.

.

.


Menjadi seorang istri sekaligus ibu adalah salah satu pencapaian hidup yang selalu aku dambakan. Tentunya disamping menjadi seorang dokter spesialis anak. Kesempatan menjadi seorang istri datang padaku tepat seminggu yang lalu, dan aku menyia-nyiakan begitu saja. Sangat gila. Atau ajaib kubilang. Entah Tuhan sangat sayang padaku atau sedang menjungkir balikan hidupku, yang mana pun itu intinya berhubungan dengan hadirnya Sasuke dalam kehidupanku. Semua terasa sangat mudah dan terburu-buru. Banyak pertanyaan yang memenuhi kepalaku tapi tak berani kutanyakan. Aku hanya takut, takut menerima kenyataan bahwa semua hal yang telah terjadi adalah bersifat sementara. Pengakuan mengejutkan dari Sasuke tentang perasaannya yang telah terpendam lama hanya membuatku semakin penasaran, tak pernah ada alasan jelas yang terucap darinya. Hanya kalimat yang dapat aku katakan sebagai candaan berujung godaan. Atau bahkan hanya senyum memikat dan tatapan nakal yang dia berikan.

Sejak lamaran—jika memang pantas disebut sebagai lamaran—Sasuke seminggu lalu, muncul keraguan dalam hatiku yang tak bisa kuabaikan begitu saja. Kenapa sekarang? Apa tidak terlalu cepat? Apa dia sedang dituntut segera oleh keluarganya? Tapi kenapa aku menganggapnya seperti sedang mengeluarkan lelucon? Sasuke memang bilang hubungan kami bukanlah main-main, tapi yang baru saja terjadi terlalu mengejutkan. Sebenarnya jika Sasuke melakukan hal tersebut dengan benar mungkin aku akan senang dengan kejutan tersebut. Minimal melakukannya bukan di acara pernikahan orang lain. Tak masalah jika dia tidak menyertakan sebuah cincin manis dalam lamarannya. Oh ayolah, tidak salah bukan memiliki impian dilamar di restoran mewah dengan diiringi musik romantis.

Tuntutan untuk memenuhi kewajibanku di rumah sakit setidaknya menyadarkanku bahwa yang harus dipikirkan bukan melulu tentang kehidupan cintaku. Aku harus tetap bersikap profesional di sini. Iya, sekarang aku sedang di rumah sakit. Membuat report yang harus segera dikumpulkan nanti sore. Jika kalian bertanya hubunganku dengan Sasuke saat ini, yah kami masih dalam tingkat sepasang kekasih. Walaupun sudah kutolak lamarannya, kami masih berkomunikasi seperti biasa. Dia sama sekali tidak membahasnya. Aku tidak mengerti jalan pikirnya. Panjang umur, ponselku bergetar karena Sasuke menelepon. Tumben sekali, biasanya kalau bukan jam istirahatku dia hanya mengirim pesan melalui LINE.

"Halo," sapaku dengan suara malas.

"Sakura, kenapa tidak bilang kalau kau tidak libur? Sekarang di rumah sakit? Pulang jam berapa? Lagi sibuk?" tanya Sasuke beruntun.

"Seharusnya pertanyaan terakhirmu itu adalah pertanyaan yang paling pertama ditanyakan," Aku tertawa kecil. Suara Sasuke terdengar sedikit kesal tapi itu malah mebuatnya menjadi lucu entah mengapa.

"Sakura..."

Oh apakah Sasuke sedang merajuk? Yah sebenarnya aku merasa Sasuke sedikit ketakutan jika aku melarikan diri. Dia sengaja menghubungi orang tuaku hanya untuk mengabsen kehadiranku. Maksudku siapa tahu katanya aku diam-diam kabur lagi ke rumah temanku. Aku merasa kedua orang tuaku tidak akan senang jika aku melepas kandidat calon suami seperti Sasuke.

"Ada pasien dengan kasus yang memang sedang aku butuhkan, makanya aku bergegas ke rumah sakit. Nanti sore juga pulang ke rumah kok."

"Oh, bentar lagi beres dong?"

"Beres? Iya nanti sore."

"Maksudku, setahun? Setahun lagi studimu beres?"

"Hah?"

"Orang tuaku di Konoha. Awalnya mau mengajak makan siang sekalian tapi sepertinya kau tak bisa."

Oh, orang tua Sasuke sedang di Konoha? Tidak biasanya. Jangan-jangan Kak Itachi juga ada di Konoha. Ah, aku rindu Yuki dan Sen.

"Nanti sore hubungi aku jika sudah selesai, aku akan menjemputmu."

Sebelum aku sempat menjawab, sambungan telepon sudah ditutup oleh Sasuke. Kenapa sih dia? Seperti buru-buru sekali terdengarnya. Ah, sepertinya nanti sore aku harus mempersiapkan diriku bertemu dengan orang tua Sasuke. Firasatku sih mengatakan walaupun rencana makn siang bersama gagal, Sasuke akan menjadwalkan rencana makan malam bersama.

.

.

