Kabar tidak menyenangkan datang disore hari. Luhan yang sedang mengikuti kelas akuntan dengan sangat menyesal meminta izin keluar. Luhan tidak akan pernah menjawab telpon ibunya disaat ada kelas, jadi ibu mengiriminya pesan, berisi kabar Sehun yang masuk rumah sakit.

Luhan tahu sesuatu terjadi pada Sehun. Firasatnya berkata seperti itu.

Sesampai di rumah sakit, Luhan bersiap akan melihat wajah khawatir ibu dan ayahnya diruang tunggu sementara dia akan bertanya ada apa dengan Sehun. Tapi yang dilihatnya ini malah...

"Ibu! Ibu tahu aku sampai bolos kelas karena pesan Ibu itu!"

Ibu yang sedang mengupas buah untuk Sehun menatapnya dengan tatapan melongo, ayah ikut menatapnya dari sofa dengan koran ditangan.

"Oh, memangnya apa yang Ibu katakan?" kata ibunya menyebalkan.

"IBU!"

"Luhan hyung kenapa marah-marah?"

Luhan menghembuskan nafas kasar. "Aku mau cari angin."

Luhan menutup pintu.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.


Beloved Brother

Pairing; HunHan

Genres; Brother-romance, family, disease-life.

Rating; M

Warning; INCEST!

Disclaimer;

© Orikarunori 2016

.

.

.

.

.

Chapter 2 :

Luhan; Keputusan dan Janji


.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Hyung, ambilkan minum."

Sehun mengunyah buah jeruk yang telah dikupaskan ibu sebelum pergi mencari makan malam dikafetaria rumah sakit.

"Sebenarnya kenapa kamu bisa masuk rumah sakit lagi?" tanya Luhan.

Luhan harus menunggu lebih lama karena Sehun menyelesaikan minum lebih dulu.

"Tentu saja karena kambuh, apalagi?"

"Kenapa bisa kambuh? Kamu keluar rumah tanpa masker?" tuding Luhan.

"Tidak kok, aku dirumah terus."

"Lalu kenapa kamu bisa colaps lagi? Kamu merepotkan semua orang kalau seperti ini."

"Ini terakhir kali aku colaps, aku janji."

"Kamu memang seharusnya begitu." Kata Luhan. "Kapan kamu bisa pulang?"

"Besok. Aku harus masuk sekolah, sebentar lagi ujian kenaikan kelas."

Luhan mengangguk. Membersihkan bekas makan Sehun dan meletakkan nampan buah dimeja samping ranjang. Tangan Sehun langsung saja menarik pinggangnya mendekat.

Sehun tersenyum cerah, terlihat tampan. Luhan sekarang tiap kali melihat Sehun tersenyum terlihat seperti itu dimatanya.

"Oh, sudah hilang." Kata Sehun melihat ke sudut lehernya.

"Huh? Apa? Oh... tentu saja. Ini menghabiskan waktu hampir dua minggu, dasar..." Luhan menggilas kasar kepala Sehun.

"Benarkah? Wow... aku seorang lelaki sejati."

"Lelaki sejati tidak masuk rumah sakit." Sindir Luhan. Namun Sehun tidak menanggapi, dia malah mendorong pinggang Luhan agar semakin merapat padanya.

"Hyung tadi tidak memberiku kecupan selamat datang, malah teriak-teriak."

Ya ampun, ternyata Sehun hanya memikirkan itu dikepalanya.

"Tidak mungkin aku bisa memberimu setiap hari, memangnya aku apa."

"Kamu hyungku, tentu saja bisa. Kita bahkan tinggal serumah, dulu juga kita tinggal sekamar."

"Kenapa kamu cerewet sekali, sih!" membuat Sehun terkekeh, juga mendesak Luhan agar segera menciumnya.

Luhan menciumnya seperti biasa disudut bibir.

.

.

.

"Lihat? Ini dipasang disini."

Luhan menempelkan sekepingan puzzle dipucuk bawah kepingan puzzle yang telah dibentuk. Sehun mengernyit, terlihat tidak setuju dengan Luhan.

"Itu tidak benar!" mengambil kembali kepingan yang tadinya dipasang Luhan, dan melekatkannya dipucuk atas. "Seharusnya disini. Lihat? Ini telinganya."

Kali ini Luhan yang mengernyit. Merampas kembali kepingan tadi. "Kamu salah! Itu ditaruh disini! Itu ekornya! Ekor rusa!"

Sehun yang tak mau kalah merampas kembali kepingan. "Hyung yang salah! Ini bukan rusa tapi anjing! Telinga anak anjing!"

"Yah! Kembalikan! Jelas-jelas ini rusa kenapa kamu bilang malah anjing! Lihat gambarnya dong!" teriak Luhan.

"Hyung yang lihat gambar! Mana mungkin rusa punya bulu! Rusa itu punya tanduk tapi ini tidak!" Sehun balas teriak.

"Rusa memang punya bulu! Tapi tipis! Dan anjing tidak tirus dan kakinya tidak jenjang! Ini jelas rusa!" Luhan tidak mau kalah.

"Rusa apa yang jenjang? Memangnya jerapah? Kaki cewek seksi?"

Luhan menggetok kepalanya. "Berhenti mengatakan hal mesum, bocah!"

"Aku tidak! Dan aku bukan bocah!"

"Ya! Kamu bocah!"

"Tidak!"

"Ya!"

"Itu tidak benar!"

"Itu memang benar!"

"Hyung yang bocah!"

"Aku dewasa. Dan kamu sangat kekanakan!"

"Tidak!"

"Ya. Kamu manja dan suka merengek, apa-apa minta pada Ibu."

"Aku tidak begitu!"

"Kamu begitu. Tetap saja meminum bubble tea walau dilarang, apa lagi kalau bukan bocah? Dasar keras kepala."

"Memangnya kenapa? Bubble tea sangat enak!"

"Nah, kamu memang bocah."

"Hyung!"

"Ada apa, bocah?"

