Naruto belong to Mashashi Kishimoto

This FF is mine

Pairing:NarutoHinata

Warning: (Semoga) Humor, Familly, Drama.

Nampaknya cinta itu bodoh, kenyataannya cinta hanya membuat logika lambat berputar.


Keluarga Uzumaki sudah turun temurun berasal dari kalangan penyembuh, Naruto-kun sering menceritakannya padaku. Nenek Naruto-kun merupakan seorang tabib yang terkenal di masanya, namanya Uzumaki Mito, ia seorang pakar pengobatan herbal dan telah mendapatkan gelar profesornya di usia 32 tahun, kini usianya tentu sudah tua renta, meskipun sudah tua tapi dia masih aktif mengurusi segala hal. Bahkan ia mengurusi kehidupan pernikahanku dan Naruto-kun, wanita tua yang cerewet. Ups! Jangan bilang-bilang Naruto-kun aku tak suka nenek tersayangnya itu.

Uzumaki Mito adalah seorang wanita yang keras tapi memiliki perasaan yang hangat, dan ia juga terlihat galak diluar tetapi hatinya dipenuhi cinta dan kasih sayang, mirip dengan ibunya, begitulah Naruto-kun kerap berceloteh padaku, sesungguhnya aku tak memercayai pendapatnya itu, bagiku Uzumaki Mito itu menakutkan, nenek sihir, dan wanita tua itu jelas membenciku.

Naruto-kun begitu menyayangi nenek satu-satunya itu. Kakek-neneknya yang lain sudah menghadap Kami-sama, hanya si Pakar Herbal itu saja yang panjang umurnya. Atau lebih tepatnya, tak ada seorang pun yang pernah menceritakan keluarga Namikaze padaku.

Suatu hari ayah dan ibu Naruto-kun harus pergi meninggalkannya sendirian di rumah yang besar dan kabarnya berhantu, tanpa uang jajan—Ya iyalah, malu dong sudah kerja masih minta uang jajan—tanpa makanan, kalau ini kebetulan bibi Kushina belum sempat belanja mengisi kulkasnya yang kosong, Naruto-kun hanya disisakan sayuran dan buah-buahan yang sudah kering dan busuk, bahkan botol-botol airnya pun tak terisi, sungguh ngenes nasib Naruto-kun, semua itu gara-gara Nenek Mito mendadak sakit gigi—asli aku sebel, sudah tua kok manja sekali. Kadang aku suka berebut perhatian sama Nenek Mito, karena dia suka merebut perhatian Naruto-kun dariku—dan sekarang dia bahkan merebut perhatian kedua orangtua Naruto-kun dari anaknya sendiri, hanya karena sakit gigi yang dibuat-buat. Aku tahu Nenek Mito sudah bertahun-tahun tidak punya gigi, semua propertinya sudah habis dimakan ulat gigi, ini Naruto-kun sendiri yang cerita padaku loh! Jadi, aku tahu Nenek Mito ngga mungkin sakit gigi. Kalau sakit gusi bisa jadi sih, hihihi. Entahlah aku kan bukan dokter gigi.

Naruto-kun harus hidup selama seminggu penuh tanpa kehadiran orangtuanya, alhasil akulah yang menjadi penolongnya. Tanpa seorang pun yang memerintah, aku setiap hari datang ke rumah Naruto-kun untuk membawakan sarapan pagi, membuatkan bekal makanan, dan mengajaknya makan malam bersama keluarga Hyuuga. Naruto-kun menerima pemberianku dengan senang hati, ia bahkan tak sungkan menyuruhku mencuci bajunya yang kotor, mengepel rumah, membereskan kamar tidurnya, pokoknya selama dua hari itu pekerjaan rumahnya telah kuselesaikan dengan sempurna—gaya pesulap—Aku seperti seorang pembatu saja di rumah keluarga Namikaze, kali ini tanpa embel cengeng tetapi pakai embel-embel pembantu pribadi. Aku kok bahagia sekali ya jadi pembantu pribadinya—kadang orang yang jatuh cinta memang jadi bodoh—Eh! Siapa itu yang bilang bodoh? Aku ini tidak bodoh tapi baik hati, oke?

"Eh! Hinata, kau datang lagi?" Naruto-kun tiba-tiba berada di belakangku. Aku baru saja mengangkat pakaiannya yang dijemur di belakang rumah.

Dengan wajah malu-malu dan tangan penuh berisi pakaian kering, aku menjawab pertanyaan Naruto-kun dengan senyuman paling manis. "Naruto-kun ... baru pulang? Aku mau membantumu lagi."

"Terima kasih ya Nata-chan, kau baik sekali." Senyuman Naruto-kun untukku manis sekali. Dia pasti langsung ke belakang rumahnya setelah pulang dari Rumah Sakit tempatnya bekerja.

Tanpa membantuku membawa baju-bajunya, dia pun berjalan di depanku, membuka pintu belakang dan menyuruhku masuk, sementara kulihat dia kembali ke muka rumah, mungkin ada barang-barangnya yang tertinggal. Dengan perasaan riang, aku melipat semua pakaian Naruto-kun, setelah selesai aku langsung menuju dapur, bermaksud ingin menyuguhkan kopi kesukaannya. Ah ... aku sudah seperti istrinya saja, iya kan? Jangan berpikir aku ini pembantu, masa wajah manis begini dianggap pembantu, nanti aku purik ngga mau menceritakan kisahku, lho.

Aku pun berjalan sambil memasang senyum bahagia.