"Astaga, lihat deh itu pacarnya Kak Sakura. Tipe cogan alias cowo ganteng gitu. Orang kaya deh kayanya ya. Kok bisa ya Kak Sakura dpat yang gitu. Eh tapi Kak Sakura cantik sih. Tapi ya ampun mau juga punya pacar jenis begitu."

Hey, kalian pikir aku tidak bisa mendengar kalian? Kenapa kalau bergosip terang-terangan deh. Dasar mahasiswi-mahasiswi kurang kerjaan dan kurang kasih sayang. Yeah, mentang-mentang punya pacar mana ganteng pula makanya bisa bicara seperti itu.

Jika Sasuke tidak menyusul ke ruanganku mungkin aku tidak perlu menyombongkan diri. Padahal sudah aku bilang kalau aku akan menghampirinya di kantin atau parkiran.

Setelah aku membereskan barang-barangku, dengan segera aku menggiring Sasuke untuk segera keluar dari kawasan biangnya gosip. Selama perjalanan dari keluar rumah sakit menuju parkiran hingga perjalanan menuju rumah, Sasuke tidak banyak bicara. Tapi yang ada malah sedikit-sedikit tersenyum, aku cerita apa malah dijawab "o" terus senyum saja. Oh, Sasuke bilag tentang kenapa alasan orang tuanya ada di Konoha. Acara keluarga katanya. Acara rutin makan bersama keluarga besar Uchiha yang bermukim di Konoha. Untung saja aku tidak bisa ikut. Keluarga Kak Itachi tidak ikut, jadi memang hanya Tante Mikoto dan Om Fugaku saja.

"Orang tuamu sekarang sudah balik ke Oto? Maaf ya gak sempat ketemu jadinya," ujarku basa-basi sebenarnya.

"Masih di Konoha. Mau ketemu? Mereka sepertinya akan senang."

"Sedang berada di apartemenmu? Menginap? Bakal ganggu gak? Siapa tahu mereka sedang beristirahat."

"Kurasa mereka yang menganggu waktu santai keluargamu. Ralat, aku dan keluargaku."

"Hah?"

"Mereka sedang bersama orang tuamu, di rumah. Sekalian makan malam bersama."

Aku yakin tampangku sangat bodoh sekarang. Kelopak mataku terbuka lebar dan kedua rahangku dalam posisi terbuka hingga aku yakin kuman-kuman di udara masuk ke dalam mulutku.

"Gak usah grogi mau ketemu calon mertua, kan sudah pernah ketemu sebelumnya," ujar Sasuke santai. Kelewat santai seolah-olah sedang mengejekku.

"Kayanya baru ada yang ditolak deh lamarannya seminggu lalu. Itu juga kalau bisa disebut ngelamar sih," jawabku sedikit ketus. Ha! Tidak mempan kalau mau menggodaku. Beberapa minggu yang lalu mungkin aku akan merasa pipiku seolah terbakar.

"Udah bisa ya sekarang gantian ngeledek."

Sasuke terlihat pura-pura memasang tampang kesal, namun pada akhirnya kami berdua malah tertawa. Entahlah, ini sedikit aneh. Sudah kubilang kan bahwa kami sama sekali tidak membahas lamaran gagal itu setelah kejadian. Tidak meluruskan apakah Sasuke benar-benar melamar dan juga apakah aku benar-benar menolaknya, toh keesokan harinya kami tetap berkomunikasi seperti biasa. Sasuke tetap manis, membuat jantungku terasa akan melompat keluar tapi sekaligus membuatku merasa kesal.

Saat sudah di depan rumah, Sasuke memarkir mobilnya di depan pagar rumah. Setelah melepaskan sabuk pengamannya, dia tidak langsung keluar dari mobil. Kami sama-sama terdiam sebelum akhirnya terdengar suara helaan napas Sasuke.

"Eh Sakura..." panggil Sasuke.

Aku menengokkan kepalaku ke arahnya sambil melepas sabuk pengaman.

"Udah beli piring belum?" tanya Sasuke sambil tersenyum.

Aku menggelengkan kepalaku sebagai jawaban. Apaan sih. Cukup kali kalau ternyata keluarga Sasuke makan malam di rumah. Pirng di rumah kan ada dua lusin bahkan.

"Siapa tahu aku ditolak lagi dan aku tidak mau pulang dengan tangan kosong. Yah setidaknya piring buat kenang-kenangan gitu. Tapi sepertinya aku tidak akan dapat pring ya? Syukurlah," ujar Sasuke menjawab keherenanku akan pertanyaan tentang piringnya. Eh apa katanya tadi? Oh sial sekarang pipiku terasa panas.

.

.

Aku tidak menyangka acara pertemuan kedua keluarga diadakan di rumah. Hanya acara makan malam biasa sih, tapi ini sangat di luar rencana. Apa sudah dalam rencana Sasuke... aku tidak tahu. Para bapak ternyata cepat akrab, yah dari dulu juga memang sudah berteman. Sedangkan para ibu malah sibuk membicarakan perkembangan anak masing-masing—Sasuke dan aku tentunya—sambil sibuk di dapur. Sebagai anak perempuan yang baik, sebenarnya aku sudah menawarkan diri untuk membantu namun secara halus diusir, lebih baik mandi dan istirahat saja katanya. Tentu saja aku merasa tidak enak. Tapi ada benarnya juga jika aku harus membersihkan diri dahulu.

