarang, sampai besok mereka akan menikah. Tuhan, setiap malam Sehun merasa tidur di peti mati tanpa Luhan.

Kehadiran Junhyung disini tidak cukup membantu, tapi cukup menghibur, tapi terlalu berisik dan terlalu ajaib. Mulutnya terus membacakan petuah-petuah tentang bagaimana menjalani rumah tangga yang harmonis, dan Sehun berani bersumpah kalau Junhyung hanya copy-paste dari internet. Manusia produk gagal tersebut memangnya tau apa tentang pernikahan? Pengalaman percintaannya bahkan sebatas karya fiktif belaka.

Selain Junhyung, entah ada badai di bagian mana, Jongin dan Chanyeol juga terdampar disini. Tidak jauh berbeda, mereka juga diusir dari apartemen Baekhyun.

"Sungguh, apa sih isi otak perempuan-perempuan disana?" Chanyeol menjatuhkan ponselnya, kemudian menaikkan kakinya ke atas meja tanpa merasa peduli Sehun terganggu atau tidak. Karena sesungguhnya Sehun dan Jongin juga melakukan hal yang sama. "Mereka seperti berada di pulai terpencil, yang terisolir, sangat terlarang dan penuh kutukan."

"Dan tidak ada signal maupun charger." Jongin menimpali sambil menggoyang ponselnya ke udara. Korban panggilan tidak terjawab. Kyungsoo juga bertingkah satu hal.

"Aku penasaran apa yang perempuan-perempuan centil itu lakukan." Chanyeol mulai lagi. "Apa mereka sedang pesta bikini atau apapun yang membuat laki-laki dilarang bergabung? "

Junhyung yang terabaikan di sofa single juga ikut menimpali. "Mungkin mereka mengadakan 'pesta lajang' sebelum hari pernikahan." Sebenarnya dia asal bicara, tanpa pernah tau jika mulutnya menciptakan sesuatu yang sensasional.

"Pesta lanjang?!" Seru Sehun, langsung duduk tegak. "Maksudmu?"

"Ya, pesta yang normalnya manusia era modern setengah waras lakukan sebelum mereka terlibat dalam kasus bernama pernikahan. Sedikit berpesta-pesta." Ujar Junhyung, menggoyang sedikit badannya agar lebih meyakinkan.

"Apa yang biasanya perempuan lakukan saat 'pesta lajang'?"

"Ya, sesuatu yang seperti itu."

"Seperti itu?!" Dua orang lain berseru. "Seperti apa?!"

"Inviting-other-fucking-sexy-hottie-men."

"WHAT!"

Ho ho. Junhyung bertepuk tangan dalam hati, memberikan penghargaan pada mulutnya yang luar biasa provokatif. Siapa suruh mengabaikannya sejak tadi. Junhyung juga punya perasaan. Dan perasaannya terpuaskan begitu melihat mata para lelaki disana melebar.

.

.

.

.

"Berapa banyak garamnya?"

"Setengah sendok teh."

"Segini?"

Kyungsoo berdecak, tangannya berada di pinggang sambil memegang spatula kayu. Sementara ada Baekhyun di hadapannya yang kebingungan. Dia sudah mengambil setengah sendok garam, tapi kenapa Kyungsoo seperti akan menuliskan nilai nol besar di kening Baekhyun dan menyuruhnya mengulang pelajaran tentang mengenal peralatan dapur tahun depan?

"Serius nona Byun, kau pernah menyentuh dapur tidak sih?"

Dahi Baekhyun tambah berkerut. "Apalagi yang salah? Garamnya terlalu banyak? Kau bilang setengah sendok teh." Dia semakin mengulurkan sendoknya ke depan Kyungsoo dan itu malah membuat alis Kyungsoo menukik.

"Setengah-sendok-teh! Bukan-sendok-makan! Paham?"

"Aaah," cengirannya lebar, sambil memberikan Kyungsoo dua jari perdamaian. "Maaf," katanya berbalik ke tempat sendok di sudut pantry.

Kyungsoo menggeleng, heran bagaimana wanita sedewasa Baekhyun tidak bisa membedakan antara sendok makan dan sendok teh. Cukup frustasi batinnya menangani Baekhyun yang berteriak saat cat kukunya terkena cipratan kecap, atau cukup sinting memikirkan untuk menselotip mulut Baekhyun lalu melemparnya ke bak pencucian piring.

Kyungsoo menaburkan gula secukupnya di atas masakannya. Aromanya membuat Baekhyun menarik napas dalam-dalam.

"Cara memasakmu benar-benar baik. Kau ikut kelas memasak dimana?"

"Kelas memasak di dapur panti asuhan."

"Panti asuhan sekarang buka kelas memasak?"

