All characters belong to Masashi Kishimoto

.

.

A Naruto FanFiction

.

Alternate Universe

Out of Character

.

Henrietta Sherevine

Presents

.

.

Saat Penyaksian


"Give me back my point of view

'Cause I just can't think for you

I can hardly hear you say

What should I do, well you choose"

.

- Jet, Look What You've Done -

ooo

Terik. Macet. Klakson.

Hanya tiga hal itulah yang sejak setengah jam lalu berputar-putar dibenak Ino. Tangannya memegang kemudi frustasi. Berapa lama lagi ia sampai jika terus seperti ini?

Klakson.

"Sialan!" Ino mengumpat pada BMW hitam disamping kanan mobilnya. Sudah tahu macet panjang, orang tak tahu diri itu malah menekan-nekan klakson percuma. Percuma. Benar, percuma. Bahkan umpatan Ino pun hanya akan membuat darahnya naik, takkan membuat kemacetan ini segera berakhir.

Ino memejamkan mata sambil bersandar di jok. Sejenak beristirahat mungkin bisa sedikit menurunkan tekanan darahnya. Namun hal yang berputar dalam benaknya tetap saja : Terik. Macet. Klakson.

Lalu sirine.

Ino membuka mata saat terdengar bunyi sirine di kejauhan. Terlihat beberapa mobil datang dari arah berlawanan: Dua mobil ambulans, dua mobil patroli. Oke, sekarang Ino dapat menyimpulkan apa gerangan yang membuat Tokyo bisa semacet ini : ada kecelakaan di depan sana.

Karena mengira kemacetan ini akan segera berakhir setelah kecelakaan itu dibereskan, maka Ino menyalakan kembali mobilnya dengan percaya diri. Alunan musik pop kembali terdengar dari radio, membuat gadis itu menggoyang-goyangkan kepalanya mengikuti irama lagu, amarahnya kini sudah hilang tak berbekas.

Tak lama mobilnya beranjak. Lancar. Bagus. Ucapkan selamat tinggal pada Macet dan Klakson, batinnya. Namun tetap saja langit Tokyo masih terik.

Saat Audi-nya berhenti di depan sebuah apartemen tiga lantai yang sederhana, Ino menganga tak percaya "Aku tak salah alamat, kan?"

Secepat kilat Ino menyambar tas tangan yang ia letakkan di sampng kursi pengemudi, lalu mengeluarkan secarik kertas dari sana. Ia membaca tulisan di kertas itu dua kali. Lalu membaca papan nama apartemen itu dua kali.

Benar. Tempat inilah yang ia tuju.

Walau agak bingung Ino akhirnya membawa tasnya keluar mobil, lalu berjalan perlahan sambil mengamati apartemen itu lekat-lekat.

"Apa benar editor film terkenal tinggal di apartemen seperti ini?" gumamnya, pada dirinya sendiri.

Apartemen itu amat sederhana. Nampak biasa ditinggali para mahasiswa dengan uang saku pas-pasan. Tidak jelek ataupun kumuh, namun bagi Ino ini tidak layak ditinggali seorang editor film terkenal seperti orang yang akan ditemuinya sekarang. Namun ia tak mungkin salah. Orang itu menuliskan alamat apartemen ini dengan amat jelas di secarik kertas yang kemudian diberikannya pada Ino. Jadi yang perlu Ino lakukan saat ini hanyalah memercayainya.

Editor itu tinggal di lantai tiga, kamar tiga puluh tujuh. Ino berjalan menuju ke lantai atas sambil melihat sekeliling. Sepi.

Tak ada orang yang berlalu lalang di koridor ataupun suara-suara dari dalam. Sepertinya dugaannya benar, yang tinggal disini mayoritas para mahasiswa supersibuk dengan uang saku pas-pasan.

Saat tiba dilantai tiga, Ino mendapati seluruh pintu apartemen tertutup. Sama seperti lantai sebelumnya. Namun saat sampai dipintu bernomor tiga puluh tujuh, pintu itu ternyata tak tertutup sepenuhnya.