Namun ..., saat sampai di dapur, aku melihat seorang wanita sedang mencari cangkir, di atas tungku sudah ada Ketel khusus untuk memasak air yang kalau sudah matang akan berbunyi seperti tanda kereta api akan segera lewat. Tuuut ... tuuut ... tuuut, demi Kami-sama! Itu bukanlah suara air sudah masak, tapi suara hatiku yang berdenyut sakit. Aku ngga percaya bisa kembali bertemu dengan wanita berambut aneh itu lagi, aku sebenarnya sangaaat suka dengan warna pink, tapi melihatnya menghiasi warna rambut wanita cantik itu, membuatku gemas ingin menjenggutnya.

"Oh!" Wanita cantik itu melihatku, matanya bahkan berwarna emerald indah. "Kau disini? Namamu Hinata, kan?"

Aku berdiri canggung, kupaksakan senyum di wajahku. "A-aku ..." Duh, lagi begini kenapa mendadak gugup. "A-aku tetangga ke-keluarga Namikaze. Ru-rumahku ... tepat di sebelah."

"Jadi kau orang yang selalu membantu Naruto-kun ..." Dia menatapku dari kepala sampai ke kaki, "Kau sangat manis dan baik hati. Naruto-kun sangat beruntung mengenalmu." Mungkin dia tak seburuk pikiranku. Hatiku senang telah dipuji, selain itu Naruto-kun menceritakan kebaikanku pada wanita ini, berarti Naruto-kun mengakui kehadiranku.

"Untuk kali ini kau boleh istirahat, biar aku yang membantu Naruto-kun mengurus keperluannya." Aku masih berdiri bodoh di hadapannya, tak mengerti maksud dari kata-katanya yang menginginkanku segera pergi.

Suara langkah terdengar mendekat, tak lama kulihat Naruto-kun muncul di hadapan kami dengan wajah terlihat sangat bahagia.

"Maaf ya Sakura-chan, aku jadi merepotkanmu." Naruto-kun membawa kantong belanjaan dan menaruhnya di meja dapur dekat kulkas dua pintu. Sakura menghampiri Naruto-kun dan membantunya membereskan belanjaannya.

"Aku senang bisa membantumu," jawab Sakura-san dengan suara lembut.

Apa mereka baru belanja bersama? Seperti pengantin baru saja.

Naruto-kun menatapku yang berdiri canggung.

"Kau sedang apa berdiri di sana, Hinata-chan?"

"Aku ... Ano, permisi ... aku mau pamit balik." Kutundukan wajahku.

Aku pun menatap Sakura dengan mata berkaca-kaca, lalu membungkuk, "Senang bertemu dengan Anda, sampai jumpa." Lalu tanpa berani menatap ke arah Naruto-kun lagi, aku dengan tergesa langsung berlari meninggalkan rumahnya. Tanpa sadar air mataku telah meleleh, entah mengapa aku kok jadi cengeng begini.


Malam itu, aku tak menelepon Naruto-kun untuk mengajaknya makan bersama keluarga Hyuuga lagi, kupikir sudah ada wanita cantik yang memasak makan malam untuknya. Dia tidak akan kelaparan.

Di meja makan Ayah bertanya padaku, "Apa Naruto-chan tidak datang?" Lehernya memanjang melihat ke arah jendela. Dia belum memegang sumpitnya, padahal mangkuknya sudah kuisi penuh dengan nasi hangat yang mengepul.

Aku enggan menjawab pertanyaan ayahku, jadi kusibukan diri dengan mengisi mangkukku dengan nasi, kali ini aku ingin makan banyak untuk mengembalikan energiku yang terkuras setelah menangis beberapa jam dalam kamar, bahkan saat menyiapkan makan malam pun air mataku menetes dari hidung, biarlah masakanku akan lebih delicious dengan bahan tambahan yang lebih alami tentunya.

"Hanabi, coba kau hubungi Naruto-nii?!"

"Siap Tousan!" Belum sempat kularang, Hanabi sudah berlari ke ruang keluarga untuk menelpon Naruto-kun dari telepon rumah Hyuuga.

"Ada apa denganmu, Hinata?" Aku masih menganga menatap kepergian Hanabi.

Bahuku merosot, dengusan napasku bahkan terdengar keras. "Tidak apa-apa. Hanya saja Naruto-kun tidak akan makan malam bersama kita Tousan, dia pasti sudah makan malam dengan kekasihnya."

Ayah menuangkan sake yang dibelinya ke cawan putih yang selalu kusiapkan untuknya. "Ooh, Naruto-chan sudah punya kekasih rupanya." Ia menengguk sake-nya dengan nikmat.

Hanabi kembali dengan berlari, kaki pendeknya cukup gesit untuk ukuran bocah berusia sepuluh tahun. "Benerkah Naruto-nii sudah punya kekasih, Neesan?" Dia pasti mendengar pembicaraanku dengan ayah, telinganya itu tajam sekali. Aku tak mau menjawab.

"Naruto-nii bilang akan segera ke sini, Tousan," katanya lagi.

Ayah menatapku, "Kalau begitu kita tunggu Naruto-chan datang dulu baru mulai makan."

"Haik!" Hanabi menjawab dengan semangat.

Tak berselang lama suara bel pintu berbunyi. "Aku yang akan membukanya." Hanabi kembali berlari dengan semangat.

Hanabi kembali dengan menggandeng seorang pemuda tampan, senyuman lima jarinya terlihat menawan di mataku.

"Selamat malam, Jiisan." Ia membungkuk kepada Tousan dan disambut dengan pertanyaan basa-basi, seolah Naruto-kun anaknya saja.

