Naruto belong to Masashi Kishimoto

Married with Mr. Pervert is mine

Pairing NarutoHinata

Rate T semi M

Aku tak bisa menyangkal, membayangkan hidup bersama denganmu, ternyata sangat membahagiakan.


Aku sibuk mengecek barang- barang milikku yang akan dibawa ke apartement yang sebentar lagi kutinggali, tepatnya kami—Aku dan Naruto-kun—suami baruku. Ups! Bukan berarti aku sudah pernah menikah dan menjanda, lalu menikah lagi dengan Naruto, yang sebenarnya terjadi; Naruto itu suami pertamaku sedang usia pernikahan kami terbilang masih sangat gress—Otomatis Naruto pun menjadi suami baruku, iya kan?—Bahkan status Naruto-kun lebih gress dari wajan keluaran terbaru milik ayahku—Hyuuga Hiashi— yang suka mengoleksi peralatan dapur, maklumlah ayahku adalah duda setia yang kesepian maka sebagai seorang koki professional, wajan dan panci merupakan benda paling berharga baginya. Bahkan bisa jadi ia lebih mencintai wajan-wajannya dibandingkan diriku, buktinya ia terlihat senang mengetahui kepergianku dari rumah ini.

Ah sudahlah! Lupakan tentang ayahku dan panci-pancinya, sebaiknya aku kembali memasukan semua pakaian yang tersisa ke dalam salah satu koper besar yang sengaja kuminta dari Naruto-kun sebagai mas kawin yang harus dipenuhi, tidak boleh tidak atau pernikahan kami sebaiknya gagal, dan ternyata benda yang diremehkan Naruto-kun sangat berguna, tidak sia-sia aku merengek meminta satu set koper kepada calon suamiku waktu itu.

Hanabi menghampiriku sambil membawa beberapa pakaian yang lain. Ia sudah seharian ikut membantu membereskan barang-barang yang akan kubawa. Aku berdiri menatap ke sekeliling dan menemukan barang yang sangat berharga yang telah menemaniku dalam tujuh belas tahun hidupku, bagaimana bisa aku melupakan ini, langsung saja kumasukan benda itu ke dalam koper bercampur dengan pakaian mahal.

"Hinata-Nee, apa kau juga akan membawa bantal busuk itu?" Aku mendelik mendengar ucapan Hanabi mengenai bantal kesayanganku. Hanabi sebenarnya sudah tahu dengan kebiasaan yang tak mungkin kutinggaalkan, aku mana bisa jauh dari bantal kumal dan sudah tak montok itu.

"Bantal ini sudah menemaniku sejak bayi, Hanabi-chan. Tentu saja aku tak mungkin meninggalkannya sendirian di dunia ini." Hanabi mungkin tak mempercayai penglihatannya saat melihatku memasukan benda mengerikan itu ke dalam koper dan bercampur dengan bikini-bikini mahal yang setahunya dibelikan oleh Ibu Naruto-kun sebagai salah satu hadiah perkawinan.

Kulihat Hanabi menggeleng-gelengkan kepala, entah untuk apa? Mungkin lehernya kaku karena ia sudah banyak membantuku packing seharian penuh.

Aku kembali menghitung semua kotak-kotak koper yang sengaja kubaris dari yang terbesar sampai yang terkecil. Ada sekitar 4 koper besar, 5 koper berukuran sedang, juga 3 koper kecil tempat menyimpan perhiasan, beberapa aksesoris dan satu koper make-up lengkap sebagai penunjang kehidupanku. Well, perempuan dan make-up jangan harap bisa diceraikan.

Aku sangat sibuk, tapi suami super tampanku belum datang menjemput—Ini Naruto-kun yang memaksaku menyebutnya tampan—aslinya aku lebih suka jika mengatakan Naruto-kun adalah lelaki berbahaya. Sangat berbahaya, karena gara-gara Naruto-kun juga aku sampai tertangkap nikah.

Naruto-kun lama sekali sih! Aku kan nggak sabar ingin cepat menempati rumah baru kami, sebagai pasangan suami istri tentunya. Eh, sebenarnya perasaanku biasa aja, mana mungkin aku bisa begitu semangat hanya karena akan tinggal dengannya. Iyuuhh! Tidak, tidak! Perasaanku tidak boleh melemah, apalagi sampai jatuh cinta sama Naruto-kun, si lelaki berbahaya.

