Ragu

Assassination Classroom: Matsui Yusei

[AU, OOC maybe]

.

.

.

.

.

Saat ini langit di Jepang tampak cerah, cuaca sangat terik. Sesekali gadis bermata violet itu menyeka keringat yang mengalir didahinya. Tidak terasa sekarang sudah memasuki pertengahan musim panas. Cuaca seperti ini membuat orang-orang dikota berpikir untuk lebih memilih beristirahat dirumah dan menyejukan diri.

Tetapi tidak dengan Manami, ia masih sangat giat bekerja dengan senang hati. Dan sekarang adalah hari Minggu, dimana waktunya untuk berlibur sejenak dari aktivitas rutinnya selama ini.

Merasa dirinya mulai bosan terus berdiam diri dirumah, akhirnya Manami memutuskan untuk keluar rumah dan menuju toko buku. Setidaknya ia bisa menghabiskan dengan kegiatan yang bermanfaat. Saat sedang berjalan, seketika matanya tertuju pada sebuah yukata yang terpajang dikaca toko.

Manami mau tidak mau teringat pada festival kembang api nanti, dimana dirinya akan pergi bersama Karma. Yukata putih bermotif bunga berwarna ungu itu tampak indah dimatanya.

"Kau tertarik dengan yukata ini?"

Tiba-tiba sosok wanita paruh baya keluar dari toko tersebut dan mendekat ke Manami. Ia berpikir kalau wanita itu adalah pemilik toko yukata tersebut. Wanita paruh baya itu tersenyum tatkala melihat wajah gadis cantik berkacamata yang sedikit tersipu.

"Kalau kau tertarik, kau boleh membelinya dengan harga 1000 yen, nona muda." Ujarnya.

Manami tampak berpikir, saat pertama kali ia melihat yukata itu seketika dirinya langsung jatuh hati. Lagipula, tidak ada salahnya saat festival kembang api nanti ia memakai yukata baru.

"Baiklah, oba-san. Aku ingin membelinya." Manami mengangguk.

Akhirnya wanita paruh baya itu mengambil yukata tersebut dan memberikannya kepada Manami. Disepanjang jalan, ia terus memeluk yukata itu. Manami tidak sabar untuk memakainya. Lalu ia melangkahkan kakinya menuju toko buku yang awalnya ingin ia kunjungi.

Sesampainya di toko buku, Manami melihat dan membaca buku tentang penelitian. Ia memang sangat butuh buku tersebut, ia pun memutuskan untuk membelinya. Suasana toko buku itu cukup ramai, antrean cukup panjang terlihat di kasir.

Saat mulai dekat dengan meja penjaga kasir, Manami melihat gadis didepannya sedang terlihat kebingungan mencari-cari sesuatu didalam tas miliknya. Ia mendengar gadis itu menggumamkan sesuatu.

"Ah, maaf. Dompetku sepertinya tertinggal dirumah, aku tidak jadi membeli buku itu." Gadis berambut pale violet tersebut berbicara pada sang penjaga kasir.

Manami yang melihatnya pun langsung membantunya, "P-permisi, berapa harga buku itu?" tanyanya kepada penjaga kasir.

Saat mengetahui harga buku milik gadis itu, Manami langsung membayar bersamaan dengan buku miliknya. Tatapan gadis tersebut terlihat bingung, lalu Manami menarik tangannya untuk keluar dari toko buku.

"Ini punyamu."

"Kenapa? Itu kau yang membelinya, lagipula aku tidak jadi membeli." Balas gadis berambut pale violet tersebut.

"Tidak apa. Dompetmu tertinggal, kan? Ini pasti sangat penting." Ujar Manami sembari menyodorkan buku tersebut dan tersenyum.

"Astaga, aku sangat berhutang padamu. Aku janji, jika kita bertemu lagi, aku akan membayarnya."

Mendengar kalimat tersebut, Manami hanya mengangguk pelan. Baginya itu tidak masalah. Ibunya selalu berkata, jika ada seseorang yang sedang kesulitan, maka ia harus membantunya dengan senang hati. Tidak lama kemudian, gadis itu pergi saat ada taxi yang berhenti di depan toko buku.