Luhan tidak siap kala Sehun menerjangnya tiba-tiba. Tangannya dicengkeram kuat dan bibirnya 'dimakan habis' oleh Sehun. Luhan sangat kepayahan. Berkali-kali Sehun menerobos masuk dengan kasar juga lidahnya digigit, bibirnyapun tidak luput dari gigitan buas Sehun.

Ini bukan ciuman, tapi ini—entahlah, hukuman? Luhan tahu pasti membuat Sehun marah, walaupun ini adalah pertama kalinya.

Luhan sudah lama kehabisan nafas tapi Sehun baru melepaskannya sekarang. Menatap Luhan kemenangan saat tubuh lemasnya tampak kepayahan mengais-ngais udara.

Luhan sudah bangkit ingin menyerang Sehun dengan pukulan-pukulan yang dia pastikan dapat membuat otak Sehun bergeser saat tahu-tahu ibu muncul dari halaman belakang, menanyakan alasan mereka begitu ribut.

"Sehun, Bu! Sehun mulai berani memakan yang tidak seharusnya dimakan!" teriak Luhan menunjuk-nunjuk Sehun.

Sehun yang ditunjuk tentu saja tidak mau disalahkan. "Siapa bilang tidak? Itu boleh dimakan karena sudah lama aku memperhatikannya! Dan benar-benar bisa dimakan!"

"Memangnya kamu tanya apa dia mau dimakan? Tentu saja dia tidak mau! Kamu memaksa!"

"Salahnya karena tidak bisa melawan dengan benar!"

Ibu pusing karena gagal mengerti apa yang diributkan anak-anaknya. Tapi dia harus menghentikan suara ribut-ribut ini, jadi ibu merentangkan tangan menangkup anak-anaknya agar muat berada dalam pelukannya.

"Nah, begini kan lebih baik." Kata ibu saat anak-anak mereka hanya bisa melenguh protes satu sama lain. Namun itu tidak bertahan sampai disitu, karena tangan Sehun yang nakal datang untuk meremas bokong Luhan.

"YAH! DASAR IDIOT!" Luhan memukul kepala Sehun keras, membuat ibu syok.

"YA AMPUN LUHAN!"

.

.

.

Hari ini Luhan ada kuis penting, dia tidak punya pilihan untuk tidak hadir. Tapi jiwanya terus menerus resah, pertanyaan-pertanyaan tidak ada yang masuk sama sekali ke otaknya. Beruntung dia telah menjawab setidaknya satu dengan benar, jadi nilainya mungkin tidak terlalu bermasalah.

Sejam kemudian kelas telah berakhir. Luhan memutuskan menghubungi Ibu dengan cepat.

"Ibu, bagaimana Sehun?"

"Ah, Sehun baik-baik saja. Dia sedang makan buah sekarang." Kata ibu.

Kadar kecemasan Luhan menurun, tersalurkan dengan nafas kelegaan yang keluar. "Baiklah, aku tutup."

"Eh, sayang?" kata ibu cepat, menghentikan Luhan menutup telpon. "Kamu pulang dijam biasa?"

"Iya."

"Nanti kamu beli cake ya."

"Buat apa? Sehun mau cake?"

"Tidak. Itu Ibu. Ibu ingin sekali makan itu, nanti kamu pulang jangan lupa mampir ditokonya dokter Yixing. Katanya toko itu dibangun oleh pacarnya yang kaya itu. Ya?"

"Dasar ibu-ibu. Sudah ya, Bu, aku tutup." Luhan mengakhiri sambungan.

.

Lima belas menit yang lalu adalah hal menyebalkan yang Luhan lalui sore ini. Dia tidak ingin menambah dengan melihat pacar si kaya itu dikamar rawat Sehun.

"Kamu sudah datang." Sapa si dokter muda sambil tersenyum.

Luhan membalasnya. "Ya. Dimana ibuku?"

"Diruang administrasi." Jawab Yixing, tangannya sibuk membereskan alat-alat wajib dokternya.

"Ada apa dengan Sehun?" tanya Luhan. Ibunya belum memberitahukan tentang Sehun hari ini padanya.

"Sehun baik. Dia normal dengan cepat, mungkin karena kamu tidak terlalu mengacuhkannya lagi sekarang."

Luhan mengangguk, berusaha tidak terpengaruh kalimat terakhir Yixing. Dia melihat ke arah Sehun ketika Yixing telah meninggalkan kamar.

Luhan memutuskan menghampirinya. "Kamu mau cake?"

Sehun menggeleng. "Aku tidak suka."

"Padahal katanya ini cake spesial. Sudahlah kalau kamu tidak suka." Luhan memeriksa meja nakas. "Hari ini tidak ada buah?"

"Ibu lupa membelinya."

"Kenapa tidak bilang padaku? Aku bisa mampir."

"Kalau Ibu lupa, aku apalagi."

Benar juga. Sehun tidak begitu menyukai buah. Ibu hanya memaksa untuk terus membawakan Sehun buah.

"Baiklah, tidak ada buah. Lalu apa yang harus kulakukan selain mengupaskan buah untukmu?"

Sehun tersenyum, mengulurkan tangan hingga menarik pinggang Luhan mendekat. "Hyung belum menyapaku."

Luhan mengedip malas namun tetap menaruh kedua tangannya dibahu Sehun, lalu mengecup Sehun ditempat biasa. "Lama-lama aku bisa gila karena ini."

"Tenang saja, hyung akan segera terbiasa."

.

.

.

Luhan harus segera memeriksakan jantungnya begitu dia mendapat serangan mendadak diminggu pagi. Dia baru saja berganti baju ketika Sehun menariknya duduk dipangkuan.

"Ayah dan Ibu tidak ada sampai malam."

Hanya tujuh kata itu yang Sehun ucapkan sebelum membuka kancing baju Luhan, menggesernya sedikit agar dia bisa mengeksplor penuh bahu halus dan segar milik Luhan yang baru saja habis mandi. Luhan tidak melakukan apapun, selain hanya melihat dan merasakan apa yang Sehun lakukan padanya. Tangan Sehun menelusup masuk melalui bawah bajunya bertepatan dengan bibir Sehun menghisap salah satu bahunya.

.

"Hhh, lihat dia. Aku bahkan baru saja mandi."