Lagipula pernikahan ini hanyalah sebuah kesalahan, pernikahan yang didasari oleh paksaan orang tua, cepat atau lambat salah satu dari kami akan meminta pisah. Karena itu Naruto-kun mengajakku bertaruh dengan pernikahan ini, jika aku sampai mengajukan talak ke pengadilan maka aku harus memberikan ganti rugi berupa uang sesuai dengan yang ditentukan—Kadang aku heran Naruto-kun mungkin pernah kuliah dijurusan Ekonomi, perhitungan keuangannya sangat licik seperti pengusaha yang megeluarkan modal sedikit tapi ingin mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya —Sebaliknya, jika Naruto-kun yang menalak diriku ke pengadilan maka aku akan sejahtera seumur hidup—Kalau hitungan seperti ini aku merasa Naruto-kun benar-benar dermawan.

Pertaruhan ini kami buat sebelum catatan pernikahan kami resmi di mata hukum, bisa dibilang kami membuat perjanjian pra-nikah. Tentu saja hal ini tidak diketahui oleh anggota keluarga yang lain, pejanjian ini murni hanya antara aku dan Naruto-kun saja. Tapi… kalau kubaca-baca kembali isi perjanjiannya, kok sepertinya sangat merugikanku.

Tertulis:

Pada poin nomer tiga = Tugas wajib seorang Suami/Istri adalah mampu memuaskan kebutuhan seksual pasangannya. Baik menggunakan alat maupun tidak. Jika pasangan meminta bermain dengan Seks Toys, maka masing-masing pasangan harus berusaha memenuhi permintaan itu. Jika menolak maka Suami/Istri akan dikurangi poinnya, sebaliknya jika mampu memuaskan maka poin akan bertambah.

Saat ini poinku dan Naruto-kun masih seimbang, masing-masing memiliki 100 poin yang bisa berkurang atau bertambah—Kalau dipikir-pikir kehidupan perkawinan kami kok seperti permainan Game ya, bair aja deh, yang penting aku dapat hadiah dari Naruto-kun kalau bisa menang darinya— di akhir tahun nanti poin itu akan dikalkulasikan, yang terbanyak akan menjadi pemenang dan bisa mengajukan sebuah permintaan. Aku sudah memikirkan permintaanku jika menang, yaitu: meminta Naruto-kun untuk mengajukan talak ke pengadilan, otomatis aku akan terbebas darinya, sekaligus kesejahteraanku akan terjamin.

"Hahahahaha…." Aku tertawa dengan keras membayangkan kemenanganku kelak. Kulihat Hanabi memandangku dengan kening berkerut, cepat-cepat kuhentikan tawaku yang tampaknya terdengar hingga ke telinga Hanabi.

Kulirik jam dinding kamar, pura-pura tak memperhatikan pandangan Hanabi, jam delapan malam dan Naruto-kun belum juga datang.

Hanabi melangkah mendekatiku, "Kau terlihat sangat bahagia, Neechan?"

"Te-tentu saja … aku bahagia. Aku sekarang seorang Namikaze …." Kupamerkan senyuman termanis untuk Hanabi agar dia tak curiga. Dengan gerakan cepat kumasukan surat perjanjian pra-nikah yang terlihat seperti map biasa itu ke dalam koper, sengaja kutaruh map itu di bawah tumpukan baju-baju agar tak ada yang melihat. Lalu dengan cekatan kututup koper itu dan menggeser resletingnya hingga mencangkrem satu sama lain.

"Apa semuanya sudah beres Neechan? Tidak ada yang terlupakan?"

"Iya, semuanya sudah lengkap. Terima kasih Hanabi-chan, kau sudah banyak membantuku." Kuperhatikan pandangan Hanabi menyusuri ke sekeliling kamar.

Sebentar lagi aku akan meninggalkan kamar ini dan akan dibawa pergi oleh lelaki dari keluarga lain. Aku sekarang bukan lagi seorang Hyuuga, menggumamkan kalimat itu membuat hatiku berdebar… aku dan Naruto-kun menikah tiga hari yang lalu, dan kami memutuskan untuk menempati sebuah apartement bersama—Apartemen itu hadiah pernikahan dari orang tua Naruto-kun, mereka sangat baik, aku beruntung memiliki mertua yang tidak pelit—walau tidak terlalu mewah tapi cukup nyaman dan luas untuk kami tempati berdua.

Aaa! Aku benar-benar tidak mengira akan hidup sebagai suami-istri dengan Naruto-kun rasanya seperti mimpi, coba kucubit pipi tirusku—aku suka sebel kalau Naruto-kun bilang pipiku tembam—Aww! Ternyata sakit. Ooh Kami-Sama! Tinggal dalam satu atap dengan lelaki asing yang belum kukenal dengan baik, ini sungguh meresahkanku

Naruto-kun sebenarnya adalah tetangga baruku, usia kami bahkan terpaut jauh, aku baru tujuh belas tahun, sementara Naruto-kun itu perjaka tua, usianya … sekitar dua puluh tahun lebih, aku bahkan tak ingat berapa usia sebenarnya, jangan-jangan dia lebih tua dari ayahku, jangan-jangan dia sebenarnya sudah hidup ratusan tahun, mungkin saja dia vampire, persis seperti Edward Cules.