Manami akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Di pertengahan jalan, ia baru ingat kalau ia lupa menanyakan nama gadis yang ia temui tadi. Tetapi Manami memilih untuk membiarkannya dan kembali berjalan.

.

.

.

Tibalah saat-saat yang dinantikan oleh Manami. Malam ini, ia memakai yukata yang ia beli dan memakai hiasan rambut milik sang ibu. Rambutnya tetap terkepang rapi, membuat dirinya tampak lebih manis dan cantik.

Kacamata tetap ia pakai. Lalu ia melirik ke jam yang tertempel di dinding rumahnya. Akhirnya ia berpamitan pada ayah ibunya dan melangkah keluar rumah. Memakai yukata seperti itu membuat dirinya harus berjalan perlahan dan hati-hati.

Suasana disana pun tampak sangat ramai, Manami kemudian menunggu di sebuah taman di festival tersebut. Ia dan Karma memang berjanjian untuk bertemu di taman itu. Jantung Manami terus berdebar kencang, mengingat dirinya akan bertemu sosok pemuda yang ia sukai. Dan mala mini pula, Manami memberanikan diri untuk menyatakan perasaan yang selama ini ia pendam.

Bermenit-menit telah ia lalui, tapi sosok pemuda berambut merah itu sama sekali belum muncul dihadapannya. Manami tetap setia berdiri untuk menunggu kedatangan Karma. Ia merogoh ponsel di tas kecil miliknya dan menekan tombol tersebut. Berulang kali ia menghubungi Karma tetapi tidak diangkat.

Manami menjadi gelisah, wajahnya seketika menjadi murung. Lalu ia memutuskan untuk berjalan ke dalam. Ia ingin membeli takoyaki sekaligus mencari keberadaan Karma. Manami berpikir jika pemuda itu sudah sampai duluan di festival ini.

Dengan susah payah ia melewati kerumunan orang-orang. Dan ia menemukan kedai takoyaki yang tak jauh dari jaraknya sekarang. Tiba-tiba matanya menangkap siluet seseorang didepan kedai tersebut. Tubuh sosok tersebut terhalang oleh orang-orang yang berjalan disekitarnya.

Setelah berhasil keluar dari kerumunan itu, Manami pun menghela nafas dahulu. Sekarang ia jelas melihat sosok yang ia duga adalah Karma. Ternyata dugaannya benar, Karma sedang berdiri tenang sembari memasukan kedua tangan disaku celana, Manami pun memasang wajah ceria lalu berjalan mendekat,

"Karma...kun?"

Ucapan Manami memelan saat ia melihat lengan karma dipeluk oleh seorang gadis. Matanya membulat. Kini dihadapannya terlihat Karma dengan seorang gadis yang ia pernah lihat. Gadis berambut pale violet itu tampak tersenyum senang saat memeluk lengan pemuda tersebut dengan membawa sebungkus takoyaki ditangannya.

Tidak sengaja, Karma menengok kearah Manami. Dan saat itu juga, pandangan mereka bertemu. Raut wajah Karma seketika sedikit terkejut. Manami yang tidak sanggup melihat pemandangan didepannya itu pun memilih untuk berlari menjauhi sosok tersebut.

Karma yang menyadarinya langsung melepaskan diri dari gadis yang bersamanya tadi dan mengejar Manami. Di sela kerumunan ramai seperti itu membuat Manami kesusahan untuk berlari, ditambah ia memakai yukata.

"Okuda-san, tunggu!" teriak Karma yang mengikuti langkah gadis berkacamata itu.

Manami tidak menghiraukan panggilan dari Karma, ia terus berlari dengan susah payah, dan sampai akhirnya tangannya ditahan oleh seseorang yang tidak lain adalah Karma. Karena sudah tidak sanggup berlari, ia pun berhenti tetapi enggan menoleh kebelakang.

"Kau salah paham. Tolong dengarkan aku." Ujar pemuda itu.