Aku mendengus, membuat Naruto-kun menoleh ke arahku, " Hinata-chan," sapanya lembut. Naruto-kun selalu bisa membuatku lupa dengan perasaan sakit hatiku, hanya dengan sebuah senyuman saja aku kembali mengaguminya. Terkutuklah pemuda Namikaze itu.

Naruto-kun duduk di dekat ayahku. Aku tak berani menatap wajanya lebih lama, kuambilkan lauk-pauk ke masing-masing wadah yang berbeda untuknya, menyendok nasi dan menyilakan dirinya makan.

"Terima kasih," katanya lembut.

Aku pun kembali duduk tepat di seberangnya, menatap mangkuk nasiku yang terisi munjung, persis seperti pegunungan dalam mangkuk.

"Nafsu makanmu sangat bagus, Nata-chan." Naruto-kun menatapku sambil mengangkat sumpitnya, menyendok nasinya ke dalam mulut, ia mengunyah makanannya sambil terus memerhatikanku.

Kuembuskan napas pasrah. Kusuap nasi dengan perlahan, lagi dan lagi.

"Kau tidak memakan lauknya, Nata-chan?" Naruto-kun kembali bicara padaku, aku masih tak berani berkata-kata banyak padanya.

Kucomot sayuran di depanku. Memakannya sangat perlahan dan kembali memasukan nasiku lagi, lagi, dan lagi.

"Udang gorengnya juga enak loh, Nata-chan." Naruto-kun menatapku dengan senyuman yang aneh, aku tak pernah melihat senyum palsu dari wajahnya, namun malam itu aku melihatnya.

Aku mengambil udang gorengku tanpa berkata-kata. Kudengar suara embusan keras dan itu keluar dari sela bibir Naruto-kun.

Makan malam kala itu terasa begitu canggung, Ayah dan Hanabi bahkan terlihat lebih tenang saat makan, biasanya mereka kan selalu berisik.

"Makan malamnya sangat enak, terima kasih telah mengundangku." Kudengar Naruto-kun berbicara dengan Tousan di ruang keluarga.

Ayah menjawab ala kadarnya, "Tak perlu sungkan dengan keluarga kami."

Telinga Hanabi tampak memanjang mendengarkan ucapan dua orang di balik tembok, ia lalu terkikik entah apa yang lucu.

Aku dan Hanabi masih di dapur mencuci mangkuk dan piring bekas makan. Setelah makan malam seperti biasa Tousan kerap mengajak Naruto-kun untuk bermain catur.

"Sudah selesai." Hanabi berlari ke ruang keluarga menyusul dua lelaki yang lebih dewasa, sejak bertemu Naruto-kun Hanabi terlihat sangat menyukainya.

"Naruto-nii ... kudengar Niisan sudah punya kekasih, benarkah itu?" suara cempreng adikku sangat jeles terdengar ke dapur, membuat tubuhku menegang, untung botol sake yang kupegang tidak jatuh. Tousan bisa marah jika sake yang disimpan untuk diminum bersama Naruto-kun terbuang karena keteledoranku. Lagipula, apa-apan pertanyaan Hanabi itu.

"Eh?" Naruto-kun melirikku yang sedang berjalan ke arah mereka, "Dari mana kau dapat kabar burung itu?"

"Itu ..." Hanabi tak sempat bicara.

"Hanabi-chan, bukannya kau ada PR yang harus segera kau kejakan?"

Aku menaruh nampan berisi cawan dan botol sake di meja tempat ayah bermain catur.

"Tapi ... ini lebih penting dari PR-ku," jawab Hanabi. Aku melotot pada Hanabi.

Naruto-kun terkekeh mengusak rambut adikku.

"Hanabi, tidak sopan bertanya hal pribadi pada orang lain." Tousan menegur adikku, rasakan itu.

Hanabi manyun, dan aku pun tersenyum mengejek padanya.

"Ah, tidak apa-apa Jiisan." Naruto-kun menatapku, ada apa dengannya? Malam ini dia terlalu banyak menatapku. "Aku belum punya kekasih, Hanabi-chan. Kalau sudah besar apa Hanabi-chan mau jadi kekasihku?"

"Tentu saja tidak!" Hanabi menjawab tegas, dan disambut dengan tawa lepas dari Naruto-kun.

"Kenapa tidak mau?" tanya Naruto-kun dengan senyuman jahil.

"Aku maunya Naruto-nii jadi kakakku saja."

"Hanabi-chan kan sudah menjadi adikku."

"Benarkah? Apa itu berarti Naruto-nii akan menikahi Hinata-neechan?"

"Hanabi!" Aku membentak adikku, ini pertama kalinya aku membentak Hanabi dengan keras bahkan di depan orang lain.

Mata adikku terlihat berkaca-kaca, aku jadi menyesal.

"Kenapa Neesan membentakku? Aku kan tidak salah!" Hanabi marah padaku, dan dia pun langsung berlari ke kamarnya meninggalkanku.

Merasa malu aku pun meninggalkan Naruto-kun dengan ayahku.


Aku tak tahu Naruto-kun pulang jam berapa. Karena terlalu malu akhirnya aku menangis semalaman di kamarku lalu tanpa sadar akhirnya aku terlelap.

Paginya aku mendapati panggilan tak terjawab sebanyak enam kali di layar smartphone-ku. Malam hari sekali, dan pagi tadi sebanyak lima kali, semuanya dari Naruto-kun. Tidak biasanya dia mencoba meneleponku.

