PROLOG

Ingatan akan kejadian itu masih terasa begitu menyakitkan baginya. Melihat dengan mata kepalanya sendiri akan pengkhianatan Kris, kekasih yang sangat dicintainya.

Lelaki yang dia kira akan menjadi pasangan hidupnya, selama-lamanya sampai mereka menua. Apa yang dia lihat itu merupakan kehancuran bagi seluruh rencana masa depannya, pernikahan mereka. Kehancuran bagi segalanya, bagi hati Luhan, dan bagi kepercayaannya kepada semua laki-laki di dunia ini.

Teganya Kris!

Tak henti-hentinya Luhan meneriakkan umpatan kepada mantan tunangannya itu di dalam hatinya.

Semula diawali dari telepon itu. Sebuah telepon dari nomor tidak dikenal, yang entah kenapa Luhan angkat. Telepon itu dari seorang perempuan yang menangis dan mengatakan bahwa dia juga kekasih Kris dan mengatakan bahwa Kris telah meninggalkannya tanpa mau bertanggungjawab.

Oh, tentu saja Luhan pada awalnya tak percaya. Tetapi perempuan itu mengajaknya bertemu. Dan meskipun saat itu Luhan sangat yakin bahwa Kris tidak mungkin mengkhianatinya. Benarkan? Kris tidak mungkin melakukan semua itu kepadanya.

Luhan mau bertemu dengan perempuan yang menelepon itu dengan tujuan awal ingin mengata-ngatai perempuan itu agar jangan memfitnah Kris, tunangannya yang sangat setia dan tampan.

Tetapi kemudian, siang itu di sebuah café di ujung jalan, seluruh keyakinan Luhan di jungkir balikkan. Perempuan itu, Zitao namanya. Ia sudah mempersiapkan segalanya. Semua bukti yang diperlukan terhampar di hadapan Luhan, seolah menamparnya dengan keras.

Disana ada foto-foto mesra Kris dan Zitao yang menunjukkan bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Tentu saja! Seorang yang bukan kekasih tidak mungkin mencium pipi, berangkulan begitu erat dan saling memeluk seperti yang tergambar di dalam foto itu.

Zitao juga menunjukkan pesan-pesan mesra mereka, dari nomor Kris. Bahkan Kris tidak pernah seromantis itu dengannya. Pesan-pesan mereka penuh dengan kata-kata cinta dan janji-janji muluk yang menyakitkan Luhan.

Lalu seakan semua bukti belum cukup menghancurkan hati Luhan, Zitao dengan tenang mengatakan bahwa kegadisannya sudah diserahkan kepada Kris. Dan bahwa sekarang keluarganya akan menuntut kepada keluarga Kris.

Hati Luhan seakan dihancurkan oleh pengkhianatan yang begitu parah. Bukan hanya karena Kris berselingkuh di belakangnya, tetapi juga karena Kris telah begitu saja menghancurkan seluruh keyakinan Luhan tentang lelaki yang baik.

Luhan selalu menjaga dirinya sampai dengan usianya yang sekarang. Dua puluh lima tahun dan dia masih perawan. Meskipun kadang dia membiarkan Kris mencium bibirnya, tetapi hanya sebatas itu. Tidak pernah lebih.

Kris pernah suatu kali meminta lebih tetapi Luhan mengangkat alis dan mengatakan apa yang diyakininya, nasehat ibunya. Bahwa seorang lelaki yang baik akan menjaga perempuan yang dicintainya. Bukannya memaksa untuk merusaknya.

Kris saat itu menerima penjelasan Luhan dengan lembut dan bersumpah bahwa dia benar-benar mencintai Luhan, jadi tidak akan pernah merusaknya. Dan Luhan sangat bersyukur mempunyai tunangan seorang lelaki yang bisa menjaga moralnya. Seorang lelaki yang baik dan tidak berorientasi kepada hasrat duniawi semata.

Semua pandangannya tentang Kris – dan semua laki-laki lainnya – hancur seketika itu juga. Kris telah tidur dengan Zitao, lebih dari pada yang seharusnya. Bagaimana mungkin Luhan bisa memaafkan Kris?

Malam itu Luhan bertemu dengan Kris dan memaparkan semua bukti-bukti yang ada. Kris tampak
sangat marah. Kepada Zitao, bukan kepada Luhan.

"Dan kau percaya apa yang dikatakan perempuan itu?" Tanya Kris waktu itu.

