Aku kembali duduk di kursi yang sama, ditengah remang kamar tidurku dan menghadap pintu ganda dari kaca menuju balkon. Tirainya ku singkap dan pintu itu aku buka lebar-lebar. Cahaya bulan purnama yang keperakan menembus masuk bersama desahan dingin angin yang menerbangkan sehelai demi sehelai harapanku. Ku hirup nafasku dalam-dalam dan ku hembuskan cepat.
Pipiku tiba-tiba basah. Wajahku memanas dan tanganku terkepal dipangkuanku. Spontan kugigit bibirku seiring dadaku yang semakin sesak. Tak sanggup menopang tubuhku, aku jatuh berlutut sambil mencengkeram dadaku yang terasa sakit entah kenapa. Aku terisak di keheningan kamar, berbalut rindu dan keputusasaan.
Ini air mata untuk siapa? Yang jatuh dan mengalir di pipiku.
Kulihat jawabnya ada pada arah datangnya sinar bulan purnama sehingga tanganku tanpa sadar terulur, memohon padanya untuk mendekat.
Blood Vows
A Jeongcheol fanfic by titans_generation
Jeonghan, Seungcheol, Joshua (read: not Jihancheol)
Characters belong to themselves
Yaoi/BoyxBoy
Trigger warning
Please enjoy ^^
1. Encounter and Farewell
Hari itu, lima bulan yang lalu, aku duduk di barisan tengah dan memandang orang yang sama. Tak ku hiraukan sepasang suami isteri yang sedang berbahagia di depan sana. Di mataku hanya ada lelaki itu, seorang penyanyi gereja yang sedang melantunkan suara indahnya bersama anggota paduan suara lain.
Riuh pikuk para tamu dan keluarga yang terisak dalam suka cita atau sekedar berbincang tak mengalihkanku dari lantunan suaranya yang syahdu. Suara yang lembut dan harmonis itu memekakkan telingaku.
Cepat-cepat aku keluar dari gereja setelah dipaksa berfoto dengan Hyerin noona dan suaminya. Di ambang pintu kulihat lelaki itu berdiri, berbincang dengan tamu. Ingin rasanya aku tertawa. Siapa yang sedang aku bohongi sekarang?
"Jeonghan!" sebisa mungkin aku tulikan telingaku, berharap itu hanya imajinasiku dan berlalu menuju gerbang. Namun dipanggilan kedua tangan itu menahanku. Tuhan, aku tak sanggup berhadapan dengannya. Sambil mengumpulkan keberanian, kupalingkan tubuhku dan kupasang senyum paling palsu yang aku punya. "Hei, maaf aku tidak melihatmu, Joshua."
"Tidak apa-apa," jawabnya singkat. Kemudian semua menjadi canggung. Dua orang wanita yang tadinya mengobrol dengan Joshua perlahan mundur dan meninggalkan kami berdua. Aku sendiri masih sangat terkejut.
Untuk apa kamu menyapaku hari ini? Ingin rasanya aku bertanya. Namun nafasku tercekat ditenggorokkan. Ia lebih dulu membuka mulut, "Maaf."
Dalam hati aku tertawa. Sekarang aku tahu ke arah mana pembicaraan ini akan menuju. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Joshua. Kamu tidak punya salah apapun denganku."
Senyum itu muncul di wajah Joshua, senyuman akrab yang sudah dua tahun ini aku lihat. Senyuman itu pula yang membutakan hatiku dan menulikan telingaku. Mataku melirik ke tanganku yang masih digenggamnya, begitu lembut seperti sebuah mimpi indah. Dan memang Joshua hanya sebuah mimpi untukku. Aku sadar ketika ia menarik tangannya, rupanya dia menangkap pergerakkan mataku dan menyadari apa yang sudah dilakukannya.
"Setelah kejadian itu kita menjadi sangat canggung. Aku takut kau akan membenciku," Joshua kembali bicara.
Aku tertawa getir, "Aku tidak sanggup membencimu, Joshua."