Pagi itu aku tak mejeng di balkon rumah, aku bahkan tak membuka jendela kamar, karena terlalu terburu-buru untuk berangkat ke sekolah. Telepon dari Naruto-kun pun tak kubalas. Aku tidak membawakan sarapan pagi untuknya, karena ada Hanabi yang bisa kusuruh-suruh, bekal makanannya pun kutitipkan pada Hanabi, sementara itu aku sudah berangkat terlebih dahulu ke sekolah.

Di sekolah, untuk pertama kalinya aku menjadi buah bibir para penggosip. Pasalnya namaku sangat jarang disebutkan dalam pengeras suara, jam pelajaran bahkan belum dimulai, terlebih yang memanggilku kepala sekolah langsung. Sepanjang perjalanan menuju ruang kepala sekolah aku memikirkan kesalahan apa yang sudah kuperbuat.

Perasaan aku tak pernah merusak properti sekolah, nilaiku pun standar saja, tidak bagus sih ... tapi juga tidak buruk sekali. Hah gawat! Apa jangan-jangan ayahku menunggak iuran sekolah. Ini memalukan, apa keluarga Hyuuga sedang krisis keuangan?

Kuketuk pintu dengan perasaan was-was, ada perintah masuk dari dalam sana.

Aku langsung membungkukan tubuh tanpa melihat jelas orang-orang yang duduk di dekat meja kerja yang penuh dengan buku-buku dan berkas. "Permisi." Aku bingung mau berkata apa. Kulihat seorang pemuda duduk membelakangiku, rambutnya yang pirang mengingatkanku dengan Naruto-kun.

"Hinata-chan, kemarilah," suara wanita setengah baya memerintahku dengan tegas.

"Haik." Aku melangkah lebih mendekat.

Ini pertama kalinya aku berada di ruangan kepala sekolah, jantungku berdebar karena gelisah. Aku masih tak berani menatap wajah cantik kepala sekolahku, Nyonya Tsunade. Wanita itu terkenal sekali dengan ketegasannya dan sifat pemarahnya, siapa pun sangat menghormatinya sekaligus merasa takut padanya.

"Duduklah, Hinata-chan," perintahnya lagi.

"Haik." Kepalaku masih tertunduk, aku tak berani menatap orang yang duduk di depan meja kepala sekolah. Aku duduk tepat di kursi kosong di sebelahnya, kurasakan orang yang duduk tepat di sebelahku itu bergerak menggeser tubuhnya, lututnya mulai mengarah menghadapku.

Kuberanikan untuk mendongak dan menatap wajahnya, rasanya detak jantungku berhenti sejenak, wajah Naruto-kun yang menawan berada tepat di hadapanku. Ia tersenyum tampan sekali, mataku bahkan tak sanggup berkedip, jas putih yang dikenakannya terlihat sangat pas dan keren.

"Ohayo, Nata-chan," sapanya lengkap dengan senyuman menawan.

"O-ohayo, Naruto-nii," balasku agak gugup.

"Baiklah, aku beri kalian waktu berdua." Tsunade-sama bangun dari kursi kebesarannya bermaksud meninggalkan ruangannya tapi dicegah oleh Naruto-kun.

"Ano ..., maaf Baasan. Aku sudah menggangumu. Kami tidak akan lama." Naruto-kun tampak gugup dan menggaruk-garuk belakang kepalanya.

Tsunade-sama tersenyum lebar, "Tak biasanya kau sungkan begitu, Naru-chan." Tsunade-sama melirikku. "Hati-hati dengan lelaki ini Hinata-chan." Dia kembali melangkahkan kakinya menuju pintu keluar.

Setelah lama terdiam menatap pintu yang tertutup, aku memberanikan diri menatap wajah Naruto-nii yang terlihat dingin. Perubahan yang mencolok sekali, tadi sewaktu ada Tsunade-sama wajah Naruto-kun terlihat ramah, sekarang jadi mengerikan begitu.

"Naruto-nii mengenal Tsunade-sama?"

"Dia bibiku."

"Benarkah? Wah, aku tak menyangka keluarga Naruto-nii punya hubungan dengan sekolah ini." Aku bicara dengan suara riang. "Kudengar keluarga Naruto-nii juga memiliki hubungan dengan Universitas Tokyo, ya? Wah ... Uzumaki benar-benar klan besar dan terkenal."

Naruto-kun sama sekali tak menanggapi perkataanku.

Aku jadi kikuk, akhirnya hanya bisa terdiam menunduk.

Kulihat Naruto-kun mengeluarkan sebuah bukusan berukuran sedang, ia menyerahkannya padaku.

"Kudengar dari Hanabi-chan, kau tak sempat sarapan dan tak membawa bekal makanan."

Kuterima pemberiannya, bungkusan itu berisi burger berukuran jumbo dan dua kotak jus berukuran besar.

"Naruto-nii tak perlu repot-repot membelikanku ini," kataku lirih.

"Apanya yang repot? Aku yang lebih merepotkanmu, kan?"

Kenapa Naruto-kun berpikir begitu? Apa dia marah? Tapi, aku kan tidak berbuat kesalahan ...

"Setelah ini kau tak perlu membuatkanku sarapan pagi atau pun bekal makanan lagi." Naruto-kun menghela napas dalam-dalam.

"Tapi ... kenapa?"

"Apa kau pikir aku senang memikirkanmu kelaparan, sementara aku tetap bisa memakan masakanmu?"

"A-aku memang sengaja tidak mau makan. Bukannya karena terlalu repot mengurusimu."

"Kau diet?" Aku menggeleng.