Luhan menatap lelaki itu. Yang dulu dicintainya. Tidak! Bahkan mungkin sekarang masih dicintainya meskipun cinta itu terasa menggores seluruh hatinya hingga terasa nyeri.

"Dia menunjukkan semua bukti-bukti itu. Foto-foto mesra kalian berdua, pesan-pesan mesra kalian, masihkah kau membantah semuanya?"

Kris tercenung tampak ragu. Lama kemudian dia menatap Luhan dengan pandangan memohon.

"Maafkan aku sayang."

Air mata pecah dari dasar hati Luhan. Sejak siang tadi Zitao menemuinya, Luhan bahkan tidak bisa menangis, dia terlalu marah. Tetapi sekarang, berdiri di sini, berhadapan dengan Kris yang mengakui segalanya membuatnya tak bisa menahan diri lagi.

"Teganya kau melakukan itu kepadaku Kris, setelah pertunangan kita yang delapan tahun lamanya. Aku percay padamu! Aku menghormatimu. Aku..." Suara Luhan tertahan oleh napasnya yang mulai sesak oleh luapan perasaannya.

Kris memijit keningnya tampak kesakitan. "Maafkan aku Luhan. Aku.. aku khilaf. Tidakkah kau mengerti? Aku tidak pernah menginginkan berselingkuh dengan Zitao dibelakangmu. Tetapi Zitao… Zitao, dia mengejarku, kau tahu dia juniorku di perusahaanku dan aku bertugas membimbingnya. Dia… dia sangat tergila-gila dan terobsesi denganku. Aku sudah berusaha menolaknya dengan berbagai cara, tetapi dia tidak menyerah. Suatu malam ketika hujan, dia mengetuk pintu apartemenku. Ia berkata bahwa mobilnya mogok di dekat situ dan dia kehujanan. Aku tidak punya kesempatan untuk menolaknya, dia… dia kemudian
merayuku. Dan aku…."

Suara Kris terhenti ketika melihat ekspresi Luhan. "Jangan… jangan sayang. Jangan merasa jijik kepadaku. Aku hanya laki-laki biasa, aku menyesali semuanya. Aku memang tidak tahan godaan, aku harap kau mengerti semuanya.."

Kris mendekat, berusaha menyentuh tangan Luhan. Tetapi Luhan menepiskannya dengan kasar.

"Jangan sentuh aku!" Desis Luhan geram.

"Kau bisa saja bilang itu ketidaksengajaan untuk kejadian pertama. Tetapi kalian melakukannya lagi dan lagi. Dan aku yakin itu bukanlah suatu ketidaksengajaan lagi."

"Itu semua terjadi begitu saja!" Seru Kris frustrasi.
"Dia.. dia selalu menyediakan diri. Dan kupikir, semua tanpa komitmen. Aku tidak tahu dia akan berbuat sejauh ini. Menyakiti kau dan aku. Berusaha menghancurkan hubungan kita. Kau tahu? Aku sebenarnya sudah akan meninggalkannya."

"Aku sangat kecewa Kris."

Luhan menghapus air matanya. Semua kesedihannya berubah menjadi kemarahan.

"Kau meniduri seorang perempuan dan menganggap itu hanya selingan sambil lalumu, pemenuhan kebutuhanmu. Itu sangat tidak bermoral."

"Maafkan aku Luhan, aku harap kau mau mengerti. Lagipula pernikahan kita tinggal lima bulan lagi. Kau tidak akan membiarkan ini menghancurkan semua rencana masa depan kita bukan? Aku akan membereskan semua masalah ini dan kita bisa melanjutkan semuanya."

"Tidak!"

Luhan mundur selangkah. "Aku tidak mau melanjutkan apapun! Dan kurasa aku tidak akan pernah bisa! Kau.. kau bukanlah lelaki yang kuinginkan untuk bersamaku sampai akhir hidupku lagi. Ternyata aku salah selama ini Kris."

Dengan kasar Luhan melepas cincin emas itu dari jemarinya. Cincin yang dipasangkan secara resmi oleh Kris di depan seluruh keluarga mereka ketika mereka baru lulus dari SMU, delapan tahun yang lalu.

"Kukembalikan cincin ini dan kuminta hatiku kembali. Silahkan jelaskan semuanya kepada orang tua kita karena aku sudah muak kalau harus mengulang semua ini lagi."