Ino menekan bel. Orang yang ia cari pasti ada didalam karena pintu apartemennya tak tertutup sempurna, malah menampilkan sedikit celah. Namun tetap saja tidak sopan apabila ia langsung masuk tanpa peringatan.

Setelah bel pertama tak kunjung dijawab, Ino menekan bel lagi. Masih tak ada jawaban. Kemudian setelah menekan bel untuk kelima kalinya, Ino merasa ada yang aneh, tak mungkin kan pemilik apartemen ini pergi keluar rumah tanpa menutup rapat pintunya?

Oleh karena itu Ino memberanikan diri mengintip melalui celah pintu. Namun celah itu terlalu kecil untuk dapat melihat keadaan dalam rumah. Akhirnya, setelah menarik napas, Ino meraih kenop pintu dan membukanya.

ooo

Sai masih setia menempelkan ponsel ditelinganya walau orang yang sedari tadi ia telepon tak juga menjawab. Bahkan setelah ia menginjak rem dan mematikan mesin mobil, Sai tetap berharap orang yang ia telepon menjawab panggilannya.

Namun sayangnya tidak.

Ini percobaan teleponnya yang kesepuluh dan tak sedikitpun ia mendengar suara yang ia harapkan. Temannya tak menjawab. Padahal ini urusan penting –amat penting. Maka setelah putus asa akhirnya ia memutuskan untuk mendatangi orang yang bersangkutan, dan jika ia memergoki keparat itu sengaja membiarkan teleponnya berbunyi tanpa berniat mengangkatnya awas saja, Sai takkan segan-segan meninjunya.

Dengan membawa amarah Sai keluar dari mobilnya, lalu berderap menuju apartemen berlantai tiga yang sepi –dan jelek. Ya, jelek. Ia sampai saat ini tak mengerti mengapa rekan kerjanya memilih tinggal ditempat seperti ini, mengingat pendapatannya sebagai editor professional pasti lebih dari cukup untuk menyewa apartemen kelas atas, atau membuat rumah, misalnya. Entahlah.

Langkah Sai semakin cepat saat melewati koridor lantai pertama, tak sabar untuk segera sampai, tepatnya untuk segera meninju keparat sialan yang menyusahkannya itu. Sekilas ia mendengar suara mobil diparkir, Sai menghentikan langkahnya sejenak untuk melihat apakah itu mobil Si Keparat atau bukan, karena rata-rata penghuni apartemen ini adalah mahasiswa tingkat akhir yang krisis uang saku, jadi tak mungkin pula mampu membeli mobil...Audi.

Oke, ini Audi. Bukan mobil Si Keparat. Dan benar saja, saat sesosok wanita berambut pirang panjang keluar dari sana, Sai mengembuskan napas lalu meneruskan langkah.

Akhirnya, ooh akhirnya. Sai tiba di depan pintu apartemen nomor tiga puluh tujuh.

"Kankuroooo! Buka pintunya!"

Alih-alih menekan bel, dengan emosional Sai berteriak didepan pintu dengan tak terkendali. Namun tak ada jawaban.

"Sialan, kau! Buka pintunya!"

Namun lagi, tak ada jawaban. Akhirnya ia memutar kenop pintu dengan kasar dan matanya melebar saat mendapati pintu itu tak terkunci. Sai sempat tertegun. Kankuro –rekannya- bukanlah orang yang ceroboh walau ia orang yang tak mengerti estetika. Jadi, mengapa pintunya tak terkunci?

Karena sudah terlanjur memutar kenop, akhirnya ia membuka pintu itu perlahan dan matanya segera menangkap koridor rumah yang gelap gulita.

Tanpa pikir panjang Sai segera masuk dan berjalan perlahan. Cahaya dari luar segera menerangi koridor itu walau sedikit. Dan setelah Sai berhasil menggapai sakelar lampu yang ia sudah hapal benar letaknya, Sai berbalik untuk menutup pintu. Pintu itu tak sampai ia tutup sempurna karena bau besi segera menyerbu hidungnya. Bau ini...

Sai berbalik dengan satu gerakan cepat. Lalu mendapati Kankuro terbaring di koridor rumah dalam keadaan bermandikan darah, beberapa meter didepannya.

