.

.

.

Halo! Balik lagi ini tentunya dengan ff Hunkai. Ayo tebak ini siapa?/?. Haha abaikan.

Oke langsung aja dibaca. Sudah lama gak nulis kayaknya bakal banyak keganjilan dalam tata bahasanya. Maaf.

Maaf juga kalau sedikit membosankan.

Kritik selalu diterima.

Dan! Seperti yang sudah kalian tahu, ini INCEST, bagi yang gak suka tolong menyingkir(?)

Selamat membaca

.

.

.

"Sehun, mana adikmu?"

Pria berkulit pale dengan muka datarnya mencoba untuk menelan suapan nasi sebelum menjawab mamanya.
"Dia masih di alam mimipinya, Ma."

Sembari menyiapkan kopi untuk sang suami, wanita cantik, yang meskipun sudah berusia 42 tahun, dengan surai coklat bernama Oh Narae itu menggelengkan kepalanya. Sedangkan sang suami yang terkenal sebagai CEO Oh Corporation, Oh Sunjae, hanya tersenyum wajar dengan kebiasaan anak bungsu keluarga Oh.
"Setelah kau selesai sarapan, bangunkanlah dia."

Sehun hanya menggumam bersama dengan suapan terakhir yang masuk ke dalam mulutnya. Dia meneguk segelas air dan bergegas menuju kamar adik pemalasnya.

...

"Oi bocah bangun!"
Itulah yang Sehun katakan begitu masuk ke dalam kamar si bungsu. Ya, memang itu sia-sia mengingat adiknya adalah seorang heavy sleeper.

Sehun menghelah nafas. Dia duduk di tepi kasur dan menepuk pelan pipi orang yang dipanggilnya 'bocah'.
"Hei, Jongin bangun. Mama dan Papa menunggu di ruang makan."

"Unggh..jangan membodohiku hyung."
Jongin menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya. Dia tidak percaya dengan apa yang dikatakan Sehun. Setahunya orang tua mereka akan pulang sekitar 3 hari lagi.

"Tidak ada gunanya aku membodohi orang yang sudah bodoh."

Jongin langsung bangun dari tidurnya dan memukul kakaknya dengan bantal. Sehun hanya tertawa puas dengan reaksi Jongin, ya sedikit mengutuk adiknya karena bantal itu 'menampar' wajah tampannya.
"Hyung! Aku tidak bodoh, asal kau tahu!"

"Ya, ya, terserah kau saja bocah. Tapi aku serius, Mama dan Papa pulang semalam."
Sehun berjalan meninggalkan Jongin yang matanya sudah berbinar. Sehun tidak habis pikir bagaimana seorang Oh Jongin yang terkenal sebagai seorang pembuat onar di sekolah, sebenarnya hanya bocah yang sangat manja.

Setelah berada di luar kamar Jongin, pria pale itu tersenyum mendengar suara dari dalam kamar, pasti adiknya itu terburu-buru hingga menabrak sesuatu di dalam sana. Senyumannya semakin lebar mendengar perkataan atau lebih tepatnya teriakan Jongin.
"...Hei! Aku bukan bocah, kita hanya berjarak setahun!"

...

"Ma...albino ini terus-terusan memanggilku bocah."
Jongin menunjuk kakaknya yang duduk tepat di sebelahnya. Yang ditunjuk hanya memutar bola matanya.

"Berhentilah memanggilnya bocah, Sehun. Dan kau Jongin jangan bicara dengan mulut terisi nasi begitu."

Jongin menundukkan kepalanya malu karena teguran mamanya. Sedangkan, Sehun hanya menyeringai.
"Dia memang bocah Ma...kau tahu sendiri kan sifat dia yang manja."

Sebelum Jongin bisa membalas insult kakaknya, kepala keluarga menginterupsi.
"Jongin, kau habiskanlah dulu sarapanmu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan setelah itu."

Jongin kaget dan sedikit khawatir saat mendengar kata-kata itu diucapkan dengan serius. Dia segera menyelesaikan sarapannya, bagaimanapun dia tetap penasaran.

Sedangkan Sehun dengan tenang mengaduk-aduk cairan berwarna coklat di dalam cangkir yang diletakkan di depannya. Dia tahu orang tua mereka tidak mungkin pulang lebih awal dari yang dijadwalkan tanpa membawa satu atau dua kabar, baik ataupun buruk, mungkin keduanya, siapa yang tahu?

...

"..Jadi kalian akan menetap di Beijing selama 2 tahun?"
Sehun lah yang pertama memecahkan keheningan yang sempat terbentuk di ruang keluarga mereka.

Narae mengangguk, sebelum pria berumur 47 tahun, Sunjae, memastikan keputusannya bisa diterima.
"Ya, tidak apa-apa kan?"

Sepasang suami istri itu tahu benar dengan kebutuhan psikologi kedua putranya, kasih sayang dan perhatian orang tua, tapi mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa ketika kerjaan menuntut.

Sedari kecil Oh bersaudara sudah jarang bertemu dengan orang tua mereka. Ya, dengan Papa yang seorang CEO dan Mama menjabat sebagai COO, Sehun dan Jongin sudah terbiasa dengan tidak adanya sosok orang tua bersama mereka. Tapi, sesibuk apapun Narae dan Sunjae setidaknya akan berkunjung sekali atau dua kali dalam setahun meskipun hanya untuk sehari.