Diletakkannya cincin itu ke telapak tangan Kris. "Selamat tinggal Kris."

Luhan membalikkan tubuhnya dan tidak menoleh lagi ke belakang. Meskipun Kris masih memanggilnya dengan lembut, mencoba membuatnya berubah pikiran.

Kemudian Luhan menjelaskan secara singkat keputusan bulatnya kepada kedua orang tuanya. Menolak telepon-telepon dari orangtua Kris agar dia mau memaafkan Kris.

Semua sudah selesai. Babak hidupnya yang ini sudah musnah, bersama dengan cintanya, seluruh masa depannya dan rencana pernikahan mereka beberapa bulan lagi. Luhan menghadapi segalanya dengan kepala tegak meskipun hatinya hancur bukan kepalang.

Malam itu juga, Luhan mengepak segalanya dan mengambil keputusan untuk pindah ke kota lain.

Luhan seorang penulis novel. Dia bisa tinggal dimanapun dia mau. Dia tidak terikat pada perusahaan manapun. Maka Luhan memilih kota itu, kota yang menjanjikan penyembuhan. Kota yang jauh, kota yang tak punya keterikatan apapun dengan masa lalunya. Luhan sudah bertekad. Persetan dengan semua laki-laki. Dia tidak membutuhkannya.

Akan dia tunjukkan kepada dunia yang kejam ini, bahwa seorang Luhan bisa hidup tanpa harus meletakkan hatinya ke dalam genggaman mahluk jahat yang bernama laki-laki.


You've Got Me From Hello

Remake by Santhy Agatha's Novel
with the same title

Hunhan as Maincast

GS(Genderswitch) for uke, Typo(s)


"Ucapan 'Halo' di saat pertama kali bertemu mungkin saja akan berubah menjadi ucapan

'aku cinta padamu' di saat berikutnya."

Apartemennya masih berantakan. Dia belum sempat merapikan pakaian dan beberapa barang pribadi yang baru dibelinya, sebuah televisi dan dispenser kecil. Untunglah apartemen ini sudah menyediakan perabotan dasar seperti tempat tidur, sofa, dan dapur.

Luhan memutar bola matanya ketika menatap dapur itu. Dia mungkin butuh berkunjung ke supermarket terdekat, mengisi bahan makanan di kulkas dan membeli beberapa peralatan memasak. Tubuhnya lelah setelah perjalanan yang panjang dan dilanjutkan dengan mengurus surat-surat kontrak apartemennya.

Baekhyun, editornya yang kebetulan tinggal di kota ini sudah berbaik hati membantu mencarikan apartemen yang siap pakai untuknya. Ya, Luhan memang berangkat ke sini karena usul dari Baekhyun.

Selain sebagai editornya, Baekhyun adalah sahabatnya. Meskipun mereka kebanyakan berkorespondensi melalui email semata. Jadi, begitu Luhan menceritakan pengkhianatan Kris dan rasa sakitnya, Baekhyun mengusulkan agar Luhan pindah sementara ke kotanya sampai hatinya tenang.

Dia hanya berpamitan kepada kedua orangtuanya dan tidak mengatakan kepergiannya kepada siapapun. Tetapi lambat laun Kris pasti akan mengetahuinya juga. Luhan mendesah pahit. Sekarang ingatannya akan Kris dipenuhi rasa muak dan sakit hati.

Ah ya ampun. Lelaki. Luhan tidak akan pernah percaya lagi kepada lelaki. Mereka semua adalah mahluk lemah yang tidak tahan godaan. Ponselnya berkedip-kedip dan Luhan mengernyit. Dia mengangkatnya ketika melihat nama Baekhyun tertera di layarnya.

"Halo?"

"Aku sudah sampai rumah dan baru teringat." Baekhyun berkata.

"Naskah bab tujuhmu sudah selesai dikoreksi. Ada beberapa catatan kecil di sana, mungkin kau ingin melihatnya."

"Aku akan melihatnya nanti." Gumam Luhan lemah.

Ia menyandarkan tubuhnya di sofa. "Saat ini aku lelah sekali."

"Istirahatlah dulu. Kau tidak akan bisa menyelesaikan tulisanmu kalau kau sakit."