Luhan menggumam sambil berusaha lepas dari kungkungan tangan Sehun tanpa membangunkan anak itu. Bajunya melumer kemana-mana, sedangkan disepanjang bahu dan dadanya terdapat kissmark yang masih baru. Sehun langsung tertidur saat selesai membuat tanda terakhir diujung lehernya.

"Apa yang harus kulakukan? Semoga dia tidak melakukannya ditempat yang mudah terlihat."

Luhan merapikan lagi letak bajunya dengan benar, seraya merencanakan untuk mandi kedua kalinya dipagi hari ini.

.

.

.

Luhan tahu harusnya dia tidak berada disini. Dia tahu dia salah, ini mengganggu privasi orang lain, tapi meskipun hatinya berkata seperti itu pikirannya tetap meneriakkan hal lain. Dia mau disini, dia tetap tidak mau pergi.

"Tidak ada pilihan lain, keadaannya semakin memburuk dengan tetap berada dirumah sakit. Sehun harus segera mendapat tindakan." Kata dokter Yixing.

Ibu hanya mendengarkan dengan tampang cemas, sedangkan ayah berdiri memegangi kedua pundaknya.

"Aku punya seorang teman di China, dia lebih tahu tentang ini. Aku akan merujuk Sehun kepadanya, tentu dengan izin Anda."

Ibu mengangguk pelan. Beralih menatap Sehun yang sedari tadi diam dikasur pasiennya. Luhan menggelengkan kepalanya, tidak bisa menerima ini semua.

Brakk'—

"Tidak. Sehun tidak akan kemana-mana!" emosi Luhan memuncak. Sengaja memunculkan diri dibalik pintu.

"Luhan sayang?"

"Ibu, kenapa harus ke China? Sehun bisa ke rumah sakit lain!" kata Luhan keras.

"Tidak, sayang, Sehun memang harus kesana. China punya obat untuk Sehun." Kata Ibu menenangkan Luhan.

"Omong kosong! Penyakit Sehun tidak ada obatnya! Sehun tidak bisa sembuh! Ibu pikir aku masih anak-anak bisa Ibu bohongi?!"

"Luhan, tenanglah. Kita bicarakan lain kali."

"Aku tidak mau ada pembicaraan lain kali. Aku tidak setuju Sehun ke China. Kamu dengar, Sehun?!" kata Luhan. Kali ini diarahkan pada Sehun yang masih tetap diam membisu.

Ibu menangis dipelukan ayah. Yixing hanya bisa bersimpati atas apa yang terjadi diruangan ini. Tapi Luhan tidak peduli. Langkahnya tetap menuntunnya meninggalkan rumah sakit.

"Aku tidak akan pernah setuju."

.

.

.

Luhan benar-benar brengsek untuk ukuran seorang kakak. Semua orang tahu tapi dia tidak peduli.

Dia punya adik yang jauh dibawah empat tahun darinya yang tidak dia sukai. Dari semenjak adiknya lahir dia hampir tidak mau mempedulikan adiknya bila tidak dipaksa oleh sang ibu. Dia jujur dia tidak suka adiknya. Terlalu lemah dan terlalu cengeng.

Namanya Sehun... Oh Sehun.

Luhan tidak pernah suka dengan kehadirannya semenjak Sehun divonis lemah, karena penyakit pernafasan sialan itu. Luhan selalu bermimpi, tapi mimipi-mimpinya tidak akan pernah menjadi kenyataan.

Untuk pertama kalinya Luhan memimpikan sesuatu, yaitu dapat bermain sesuka hatinya dengan adik barunya. Tapi Tuhan tidak mengabulkannya, jadi Luhan memilih mengacuhkan Sehun daripada keboblosan mengajak Sehun bermain lagi.

Untuk yang kedua kalinya Luhan memimpikan hal lain, yaitu dapat menghabiskan seluruh waktunya bersama Sehun dengan hanya keadaannya yang seperti itu; tidak bertambah parah. Tapi Tuhan tidak mengabulkannya, jadi Luhan tidak akan mau membiarkan Sehun pergi kemanapun.

Memang benar mimpi-mimpinya tidak akan pernah menjadi kenyataan, karena itulah kenyataannya; mimpi adalah mimpi.

Luhan tidak peduli kalau dia menjadi brengsek.

.

.

.

"Hyung..."

"Kamu jangan membahasnya Oh Sehun. Aku tetap tidak akan membiarkannya, kamu lebih dengar aku atau dokter itu?"

"Aku akan mendengarkan hyung."

"Bagus. Kalau kamu memang masih ingin melihatku sebaiknya kamu mendengarkanku."

Luhan mengambil jaket bermaksud pergi namun tangannya ditahan.

"Aku mendengarkan hyung, jadi sebaiknya hyung jangan pergi dulu." Kata Sehun pelan. Luhan berangsur berbalik, memeluk Sehun.

"Dengar, penyakitmu tidak akan pernah sembuh, jadi jangan ke China, pindah ke rumah sakit lain saja. Katakan ini pada Ibu, kalau kamu mau pindah dari rumah sakit ini." kata Luhan. Semakin mengeratkan pelukannya.

"Iya hyung."

.

.

.

Bagi Luhan, pilihannya hanya ada dua. Tetap bertahan dirumah sakit ini, atau pindah. Yang mana saja Luhan tidak masalah. Asalkan tidak dengan pilihan yang dibuat dokter muda itu.

Tapi sepertinya dua pilihan yang dibuat Luhan sedikit meleset. Buktinya yang ada Sehun hanya sering colaps. Luhan tidak terlalu memikirkan itu karena toh dia selalu berada disisi Sehun, sehingga Sehun terlihat baikan dengan cepat. Walaupun begitu, Ibunya masih terus memasang muka khawatir berlebihan. Luhan tidak mengerti. Sehun baik-baik saja kok.

Hingga hari mendebarkan datang. Luhan kira Sehun hanya colaps biasa seperti yang lalu-lalu, namun kali ini Sehun sampai pingsan sebelum dapat distabilkan.