"Apa...ada kemungkinan kalian berkunjung dalam 2 tahun itu?"
Semua pandangan tertuju pada anggota termuda. Jongin menatap penuh harap ke arah orang tuanya terutama Narae.

"Maaf, sayang. Sepertinya pekerjaan kali ini akan menyita waktu berkunjung kami. Cabang di Beijing mengalami beberapa masalah yang serius, tidak etis jika tidak mengurusnya langsung."

Sehun melirik adiknya, menunggu respon apa yang akan ditunjukkan olehnya.

"Ya, kalau memang itu sangat penting, aku tidak bisa menghentikan kalian, bukan?"
Jongin memaksa untuk tersenyum. Demi Tuhan, dia sudah berusia 17 tahun, sangat memalukan jika dia menangis di depan orang tua dan kakaknya.

Sedangkan Narae dan Sunjae hanya bisa tersenyum kecil, merasa berat untuk melihat anak bungsu mereka. Narae menjulurkan tangannya untuk mengusap pipi Jongin.
"Maaf, Jongin."

"Kapan kalian akan berangkat?"

"Malam ini."

...

"Jongin? Kau tidak apa-apa?"

Sehun bisa menebak jawaban yang benar atas pertanyaannya, dia hanya ingin memecahkan keheningan yang sangat canggung ini. Sejak kepergian orang tua mereka 2 jam yang lalu, Jongin belum beranjak dari atas sofa di ruang keluarga, duduk dengan kedua kaki dilipat di depan dadanya.

"Ya..."
Jawab Jongin merasakan kehadiran kakaknya yang sekarang duduk di sebelahnya.

"Kau..tidurlah ini sudah larut, bocah sepertimu seharusnya sudah tidur jam segini."

Anak tertua keluarga Oh itu dalam hati mengumpat karena yang benar saja ini bukan saat yang tepat untuk 'menggoda' Jongin. Dia terkejut ketika mendengar pria berkulit tan itu tertawa pelan. Wajah Sehun yang semula menghadap ke arah TV sekarang berbalik melihat Jongin.
"Kau benar hyung. Aku hanyalah bocah,"

Air mata Jongin mulai membasahi pipi ketika dia melanjutkan perkataannya.
"Bagaimana mungkin orang yang sudah berusia 17 tahun sepertiku, menangis karena hal sepele ini. Aku harusnya sudah terbiasa dengan keadaan ini, tapi...aku..."

Mengetahui adiknya tidak akan berkata apapun lagi, Sehun mengalungkan kedua lengannya di sekitar tubuh Jongin yang mulai bergetar. Dia mengangkat tangannya hingga berada di kepala Jongin lalu perlahan mengusap kepala pria yang lebih kecil darinya itu.
"Menurutku wajar saja kalau kau menangis, beberapa orang memang membutuhkan sosok orang tua bersama mereka, begitu juga denganmu. Tenanglah, kau bisa menangis sepuasmu."

Dengan begitu tangis Jongin semakin menjadi. Dia tidak tahu berapa lama mereka dalam posisi tersebut tetapi, satu hal yang pasti kehangatan pria yang dipanggilnya hyung itu membuatnya merasa aman. Jongin menghelah nafas pelan ketika pelukan Sehun semakin erat.
"Aku di sini Jongin, kau akan baik-baik saja."

Entah sejak kapan mereka sudah berbaring di atas sofa, dengan tubuh menghadap ke TV. Tangan Sehun melingkar pada pinggang Jongin yang berbaring di depannya. Air mata Jongin sudah mengering. Mereka terdiam menonton program yang sedang disiarkan di TV, tidak satupun dari mereka yang benar-benar menyaksikan acara itu. Mereka lebih memilih untuk menikmati keberadaan satu sama lain. Sesekali tangan jahil Sehun akan menggelitiik pinggang Jongin yang membuatnya tertawa lemah karena kantuk sudah mulai menyerangnya. Sehun menenggelamkan wajahnya pada rambut halus adiknya, mencoba untuk menghirup aroma Jongin yang menurutnya sangat menarik.
"Tidurlah."

"Uhm..."

Pria pale itu tersenyum mendengar suara nafas Jongin yang stabil menandakan dia telah berada di alam bawah sadarnya. Sehun merindukan momen seperti ini, dimana dia dan Jongin tertidur dalam satu tempat, berbagi kehangatan. Momen yang sering terjadi saat mereka masih anak-anak, saat Jongin takut akan suara gemuruh petir, saat Jongin kecil merindukan orang tua mereka.

Mungkin Sehun merindukan hubungannya dengan Jongin yang terkesan sangat akrab itu.

Mungkin Sehun merindukan Jongin kecil yang sangat manja dan imut.

Mungkin Sehun hanya sebatas merindukannya.

Namun, dia cukup sadar untuk merasakan perasaan lain yang tumbuh, dan perasaan itu jelas bukanlah rasa rindu.

.

.

.

To Be Continued

.

.

Sekali lagi kritik selalu diterima. Maaf terlalu pendek.

Maaf ya kalau karakter Jongin anak-anak banget di sini.