"Kenapa kau memikirkan tulisanku? Bukan aku?" Luhan tersenyum

"Karena sudah mendekati deadline dan kau baru sampai di bab tujuh, Luhan. Novelmu banyak ditunggu-tunggu oleh penggemarmu. Penerbit sudah mengejarku untuk kepastian penyelesaian novelmu."

Baekhyun tergelak. "Tetapi bukan berarti aku tidak mempedulikanmu. Sebagai sahabat aku mencemaskanmu. Jangan banyak pikiran ya. Lepaskan semuanya dan biarkan hatimu tenang."

Mata Luhan berkaca-kaca. Menyadari bahwa hatinya sama sekali tidak tenang,

"Terima kasih Baekhyun." Gumamnya serak sebelum menutup pembicaraan.

Matanya nyalang menatap langit-langit kamar. Mencoba melupakan rasa yang menyesakkan dada. Dia tidak akan bisa tidur malam ini. Sambil menghela napas panjang, Luhan meraih jaketnya dan melangkah keluar dari apartemennya.


Setelah berjalan tanpa tujuan di sekitar kompleks apartemennya yang cukup ramai karena terletak di area pusat perbelanjaan, Luhan begitu saja memasuki cafe itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi suasana tetap saja ramai.

Cafe itu terletak di pinggir jalan, di area yang dipadati pejalan kaki yang lalu lalang. Suasananya sangat sejuk dan menyenangkan karena dipenuhi oleh tanaman hijau yang ditata dengan indahnya, dengan dinding-dinding dari kaca yang memantulkan lampu jalan.

Cafe itu buka duapuluh empat jam. Dan Luhan langsung menemukan tempat yang cocok untuk duduk dan menulis. Dia duduk di sebuah sudut yang nyaman dan membuka buku menu yang ada di meja. Suasana cafe cukup ramai meskipun sudah malam. Seakan-akan kehidupan terus berjalan di dalam sini.

Pada saat yang sama seorang pelayan, pria setengah baya mendekatinya dan tersenyum ramah kepadanya,

"Selamat malam, apakah anda ingin memesan sesuatu?"

Luhan mendongak menatap wajah yang ramah itu dan tersenyum.

"Saya ingin steak yang ada di menu ini." Ditunjuknya gambar yang menggiurkan di buku menu itu, lalu mengernyit bingung ketika akan memesan minuman.

"Segelas anggur merah akan membuat tidur anda nyenyak." Pelayan itu memberi saran dengan ramah.

Luhan menatap pelayan itu ragu bertanya-tanya kenapa pelayan itu bisa mengetahui bahwa dia susah tidur? Jangan-jangan matanya sudah seperti panda?

Dengan malu Luhan menundukkan kepalanya dan kembali menekuri daftar menu, tergoda. Dia bukan peminum, meskipun di acara-acara pesta dia tidak menolak segelas champagne atau coctail manis sebagai bentuk kesopanan.

Tetapi kata-kata pelayan itu tampak menggiurkan. Sudah beberapa hari sejak kejadian Kris, Luhan tidak bisa tidur. Ia menghabiskan waktunya dengan menatap nyalang langit-langit kamar dan diakhiri dengan menangis sesenggukan. Dia butuh tidur, kalau tidak dia akan sakit.

"Baiklah, saya pesan itu juga." Jawab Luhan pelan, lalu menatap pelayan yang membungkukkan tubuhnya dengan sopan dan melangkah pergi.

Segelas anggur merah tidak akan membuatnya mabuk. Luhan membuka laptopnya dan mulai menulis. Tetapi baru beberapa detik dia mendesah.

Novel yang ditulisnya adalah kisah romansa antara dua anak manusia yang saling mencintai. Luhan dulu sangat lancar menulis novel percintaan, kata-kata akan mengalir mudah dari jari-jarinya, membentuk rangkaian huruf yang membuaikan pembacanya. Tetapi sekarang, setiap dia akan menulis kisah cinta, hatinya mencemooh. Ingatan akan Kris menyerbunya, membuat jemarinya kaku dan tidak bisa mengetikkan kisah romantis apapun.

Ternyata menulis itu dipengaruhi oleh hati. Ketika dia patah hati, jemarinya menolak untuk menuliskan kisah cinta yang menyentuh hati. Jiwanya tidak percaya akan keindahan romansa. Semua terasa palsu baginya sejak pengkhianatan Kris kepadanya.

"Biasanya kalau aku susah mendapatkan inspirasi aku akan mendengarkan musik."