Luhan memperhatikan Yixing berdiskusi dengan dua dokter lain diruangan berkaca yang ada Sehun didalamnya. Sepertinya pembicaraan serius, Yixing berkali-kali menunjukkan sesuatu yang ada kaitannya dengan Sehun, sedangkan dua dokter lain menanggapi dengan mengangguk pula.

Kemudian Yixing keluar, menghampiri ibu dan ayah yang juga memperhatikan Sehun dari balik kaca.

"Kita harus segera menjalankan operasi, Tuan, Nyonya."

Beberapa menit kemudian, yang Luhan tahu Sehun menjalankan operasinya.

Luhan tidak tahu apakah dengan ini Sehun akan membaik atau bagaimana, yang dia simpulkan hanya jika operasi dilaksanakan... yang mana berarti karena keadaan Sehun semakin memburuk. Itu makanya mereka menganjurkan operasi.

Luhan masih berdiri dibalik kaca ruang operasi ketika sebentar lagi para suster akan menyuntikkan sesuatu yang dapat merenggut kesadaran Sehun. Sehun menatapnya dari dalam, satu tangannya jatuh, direntangkan ke arahnya. Luhan segera menerobos pintu agar bisa masuk.

Sehun membutuhkannya...

Sehun ingin dia berada disana...

Luhan berhenti saat merasakan dorongan yang berlawanan pada bahunya. Dia digiring keluar bertepatan dengan mata Sehun yang mulai menutup, berangsur kehilangan kesadarannya. Gorden khas ruang operasi pun perlahan menutupi kaca jendela menjadi terakhir kalinya dia melihat Sehun untuk beberapa jam kedepan.

.

"Operasinya lancar, tapi Sehun belum sadar."

Tiga jam kemudian Yixing keluar dari ruang operasi, membuat dokter muda itu langsung dikerubungi oleh ibu dan ayah. Dia menjelaskan perkembangan Sehun, tapi seolah kata-katanya hanya ditujukan pada Luhan.

"Sehun baik-baik saja, dia akan membaik setelah ini." kata Yixing. "...atau setidaknya beberapa hari kedepan."

Yixing beralih menatap Luhan yang masih terduduk dibangku tunggu pasien, diam-diam juga mendengarkan penjelasan Yixing.

"Operasi ini hanya untuk meminimalisir kadar sering kambuhnya Sehun, bukannya membuat Sehun sembuh. Dan kita perlu mendapatkan obat yang benar-benar bisa membuat Sehun sembuh total, dan obatnya tidak disini."

Luhan mencengkeram telapak tangannya mengetahui maksud Yixing.

"Pikirkan lagi, Tuan dan Nyonya. Aku benar-benar menganjurkan yang terbaik untuk Sehun." Kata Yixing dan pergi melewati Luhan yang masih duduk diam ditempatnya.

.

.

.

Luhan tidak langsung menemui Sehun setelah operasi. Dia butuh ketenangan untuk berpikir, dan kakinya membawanya menuju atap rumah sakit.

Disana memang tenang, suasana yang sangat dibutuhkan Luhan saat ini. Angin malam yang menyapu lembut wajahnya terasa sangat baik, mungkin dia juga butuh air untuk mendinginkan kepalanya. Kepalanya itu serasa mau pecah kapan saja ia lengah.

Karena telah mendapatkan ketenangan, Luhan mencoba memulai berpikir.

Dia bilang harus ke China...

Tidak ada obat disini katanya...

Hanya memikirkan dua kalimat itu saja membuat kepala Luhan berdenyut sakit. Luhan menutup matanya dan menggeleng, tidak, dia harus berpikir sekarang juga. Dia harus mengambil keputusan malam ini juga.

...Kita perlu mendapatkan obat yang benar-benar bisa membuat Sehun sembuh total, dan obatnya tidak disini.

Kalau obat itu tidak disini, itu artinya tidak dimanapun!

...Aku punya seorang teman di China, dia lebih tahu tentang ini. Aku akan merujuk Sehun kepadanya, tentu dengan izin Anda.

Tidak. Tentu saja tidak. Kenapa Sehun harus ke China? Aku tidak akan pernah mengizinkan.

...Tidak ada pilihan lain, keadaannya semakin memburuk dengan tetap berada dirumah sakit. Sehun harus segera mendapat tindakan.

Lalu aku harus bagaimana? Akh, sial!

Umpatan Luhan hanya membuat sakit kepalanya bertambah parah. Berpikir hanya membuatnya susah. Membuatnya sakit dan tersiksa. Bagaimana pun, dia tidak akan pernah membiarkan Sehun ke China. Memang siapa si Yixing itu? Mengapa dia bertindak seperti seseorang yang tahu segalanya?! Bahkan ayah tidak mengatakan apa-apa. Seharusnya dia tidak begitu kan? Dia kepala keluarga. Dia harus memutuskan ini. Apa dia tidak menyayangi Sehun?

Me-menyayangi Sehun...?

Lalu bayangan-bayangan Sehun terlintas begitu saja dikepalanya. Saat mereka terjatuh bersama ke lantai, bagaimana Luhan merasakan sesuatu dalam dadanya berlaku aneh saat melihat dengan jelas kedua mata Sehun. Saat malam dimana mereka berciuman untuk pertama kalinya. Saat Sehun mulai berlaku manja terhadapnya. Saat tawa lepas Sehun menghantuinya disaat piknik keluarga mereka. Saat Sehun dengan manjanya meraih tangannya untuk dia genggam. Bagaimana sentuhan Sehun dipinggangnya. Rasa sudut bibir Sehun... semua itu membuatnya gila. Tanpa sadar, air mata Luhan jatuh begitu saja membasahi pipinya.

Lalu dia ingat bagaimana dirinya menjadi brengsek dengan berteriak dihadapan Sehun dan ibunya.

...Omong kosong! Penyakit Sehun tidak ada obatnya! Sehun tidak bisa sembuh! Ibu pikir aku masih anak-anak bisa Ibu bohongi?!

...Aku tidak mau ada pembicaraan lain kali. Aku tidak setuju Sehun ke China. Kamu dengar, Sehun?