"Tidak. Aku mohon lepaskan aku." Suara Manami tampak bergetar, ia menunduk dan menggigit bibirnya pelan.

"Okuda-san, aku tidak bermaksud untuk mengingkari janji. Gadis itu-"

Manami pun menoleh, "LEPASKAN AKU! DAIKIRAI!"

Boomm..!

Disaat itu juga, kembang api meluncur dengan indah dilangit malam. Cahaya dari kembang api itu menjadi saksi mereka berdua. Karma tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Matanya terbelalak, dihadapannya sosok Manami terlihat jelas dengan air mata yang mengalir dipipinya.

Pemandangan dihadapannya tersebut membuat Karma melepas perlahan genggaman tangannya. Tidak lama kemudian, Manami kembali berlari dan menjauhi dirinya. Ia tidak berniat untuk mengejar gadis itu lagi. Hatinya seakan sesak, ia pun menundukan kepala dan kedua tangannya terkepal erat.

Akhirnya Karma kembali menuju kedai takoyaki dan menghampiri gadis yang melihatnya khawatir.

"Karma-kun, kenapa kau tiba-tiba berlari? Aku mencarimu, tahu." Ucap gadis tersebut.

"Wari, Ritsu. Kita pulang sekarang."

"E-eh? Tapi festivalnya belum berakhir."

"Aku lelah."

Karma berjalan dengan tatapan datar. Gadis bernama Ritsu itu merasa kesal dengan sikap Karma yang tiba-tiba berubah. Dengan tidak senang, ia pun mengikuti langkah Karma.

Pemuda itu mengantar Ritsu sampai rumahnya. Tetapi tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut Karma. Bahkan saat sepanjang jalan tadi, mereka tampak diam. Sesekali Ritsu membuka perbincangan tetapi hanya dibalas dengan gumaman dari pemuda berambut merah itu.

Sesampai dirumah, Karma melihat ponsel yang tergeletak dimeja. Dibukanya ponsel tersebut dan melihat banyak panggilan masuk yang tertera dilayar tersebut. Manami ternyata menghubunginya, tetapi bodohnya ia lupa membawa ponsel miliknya. Rasa bersalah itu kembali muncul dibenaknya.

Dilain sisi, Manami memasuki rumahnya dengan terisak. Ia sudah tidak peduli dengan riasan yang berantakan. Ia langsung memasuki kamar dan menguncinya. Tanpa aba-aba Manami naik keatas kasur miliknya dan menyembunyikan wajahnya dibantal.

Ia tidak tahu kenapa ia bisa membentak pemuda itu. Manami menjadi merasa bersalah pada Karma. Tetapi hatinya sangat kecewa saat tahu Karma melupakan janji mereka dan dengan santainya pemuda itu datang bersama gadis yang ia temui di toko buku waktu itu.

Semuanya gagal. Ia tidak jadi menyatakan perasaannya, sebaliknya, ia malah membentak dan mengatakan kalau ia sangat benci dengan Karma.

"Aku sangat menyedihkan." Gumamnya pelan.

.

.

.

Dua minggu kemudian, kini aktivitas Manami berjalan seperti biasa. Ia datang ke laboratorium dengan tepat waktu. Tidak ada yang berubah darinya, hanya sesekali wajahnya tampak sedikit murung. Setelah kejadian malam itu, hubungannya dengan Karma merenggang.

Mereka tidak pernah bertemu lagi. Bahkan, saat Karma mencoba menghubungi Manami, ia sengaja tidak menghiraukannya. Rasa kecewa yang ada didalam diri Manami belum menghilang. Tetapi walaupun begitu, dirinya tidak bisa melupakan sosok pemuda itu sampai saat ini.

"Okuda-san! Cairan yang kau tuang tumpah." Seru salah satu pekerja.

Manami sontak tersadar dari lamunannya. Ia panik saat melihat meja penelitiannya sudah basah oleh cairan berwarna hijau yang seharusnya ia tuang kedalam gelas.

"A-a-ah, g-gomenasai!." Ujarnya sembari membersihkan meja tersebut.