Suara yang maskulin itu mengejutkan Luhan dari lamunannya. Dia mendongakkan kepalanya dan langsung
bertatapan dengan sosok tampan yang begitu mendominasi ruangan, dengan pakaian serba hitam dan wajah klasik yang misterius.

Luhan mengernyitkan keningnya. Ia menoleh ke belakangnya namun tidak ada orang lain di dekatnya. Jadi memang benar lelaki ini sedang menyapanya. Dia tidak mengenal lelaki ini. Bagaimana lelaki ini bisa mengetahui bahwa dia sedang menulis?

"Para penulis biasanya datang ke cafe ini di malam hari, memenuhi setiap sudutnya dan berusaha mencari inspirasi."

Lelaki itu tersenyum. "Maafkan aku tidak sopan menyapamu begitu saja."

Dia mengulurkan tangannya. "Halo. Aku pemilik cafe ini, namaku Sehun."

Luhan tetap ragu. Meskipun begitu, demi kesopanan dia menyambut uluran tangan lelaki itu.

"Halo juga." Luhan masih bingung harus berkata apa.

"Aku Luhan." Gumamnya pelan. Masih terpukau atas senyum ramah dan ketampanan lelaki di depannya itu.

"Oke kalau begitu, aku harap kau tidak bosan berkunjung kemari." Lelaki itu menganggukkan kepalanya lalu melangkah pergi.

Luhan masih terdiam, mengamati kepergian lelaki itu. Mungkin sudah budaya di cafe ini untuk ramah kepada para pelanggannya, pikirnya dalam hati. Lelaki itu tampak baik, ramah, dan sopan. Tetapi kemudian ingatan akan Kris menyerangnya dan membuatnya merasa pahit. Semua laki-laki sama di dunia ini, meskipun yang berpenampilan paling sempurna sekalipun.

Luhan mencoba memfokuskan diri kepada tulisannya. Berusaha mengenyahkan pikiran tentang lelaki tampan itu dari benaknya ketika pelayan datang mengantarkan steak pesanannya. Piring berisi daging beraroma harum dan menggiurkan yang diletakkan di depannya.

"Dan ini anggurnya." Pelayan setengah baya itu tersenyum ramah.

"Anda tahu? Daging steak sangat cocok dinikmati dengan anggur merah."

Ketika pelayan itu pergi, Luhan menyentuh gelas anggurnya dengan ragu. Lalu setelah menghela napas panjang dia menghirup aromanya pelan. Aroma anggur yang manis menguar dari sana, menggoda Luhan untuk menyesap anggur itu, disesapnya anggur itu dan mendesah nikmat.

Ada manis yang kental bercampur rasa pekat alkhohol yang pas, tidak berlebih. Ini adalah jenis anggur yang bisa dinikmati di kala santai tanpa takut mabuk. Dan Luhan sungguhsungguh berharap anggur ini benar-benar berkhasiat untuk membuatnya tidur. Dia sungguh butuh tidur nyenyak malam ini.


"Dan dia sangat tampan." Luhan bercerita kepada Baekhyun sahabatnya.

"Dia juga pemilik cafe yang indah itu."

Baekhyun mencomot roti bakar di piring Luhan. Mereka sedang menghabiskan minggu pagi di apartemen Luhan. Baekhyun berkunjung untuk membantu Luhan merapikan tempat barunya.

"Cafe itu cukup terkenal di kota ini. Sangat ramai karena menyediakan semua yang dibutuhkan. Di pagi hari kau bisa memesan menu sarapan yang lezat. Dan di malam hari, barnya dibuka sehingga semua orang yang ingin bersantai bisa duduk-duduk di sana selama mungkin dan menikmati minumannya. Tapi dari ceritamu, pemilik cafe itu sepertinya masih muda."

"Masih muda." Luhan merenung, masih muda dan sangat tampan batinnya.

"Apakah dia sudah menikah?" Tanya Baekhyun tiba-tiba.

Luhan tergelak. "Kenapa aku harus memperhatikan apakah dia sudah menikah atau belum?"

"Karena kau harus belajar melepaskan diri dari Kris."

Baekhyun mengedipkan sebelah matanya. "Pemilik cafe itu menyapamu dan dia masih muda. Siapa tahu dia juga tampan."

"Dia tampan." Gumam Luhan akhirnya.

"Nah! Mungkin dengan mencoba membuka lembaran baru kau bisa menyembuhkan lukamu."