"Kenapa kamu tidak membantah, bodoh! Seharusnya kamu memakiku! Apa sebegitu takutnya kamu padaku?!" tangisan Luhan semakin menjadi. Lalu dia kembali mengingat masa-masa kecil mereka. Bagaimana Sehun, adiknya tidak pernah membantah dan selalu menuruti keinginan Luhan begitu saja. Bagaimana Sehun selalu berusaha mendekatinya bagaimanapun dinginnya Luhan memperlakukan Sehun. Ingatan-ingatan itu hanya membuat keadaannya semakin memburuk.

...Kamu jangan membahasnya Oh Sehun. Aku tetap tidak akan membiarkannya, kamu lebih dengar aku atau dokter itu?

...Aku akan mendengarkan hyung.

Tangisan Luhan semakin keras. Sehun selalu begitu baik padanya, hanya untuk menyenangkan Luhan.

...Kamu hyung paling jahat didunia, kamu tahu?

Luhan masih terisak seraya menggeleng. Dia memang tahu dirinya seperti itu, tapi dia tidak ingin mendengarnya dari Sehun. Dia tidak ingin Sehun menilainya seperti itu.

Ada satu hal penting yang tiba-tiba merengsek masuk ke dalam ingatannya lagi. Sesuatu hal yang menyadarkan dirinya bahwa selama ini dirinya hanya seorang yang brengsek.

Itu ketika Sehun menuliskan sesuatu pada lengannya.

Hyu...

.

...ng

.

Sa...

.

...rang

.

...hae.

Dan Luhan semakin memeluk dirinya sendiri. Membenamkan wajahnya dalam lingkup lengannya, menangis semakin keras menyesali semua yang telah terjadi. Seberapa brengseknya sosok Luhan ini? Mengapa setelah sekian lama dirinya baru menyadari bahwa... bahwa sebenarnya dia...

Dia menyayangi Sehun.

Luhan menyayangi Sehun.

Sangat menyayanginya...

Sehun...

.

...Tidak, sayang, Sehun memang harus kesana. China punya obat untuk Sehun.

...Pikirkan lagi. Aku benar-benar menganjurkan yang terbaik untuk Sehun.

.

.

.

"Hyung!"

Luhan kembali masuk ke rumah sakit, Sehun langsung saja menyemburkan diri memeluknya. Selimut rumah sakit jatuh tergeletak di lantai akibat Sehun yang tiba-tiba melompat dari tempat tidur ke arahnya.

"Hyung! Darimana?" tanya Sehun cepat. Luhan hampir tidak dapat menangkap ucapan Sehun.

"Aku baru pulang dari kuliah, memangnya kenapa? Kenapa wajahmu seperti itu?"

Sehun terdiam beberapa saat sebelum kembali berbicara. "Kenapa hyung tidak datang kemarin? Hyung kemana saja?"

Luhan tertawa. "Wow, wow, ada apa denganmu? Apa ada yang salah? Memangnya kemarin kenapa? Kamu kambuh lagi? Kamu baik-baik saja kan?"

Sehun menunduk. "Ya, semua sudah baik-baik saja sekarang."

Luhan mengetahui perubahan wajah Sehun. "Ada apa? Terjadi sesuatu? Kamu kan baru saja selesai operasi dua hari yang lalu, kenapa bisa kambuh lagi?"

Sehun menggeleng. "Bukan." Kata Sehun. "Aku sudah tidak kambuh, sekarang aku baik-baik saja."

Luhan menaikkan alisnya. "Lalu apa?"

Tanpa diduga Sehun kembali memeluknya. Erat sekali sampai Luhan bisa saja remuk dalam beberapa detik.

"Sehun?"

"Mereka sudah memutuskan. Dokter itu akan mengirimku ke sana." Ucap Sehun dilehernya.

Oh.

"Hyung, aku harus bagaimana?" tanya Sehun. Luhan tidak menjawab.

"Hyung?" Sehun melepaskan pelukannya. Menatap Luhan yang balas menatapnya.

"Kalau begitu, pergi."

Sehun tidak mengerti. Raut wajah Luhan kembali dingin seperti Luhan yang dulu. Membuatnya sedih.

"Tapi kenapa?" tanya Sehun. Luhan masih menatapnya dingin, mengacuhkan pertanyaan yang baru saja dilontarkan padanya. Sehun akhirnya mempertipis jarak, menatap Luhan dalam-dalam. Dia ingin Luhan mengatakan dengan sejujurnya.

"Beri aku alasan mengapa aku harus pergi," kata Sehun sama dinginnya. Sehun bukanlah anak-anak yang periang dan polos seperti yang ditunjukkannya didepan ibu mereka, dia juga bisa bersikap sama dinginnya seperti Luhan. Dia pun selama ini juga belajar darinya.

Luhan sebenarnya terkejut dengan perubahan Sehun, namun berkat wajah dinginnya perasaan itu tidak tampak ke permukaan. Menyelamatkan dirinya dari kegugupan.

"Kenapa?" tanya Sehun lagi. Kali ini lebih menuntut.

"Tentu saja agar kamu sembuh." Kata Luhan. "Semua orang menginginkan kamu sembuh, apalagi?"

Sehun semakin menatap Luhan, "Apa hyung juga menginginkan aku sembuh?"

Luhan balas menatap Sehun dalam. Ingin tahu jawaban macam apa yang diinginkan anak itu. "Tentu. Memangnya siapa yang akan tahan bolak balik rumah sakit tiga kali dalam sebulan? Ibu dan Ayah pun pasti lelah, jadi satu-satunya cara ya kamu harus sembuh. Kamu harus ke China."

Mereka terdiam cukup lama. Sehun tidak membalas perkataannya begitupun Luhan tidak ingin susah-susah mengangkat pembicaraan.

"Bolehkah aku meminta sesuatu sebelum aku pergi?"

Tidak. Kenapa harus meminta sesuatu?

Luhan tanpa kentara meneguk ludahnya, sembari kepalanya yang mengangguk pelan.