Setelah dirasa sudah selesai, ia pun melepas jas penelitiannya dan menggantungnya. Manami pamit kepada teman-temannya yang masih belum menyelesaikan pekerjaannya.

Ini masih belum terlalu sore, jalanan di kota masih belum tampak terlalu ramai. Manami masih ingin menyegarkan pikirannya dengan berjalan-jalan dulu di kota. Saat sedang menunggu lampu hijau untuk menyebrang, ia mengecek ponsel miliknya.

Tidak ada e-mail yang masuk di ponselnya. Manami terus memandangi layar ponsel, dilubuk hatinya ia ingin sekali pemuda itu menghubunginya kembali, tetapi pikiran itu ia kubur dalam-dalam. Manami tidak ingin menjadi gadis yang egois. Bahkan, ia menyesal telah membentak pemuda itu, mungkin jika sudah siap, ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Karma. Tidak lama kemudian, lampu hijau pun menyala.

Kereta mulai melaju dengan cukup cepat. Suasana didalam kereta agak padat, sosok pemuda bermarga Akabane tersebut berdiri dengan tenang didekat pintu kereta. Ia bahkan sudah terbiasa dengan suasana seperti ini jika pulang dari pekerjaannya.

Setelah kereta berhenti di stasiun selanjutnya, ia segera turun dari kereta itu. Rasa haus pun muncul, kemudian Karma mencari mesin minuman otomatis yang ada didalam stasiun. Lalu ia memasukan uang dan mengambil segelas kaleng soda. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, ia mengingat gadis berambut kepang dan berkacamata. Saat melihat kaleng soda tersebut, ia mengingat Manami.

Karma pernah menghubungi gadis itu, tapi hasilnya nihil. Manami sama sekali tidak menjawab panggilannya. Setiap hari, ia tidak bisa tidak memikirkan gadis itu.

"Maaf, apa anda sudah selesai? Aku sudah sangat haus."

Mendengar suara yang tidak asing bagi telinganya, Karma pun menoleh kebelakang. Ia melihat pemuda berambut hitam yang berdiri dibelakangnya, kemudian pemuda itu tersenyum kearahnya.

"Sudah kuduga itu kau. Hisashiburi, Karma." Sapa pemuda tersebut.

"Yo, Sugino-kun."

Karma mengenal pemuda yang bernama Sugino itu. Ia adalah teman sekelasnya semasa SMP. Setelah berbincang sebentar, Sugino membeli segelas kaleng minuman. Dan mereka memutuskan untuk pulang bersama karena searah. Sepanjang jalan, mereka terus membahas masa-masa SMP dulu. Sugino pernah mengikuti klub baseball, dia cukup terkenal.

"Kau masih ingat Kanzaki, kan?" Tanya Sugino tiba-tiba.

"Aa, gadis yang selalu kau kejar dan yang selalu menolakmu."

Muncul perempatan siku-siku didahi pemuda itu, "Hei, ternyata rahang entengmu masih belum berubah." Ujarnya mendelik kearah Karma, "Dia itu bukannya menolakku, tapi dia masih malu-malu. Lagipula sekarang kita sudah menjadi sepasang kekasih." Sugino pun tersenyum senang.

"Hoo, omedetou. Semoga Kanzaki-san bisa hidup bahagia dengamu." Karma menyeringai tipis.

"Akan kupastikan dia bahagia. Lalu, bagaimana denganmu?"

"Hm?"

"Kau masih sendiri? Astaga, aku curiga jangan-jangan kau tidak tertarik dengan perempuan eh, Karma?"

Seketika langkah Karma terhenti. Ucapan Sugino barusan membuat dia berpikir. Selama ini, ia sama sekali tidak memikirkan hal itu. Karma terlalu fokus ke pekerjaannya. Tetapi ada satu hal yang berbeda, saat bertemu kembali dengan Manami, ada rasa ingin terus bersama dengan gadis itu dan rasa ingin melindunginya.

"Oi, jika merasa nyaman didekat seseorang itu tandanya apa?" Tanya Karma dengan tatapan lurus kedepan.