"Hah! Apa aku akan mati kehabisan darah?" Tanpa sadar aku memekik dengan suara keras.

"Hinata-Nee …," Hanabi menatapku dengan pandangan mengintimidasi, "Hentikan kebiasan burukmu, kalau Naruto-nii tahu kebiasaan menghayalmu, nanti kau bisa langsung diceraikan."

Aku membeku mendengar perkataan Hanabi, memangnya ada yang aneh denganku? Kenapa Naruto-kun ingin bercerai, dia kan cinta mati padaku. Maksudku akan kubuat Naruto-kun cinta mati padaku, sementara aku menjaga hati agar tidak jatuh hati padanya. Seperti kata Patkai cinta adalah penderitaan tiada akhir, akan kubuat Naruto-kun menderita hingga akhir hayatnya karena cinta.

Aku kembali senyum-senyum sendiri. Wajah Hanabi terlihat putus asa melihat kelakuanku.

"Kalau sudah beres semua, sebaiknya aku turun dan menemani Tousan di bawah, sepertinya dia sedang menunggu kedatangn Naruto-nii."

Belum sempat kujawab, Hanabi sudah melenggang keluar kamar.

Semenjak Naruto-kun dan keluarganya pindah di kompleks perumahan yang sama dengan keluargaku— Rumah kami bersebelahan— aku yakin Naruto-kun sudah ada perasaan padaku, gadis berwajah manis dan cantik—ini kata Naruto-kun, ia suka sekali memujiku. Bahkan kamarku dan Naruto-kun saling berhadapan jendela, ini membuktikan bahwa Tuhan saja tahu apa yang dirasakan pemuda itu, hingga membuat kami sangat berjodoh dengan segala kebetulan ini.

Aku jadi ingat saat pertama kali melihat Naruto-kun, mengingatnya membuatku malu sendiri.

Pagi itu adalah hari paling indah yang pernah kualami, udaranya sejuk, langit terlihat sangat cerah. Kebiasaanku setelah bangun tidur selalu duduk di balkon kamar dengan ditemani secangkir teh herbal, yang manfaatnya bisa meluruhkan lemak dalam tubuh, wanita dan topik berat badan sangat sensitif, jadi buat para lelaki jangan pernah menyinggung masalah berat badan di hadapan perempuan. Kadang aku juga suka sebal kalau Naruto-kun bilang aku gendut, walaupun dengan cara yang manis. Iiih, aku salah lagi, sama sekali tidak ada manisnya jika dia sudah menjembel pipiku dengan gemas lalu mengecupnya tanpa ijin, jelas-jelas dia itu perjaka tua mesum.

Ah, kenapa aku malah menceritakan kemesumannya, kita kembali saja ke cerita pertama kali kami saling bertemu. Saat itu aku belum tahu kalau ada orang baru yang menempati rumah kosong di sebelah kediamanku, dan kebiasaan seorang Naruto-kun ternyata lebih parah. Jadi, Mr. Rubah itu ternyata suka berjalan keluar kamarnya dengan mata masih belum melek benar, mulut menguap, dan jemari menggaruk pantat, dengan santainya ia berjalan ke balkon kamar yang berseberangan dengan balkon kamarku.

Aku benar- benar syok disuguhkan pemandangan baru darinya, sosok berambut cepak dan acak-acakan—namun anehnya terlihat keren di mataku, Ah! Mungkin karena saat itu aku lupa menyebut nama Tuhan, makanya setan mudah merasukiku— dengan wajah bantal sosok itu berjalan makin mendekat ke pagar pembatas balkonnya, ia tak menggunakan pakaian lengkap, tubuh kekarnya hanya dihiasi boxer ketat yang sangaaaaaaaat seksiih. Membayangkannya saja sudah membuat air liurku berproduksi terlalu banyak, sampai -sampai aku takut meneteskan liurku. Bagaimana tidak tergiur? Naruto-kun benar-benar terlihat sebagai sosok lelaki yang sempurna, dengan tinggi badan bak super model, lengan dan dadanya terlihat berotot, kulitnya berwarna tan eksotis, dilengkapi dengan tipe perut roti sobek—Sixpack—yang sempurna.