"Tunggu aku," kata Sehun. Luhan tidak mengerti. "Tunggu aku sampai aku kembali." Luhan menatap Sehun yang balas menatapnya. "Hyung harus berjanji,"

Luhan menyempatkan diri menatap Sehun lama sebelum akhirnya mengangguk. "Aku janji."

.

.

.

Seminggu kemudian, Sehun pergi.

Inginnya setelah diputuskan ke China, besoknya Sehun sudah harus berangkat. Tapi ini adalah pertama kalinya bagi keluarga mereka ke luar negeri, maka harus bagi ayah mereka untuk membuat paspor Sehun dan juga ibu yang akan menemani Sehun disana.

Luhan tidak tahu berapa lama pastinya mereka tinggal disana, yang pasti ibu mengatakan akan secepatnya kembali bila Sehun sudah sembuh total.

Tapi Luhan tidak berpikir bahwa Sehun akan benar-benar sembuh. Sehun sudah menderita asma akut sejak lahir, jadi ia tidak bisa benar-benar berharap seperti yang dikatakan ibunya.

Berharap itu hanya akan menyisakan luka.

"Sayang, Ibu akan berangkat, kamu tidak ingin mengucapkan sesuatu?" kata ibu diantara kesibukan orang-orang bandara.

"Yah, semoga Ibu sehat-sehat saja. Dan yang terpenting jangan terlalu heboh sesampai disana, Ibu kan berisik." Kata Luhan yang langsung mendapat cubitan keras dikedua pipinya.

"Sudah Ibu bilang jangan tumbuh menjadi anak yang judes! Dasar. Ibu heran darimana kamu mendapat sifat seperti itu sedangkan Ayah dan Ibu sama-sama punya sikap yang manis..." katanya masih mencubiti Luhan. "Ahh, bagaimanapun kamu tumbuh, yang penting Luhan-ku punya wajah yang manis jadi tidak apa-apa bagi Ibu, kamu tetap menuruni sifat manis dari Ibu walaupun bukan dari sikap." Seru ibu ceria. Kedua tangannya semakin mencubit gemas pipi Luhan yang memerah.

"Ibu! Dilihat banyak orang, nih!" protes Luhan.

"Haha, biarkan! Biarkan!"

Luhan hanya bisa pasrah diperlakukan kekanakan oleh ibunya. Setelah penderitaan menahan malu yang menyiksa, ibu akhirnya memeluknya dengan hangat. Luhan tahu ini sudah waktunya.

"Kamu tidak mau menemui Sehun? Ini terakhir kalinya kamu bisa melihatnya dalam jangka waktu yang, mungkin lama." Kata ibunya pelan. Luhan terdiam lalu melepaskan pelukan mereka.

"Tidak. Lagipula aku juga tidak akan apa-apa tanpa melihatnya. Itulah sebabnya aku ingin pisah kamar dengannya dulu, kan?" kata Luhan enteng. Ibu kembali mencubit pipinya keras karena kata-kata Luhan yang dingin.

"Dasar. Kamu memang bukan anak yang manis. Sebagai hukuman Ibu tidak akan meneleponmu selama satu minggu."

Luhan hanya bisa menghela nafas menghadapi tingkah kekanakan ibunya yang labil. Luhan yakin meskipun ibunya bersumpah sekalipun, ibunya yang labil itu akan tetap meneleponnya tepat setelah mendarat di China.

"Terserah Ibu,"

"Aishh, jinjja..." ibunya kembali menarik pipi Luhan tidak peduli anak tertuanya itu merasa kesakitan atau tidak, meski tentu saja sakit melihat Luhan yang tidak berhenti mengaduh sampai seluruh wajahnya memerah.

"Ibuuu..., hentikan, Ibu bisa terlambat..." kata Luhan meski suara yang dikeluarkannya tidak jelas. Ibu akhirnya melepaskannya dan ganti menciumi pipi Luhan dengan sayang.

"Ibu pasti akan sangat merindukanmu, Sayang," kata ibunya dengan mata yang berkaca-kaca. Luhan mau tidak mau menjadi terenyuh melihat ibunya yang seperti itu. "Meskipun kamu bukan anak yang manis dan tidak terlalu penurut, bagiku kamu anak Ibu yang paling bisa diandalkan. Ibu juga melihat kamu sudah mulai mengkhawatirkan Sehun, Ibu sangat senang karena itu."

"Itu karena dia terlalu banyak merajuk dan kekanakan," sela Luhan.

Ibu tersenyum. "Tidak. Itu bukan karena Sehun yang kekanakan, tapi karena kalian bersaudara, kalian adalah kakak adik dan memang seharusnya kalian saling mempedulikan satu sama lain."

"Aku tidak sepeduli itu,"

"Ck, kamu diam saja." Sela ibunya kesal. Luhan mengeluh kecil.

"Yang penting, karena Ibu tidak akan ada bersama kalian, kamu harus merawat Ayah. Jangan lama-lama di kampus, cepat pulang dan masaklah sesuatu untuk makan malam. Juga bersihkan rumah, antarkan pakaian kalian berdua ke loundry tiap minggu sekali. Perhatikan juga jadwal tidur dan bangun Ayah. Ayahmu biasa tidur lambat dan bangun kesiangan kalau tidak diingatkan. Kamu juga jangan mengambil kegiatan lain selain menghadiri kuliahmu, mengerti?" oceh ibunya panjang lebar. Meskipun enggan, Luhan tetap mengangguk.

"Dan yang paling penting,"

"Ya ampun Bu, masih ada?"

"Kamu diam saja dan dengarkan dengan manis, semua yang Ibu katakan adalah penting tapi ini juga penting," kata ibu mulai serius. "Kamu jangan sekali-kali berbuat yang tidak-tidak dibelakang Ibu, ya! Ibu sadar kamu itu menarik banyak perhatian tapi kamu masih milik Ibu dan Ayah, oh, milik Sehun juga, jadi jangan melakukan'nya' tanpa sepengetahuan kami. Awas saja kalau kamu berani." Ancam ibunya keras.

Luhan memasang wajah malas menghadapi tingkah ibunya yang bisa dibilang sangat aneh. Yang benar saja, melakukan itu juga harus bilang? Dan...melakukan itu seperti apa omong-omong?