"Tandanya kau menyimpan perasaan kepadanya."

"Kemudian jika menyakiti perasaan orang tersebut dan sangat merasa bersalah, apa yang harus dilakukan?" Tanya Karma lagi.

"Tentu saja kau harus meminta maaf dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi." Balas Sugino.

Sedetik kemudian, senyum tipis mencul diwajah pemuda berambut merah tersebut. Ia selama ini adalah laki-laki yang pecundang, bahkan untuk menjelaskan apa yang terjadi kepada gadis itu saja ia belum berani. Sekarang ia bertekad untuk memperbaiki hubungannya dengan Manami.

Saat ingin membalas perkataan Sugino, ponsel yang berada disaku Karma bergetar. Ia melihat layar ponsel tersebut. Kemudian ia segera menjawab panggilan itu.

"Moshi-moshi."

.

.

.

Ritsu merasa lelah dengan hari ini. Pekerjaannya sangat menumpuk, tetapi ia bisa menyelesaikan dengan cepat tanpa harus mengambil lembur. Saat berjalan melewati taman, ia melihat gadis berkacamata yang sedang duduk dikursi taman itu.

Pandangannya pun berubah, lalu ia mendekati gadis yang sedang menunduk itu.

"Sedang sedih, Okuda-san?"

Gadis itu, Manami, langsung tersentak. Ia mendongakan kepalanya dan melihat gadis berambut pale violet berdiri dihadapannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Manami terkejut, kenapa gadis itu bisa mengetahui namanya.

"Oh, aku Ritsu. Teman dekat Karma-kun semasa SMA. Senang bisa bertemu lagi denganmu." Ucap Ritsu dengan menyeringai tipis.

"Ah, salam kenal Ritsu-san." Balas Manami dengan kikuk.

Entah ada perasaan tercubit saat mengetahui kedekatan Ritsu dengan Karma. Pantas saja, saat di festival lalu, Karma tampak tidak risih dengan kehadiran gadis itu. Ternyata bukan hanya dirinya yang ada berada disisi Karma.

"Kau tahu, aku dan Karma sampai sekarang masih menjalin komunikasi. Hanya dia yang masih mau berhubungan denganku, bahkan ia tidak merasa terganggu dengan kehadiranku." Jelas Ritsu tiba-tiba.

Manami salah menilai Karma. Dia tidak hanya baik kepada dirinya, tetapi dia baik kepada semua orang. Manami merasa malu, selama ini ternyata ia terlalu percaya diri. Karma memang sosok yang tidak mudah ditebak.

"Aku pernah menyimpan rasa kepadanya dulu, tapi Karma-kun menolakku secara halus. Yang membuat aku senang, ia tidak menjauh dariku. Aku beruntung bisa berada didekatnya, walaupun tidak bisa memilikinya." Tatapan Ritsu menjadi teduh.

Manami hanya memilih diam dan mendengarkan apa yang Ritsu ceritakan.

"Setelah malam festival itu, Karma menjadi murung. Ia bukan seperti Karma yang aku kenal. Lalu aku menyelidiki apa yang terjadi, ternyata kau lah penyebabnya."

"H-hah? Aku?" Tanya Manami dengan kebingungan.

"Ya, kau. Karma-kun waktu itu meninggalkanku dan mengejar seseorang yang ternyata adalah kau. Aku tahu kau adalah teman SMP Karma-kun dulu. Aku pernah tidak sengaja melihat dia menatap layar ponsel yang bertuliskan namamu dan melihat foto-foto semasa SMP."

Ini sama sekali tidak diduga oleh Manami. Ia semakin merasa bersalah saat tahu Karma seperti itu. Manami menggigit bibirnya pelan. Ia tidak tahu kenapa Ritsu mau menceritakan hal itu kepada dirinya. Bayangan senyum Karma teringat jelas dipikirannya.