"Tidak nafsu makan?" aku megangguk.

"Kenapa tidak nafsu makan?"

"Tidak tahu."

"Apa ada yang terasa sakit di lambungmu, apa kau merasa mual atau perih?" Aku lupa kalau Naruto-kun itu seorang dokter. Aku menggeleng menanggapi semua pertanyaannya.

"Kalau begitu tidak masalah kan makan burger itu."

Aku mengangguk, dia menatapku lekat. "Segeralah makan sebelum bel tanda masuk berbunyi."

"Hah! Aku harus memakannya sekarang?" Mata safirnya menyipit mengintimidasiku.

"Baiklah," kataku pasrah. Aku makan burger itu di ruang kepala sekolahku, cepat-cepat menghabiskannya, lalu menengguk jus yang tersedia hingga tandas.

"Nah, begini kan lebih baik, aku jadi tenang sekarang."

"Apa aku masih boleh memasak untukmu, Naruto-nii?" Tanyaku dengan pandangan memelas.

"Tentu saja, kau boleh memasak untukku lagi, nanti malam kau memasak di rumahku saja, Hiashi-jiisan bilang malam ini dia akan lembur." Naruto-kun mengusak rambutku.

"Satu lagi, lain kali segera angkat teleponku, setidaknya segera kabari aku jika kau memiliki panggilan tak terjawab. Mengerti?"

Aku mengangguk, ini bukan pertama kalinya aku mendapat perhatian semacam itu dari Naruto-kun, walaupun manis tapi sedikit mengerikan juga.

"Aku akan menghubungimu lagi." Naruto-kun pamit meninggalkanku.

Sepanjang hari itu aku gelisah, dan tentu saja mengancam adikku dengan mulut besarnya yang suka mengadu pada Naruto-kun.

Menjelang jam pulang sekolah Naruto-kun menelepon, memintaku menunggunya menjemputku. Tentu kuturuti permintaannya, jarang sekali dia mau menjemput. Jarum jam di tanganku menunjuk ke angka tiga lewat dua puluh menit, seharusnya aku sudah sampai di rumah.

Seorang pemuda yang menaiki motor ninja berhenti tepat di depanku. Dia membuka helmnya, rambut merah acak-acakan menghiasi penampilannya. "Hinata-san, kau belum pulang?"

"Aku menunggu seseorang," jawabku takut-takut. Ini pertama kalinya seorang Sabaku Gaara menyapaku.

"Hmm ... kekasihmu ya?" Aku menggeleng. Sebenarnya aku sendiri bingung hubunganku dengan Naruto-kun itu apa, hanya sebatas tetangga dekat ..., pembantu pribadi, atau ... orang yang spesial buatnya. Selama ini kami sudah dekat seperti keluarga, jangan-jangan dia menganggapku hanya adik ketemu gede. Kuembuskan napas kuat, sesak rasanya.

"Kalau begitu pasti keluargamu." Gaara-san tersenyum, remaja yang terkenal nakal itu menyapa dan tersenyum padaku, mungkin ada yang salah dengan otaknya. Aku dan Gaara-san memang sering sekelas tapi kami tak pernah akrab, terlebih dengan reputasinya yang luar biasa terkenal, Gaara-san sangat dekat dengan imej bad boy, tukang rusuh, dan memiliki banyak musuh.

Aku tak ingin banyak bicara dengannya, bagaimana jika dia tiba-tiba berbuat jahat padaku? Menculik lalu menjualku ...

"Kalau kaubutuh tumpangan, aku bisa mengantarkanmu."

Tentu saja aku tak mau!

"Tidak, terima kasih," tolakku.

Gaara-san turun dari motor besarnya, ia berdiri tepat di sampingku.

"Kau tidak pulang, Gaara-san?" tanyaku ragu-ragu.

"Aku akan menemanimu sampai jemputanmu sampai."

"Jangan!" selaku. Gaara-san menatapku lekat-lekat, "maksudku, sebaiknya Gaara-san duluan saja, aku baik-baik saja, kok."

Gaara-san tak menjawab. Tanpa berkata-kata dia menaiki motornya, lalu melajukannya menjauh dariku. Hanya sepuluh meter, kulihat dia berhenti di dekat penjual makanan keliling yang kerap memangkalkan truk mininya di dekat sekolah kami. Sepertinya dia mau membeli crepes dan minuman bersoda. Aku kembali melihat jam tanganku, sudah berlalu sepuluh menit. Naruto-kun lama sekali, aku mengirimkan pesan padanya, tapi belum ada balasan.

Aku menoleh melihat Gaara-san yang sedang berjalan ke arahku dengan membawa sekantung makanan yang dibelinya. Sebuah mobil dari arah yang sama dengan Gaara-san melintas, aku mengenal mobil itu. Gaara-san berlari menghampiriku, dengan napas memburu dia sampai di hadapanku. Naruto-kun keluar dari mobil sport berwarna silver, dia masih memakai jas putihnya.

"Gomenne, Nata-chan."

"Hinata-chan ..." Eeh! Kenapa tiba-tiba Gaara-san memangilku dengan sok akrab begitu.

Gaara-san dan Naruto-kun berbarengan bersuara, aku bingung mau menoleh kemana? Gaara-san atau Naruto-kun?

Naruto-kun menoleh ke arah Gaara-san, kulihat Gaara-san hanya melirik ke arahnya sejenak.

"Hinata-chan, terimalah ini." Gaara-san memberikan jajanan yang dibelinya. Aku tak bisa berkata-kata, bahkan aku tak sanggup mengucapkan terima kasih. Gaara-san langsung pergi meninggalkanku dengan Naruto-kun.