Tolong bisikkan pada Kyungsoo agar dia tidak membalikkan teplon panasnya ke muka Baekhyun. Dia menoleh pada Baekhyun yang terlihat seperti tidak bersalah sama sekali. Astaga, kucing liar ini! Syukurnya, Kyungsoo ingat kalau perutnya sangat lapar, jadi dia mengabaikan darah yang meletup-letup di balik kulitnya dan segera menyelesaikan masakannya apapun yang terjadi.

"Sejak kecil aku dan Luhan tinggal di pantu asuhan. Jadi setiap hari kami membantu menyiapkan makan pagi, siang dan malam."

"Berarti kalian sudah berteman sejak kecil?"

"Begitulah." Kyungsoo mematikan kompor. Masakannya matang dengan sempurna, dengan warna orange kemerah-merahan yang segar dan aroma yang luar biasa. Dia berbalik, membuka lemari dan mengambil mangkuk ukuran sedang berwarna putih. Sebenarnya Kyungsoo ingin bertanya banyak pada Baekhyun, tapi apa perempuan ini cukup punya otak untuk meneliti setiap pertanyaannya? Bagaimana kalau Baekhyun menyadari sesuatu?

"Kau punya pacar?"

Baekhyun mengaduh saat Kyungsoo menyentil tangannya.

"Cuci tangan sebelum makan, atau setidaknya pakai sendok. Itu panas."

Kyungsoo sama cerewetnya dengan ibu Baekhyun, yang selalu mendorongnya ke wastafel untuk mencuci tangan pakai sabun antiseptik sebelum makan. Padahal kan bakteri butuh hidup juga. Tidak, Baekhyun tidak pernah mengutarakan pendapatnya itu karena dia tau satu-satunya hal terbodoh yang pernah dia pikirkan adalah menghargai hidup bakteri yang membuatnya sakit perut. Itu hati nurani, bukan tolol.

"Jadi, kau sudah punya pacar belum?"

"Menurutmu?"

"Laki-laki coklat yang kita usir tadi benar-benar pacarmu?"

Kyungsoo mengangguk ringan, sedikit malas berdebat dengan Baekhyun. Jongin tidak secoklat itu, hanya sedikit gelap saja. Apa yang salah dengan kulit gelap? Jongin bertambah seksi dengan kulitnya.

"Dan kau, sudah berapa lama pacaran dengan…. Chanyeol?"

"Hampir 5 tahun kurasa. Dia tidak pernah menembakku, maksudku memintaku secara langsung menjadi pacarnya, kami memulai hubungan begitu saja." Setelah tersenyum, Baekhyun mulai menurunkan pipinya. Dia terlihat bersalah. "Terkadang aku merasa menjadi perempuan yang paling jahat."

"Kenapa?"

"Chanyeol putus dari pacarnya karena aku. Aku ingin menemui wanita itu sekaliiiii saja, tapi Chanyeol melarang, dia bilang mantan pacarnya mungkin saja memukulku. Tapi bagiku tidak masalah. Aku ingin datang meminta maaf, kalaupun dia mau memukulku, itu sudah sewajarnya. Mungkin aku harus mencari wanita itu diam-diam dan—"

"Baekhyun!"

"Ya?"

"B-bisa panggilkan Luhan? Makan malam sudah—"

"Luhaaaaaaaaaaaaan. I'm comiiiiiiiiiiiiiiiiing."

Di celah gundah hatinya, senyum kecil Kyungsoo terbentuk entah kenapa. Tapi yang jelas, melihat Baekhyun berlari seperti anak penguin dan beberapa kali sengaja menggoyangkan pantatnya membuatnya lucu. Mungkin itu yang membuat Chanyeol menyukai Baekhyun, seorang wanita yang bisa terbuka pada perasaanya sendiri. Meskipun sulit, Kyungsoo tetap mengakuinya kalau Baekhyun itu, menggemaskan.

Tapi, tidak cukup menggemaskan ketika Baekhyun datang dengan wajah cemberut 5 menit kemudian, duduk di salah satu kursi meja makan dan mulai menghirup napas dalam-dalam lagi.

"Dimana Luhan?"

Baekhyun menoleh pada pintu kamar di sisi ujung kanan. "Di kamar. Dia menolak makan malam," katanya.

"Perempuan sinting itu! Dia sudah melewatkan makan siangnya dan sekarang menolak makan malam. Mau mati ya?!"

Baekhyun bergidik, Kyungsoo seperti ibu-ibu yang melihat anak perempuannya memecahkan gelas.

"Luhan bilang, dia takut gaun pengantinnya tidak muat besok."

"Makan tidak akan membuat berat badannya naik 10kg dalam semalam!"

Lalu malam itu bergulir begitu saja. Dengan pihak laki-laki yang frustasi pada provokasi Junhyung tentang 'pesta lajang' sedangkan pihak wanita sibuk menarik pengantin perempuan agar makan sesendok nasi. Malam itu, mereka lupa bahwa manusia butuh tidur yang cukup.