"Dan mulai sekarang aku menyerah. Aku tidak akan berharap lebih pada Karma-kun. Jadi kau yang sekarang harus berjuang untuk Karma-kun. Kau adalah gadis yang baik, Okuda-san." Ritsu kemudian memasang senyum manisnya, "Oh iya, ini untuk mengganti uangmu saat di toko buku dulu." Ia pun menyodorkan beberapa lembar uang dari tasnya.

Manami menggeleng pelan, "Tidak usah. Aku senang bisa membantumu waktu itu. Kau juga gadis yang baik, Ritsu-san, terima kasih sudah menceritakan apa yang terjadi. Dan juga, terima kasih telah selalu berada disisi Karma-kun selama ini." Balas Manami dengan tersenyum tulus.

Ritsu pun kembali memasukan uangnya kedalam tas. Ia tidak habis pikir, gadis berkacamata itu tetap bersikap baik kepadanya. Setidaknya, Karma pasti akan bahagia jika berada disisi Manami, dibandingkan dirinya. Lalu, ia pun berpamitan pada Manami. Tidak lama kemudian, setelah cukup jauh meninggalkan taman, ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.

Langit semakin sore, Manami sampai saat ini masih belum ingin meninggalkan taman. Pikirannya masih tenggelam oleh pemuda itu. Di taman inilah ia pertama kali berada dekat di sisi Karma. Manami dengan sekuat tenaga menahan air mata yang terjatuh.

Lalu itu tiba-tiba mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Tapi ia enggan untuk melihatnya, ia tidak ingin wajah sedihnya dilihat oleh orang lain.

"Hei, tidak baik duduk disini sendirian."

Manami tanpa aba-aba langsung mendongakan kepalanya dan melihat kearah pemuda yang sedang memasukan kedua tangannya disaku. Matanya seketika membulat. Wajah tersenyum Karma terlihat gelap karena membelakangi sinar matahari sore.

"Karma-kun? Kenapa kau ada disini." Tanya Manami kembali menundukan kepalanya.

"Itu tidak penting. Yang terpenting kita bisa bertemu kembali, Okuda-san."

Bohong kalau Manami tidak merasa senang. Ia sangat senang bisa bertemu dengan Karma, ia rindu melihat senyuman pemuda itu, ia rindu mendengar suara pemuda itu. Dan sekarang yang berdiri didepannya adalah nyata. Manami lalu melihat pemuda itu berjongkok dihadapannya.

"Maaf, sudah mengecewakanmu. Sekarang aku tidak akan membiarkan kau lari lagi Okuda-san. Aku menyukaimu." Ucap Karma dengan suara lembut.

Seketika, air mata Manami kembali mengalir. Ia tidak menyangka perasaannya selama ini akan terbalas. Wajahnya pun memerah, entah karena bersedih atau karena malu karena pernyataan Karma yang tiba-tiba.

"A-aku juga minta maaf karena membentakmu waktu itu, Karma-kun."

"Hmm, kalau begitu, bisakah kau tarik kembali perkataanmu saat malam festival itu?" Tanya pemuda itu memasang senyum palsunya.

"Eh? Yang mana?" Manami terlihat berpikir.

"Kau. Bilang. Sangat. Membenciku."

Sedetik kemudian, Manami baru mengingatnya. Lalu ia terkekeh pelan. Melihat wajah Karma seperti ini rasanya ingin mencubitnya.

"Baiklah. Aku menariknya kembali. Daisuki, Karma-kun!" ujar Manami tersenyum manis.

Karma menghela nafas pelan. Dirinya bahagia bisa menjalin hubungan kembali dengan Manami. Ia harus berterima kasih pada Sugino dan Ritsu, karena jika tidak ada mereka, mungkin ia belum bisa menemukan kebahagiaan seperti ini.

Dilihatnya wajah Manami, ia yang masih berjongkok dihadapan gadis itu lalu memegang sebelah pipi Manami. Kemudian ditariknya untuk mendekat ke wajahnya, Manami yang tersentak pun wajahnya langsung memanas. Karma perlahan mendaratkan bibir ke pipi Manami, lalu bergantian ke arah bibir gadis itu. Mereka memejamkan matanya, ciuman yang diberi oleh Karma membuat jantung Manami berdebar kencang. Karma pun melepaskan ciuman singkat itu dan menempelkan dahinya dengan dahi Manami.