"Baguslah. Aku hanya tak ingin memutuskan hubungan kita. Walaupun kamu berubah seperti ini, walaupun keyakinan kita berbeda dan sekarang aku tahu orientasimu-" jeda, Joshua menatapku ragu, mungkin memilah kata-kata yang benar untuk sekedar menyenangkanku. "-menyimpang..."
"Aku harus pergi sekarang-"
"Kita harus menyelesaikan ini, Jeonghan."
"Tidak ada yang perlu diselesaikan, aku sedang buru-buru-"
Aku berbalik dan beranjak pergi sampai lagi-lagi tangan itu meraih bahuku. Joshua memutar tubuhku setengah memaksa. Rambut merah gelapku yang sudah mencapai bahu sedikit menampar wajahnya saking kuatnya Joshua menarikku. "Aku hanya ingin bilang kamu tetap sahabatku, Jeonghan. Setelah seminggu ini aku berpikir, mungkin aku bisa menerima keadaanmu," ujarnya seolah-olah aku sudah gila, seolah-olah aku sakit.
"Bagaimana bisa aku melihatmu kembali seperti sahabatku, Joshua? Aku mencintaimu. Seperti Hyerin noona dan suaminya. Seperti ayah dan ibumu mencintai satu sama lain. Kita tidak akan kembali sama seolah itu tidak pernah terjadi, aku yang tidak bisa. Semua sudah selesai sejak aku menjadi makhluk paling kotor dimatamu!" aku menatapnya nanar. Habis sudah pertahananku. Kupalingkan tubuhku dan bergegas meninggalkannya.
Memang sejak awal aku tak seharusnya keras kepala memerjuangkan Joshua.
Entah berapa lama sudah aku berjalan. Matahari sudah lama tertidur. Jas hitam yang awalnya aku kenakan tersampir di pundak dan dua kancing teratas kemejaku terbuka. Sepasang sepatuku yang tadinya mengkilap kini berlapis debu, menapak pelan diatas bata merah yang berjejer.
Ku angkat kepalaku yang sejak tadi tertunduk dan kudapati sebuah bangku taman kosong. Aku sadar kakiku sudah mulai terasa sakit dan perlu diistirahatkan saat itu juga.
Tak lama setelah aku duduk, bangku itu berderit tanda beban di atasnya bertambah. Seorang asing baru saja mengisi tempat kosong di sampingku. Kami terdiam cukup lama, toh tidak ada yang bisa dibicarakan. Cuaca sedang tidak bagus dan mudah bergaul bukan keahlianku.
Sampai pada akhirnya, diantara sayup-sayup jauh kendaraan dan nyanyian serangga malam, orang asing itu angkat bicara.
"Aku adalah makhluk malam. Orang-orang percaya cahaya matahari tak bisa menyentuh kulitku." Alisku bertaut. Orang aneh, pikirku. Karena tidak biasanya orang asing mengawali pembicaraan dengan kalimat aneh sepertinya.
Kemudian orang itu melanjutkan kalimatnya, "Aku makan dari manusia yang sekarat. Menghisap nyawa mereka hanya untuk sekedar memuaskan nafsu singkat. Aku benci dengan rasa manis dari darah orang-orang yang bahagia. Sedangkan yang putus asa dan menyedihkan adalah favoritku."
"Apa kamu baru saja mendeskripsikan seorang manusia? Karna aku yakin semua orang juga seperti itu," balasku tanpa melihatnya. Orang itu terkekeh pelan.
"Bisa jadi. Tapi tidak, aku benar-benar melakukannya." ia berujar, masih dengan nada yang sedikit meremehkan. "Oh, namaku Choi Seungcheol."
Aku akhirnya balas menatapnya yang nampak meneliti setiap inci wajahku. Saat itu aku sadar kulit orang ini lebih pucat dari orang kebanyakan, apa dia sakit? Dan apa yang di bibirnya itu bercak darah? Rambut hitamnya begitu kontras dengan warna kulitnya dan kemeja putih yang sedikit terbuka itu membuat lelaki ini seolah berasal dari buku fiksi.