Rasanya mataku membesar dengan tak elitnya menyaksikan keindahan itu, terutama keindahan di bagian selangkangan laki-laki itu~pervert mode on~ ugh! Terlihat sekali di bagian 'itu' yang seperti tombak sedang membangun tenda~you know~ ereksi di pagi hari adalah kebiasaan seorang pria, sementara aku tanpa berkedip memokuskan pandanganku ke bagian itu. Benar-benar hari yang indah, Eh dari tadi kok kalimatku seperti seorang gadis mesum? Tapi janganlah salah paham itu bukan berarti aku jatuh hati, apalagi terpesona oleh lelaki seperti dia—Dan jangan pernah mengaggapku mesum— aku kan hanya gadis polos yang tercemari olehnya, teganya lelaki tampan itu mencemari keluguanku.

Naruto-kun memandangku dengan senyuman paling mengerikan, wajah dewasanya terlihat begitu menggoda. Dia ber-say hello, tentu saja aku yang masih terjerat oleh mantranya hanya bisa berkedip-kedip memandang antara bagian atas dan bagian bawahnya, dua-duanya tak bisa kulewatkan begitu saja.

"Berapa usiamu, Gadis Manis?" Nah, benarkan? Dia memang suka menggodaku dari awal. Aku tahu dia pasti sudah lama mengincarku.

"Tu-tujuh belas," kataku sambil menunduk karena wajahku terasa panas, efek perasaan malu ketahuan memandang tubuh seorang lelaki. Kenapa juga tiba-tiba aku gagap di depan seorang pria.

Dia berdehem lalu tersenyum menggoda ke arahku lengkap dengan kedipan mata birunya. Apa itu kedipan mata genit? Tanpa sadar bola mataku kembali melirik pada bagian ereksinya, seharusnya lelaki di hadapanku merasa malu, tapi kok malah tubuhku yang merasa panas dingin begini

"Aku Namikaze Naruto …. Kamu?"

"Hyu-Hyuuga … Hinata," suaraku rasanya bergetar.

"Nama yang cantik, secantik orangnya." Arghh … rasanya aku ingin pingsan.

"Senang berkenalan denganmu, Cantik." Kulihat Naruto-kun berbalik, lalu berjalan ke dalam kamarnya, "Sampai bertemu lagi, Cantik." Punggung Naruto-kun terlihat menggiurkan untuk disentuh, rasanya aku ingin terbang dan memeluk tubuh itu.

Ya, ampun! Apa yang sebenarnya kupikirkan? Mengapa gadis polos sepertiku harus dicemari dengan pemandangan mature macam itu. Naruto-kun itu memang lelaki yang sangat berbahaya, sebaiknya aku tak dekat-dekat dengannya.

Dia berhasil membuat jantungku berdetak tidak karuan. Aku harus berhati-hati dengan perasaan aneh ini, dan terutama harus berhati-hati menjaga hatiku agar tidak terjerumus ke dalam permainannya.

Pertama melihat wajah bad boy-nya saja sudah dapat ditebak kalau Naruto-kun itu seorang player. Saat kami memutuskan menikah saja aku tengah menaruh curiga pada Naruto-kun, mungkin saja ia sudah menyimpan banyak wanita sebagai selingkuhannya. Suatu hari akan kubongkar keburukannya itu, aku pasti bisa menemukan salah satu wanitanya di Rumah Sakit tepatnya bekerja.

Naruto-kun adalah seorang dokter anak sekaligus pewaris Uzumaki Hospital—Rumah Sakit peninggalan keluarga ibunya, mana ada perempuan yang tak akan tergoda dengan pesona dan status mapannya itu. Aku juga kalau bukan karena ayahku yang mata duitan itu mati-matian memaksaku menikah dengannya, tentu sekarang aku tak akan terikat dalam hubungan pernikahan ini.

Bagaimanapun aku ini masih pelajar, dan masih ingin bebas bermain bersama teman-temanku yang seusia, bukannya terjebak dengan lelaki dewasa yang mesum. Bisa dikatakan Naruto dan kemesumannya yang membuatku harus menikah muda dengannya.

Jika ada yang mau mendengar ceritaku lagi, mungkin nanti akan kuceritakan bagaimana gadis lugu sepertiku bisa menyandang status Namikaze, ini bukan karena aku lho yang mesum, ku-te-kan-kan: Aku tidak mesum! Naruto-kun tuh, yang mesumnya tingkat dewa. Titik.

Bye … Bye …


A.N = Pakai POV orang pertama ternyata ribet juga, mungkin ada narasi yang belibet, harap maklum masih belajar menulis.