"Tidak."

Luhan mengernyitkan keningnya dengan pedih. "Semua lelaki sama, Baekhyun. Mereka selalu bilang bahwa mereka adalah pecinta sejati. Tetapi di sisi lain mereka mudah berpindah hati."

"Kau tidak bisa terus-terusan seperti itu, Luhan. Masih banyak lelaki di luar sana yang berjiwa baik dan setia."

Baekhyun menghela napas panjang. "Seperti pemilik cafe yang tampan itu. Dia tampaknya baik dan dia menyapamu, berarti dia ada perhatian kepadamu."

"Tidak."

Luhan menggelengkan kepalanya sambil terkekeh. "Mungkin itu memang sudah menjadi ciri khas cafe itu, bersahabat dengan pelanggannya. Bahkan pelayannya pun ramah-ramah."

Tatapan mata Luhan lalu berubah serius. "Aku tidak ingin membuka hatiku untuk lelaki manapun, Baekhyun. Aku sudah dikecewakan dan bagiku semua lelaki itu sama, mereka adalah pengkhianat."

Luhan meyakini kata-katanya. Pengalamannya dengan Kris sudah membuktikan semuanya. Dia tidak akan pernah percaya kepada laki-laki lagi, apalagi lelaki yang luar biasa tampannya seperti pemilik cafe itu kemarin. Lelaki setampan itu pastilah pemain perempuan. Karena dengan ketampanannya dia bisa mendapatkan banyak perempuan yang dengan sukarela mau bertekuk lutut di bawah kakinya.


Tetapi malam itu Luhan tidak bisa tidur lagi. Dia sudah mencoba berbaring tetapi hanya berguling bolak-balik di atas ranjang. Akhirnya dia memutuskan untuk berjalan keluar.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi kawasan tempat tinggalnya cukup aman dan ramai untuk keluar di malam hari.

Lagipula cafe itu terletak begitu dekat, hanya di seberang kompleks apartemennya. Tanpa terasa Luhan sudah berjalan ke sana, memasuki cafe itu. Pelayan setengah baya yang sama yang menyambutnya.

"Segelas anggur lagi untuk teman makan malam?" Lelaki itu menyapa dengan ramah ketika Luhan duduk di pojok yang rindang dengan dekorasi taman yang menyejukkan.

Luhan tersenyum. "Tidak, malam ini aku ingin kopi."

"Apakah anda akan begadang untuk menyelesaikan pekerjaan anda?"

Pelayan itu melirik ke arah laptop yang diletakkan Luhan di mejanya.

Luhan terkekeh. "Aku seorang penulis dan aku dikejar deadline."

"Penulis?" Pelayan itu tampak tertarik.

"Penulis novel?"

Luhan menganggukkan kepalanya. "Ya. Novel percintaan."

"Ah." Pelayan itu tersenyum penuh arti.

"Saya sudah menduganya, itu sesuai dengan penampilan anda yang lembut."

"Terima kasih atas pujiannya." Gumam Luhan sambil tertawa. Ia mulai membuka laptopnya di atas meja itu.

"Mungkin aku akan di sini sampai pagi."

"Anda tidak tidur?"

"Pekerjaanku kan penulis, aku bisa begadang semalaman dan tidur besok pagi." Luhan tergelak.

"Semoga di sini diperbolehkan duduk sampai malam."

"Tentu saja." Pelayan itu mengedipkan sebelah matanya.
"Asal anda terus mengisi cangkir kopi anda setiap dua jam, anda boleh duduk di sini selamanya." Candanya sambil tertawa.

"Saya akan mengambilkan pesanan anda. Dan karena sepertinya anda akan menjadi pelanggan kami, anda boleh memanggil saya Albert."

Luhan tersenyum menanggapi keramahan pelayan itu. "Terima kasih, Albert." Gumamnya lembut.


Hampir pukul tiga pagi dan Luhan masih menulis di sudut yang sama. Dia sedang menulis adegan sedih, perpisahan antara kedua tokohnya karena kesalahpahaman. Dan itu sesuai dengan perasaannya sekarang, karena itulah jemarinya mengalir lancar.

Tiba-tiba ponselnya berkedip-kedip, membuatnya mengernyitkan kening.

Siapa yang meneleponnya pagi-pagi begini?

Diambilnya ponselnya dan wajahnya memucat ketika melihat nama yang tertera di sana.