.

.

.

.

.

.

.

Kamu milikku

Anggukan kepalamu,

Akan kucium kalau kamu menolak,

Akan kugendong ke ranjang kalau kamu berkata 'Ya'

Sekali lagi, anggukan kepalamu

Bukankah kamu suka mengintipku tidur?

Karena aku juga mengintipmu dalam diam,

Atau terkadang,

Dalam kamar mandi.

.

.

.

.

.

.

Sehun telah jatuh cinta. Jutaan kali lipat sejak hari pertama dia hampir menabrak Luhan di halaman kampus. Tidak pernah masuk akal di otaknya, namun terhunus tepat di jantungnya. Dia merasa geli pada dirinya yang jatuh cinta, tapi terlanjur gila untuk menertawakan dirinya sendiri. Jantungnya berdebar-debar secara kampungan.

Sehun jatuh cinta lagi, pada akhirnya di wanita yang sama. Dia tidak ingin bercanda pada jiwanya, hanya saja batinnya terlalu bodoh setiap kali dikalahkan kecantikan perempuan itu. Sekali lagi, jantungnya berdebar-debar secara kampungan.

Pertama-tama, Sehun ingin merahasiakannya, segala yang meletup-letup dan melompat-lopat di balik kulitnya, setidaknya sampai Luhan tiba di ujung altar tanpa terinjak ujung gaunnya yang panjang. Dia menunggu dengan sabar. Ibarat lukisan, senyumnya tidak luntur barang sejenak.

Hati-hati ujung gaunmu, sayang. Cepat kemari.

Kedua, Sehun berusaha menutup mulut, agar dia tidak menempel di telinga Luhan sembari berbisik betapa cantiknya perempuan itu hari ini sepanjang hari. Gaun pengantinnya sederhana, dengan potongan V neck brokat lengan panjang dan flower crown putih menempel di atas rambut hitamnya yang digelung berantakan.

Aku harus memperingatkanmu, berkali-kali. Cantik seorang diri seperti itu ilegal. Kamu sama ilegalnya dengan morfin. Sekali-kali kamu harus merasakan bagaimana rasanya kecanduan.

Dan ketika Luhan datang kehadapannya, Sehun rasa tubuhnya kesemutan. "Kamu tidak perlu secantik ini. Aku bisa lari sendiri ke rumah sakit jiwa setelahnya."

Hidung Luhan mengkerut, dia menggeleng-geleng kecil, mencoba menghentikan gombalan Sehun yang terdengar cheesy namun membuatnya merona. Tolong selamatkan ususnya yang bergulung-gulung. Confetti meledak-ledak di sudut otak kecilnya.

.

.

.

.

.

Sudah kubilang katakan 'Ya'

Karena aku butuh kamu siang dan malam

Dan kamu butuh aku untuk masuk ke dalam

.

.

.

.

.

.

Dia terlihat cantik lagi, selalu. Dagu runcingnya tertutup saat dia duduk di balik piano hitam yang tersampir di sisi gereja. Dia selalu punya masalah pada bunga karena tidak ada satupun bunga yang mampu menandingi kecantikannya, setidaknya di penglihatan seorang laki-laki yang jatuh cinta seperti Oh Sehun.

Sejak dulu, impiannya adalah menyanyikan lagu ciptaannya sendiri tepat di hari pernikahannya. Sempat hatinya merasa tergagalkan tiga tahun silam, namun tidak pernah sekalipun dia lupa pada perasaan yang dituangkannya dalam sebuah lagu.

Kemudian Luhan menapak nyaris sampai di puncak impiannya, duduk di balik piano hitam dengan Oh Sehun, suaminya, yang berdiri memandanginya dari beberapa jarak.

Luhan menarik napas sebelum meletakkan jemarinya di atas tuts, sudah lama sekali. Dan dia memulainya….

.

.

.

siganeul doedollimyeon

(Jika kuputar kembali waktu)

gieokdo jiwojilkka

(Akankah kenangan ikut terhapus juga?)