Lutut Sai membeku.

Mata sipitnya melebar selebar yang ia bisa. Apa? Apa yang harus ia lakukan?

Hingga di detik ketiga, ia masih membeku. Lalu pada detik keempat Sai memberanikan diri untuk berjalan mendekat. Detik berikutnya otaknya memerintahkan untuk memeriksa apakah temannya masih hidup atau tidak. Dan di detik keenam kaki Sai mulai bergerak.

Kini Sai bisa melihat dengan jelas pisau yang menancap di dada Kankuro. Langkahnya semakin mendekat, mendekat, hingga ia sampai pada tubuh temannya yang malang.

Dengan kaki gemetaran Sai berjongkok untuk mengamati tubuh itu lebih dekat. Pucat. Pucat sekali.

"Kankuro?"

Tak ada jawaban. Apakah...

"Kankuro?"

Kembali tak ada jawaban. Lalu tangan Sai terulur untuk memeriksa nadi kawannya itu. Berulang ia mencoba merasakan detak yang ia harapkan ada disana, namun nihil, sekuat apapun ia menekan nadi Kankuro, detak itu tak juga ia rasakan.

Hingga suara bel mengagetkannya.

Sai terbelalak menatap pintu. Astaga, apa yang harus ia lakukan?

Ia menelan ludah gelisah. Tangannya kini ikut gemetaran. Sai tak tahu apakah ia harus berjalan membukakan pintu atau membiarkan tamu itu pergi dengan sendirinya. Ia tak tahu. Ia masih kebingungan saat bel kedua berbunyi. Apa yang akan dilakukan sang tamu apabila melihatnya dalam keadaan seperti ini? Apa ia akan dituduh bersalah? Apakah...

Bel kembali berbunyi.

Sai gelagapan. Matanya bergerak-gerak gelisah, melihat kearah pintu dan tubuh kawannya bergantian. Kemudian matanya menangkap darah yang masih mengalir dari dada Kankuro. Darahnya. Masih. Mengalir. Apa mungkin kawannya masih hidup?

Maka ia membuat keputusan untuk membiarkan tamu itu diluar. Tangannya yang gemetaran kembali terulur untuk menarik pisau yang masih menancap. Cukup sulit. Entah pisau itu menembus tulang atau efek tangan Sai yang gemetaran, yang jelas pisau itu sulit dicabut.

Bel keempat berbunyi.

Sai akhirnya berhasil mencabut pisau berlumuran darah itu. Kini tangannya ikut berlumuran darah. Ia masih menggenggam pisau itu lalu mengamatinya saat bel kembali berbunyi.

Tatapannya beralih ke tubuh Kankuro. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Tak ada tanda-tanda tarikan napas, bahkan setelah pisau itu dicabut.

Kankuro nampaknya sudah meninggal.

Sai baru akan bangkit untuk memanggil ambulans saat pintu depan terbuka perlahan. Detik berikutnya sesosok wanita berambut pirang panjang muncul disana saat pintu terbuka sepenuhnya. Mata Sai bersibobrok dengan aquamarine gadis itu. Keduanya sama-sama terkejut. Kemudian sang gadis berteriak tertahan sambil bergerak ke belakang, nyaris terjengkang.

Sementara Sai masih berjongkok, dengan pisau ditangan kirinya, dengan ekspresi kaget yang bodoh menghiasi wajahnya, dengan mata yang terbuka lebar, dengan tak kunjung mengambil tindakan apapun.

Sempurna.

Seorang gadis telah memergokinya berjongkok didepan sebuah tubuh yang sudah kaku sambil memegang pisau. Apa kabar dengan masa depannya? Apa kabar dengan filmnya?

ooo

Ino berteriak dengan suara tersangkut di tenggorokan saking kagetnya. Darah. Astaga, itu darah sungguhan! Mimpi apa ia semalam? Alih-alih bisa menyelesaikan tesisnya dengan cepat, ia malah harus menyaksikan pembunuhan tak manusiawi didepan matanya. Demi tuhan.