Mandi tanpa membuang waktu lama sudah menjadi keahlianku. Berpakaian dengan setelan santai namun tetap sopan. Setelah aku menyisir dan mengikat rambutku, aku akan segera menuju dapur untuk membantu—itu pun jika masih ada yang bisa dibantu. Belum selesai aku mengikat rambutku, pintu kamarku ada yang mengetuk. Sepertinya Ibu membutuhkan bantuan di dapur.

"Masuk aja, gak dikunci," suaraku memang sengaja sedikit dikeraskan, agar terdengar sampai keluar pintu kamar. Aku sedikit terkejut bahwa yang masuk ke kamarku ternyata Sasuke.

"Tadi katanya disuruh masuk... Ini aku buka aja ya pintunya,"

"Di luar aja ngobrolnya."

"Nanggung. Sekalian mau lihat-lihat kamarmu. Sebentar saja."

Agak risih sebenarnya ada orang lain yang menjelajah kamarku. Untung saja kamarku sedang rapi dan tidak ada tumpukan baju kotor atau dalaman yang berserakan.

Sasuke kemudian duduk di pinggir kasurku. Dia menepuk-nepuk kasurku, menyuruhku untuk duduk di sampingnya. Kuturuti saja maunya. Kami saling diam. Aku melirik pada Sasuke, matanya ternyata masih menjelajah untuk melihat setiap sudut kamarku.

"Sakura..." Kini Sasuke duduk sambil menghadapku. "Maafkan aku."

Ada apa lagi ini. Kenapa Sasuke minta maaf? Raut muka kebingunganku pasti mudah dibaca Sasuke.

"Izinkan aku melakukannya kembali dengan benar. Dan aku sangat serius. Kau adalah teman wanita yang sangat menyenangkan. Aku tahu kau pintar. Wawasanmu cukup luas. Sangat mudah mencari topik obrolan denganmu. Topik masalah pekerjaan pun pernah kita bahas. Hubungan kita penuh kejutan tapi terlalu lancar. Aku sangat bersyukur malah. Oh, jangan memotongku, aku belum selesai bicara. Tidak ada tuntutan dari keluargaku untuk segera menikah dan jika aku ingin segera menikah memang karena aku sudah merasa siap. Tapi setelah aku menerima reaksimu aku berpikir untuk membicarakan ini bersama, setelah pikiranmu menjadi tenang—tidak berpikir macam-macam."

Aku segera menutup mulut Sasuke dengan tanganku, sengaja memotong omongannya. Aku menunduk. Malu sebenarnya. Sasuke memegang tanganku, kemudian mengecupinya. Saat aku akan menarik tanganku, tanganku malah ditahan dan dipegang erat. Waktu terasa sangat cepat, aku tidak sadar bahwa Sasuke sudah mengeluarkan benda berbentuk lingkaran itu dari saku celananya. Cincin bermata berlian kecil itu sudah terpasang pada jari manis.

"Cincinnya mahal loh. Bisa buat beli piring dua lusin lebih, sama peralatan masak juga boleh," ujar Sasuke sambil tersenyum.

"Aku benar-benar akan beli piring deh kayanya. Belinya dua lusin. Nanti simpan di apartemenmu dulu sementara. Setelah kita punya rumah sendiri baru kita pindahin ke dapurnya."

Badanku sudah berada dipelukan Sasuke saja. Napas Sasuke sangat terasa di leher karena rambutku sedang diikat.

"Tunggu aku beres spesialis ya," ujarku berbisik.

Sasuke melepaskan pelukannya. Satu kecupan ringan terasa di bibir. Aku sadar akan keputusanku. Aku luluh pada tatapan Sasuke saat ini. Aku hanya akan tetap berdoa semoga Sasuke memang jodohku. Dan aku akan berbaik sangka pada Tuhan juga semesta bahwa Sasuke adalah jodohku. Yang pasti, pasangan undanganku berubah status dari sementara menjadi permanen. Datang pesta pernikahan dengan gandengan? Siapa takut!

.

.

The End

.

.

.


Terima kasih sudah membaca! Iya ini tamat, akhirnya. Mohon maaf jika tidak sesuai ekspetasi. Terima kasih kepada para pembaca yang menungu ff ini update, berawal dari keisengan nulis akhirnya jadi cerita ff ini. Terima kasih untuk review-reviewnya, berhasil bikin saya senyum-senyum. Saya gak bisa nyebutin satu-satu disini karena takut ada yang terlewat. Maaf juga jika ada review yang saya tidak balas. Terakhir, kalau berkenan reviewnya ya untuk chapter ini hehe kesan-kesannya gitu.

Tambahan, mungkin plot hole disini akan berusaha saya tutupi dengan cerita di lapak sebelah. Ceritanya Sasuke. Oh, dan username saya memang ganti, tapi fyi jonafarany bukan nama asli—jika ada yang menyangka bahwa itu nama asli saya.