Kris...

Luhan meletakkan ponsel itu di meja dan membiarkannya. Tetapi ponsel itu terus bergetar tanpa henti, begitu mengganggunya. Luhan mendesah kesal. Mood menulisnya langsung hilang begitu saja melihat nama Kris di layar itu.

Dan meskipun dia sudah berusaha mengabaikannya, ponsel itu terus menerus bergetar tak tahu malu. Seolah Kris tidak akan menyerah sebelum dia mengangkatnya. Akhirnya setelah menghela napas panjang, Luhan mengangkat ponsel itu.

"Ada apa Kris?" gumamnya kesal.

"Luhan! Akhirnya." Suara Kris terdengar lega di seberang sana.

"Aku datang ke rumahmu dan orang tuamu bilang bahwa kau pergi keluar kota. Kau kemana?"

"Sudah bukan urusanmu lagi, kan?" Jawab Luhan dingin.

"Astaga Luhan. Sebegitu kejamnyakah kau padaku?Apakah kau pergi meninggalkan kota ini gara-gara aku?"

Kenapa pula Kris harus bertanya? Tentu saja Luhan melakukannya karena Kris. Dia sudah muak bahkan untuk mengetahui bahwa dia menghirup udara yang sama dengan laki-laki itu, karena itulah dia pindah.

"Aku rasa apapun alasanku adalah urusanku." Luhan bergumam.

"Dan aku harap kau tidak menggangguku lagi."

"Luhan.. sayang, dengarkan aku. Kau pindah kemana sayang? Orang tuamu tidak mau memberitahukan kepadaku dan aku mencemaskanmu."

"Aku baik-baik saja."

Luhan menguatkan hatinya. Merasakan matanya berkaca-kaca, lalu langsung mematikan ponselnya.

Dia terpekur cukup lama di depan laptopnya. Menatap hampa kepada tulisannya yang masih setengah jadi. Saat ini yang dia lakukan adalah membuat kisah tragedi dengan akhir yang tragis dan memilukan untuk tokoh-tokohnya, kisah menyedihkan yang sama seperti yang sekarang dia alami.


Sehun memperhatikan Luhan dari dalam ruang kerjanya. Tentu saja Luhan tidak menyadarinya. Ruang kerja Sehun terletak di lantai dua, di atas tangga dengan kaca yang gelap yang didesain satu arah. Di mana Sehun bisa dengan leluasa mengawasi seluruh bagian cafe miliknya dan orang dari luar tidak akan bisa melihat menembus ke dalam.

Sehun tidak pernah merasakan ketertarikan seperti ini pada perempuan manapun. Tetapi semalam, ketika kebetulan dia sedang berdiri di tempat ini, tempat yang sama, mengawasi cafenya, dia melihat perempuan itu masuk. Ia menatap keraguan perempuan itu dan entah kenapa ada sesuatu yang mendorongnya untuk mendekati perempuan itu.

Padahal penampilan perempuan itu sederhana. Dia mengenakan rok panjang dan kemeja warna polos yang membungkus tubuhnya yang mungil. Tidak ada yang istimewa dan heboh dari penampilannya. Rambutnya dikuncir kuda sekenanya dan perempuan itu tidak berdandan. Tetapi Sehun tetap saja tidak bisa melepaskan pandangannya dari perempuan itu.

Bahkan kemudian dia tidak bisa menahan diri untuk menyapa perempuan ini, ingin melihat lebih dekat. Sehun tidak pernah menampakkan dirinya di depan pelanggan. Dia selalu bersembunyi di balik dinding kaca gelap yang misterius. Hanya Albert lah yang dipercayanya sebagai tangan kanannya.

Sehun memiliki jaringan cafe dan hotel di seluruh kota ini, tetapi Garden Cafe adalah favoritnya. Tempat inilah satu-satunya dari seluruh tempat yang dimilikinya yang membuatnya merasa nyaman. Dan kemudian dia menemukan perempuan ini, perempuan yang langsung merenggut hatinya. Ketika berucap 'halo' dan menyambut uluran tangannya, lalu mengatakan namanya.

Luhan... Sehun mencatat nama itu dengan penuh rahasia, jauh di dalam hatinya yang kelam.


TBC


belum ngelanjutin 'luhan&hujan' malah nge-remake novel baru lagi. Abis sukak sih. Review juseyo?