"Anak yang tidak sopan, dia bahkan tak menganggapku ada," Naruto-kun menggerutu.

Naruto-kun menarik tanganku, membukakan pintu mobilnya untukku. Dalam perjalanan pulang aku hanya memandangi makanan yang diberikan oleh Gaara-san, membukanya, melihatnya, lalu kembali memasukan ke kantungnya lagi, berulang kali kulakukan itu.

"Apa makanan itu sangat berharga?" Setelah setengah perjalanan kami lewati dengan terdiam Naruto-kun baru mau menegurku.

"Berharga?" tanyaku tak mengerti akan maksudnya.

"Makanan dari orang yang spesial, tentu akan jadi berharga, iya kan?"

"Orang spesial?"

"Damn! Hinata. Kau tak perlu pura-pura tak mengerti." Naruto-kun membentakku. Dia marah padaku? Ini semua pasti karena Gaara-san.

"Naruto-nii ..." Wajahku pasti terlihat pias.

"Gomenne, Hinata. Aku ..."

"Gaara-san teman sekelasku, sebenarnya aku sama sekali tidak akrab dengannya. Dia anak yang nakal, aku tidak tahu kenapa dia memberiku makanan. Naruto-nii, aku dan Gaara-san hanya teman sekelas saja. Untuk bicara saja kami jarang sekali. Aku ..."

Naruto-kun menepikan mobilnya, kulihat dia menghirup udara dalam-dalam.

"Maaf Nata-chan, aku tak seharusnya bersikap childish begini."

Iya, Nauto-kun sudah tua jangan kekanakan begini. Membuatku takut saja. Aku menggerutu dalam hati mana berani aku melawan Naruto-kun yang tampak seperti psikopat begitu.

"Naruto-nii tidak marah, kan?"

"Tentu saja aku marah," akunya.

"Tapi ... aku dan Gaara-san ..."

"Iya, ya aku percaya, kok!" Naruto-kun menyelaku. Jemari Naruto-kun yang tak lagi memegang kemudi membenarkan helaian rambutku yang menutupi sebagian wajah. "Lain kali, jangan terima pemberiannya."

Aku tak menjawab. Menatap lekat mata safirnya.

"Naruto-kun selalu melarangku ini-itu, tapi aku tak bisa melarangmu." Saat mengatakan kalimat itu, aku tak berani sama sekali menatapnya.

"Kau tak suka dengan sikapku?"

Aku menggeleng cepat-cepat.

"Bukan begitu, aku juga ingin meminta sesuatu darimu juga."

"Apa itu?"

"Jangan dekat-dekat dengan Sakura-san."

Naruto-kun tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya lepas sekali, dan panjang. Aku jadi kesal.

"Itu tidak mungkin, Nata-chan. Dia partnerku dalam bekerja."

"Kalau begitu, aku juga tidak bisa menolak pemberian Gaara-san, dia temanku."

Sekejap suara tawanya terhenti.

"Oke ... itu adil."

Naruto-kun kembali menjalankan mobilnya yang sempat terhenti. Ekspresi wajahnya tak bisa ditebak, membuatku bingung apa yang sedang dipikirkan olehnya. Aku harap dia tidak marah, jika sedang marah dia kerap berlaku aneh. Permintaannya juga aneh-aneh, dulu saat marah dia pernah memintaku memijit tubuhnya sampai jemariku pegal. Cara marah yang aneh, walau begitu aku senang bisa menyentuh otot tubuhnya yang kencang, "Hihihi."

"Apa yang kau tertawakan, Hinata?"

"Ah, ngga kok!" Naruto-kun menatapku sejenak, lalu kembali fokus mengemudi.

Setengah perjalanan berikutnya kami lalui dengan kembali terdiam, sampai di depan rumahku Naruto-kun tak membukakan pintu mobilnya seperti biasa. Aku berinisiatif membuka pintu besi itu sendiri, kok susah sekali sih! Norak banget deh, masa ngga bisa juga membukanya.

"Nanti malam kita lanjutkan pelajaran kita yang lalu." Naruto-kun bukannya membantuku dia malah bicara soal pelajaran ... la-lu. Kutelan liurku susah payah. Aura kejahatan terlihat menguar dari pancaran tubuh Naruto-kun, aku bukannya takut padanya, hanya berdebar-debar kalau sampai diperintah mengerjakan hal yang ngga-ngga seperti waktu itu.

Aku memang sering meminta bantuan Naruto-kun dalam pelajaran, awalnya aku minta diajari pelajaran Matematika dan Bahasa Asing, aku juga kurang dalam pelajaran Sejarah dan meminta bantuannya, sepertinya waktu sekolah Naruto-kun unggul dalam semua pelajaran bahkan dia mengajariku materi Reproduksi dan Pendidikan Seks untuk remaja. Mungkin karena dia seorang dokter, jadi tiap kali membahas materi itu dia jadi begitu semangat. Aku juga tidak keberatan sih, rasanya menyenangkan belajar itu dengannya. Belum lama ini kami memang baru belajar materi itu, masa dia mau melanjutkan belajar 'anu-anu' saat tidak ada orangtuanya di rumah. Duuuuh! Naruto-kun dalam mood berbahaya nih.

"Tapi ... Naruto-nii, aku sedang tak ada PR."

"Bukan pelajaran sekolah, kita akan melanjutkan pelajaran seksmu yang dangkal." Ah ... sudah kuduga.

Malam ini habislah aku! Naruto-kun dengan amarahnya yang terpendam sangat berbahaya.