Pria berambut hitam itu menatapnya tak kalah takjub. Pisau masih dalam genggamannya. Apa ia tak mendengar bel betubi-tubinya barusan?

Pikiran-pikiran buruk segera menghantui benak Ino. Bagaimana jika pria itu malah mengejarnya, lalu membunuhnya untuk membungkam mulutnya. Lagipula, apartemen ini sepi...

Tanpa pemikiran lebih lanjut, Ino berlari sekuat tenaga menuju tangga. Suara derap langkah dibelakangnya menandakan bahwa pria tadi tengah mengejarnya. Sial! Ia tak tak boleh berlari! Namun jika tak berlari, nyawanya...

"Tunggu! Itu tak seperti yang kau lihat!"

Pria itu berteriak dibelakangnya, namun Ino tak sudi berhenti hanya untuk mendengarkannya bicara.

"Tunggu!"

Ino tahu kini pria itu hanya beberapa langkah di belakangnya namun ia tak mau menyerah.

"Tunggu!"

Dan sialnya, paru-parunya tak mendukungnya untuk melarikan diri. ino terengah saat tangannya mencapai pegangan tangga. Namun ia akan berjuang. Sekuat tenaga.

"Dengarkan aku dulu!" Ino merasakan siku kirinya berhasil diraih pria itu. Ino berontak. Tubuhnya takkan mampu berlari sampai bawah, atau ia akan kehabisan napas ditengah jalan. "Lepaskan! Lepaskan! Tolooonggg"

Ditengah pandangannya yang berputar-putar, Ino berteriak sekencang yang ia bisa. Berharap salah seorang penghuni apartemen sepi ini bersedia menolongnya.

"Dengar. Aku takkan menyakitimu. Dengar. Astaga, dengar! Bukan aku yang membunuh!" pria itu kini menahan kedua tangan Ino. Ino sudah kehilangan tenaga. Napasnya tersengal-sengal. Oksigen. Ia butuh oksigen.

"Lepas...lepaskan!" suara Ino semakin melemah. Setelah ini mungkin ia takkan bisa teriak lagi. Ia harus berfokus untuk bernapas dengan benar, atau ia akan pingsan, disini, bersama seorang pembunuh.

"Dengar, aku menemukannya sudah dalam keadaan seperti itu. Demi tuhan! Aku akan memanggil polisi, sekarang. Aku akan memanggil polisi dan ambulans" pria itu berkata dengan panik. Tangan kanannya masih menggenggam siku Ino sementara tangan kirinya berusaha mengeluarkan ponsel di saku celananya.

Sementara Ino, alih-alih untuk berontak, untuk bernapas saja ia kesusahan. Tidak, ia tak boleh pingsan disini.

"Halo? Ada pembunuhan di..."

Ino merasakan kesadarannya mulai menipis. Tak apa jika ia hanya pingsan disini. Bersama seorang pembunuh. Namun masalahnya, paru-parunya takkan mampu mensuplai oksigen untuk tubuhnya selama ia pingsan.

"...Ya, di lantai tiga. Kamar tiga puluh tujuh. Saya menemukannya..."

Namun bahayanya siapa yang akan memasangkan alat bantu napas untuknya? Tak lama Ino terjatuh. Jika saja pria dihadapannya tak menahan tangannya, Ino pasti sudah jatuh berguling di tangga. Pria itu nampak panik saat Ino rubuh. Ino sudah tak mendengar lagi apa yang pria itu katakan atau apakah polisi yang sedang ditelepon segera datang atau tidak. Disaat seperti ini ia hanya berdoa pria didepannya ini memang bukanlah seorang pembunuh, dan ia bersedia menolongnya. Maka hal terakhir yang bisa Ino lakukan ialah mengeluarkan kunci mobil dari sakunya, menyodorkan pada pria dihadapannya, sambil berkata lirih ditengah usahanya mencari oksigen, "Oksigen...Audi...hitam...jok bela...kang..."

ooo

Sai menatap kunci mobil dihadapannya dengan bingung. Lalu gadis pirang yang rubuh itu berkata dengan terbata-bata, "Oksigen...Audi...hitam...jok bela...kang..."