Keraguan yang selama ini terpendam oleh Manami akhirnya sirna. Langit sore pun menjadi saksi dimana mereka memulai kehidupan bersama untuk selamanya.

.

.

.

FIN

Iklan Bentar:

Fyuuhhh... akhirnya ujian selesai dan fic ini pun selesai /lap ingus/ semoga gak mengecewakannya yah :'3 terima kasih banyak yang udah membaca atau mengikuti fic singkat ini sampai akhir. Semoga fic karmanami semakin berteberan di fandom ini.

Yang udah review, I loph yu pul dehhh! /cium atu-atu/ wkwkwk.

See you, gais~

Mind to review?

.

.

.

Omake

Seorang bocah kecil berumur 7 tahun tampak berjalan pelan kearah gerbang sekolah. Lalu tatapan bocah laki-laki itu tertuju pada seorang wanita yang berdiri didekat gerbang sekolah. Wanita itu tampak tersenyum kearahnya dan melambaikan tangannya.

"Okaa-chan!" Serunya.

Wanita itu tidak lain adalah Akabane Manami. Ia melihat anak laki-lakinya tiba-tiba berlari kearahnya.

"Kento-kun! Jangan berlari, nanti kau terja-"

Bruk!

Belum selesai melanjutkan ucapannya, bocah itu terjatuh. Manami panik dan langsung mendekat, "Apa ada yang sakit?" Tanya Manami.

Bocah bernama Kento itu hanya menggeleng pelan. Wajahnya memerah, bukan karena ingin menangis, tetapi karena dia menahan malu. Manami yang melihatnya hanya terkekeh pelan. Kento memang bukan anak yang cengeng. Rambut merahnya seperti sang ayahnya, dan mata berwarna violet yang sama seperti dirinya.

Manami pun langsung menggandeng bocah itu dan berjalan keluar sekolah. Tiba-tiba melintas mobil sedan hitam yang berhenti didepan mereka. Sang pengendara pun keluar dari mobil itu. Tampak seorang pria berjas silver yang berdiri dihadapannya.

"Hei, jagoan."

"Tou-chan akhirnya menjemputku!" Seru Kento yang langsung berlari kepelukan ayahnya, Karma.

"Karma-kun, tumben kau sudah pulang."

Karma memandang Manami, "Aa, aku langsung menyelesaikan pekerjaan dan datang untuk menjemput kalian." Ujarnya dengan senyuman khasnya.

Akhirnya mereka pun memasuki mobil. Kento duduk dengan tenang dikursi belakang. Mereka terkadang berbincang mengenai menu makanan untuk makan malam nanti. Manami yang tersadarpun mencium bau sesuatu.

Ia pun menoleh ke kursi belakang, "Kento-kun, berapa anak yang sudah kau jahili, hm?" Tanya Manami dengan tegas.

Sedangkan bocah yang ditanya hanya tersenyum kikuk.

"Hanya tiga, Kaa-chan." Jawabnya.

Manami hanya menggelengkan kepalanya. Ia tahu, bau ini adalah bau lem. Dan sumbernya pasti adalah sang anak. Bahkan, Manami pernah datang ke guru dan gurunya menjelaskan kalau Kento menjahili anak siswa sampai celananya robek. Manami sudah mengingatkan untuk jangan mengulanginya lagi, tetapi rasanya kejahilan anaknya tersebut merupakan keturunan dari sang ayah, yaitu Karma.

"Sugoi, nanti Tou-chan akan memberimu tips mnejahili orang dengan benar." Ucap Karma menyeringai.

"Benarkah?!" Kento sontak terlihat girang.

"Karma-kun!"

Setidaknya, seperti itulah kehidupan keluarga kecil mereka yang baru. Dikaruniai seorang anak merupakan kebahagiaan yang tidak bisa diukur bagi Karma dan Manami. Mereka berjanji akan terus saling menyayangi sampai akhir nafas nanti.

END

.

.

.