Setelah makan malam dalam kediaman Namikaze, Hanabi meminjam video game milik Naruto-kun yang berada di ruang bermain. Keluarganya memang menyiapkan ruangan khusus itu untuknya, layar LCD-nya bahkan berukuran besar, aplikasinya juga mengikuti perkembangan zaman dan sudah menggunakan sambungan internet tanpa batas. Pokonya itu ruangan yang nyaman untuk seorang pecandu game online.

Sementara aku sendiri berada di dalam kamar Naruto-kun.

Mempelajari pendidikan seks bersamanya tak memerlukan buku, cukup dengan melihat video yang tersimpan di file laptopnya sambil setengah terbaring di atas kasurnya yang empuk, dengan tubuh kekar Naruto-kun yang topless menempel begitu dekat dengan tubuhku. Membuatku panas dingin.

Scene demi scene terus berputar di hadapanku, laptop tujuh belas inc miliknya berada di pangkuan. Punggungku menyandar di bagian kepala kasurnya, sementara kepala Naruto-kun sendiri bersandar di bahuku. Ada tumpukan bantal mengganjal belakang kepalaku.

Aku tak berani banyak begerak, takut diserang oleh rubah yang jelas terlihat kelaparan setelah cukup lama menonton pendidikan seks yang tersaji dalam video berdurasi tiga jam itu. Acara itu seharusnya terbagi dalam tiga episode, namun kami menonton dalam sekali waktu.

Episode pertama membahas tentang reaksi tubuh terhadap rangsangan, bagaimana sejenis hormon bisa menguasi otak manusia, lalu memengaruhi tubuh untuk menerima rasa sakit sebagai sebuah kenikmatan. Episode selanjutnya terlihat beberapa remaja di barat sedang mengenali tubuh lawan jenisnya, ada beberapa model lelaki dan perempuan yang bersedia bertelanjang untuk dipamerkan organ intimnya, terdengar sorak sorai dari remaja-remaja barat itu saat satu persatu model terlihat ke luar dari ruangannya.

Wajahku tiba-tiba memanas, aku melirik Naruto-kun, ingin rasanya kubilang: aku menyerah Naruto-nii, pelajaran ini sangat memalukan. AKu gelisah, ekspresi wajahku sudah tak keruan.

"Ini pengenalan secara langsung Hinata, dalam video ini juga tidak akan lama kau melihat organ milik para lelaki itu."

Itu memang benar, setelahnya pelajaran itu lebih berfokus pada pengenalan penyakit yang bisa terlihat jelas dari organ intim lelaki maunpun perempuan. Aku sedikit lega mendengarkan suara naratornya yang membahas masalah penyakit, kadang juga was-was tiap kali melihat jamur yang kerap hidup di organ pribadi manusia, terlihat menjijikan.

"Episode berikutnya adalah yang paling kusukai," Naruto-kun berbisik tepat di lubang telingku.

Suara narator terngiang-ngiang menjelaskan tentang posisi seks yang paling banyak disukai pasangan suami-istri, lalu gambar sepasang model terlihat polos tanpa sehelai baju pun sedang dalam posisi hewan kawin. Tubuhku benar-benar menegang kali ini, apalagi saat kusadari ada kamera mini yang ditempel di organ si lelaki, benda itu akan masuk ke dalam tubuh pasangan wanitanya, badanku sampai lemas rasanya melihat bagian dalam seorang wanita, aku langsung menutup laptop milik Naruto-kun.

"Kenapa kau matikan, Sayang?" Naruto-kun mengendus leherku dengan hidung dan bibirnya.

"I-itu menakutkan Naruto-nii."

"Mungkin ... jika kita mempraktekannya langsung kau tidak akan takut lagi."

Aku tak bisa bergerak karena Naruto-kun mengunci pergerakanku dengan kungkungan tubuhnya yang berada tepat di atasku. Dia menggesek-gesekan kakinya dengan kakiku, saat laptopnya dia singkirkan dari pangkuanku, dengan sangat nyata aku bisa merasakan ereksinya yang membengkak berada di atas perutku.

Naruto-kun masih mengecupi leherku, kali ini dia menggunakan lidahnya yang lembut dan basah. Seharusnya aku menolak perlakuannya, tapi tanganku yang nakal malah menyusuri otot perutnya yang tak tertutupi sehelai kain pun, tubuh Naruto-kun sudah topless dari awal dan dengan leluasa aku pun mengusap-usap kulitnya yang terasa hangat di jemariku.

Bibir Naruto-kun menyusuri daguku, lalu semakin naik ke belahan bibirku, dia melumat bibirku berkali-kali sampai-sampai tanpa sadar aku menahan napas.

"Bernapas Hinata," ucapnya. Bibir Naruto-kun terasa bergetar di atas bibirku, dia bicara padaku sambil terus melumati bibirku, "Buka mulutmu, dan biarkan lidahku menjelajahi rongga mulutmu yang hangat, Sayang."

Gairahku benar-benar tersulut hanya dengan kata-katanya itu. Tak sengaja aku pun mencubit puting Naruto-kun dengan gemas.

"Aaah ... Hinata!"

Tubuh Naruto-kun langsung menyingkir dari atas tubuhku, dia terbaring di sebelahku dan mengusap-usap dadanya sambil merintih. "Kau terlalu keras mencubitnya."

"Gomenne, Naruto-nii."

Naruto-kun mendengus. "Sudahlah, sebagai hukuman kau naiklah ke tubuhku."

"Bagiamana?" tanyaku ragu.