haebol sudo eopsneun maldeureul

(Aku tau bahwa hal yang kukatakan)

naebaetneun geol ara

(Adalah hal-hal yang tidak bisa kulakukan)

neol himdeulge haessgo

(Aku mengatakannya karena rasa bersalah)

nunmullo salge haessdeon

(Karena telah menyulitkanmu)

mianhan maeume geureon geoya

(Membuatmu hidup dalam kesedihan)

hajiman nan marya

(Tapi, untukku)

neoui bakkeseon sal su eopseo

(Aku tak bisa hidup tanpamu)

naegen neo hanaro muldeun

(Bagiku, hanya waktu yang diwarnai olehmu)

siganmani heulleogal ppuniya

(Yang telah berlalu)

saranghaeyo. Gomawoyo

(Aku mencintaimu, Terima kasih)

ttatteushage nareul anajwo

(Telah menggenggamku begitu hangatnya)

i sarang ttaemae naneun sal su isseo

(Karena cinta ini aku bisa hidup)

sarangeun geureongabwa

(Kurasa cinta memang seperti ini)

museun mareul haebwado

(Tidak peduli apa yang kamu katakan)

chaewojiji anheun geot gateun

maeumi deunabwa

(Tidak terasa seperti terisi)

nae yoksimirago

dasi saenggageul haebwado

(Bahka jika kupikir ini adalah keserakahanku)

geu maeum swipge sarajiji anha

(Perasaan ini tidak akan pergi dengan mudah)

aljanha nan marya

(Kau tau, bagiku)

neoui bakkeseon sal su eopseo

(Aku tidak bisa hidup tanpamu)

naegen neo hanaro muldeun

(Bagiku, hanya waktu yang diwarnai olehmu)

siganmani heulleogal ppuniya

(Yang telah berlalu)

saranghaeyo …..

(Aku mencintaimu…)

Ini bukan akhir lagu, liriknya belum selesai, tapi lagu Luhan terhenti. Bukan dia lupa pada kalimat-kalimat yang mengisi bait selanjutnya, atau dia punya ide yang buruk untuk menggagalkan penampilannya sendiri, hanya saja ini lebih ke masalah bagaimana dia tidak memperhatikan Sehun yang bergegas melompati altar lalu tanpa aba-aba menarik rahangnya, kemudian tidak ada yang lebih membuatnya jatuh cinta selain ciuman laki-laki itu di bibirnya, yang basah.

"Laguku belum selesai, bagaimana bisa kau mengacaukannya?"

"Kakiku bergerak sendiri, lalu bibirku menginginkanmu. Aku bisa apa?"

"Kau membuat orang-orang di belakangmu cemburu."

"Itu salah satu alasanku menciummu disini. Agar mereka segera menikah."

"Tapi mungkin mereka sedang mengutuk kita sekarang."

"Mengutukku agar cepat membuatmu hamil, mungkin."

"Apa tujuanmu menikah hanya untuk menghamiliku?"

"Apa tujuanmu menikah untuk tidak tidur denganku?"

Luhan menghela napas, matanya menyipit sebelum hilang akibat satu kecupan kilat yang Sehun berikan padanya.

"Pernikahan ini memang akan membuat kita tidur bersama," katanya setengah menyerah. "Tidur dalam artian benar-benar tidur."

"Dan ujung dari tidur yang berbelit-belit di mulutmu hasilnya adalah mengandung anakku. Itu kesimpulannya. Titik!" Sehun tertawa mengejek.

"Akan kututup pahaku malam ini, sungguh!"

"Seperti otot pahamu lebih kuat saja dari otot tanganku."

"Aku bisa menendangmu!"

"Pikirkan baik-baik apa yang bisa kulakukan pada pakaianmu?"

"Oh Sehun!"

"Jangan berteriak. Itu terdengar seperti kau ingin segera menarikku ke ranjang."

Bolehkah?

Sialan!

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Should it be the last chapter?

Maybe, Yes.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Gak banyak yang bisa gue omongin disini, karena sekarang hampir pukul 2 malam dan gak ada yang lain dipikiran gue selain cepet tidur. Keselnya, cuma fakultas gue yang gak libur besok, Tai. Mana sabtu masih ada jadwal kuliah nyampe sore, semoga gak ada jadwal gaib di hari minggu. Wkwk

.

Maaf ya kalo apdet FF nya lama. Maaf juga kalo selama ff ini berjalan ada dari gue yang nyinggung kalian. Maaf juga karena ceritanya makin absurd, dengan ending yang gak pake banget. Terlalu lebay gak sih endingnya? Wkwk Doain aja ada chapter special atau setidaknya epilog gitu, atau kalo nasib baik gue masih mau bikin beberapa chapter fluffynya lagi. Karena sesungguhnya masih ada bagian yang belum gue selesaikan dicerita ini. boahahaha

Di chapter kemaren gue ada mau bahas sesuatu, tapi gue lupa apaan sekarang. Suweerr.

Makasih ya udah ngikutin ff gue selama ini. Readersnya HUNjustforHANemang readers tersabar di seluruh jagat perfanfican. Apdet sebulan sekali masih ditambah ngolor waktu aja masih ada yang nunggu. Da best deh kalian. Wkwk

I wanna say goodbye, but not really a good bye.

I just wanna dance, eh, salah, I just wanna say it once, AI LOP YU ALLLLLLLL (not aliando, okey kekekeke) :* :* :*