"Aku tahu, aku tahu, Bu. Aku sudah tahu semuanya, aku tidak akan macam-macam. Yang benar saja, Ibu sangat cerewet!" kata Luhan sambil mendorong bahu ibunya menghampiri ayah dan Sehun yang sudah menunggu di kursi khusus tamu. Ibu sudah tidak bisa mengoceh lagi kalau begini.

Luhan berakhir mengawasi ibunya yang sedang mengeluarkan kata-kata cinta dipelukan ayah, hingga ia harus memalingkan muka ketika tiba pasangan suami istri itu saling berciuman. Pandangan Luhan tidak sengaja sampai pada sosok Sehun yang duduk agak jauh dari mereka, sedang memandangi pesawat-pesawat yang telah waktunya melakukan lepas landas dari kaca bangunan.

Luhan memandanginya diam-diam. Ekspresi wajah Sehun tidak terbaca, sehingga Luhan tidak tahu apakah harus menemuinya atau tidak. Hingga tiba waktunya bagi mereka memasuki pesawat, Luhan tetap tidak menemui Sehun.

Luhan menyaksikan ibunya melambai sebelum akhirnya lenyap dibalik ruang khusus penumpang. Sehun tidak sekalipun berbalik ke arahnya membuat Luhan berpikir bahwa Sehun mungkin membencinya sejak Luhan memutuskan Sehun harus ke China. Sehun bahkan sudah tidak meminta ciuman lagi darinya.

Tapi Luhan sudah berjanji akan menunggu Sehun kembali. Apa janji itu sudah tidak berguna? Sehun membencinya sekarang. Mungin memang sudah tidak ada gunanya lagi.

Janji itu sudah tidak ada apa-apanya.

.

.

.

"Ya, Kris, ada apa?"

"Ada pelukan hangat untuk selamanya dan satu ciuman manis, yang mana?"

"Errr, Kris, kamu mabuk?"

Suara tawa mengambil alih percakapan mereka, "Kamu terlalu serius, Deer, nikmatilah guarauanku sekali-kali."

"Maumu apa sebenarnya?"

"Aku hanya merindukanmu, memangnya salah?"

"Kututup."

"Heeei, dingin sekali, kamu pacarku bukan sih?"

"Ya, aku pacarmu bukan sih? Aku juga bertanya-tanya. Jadi kalau kamu lebih memilih melengkapi koleksi alpaca-mu daripada menjemputku tepat waktu, maka kita berdua sudah tahu jawabannya."

Suara tawa terdengar lagi, "Bagaimana aku meminta maaf? Dengan aku di ranjangmu atau kamu di ranjangku?"

"Membakar habis alpaca-alpaca menjijikkan itu atau tidak mengenal nama Luhan lagi."

"Baiklah, baiklah, aku tahu maksudmu. Aku akan menjemputmu di empat tepat."

Sambungan berakhir tepat setelah Luhan memberikan jawaban setuju. Sekarang masih jam dua, masih ada dua jam lagi sebelum audy roaster milik Kris terparkir di halaman kampusnya.

Luhan mengemasi materi-materi kuliahnya sambil mengingat jadwal kerja ayahnya. Kalau tidak salah ayahnya pulang telat hari ini jadi tidak apa-apa dirinya dan Kris bersenang-senang diluar. Soalnya Luhan sangat yakin Kris akan mengajaknya makan malam.

Ini sudah dua tahun sebulan sejak ibu dan Sehun berangkat ke China. Tiap seminggu terhitung tiga kali ibunya akan menghubungi Luhan, dan tiap hari bagi ayahnya. Ayahnya masih harus setidaknya mendengar suara ibunya sekali sehari untuk menjaga hubungan mereka yang dibatasi jarak dan juga melaporkan kesehatan Sehun.

Kabar Sehun semakin hari semakin membaik, kata ibu. Hanya saja mereka tidak bisa datang berkunjung karena Sehun masih dalam masa pengobatan dan dokternya melarang Sehun jauh-jauh dari keberadaan rumah sakit. Karena ibu sangat merindukan anak dan suaminya, ayah pergi untuk menjenguk mereka. Sayangnya hanya ayah, Luhan tidak bisa ikut pergi karena urusan-urusan perkuliahannya yang dalam mode sibuk.

Ibu tentu saja mengomel lewat telepon. Katanya dia sangat rindu anak tertuanya yang tidak manis, bersikap judes dan tidak penurut. Luhan hanya menanggapi dengan 'ah, ya sudahlah' yang seperti biasa akan kembali diomeli karena disaat-saat seperti ini dirinya malah masih bersikap tidak manis.

Ibu juga mengatakan bahwa Sehun merindukannya. Yang tidak bisa ditanggapi Luhan sama sekali saking sibuknya ia bertanya-tanya dalam hati.

Benarkah Sehun merindukannya? Benarkah? Apa dia masih memikirkan dirinya? Masihkah?

Tapi akhirnya Luhan menarik kesimpulan bahwa ibunya hanya asal bicara agar hubungan kedua anaknya tetap terjalin.

Padahal, Luhan sendiri sangat merindukannya.

.

"Hei, bayi Rusa-ku tercinta," sapa Kris seraya membawa bibirnya untuk disapukan pada bibir Luhan. Mereka saling memisahkan diri setelah lima detik.

"Aku tahu isi kepalamu," kata Luhan bahkan sebelum Kris membuka mulutnya.

Kris menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum geli, "Memangnya apa?"

"Makan malam." Tebak Luhan.

Kris menjentikkan jarinya dan menarik tengkuk Luhan. "Kurasa aku harus memberimu hadiah karena tebakanmu sangat benar." Kris mengedip sebelum kembali mencium Luhan. Kali ini menghabiskan waktu yang cukup lama.

Mereka sudah dalam perjalanan menuju restoran yang disukai Kris saat Luhan mendapati kejenuhannya berada dalam keheningan mobil. Luhan meraih tab milik Kris yang tergeletak diatas dashboar dan memutuskan melihat-lihat isi galerinya.

"Eh?"