"Tunggangi aku, Nata-chan, di sini." Naruto-kun menepuk perut bagian bawahnya. "Ayo, kemarilah!"

Aku bangun dengan tubuh sedikit gemetaran, kulebarkan pahaku untuk mengankangi tubuhnya. Lututku masih menyangga tubuh di kedua sisi kanan dan kirinya. "Duduki aku, Hinata," suara Naruto-kun tedengar berat.

"Ahh ... ya, seperti itu. Lebih mundur lagi, Sayang." Kini aku benar-benar menduduki pusat tubuhnya, tubuhku benar-benar tegang.

"Rileks saja, Sayang." Bukannya lebih tenang napasku makin memburu tiap kali Naruto-kun menggerakan pinggulnya, gaun tidurku dia angkat setinggi mungkin, Naruto-kun meraba-raba perutku. Dia menarikku mendekat, menyatukan bibir kami dalam ciuman yang lebih liar. Tubuhku yang panas mulai berani menggesek-gesek di atas tubuhnya.

"Yah seperti itu, kau makin pintar, Hinata."

Suara desahan kami pun semakin tak terkendali.


Tok ... tok ... tok ... tok ... tok ... tok.

Suara ketukan di depan pintu Naruto-kun terdengar tak terkendali. Membuat kami kaget setengah mati.

"Naruto ... apa yang sedang kaulakukan?"

Tok...tok... tok.. tok... tok.

"Kau dengan siapa, cucuku?"

"Nenek Mito!" Naruto-kun langsung berjengit dan menyingkirkanku dari atas tubuhnya.

"Rapikan gaunmu Hinata." Naruto-kun mundar-mandir di dalam kamarnya seperti pemuda stres saja. Dia mencari kausnya di dalam lemari, "Jangan diam saja Hinata!" Dia menghampiriku lalu membenarkan rambutku yang agak berantakan dengan jemarinya, mataku mulai berkaca-kaca.

"Apa kita ketahuan Naruto-nii? Apa kita akan dimarahi?"

"Ssstt ... tenanglah aku akan menanggung semuanya. Kau tak perlu khawatir, sudah jangan menangis, kalau kau menangis semuanya akan bertambah gawat."

Aku mengangguk tapi tetap saja tak bisa menghentikaan air mataku yang menyeruak kelaur. Kulihat Naruto-kun menarik napas pasrah. Lalu mengecupi kedua kelopak mataku untuk menenangkanku, secara ajaib air mataku memang berhenti. Namun rasa takut masih menguasai hatiku.

"Naru-chan, cepat buka pintunya," suara cerewet Nanek Mito makin terdengar keras.

"Ada apa, Kaasan? Kenapa begitu ribut, mungkin Naruto-chan sedang tertidur pulas." Terdengar suara Kushina-baasan di luar.

"Apanya yang tertidur pulas, jelas-jelas kudengar suara aneh berasal dari kamar anakmu."

Jantungku makin berdebar mendengar perdebatan mereka.

"Apa maksud, Ibu?" Itu suara Minato-jiisan.

"Tadi aku dengar ada suara wanita juga dari dalam kamar Naru-chan. Mereka pasti sedang berbuat hal-hal aneh."

"Hal aneh apa, Kaasan?"

"Ah ... pokoknya suruh mereka keluar dulu. Naru-chan, ayo cepat keluar?" suara ketukan pintu kembali terdengar.

"Naruto-chan, sebaiknya kau cepat keluar, Nak!"

Kami pun keluar dengan bergandengan tangan. Kutahan tangisanku sebisa mungkin.

"Eh! Siapa perempuan berwajah Sadako ini?"

Wanita tua keriput itu menunjuk wajahku, "Huweeee ..." Aku tak tahan dikatai Sadako, apalagi yang mengatakan nenek-nenek yang wajahnya lebih menyeramkan dariku.

Malam itu juga aku dan Naruto-kun disidang oleh kedua keluarga kami. Aku benar-benar takut, apalagi jika melihat wajah Nenek Mito yang galak, dia seolah mau memakanku bulat-bulat, di mata Nenek Mito akulah yang salah, dia pikir aku telah merayu cucu kesayangannya itu. Huh! Dia tidak tahu saja kalau Naruto-kun itu Mr. Pervert yang sangaaaat berbahaya.

Sudahlah ..., sampai di sini dulu ceritaku, bye, bye.


Note: Jika ada kesalahan ketik tolong dikoreksi, ya? Dan jika ada yang kurang paham dari alurnya silahkan diutarakan juga, agar saya bisa meraba-raba kembali cerita yang miss untuk dituliskan di episode berikutnya. Mohon bantuannya.

Oh, ya! Ini masih flashback, siapa sangka flashback akan memakan alur cerita begitu panjang, bahkan kemungkinan episode berikutnya masih flashback.

Hinata dan Nenek Mito baru ketemu sudah tidak akur. Aku menambahkan dua karakter lagi, makin pusing dung! Gaara akan jadi orang ke empat antara hubungan Naruto-Hinata-Sakura. Di sisi Naruto ada Sakura, di sisi Hinata ada Gaara, adil kan? Wakakaka.

Special thanks to: semua pembaca, baik dari kubu Hinata Lover, ataupun NarutoHinata Lover, dan Hinata-cent. (Aku ngga yakin ada pembaca dari Sakura-cent mau baca cerita ini, hahaha) Ah ... sebenarnya saya sudah menulis nama akun yang muncul di review tapi kertas catatannya hilang, jadi tidak bisa menyebutkannya satu-persatu.