Setelahnya gadis itu pingsan. Kunci mobil yang ia sodorkan tadi terjatuh sebelum tangan Sai sempat meraihnya. Bagaimana bisa? Tangan kirinya masih menggenggam ponsel dengan seorang petugas polisi masih berbicara diseberang sana, sementara tangan kanannya menahan tubuh wanita itu agar tak jatuh.

"Tunggu disana, kami akan segera datang kesana."

Setelah polisi diseberang sana mengatakannya, Sai menaruh ponselnya di anak tangga. Lalu meraih punggung wanita yang tengah tersengal-sengal agar tak jatuh. Tiap tarikan napasnya terdengar berat dan mengerikan. Apa yang terjadi? Jangan jangan...asma?

Sai melirik kunci mobil yang tadi terjatuh, memungutnya, lalu menaruhnya di pangkuan gadis itu. Ia masih ingat kata-kata gadis itu sebelum pingsan. Lalu mencernanya. Oksigen di jok belakang Audi hitam.

Kemudian dengan gerakan cepat Sai memboponga gadis itu dan menuruni anak tangga. Berdoa dalam hati agar gadis ini masih bertahan setibanya dibawah. Jangan sampai gadis ini meregang nyawa dipangkuannya.

Astaga, setelah terancam dicurigai sebagai tersangka pembunuhan Kankuro, kini apalagi? Mengapa pula gadis yang memergokinya malah ikut-ikutan sekarat seperti ini?

"Hei! Ada apa?"

Terdengar suara gadis di ujung tangga. Sai yang sudah mencapai setengah tangga menuju kebawah mendongak saat mendengar suara nyaring itu.

"Tadi aku mendengar teriakan, ada apa?" ulangnya. Begitu melihat baju merah putih yang dikenakan gadis itu, Sai teringat akan ambulans. "Hei, kau! Ambil ponsel di anak tangga! Panggil ambulans!"

Gadis itu segera melihat kebawah, lalu membungkuk untuk mengambil ponsel Sai yang masih diletakkan di tangga, "Ada apa?"

"Cepat! Wanita ini sekarat! Panggil ambulans!"

Gadis itu rupanya cepat tanggap. Ia segera menekan nomor di ponsel Sai, lalu menyusul ke bawah. Sementara Sai melanjutkan langkahnya ke lantai bawah. Secepat yang ia bisa.

Napas gadis pirang ini terdengar makin menyakitkan. Sai berusaha berkonsentrasi pada langkahnya sambil menambah kecepatan. Sedikit lagi. Sedikit lagi ia akan sampai di bawah.

"Hei! Ia kenapa?"

Sai menjawab tanpa menoleh kearah gadis yang menyusulnya dibelakang, "Asma, atau entahlah. Yang jelas napasnya tersengal"

"Aku sudah memanggil ambulans. Hei, hentikan! Ia bisa mati jika terus kau biarkan seperti itu! Turunkan ia saat sampai di lantai satu!"

"Kau bodoh, ya? Aku akan mengambil oksigen di mobilnya..." Sai menjawab sekenanya sambil setengah berlari. Derap langkah dibelakangnya nampak dipercepat , lalu saat Sai tiba di lantai satu, gadis dibelakangnya berhasil menyusul, saat gadis itu melihat keadaan gadis yang sedang sekarat, ia berkata dengan lantang. "Astaga, turunkan! Sekarang!"

"Bodoh! Kau akan..."

"Turunkan! Aku akan memberinya napas buatan, kau larilah ke mobil untuk mengambil oksigen!"

"Tapi..."

"Tak ada waktu untuk berdebat! Cepat!" teriakan gadis itu berubah ganas. Sai tak punya pilihan lain selain menurunkan gadis pirang itu, membaringkannya di lantai. Gadis berbaju merah putih tadi segera membuka mulut Si Gadis Pirang, lalu mulai memberikan napas buatan. Sementara Sai berlari sekuat tenaga menuju Audi yang terparkir di samping mobilnya.

ooo

Sejak pertama kali membuka matanya beberapa detik lalu, Ino sudah tahu ia tengah berada di rumah sakit. Bersama selang oksigen.