Lama saling berpandangan akhirnya ku alihkan mataku ke taman di depan kami. Senyuman pahit mengembang di wajahku. Namun kali ini aku tidak berusaha menyembunyikan kesedihanku, toh kecil kemungkinan aku akan bertemu lagi dengan orang asing ini.
"Aku hancur, Seungcheol. Harapanku runtuh bahkan sebelum aku membangunnya," ucapku lirih. Dari sudut mataku kulihat laki-laki itu masih menghadap ke arahku. "Orang-orang berpikir aku sakit dan perlu direhab. Aku pikir aku memang sekarat. Aku sudah dipenuhi luka dan seminggu yang lalu aku mulai mati rasa," lanjutku.
Kemudian aku mendongak, laki-laki itu menggenggam tangan kananku. Dalam kebingungan kucari jawaban di matanya yang gelap.
"Bagaimana kalau aku bantu menghilangkan rasa sakitmu?" ujarnya sambil membawa tanganku ke wajahnya dan menciumnya.
Ketika aku pikir hanya sampai disitu, Seungcheol membalik tanganku dan mencium telapak tanganku. Sedetik kemudian telapak tanganku terasa basah dan hangat, Seungcheol menjilatnya. Aku tersentak dan buru-buru menarik tanganku. Tapi cengkeramannya cukup kuat. Belum sempat aku memproses apa yang sedang terjadi, rasa ngilu dan perih menghantam pergelangan tanganku.
Dia menggigitku.
Bukan hanya itu, dia juga menghisap darah yang keluar dari tanganku. Mataku kututup rapat, menunggu sakit dari luka yang dibuatnya terasa semakin buruk. Tapi itu tidak terjadi. Ngilu yang awalnya kurasakan perlahan hilang sampai tidak terasa sama sekali.
Kubuka mataku dan langsung bertatapan dengan sepasang mata gelapnya. Sekujur tubuhku meremang melihat Seungcheol menjilat sisa darah di tanganku.
Perlahan ia mendekatkan wajahnya padaku dan berbisik, "Akan kulakukan perlahan tanpa rasa sakit sama sekali. Mungkin akan sedikit pusing, tapi setelah itu semua beban di pundakmu akan hilang perlahan."
Tanpa sempat membalas kata-katanya rasa ngilu itu kembali, bukan di tanganku tapi di antara leher dan pundak. Aku terlonjak kaget namun kedua tangan Seungcheol yang besar menahan di kedua sisi tubuhku. Aku terperangkap antara lengan bangku dan badannya yang sangat dekat. Sekali lagi kurasakan darahku merayap naik dari ujung kaki menuju luka yang dibuat Seungcheol. Bibirku yang gemetar kugigit bukan karena rasa sakit tapi sensasi aneh yang membuat tubuhku terasa lemah.
Tanganku yang awalnya erat mencengkeram kain kemeja Seungcheol perlahan melonggar dan terkulai lemas. Kemudian pandangaku mengabur dan tubuhku terasa ringan. Nafasku melambat dan kelopak mataku terasa sangat berat.
Jika inilah waktuku, aku akan dengan senang hati melepaskan segalanya. Tapi, jika Tuhan itu ada, bolehkah sekali saja kabulkan doaku dan perlihatkan Joshua untuk terakhir kali?
Doa itu kupanjatkan dalam hati seiring air mata yang mengalir di pipiku. Dan ditengah kesadaranku yang perlahan menghilang kulihat sosok Joshua di kejauhan. Halusinasiku terasa begitu nyata sampai-sampai kudengar suaranya memanggil namaku.
Tapi rupanya ia bukan sebatas fatamorgana. Ia Joshua yang nyata. Aku terlambat menyadarinya dan semua terlanjur gelap dan hening.
Tbc
Author's note: fanfic Jeongcheol pertama! Dan kembalinya diriku ke dunia per-fanfic-an setelah 3 tahun hiatus. Ini request dari temen, udah lama banget sih haha, sorry, kak!
Review please?