Luhan bergumam cukup keras sehingga memancing Kris untuk menoleh. Kris tersenyum setelah tahu apa yang sedang dilihat Luhan.

"Itu Tao. Adikku,"

Luhan tersenyum, "Dia manis sekali." Kris hanya membalas dengan tersenyum pula sambil tetap terfokus pada jalanan.

Adiknya Kris kelihatan sangat lugu walaupun wajahnya agak menakuti Luhan. Karena kebanyakan gambarnya diambil tanpa menghadap kamera, refleksi Tao jadi kelihatan natural dan hanya menyisakan aura innosen. Berbeda dengan Kris yang berwajah tegas dan maskulin sepenuhnya, Tao terlihat seperti bayi panda yang baru saja lahir ke dunia tanpa tahu apapun yang dapat menodai ke-innosenannya.

"Kris, batalkan saja restorannya," kata Luhan yang cukup membuat Kris menoleh dengan cepat saking takutnya dia salah dengar. Kris bergumam seperti 'ha' dan 'kenapa' dengan ekspresi panik.

Luhan pada akhirnya tertawa panjang meledek Kris karena image cool-nya jadi rusak sekarang. "Aku mau lihat Tao. Kamu tidak pernah membawaku ke rumahmu, tahu,"

Kris membawa wajahnya kembali terfokus pada jalanan. Sesaat hening karena Kris tidak segera menjawab namun Luhan masih menunggu jawaban dengan tetap menatap Kris dari posisinya.

"Kupikir, kamu bukan seseorang yang mau dibawa ke rumah pacarnya?" Kris berbalik ke arahnya lagi dan melemparkan kedipan genit serta senyuman jahil. Luhan mendengus keras.

"Kenapa kamu sampai berpikir seperti itu? Apa aku terlihat meragukan buatmu?"

Kris terkekeh, "Apa masih belum jelas? Lihat dirimu, Deer, apa sikap dinginmu itu akan membuatku percaya?"

"Ya sudahlah!" Luhan menolak menatap Kris, kesal pada kebenaran pada kata-katanya dan juga pada dirinya sendiri.

Kris tersenyum geli berhasil menggoda kekasihnya yang hampir tidak pernah termakan kata-katanya mengingat Luhan punya bakat dalam bersikap dingin. Mungkin konsep Kris untuk menggoda Luhan dengan kepribadiannya itu sukses besar. Lain kali Kris akan mengingat ini untuk menggoda Luhan dilain waktu.

"Baiklah, baiklah, mengingat kekasihku yang dingin ini tidak pernah memaksaku sampai seperti ini jadi baiklah, kita ke rumahku, dan mungkin melakukan sesuatu disana." Kris menggigit bibirnya berusaha keras menahan ledakan tawanya sendiri melihat kekesalan dari Luhan.

"Yah! Kapan aku memaksa! Kapan itu?! Aku hanya memikirkannya karena aku penasaran dengan adikmu itu! Dia hanya manis jadi aku berpikir mungkin kita bisa dekat! Tapi jangan coba-coba berpikir kalau aku ingin dekat dengannya karena dirimu, karena kita semua tahu kalau itu semua tidak akan pernah terjadi! Aku hanya ingin dekat dengan semua orang kamu harus tahu fakta itu dan demi Tuhan apa maksudmu dengan melakukan sesuatu itu?!" seru Luhan kesal tidak sadar telah terjebak masuk dalam permainan Kris. Ucapannya sangat menggebu-gebu dalam ukuran menyangkal dan dirinya menyadari hal itu juga. Tidak mau terlarut dalam suasana memalukan yang telah dibuatnya sendiri, sehingga kembali meneriaki Kris adalah hal paling bisa ia lakukan saat ini.

"Jangan tertawa!"

Tapi Kris sepertinya mengabaikan teriakan itu.

"Aku bilang berhenti!"

Kris tidak bisa menahan kegelian yang bersarang dalam dirinya. Jarang-jarang dia menemukan Luhan seperti ini, kapan lagi dia bisa?

"Kris!"

Luhan sangat malu dengan situasinya sekarang. Apalagi melihat Kris yang tidak mau berhenti tertawa membuatnya semakin yakin kalau yang tadi itu pastilah sangat memalukan baginya.

Tidak tahan dalam situasi dimana ia terpojok oleh tawa Kris, Luhan membawa dirinya dengan tanpa memikirkan lebih dulu mendekat dan segera membungkam Kris menggunakan bibirnya. Dan benar saja, tawa Kris segera lenyap, menatap kaget wajah Luhan tepat didepan wajahnya.

Luhan melepaskan bibirnya dan segera mendengus melihat bagaimana ia berhasil membuat Kris berhenti dari tawanya. Luhan menarik diri kembali ke tempatnya semula sebelum menyadari Kris menepikan mobil. Luhan ingin bertanya namun Kris tidak memberinya kesempatan dengan segera melepaskan sabuk pengaman yang ada pada dirinya dan menyerang Luhan secepat kedipan mata. Dalam sekejap tubuh Luhan telah tenggelam dalam kursi tempatnya duduk dengan kepala yang menyandar pada jendela mobil. Kris menahan kedua tangannya sementara ia mencium Luhan dengan dalam.

Baru sekitar lima langkah keluar dari toko Junmyeon, Tao segera dikagetkan dengan seseorang yang melompat ke sisinya dan merangkulnya erat. Orang itu tersenyum lebar seperti sahabat dekat yang baru kembali bertemu dengannya.

"Hai, kamu sangat manis." Orang itu tersenyum lebih lebar lagi, membuat Tao yang berada dalam lingkaran lengan orang itu hanya dapat tertegun.

"K-kamu siapa?"

"Wah... kamu sudah langsung bertanya namaku? Aku bahkan kalah cepat, tapi lupakan, itu berarti kamu juga ingin berteman denganku, kan. Wahhh... aku sangat beruntung!"

Tao bahkan tidak merespon satupun perkataannya tapi orang asing itu terus berbicara dan berbicara dengan menggebu-gebu. Meskipun Tao kebingungan juga merasa tidak mengenal orang ini, dia tetap diam dan memilih untuk mendengarkan.