Astaga, sudah berapa lama ia tak memakai selang ini?

Berbulan-bulan lalu, sepertinya. Dan ia sangat benci harus mengenakannya lagi.

Dan...ia selamat? Pembunuh itu menyelamatkannya? Syukurlah. Ia tak peduli pria itu pembunuh atau bukan. Yang penting ia selamat.

Hal yang ia ingat berikutnya ialah mayat laki-laki yang ia lihat di apartemen. itu Kankuro. Pria yang ingin ditemuinya hari ini. Namun siapa sangka ia akan menemuianya dalam keadaan seperti itu?

"Ah, kau sudah sadar?"

Suara sopran seorang perempuan membuat Ino menoleh kearah tirai yang membatasi ranjangnya dengan ranjang lain. Perempuan berambut coklat yang tak ia kenali ini muncul dari balik tirai, tersenyum kearahnya sambil berjalan mendekat.

Ino balas tersenyum, "Ya. Kau...?"

"Ah, aku penghuni apartemen tempat kau pingsan tadi. Aku mendengar teriakanmu, lalu aku keluar, dan mendapati pria...ah aku tidak tahu namanya, sedang membopongmu yang sedang tersengal. Jadi aku menolongmu dengan memberikan napas buatan sementara ia mengambil tabung oksigen di mobilmu." Jelasnya panjang lebar. Ino berusaha mencerna semuanya. Jadi benar, pembunuh itu menolongnya.

"Terima kasih sudah menolongku,"ujar Ino tulus. Gadis berambut coklat itu balas tersenyum. "Lalu dimana pria itu sekarang?"

"Di kantor polisi, aku kaget saat mendengar Kak Kankuro terbunuh di apartemennya. Sebenarnya aku belum dengar kelanjutan ceritanya, tapi..."

Ucapan gadis itu terpotong oleh kedatangan dua orang polisi ke ruangan itu. Tanpa basa-basi salah seorang polisi berkata pada Ino, "Apa kau sudah sanggup untuk kami mintai keterangan?"

Ino mengerjap, "Kurasa, ya." Ino tahu mau tak mau ia harus berurusan dengan ini, dan itu artinya tesisnya akan tertunda lagi. Lebih parahnya lagi, berantakan.

"Baiklah, kami akan memanggilkan perawat untuk mengantarkan Anda ke mobil patroli kami di depan" Dan setelah itu mereka pergi.

Meninggalkan Ino hanya bisa menelan ludah, dalam hati mengucapkan maaf pada tesisnya yang sudah menunggu terlalu lama untuk diselesaikan.


Author's Note

Hellooooo!

Kita berjumpa lagi di Fanfic Author yang kedua. Fanfic ini dibuat dengan pemadatan kata, artinya dibuat dengan to the point, tanpa basa-basi. Ini karena waktu Author yang tak banyak untuk menulis, he he. Tapi Author harap maksud dan segala perasaan yang Author ingin sampaikan ke Pembaca melalui cerita ini bisa tersampaikan yoo ^^

Oh, iya, terima kasih tak henti Author ucapkan pada kalian yang bersedia me-Review cerita Author yang sebelumnya (A Black Llight), bahkan beberapa komentar membuat Author terharu T.T

Dan mengenai beberapa permintaan sequel A Black Light yang ada dikolom Review... Author memutuskan untuk tidak membuat sequel tentang kisah mereka di Venezia atau kisah mereka after the wedding, he he. Tapiiiii Fanfic ini masih berhubungan dengan A Black Light lhoo. Hanya saja Author 'menggeser' pemeran utamanya. Jadi, tunggu saja kejutan-kejutan kecil yang akan Author sisipkan di kelanjutan series ini yaaa ^^

Mengapa Author tak membuat sequel A Black Light?

Karenaaaaaaa Author tak mau isi sequel itu hanya berisi 'kisah cinta' Sasuke-Sakura saja, jadi Author putuskan untuk menyisipkan atau menyiratkan sequelnya di Fanfic ini. Intinya Author berpegang teguh pada genre Action-Adventure dengan 'bumbu' Romance, he he.

Oke, selamat membaca, Guys ^^