writing test only


The Helpers

1.

Tugas yang pertama kali diberikan oleh Yang Maha Kuasa kepadanya pada detik pertama ia membuka matanya kembali adalah 'tolong bantu anak ini untuk kembali ke jalan yang benar', begitu katanya. Sesungguhnya ia masih tidak mengerti dengan seluruh hal yang berkaitan dengan kehidupan setelah mati ini.

Jadi setelah mati pun, ia masih memiliki hal-hal untuk dilakukan? Sungguh menyebalkan. Padahal ia pikir setelah ia akhirnya dapat pergi dari dunia yang dibencinya ini, dan sudah sampai di situ, tidak ada lagi yang harus dijalaninya.

Nyatanya tidak begitu.

Sang Penguasa memerintahkannya untuk kembali ke bumi, dengan raga yang baru yang tidak dikenalinya sama sekali. Ia diperintahkan untuk membantu seorang anak lelaki yang katanya memiliki hati amat bersih namun kini ternodai oleh godaan Para Iblis.

Dan omong-omong soal Iblis, mereka adalah jiwa-jiwa penuh dosa yang terlahir kembali di dunia dengan raga baru setelah melewati kematian. Mereka diperintahkan oleh ketua dari kelompok Para Iblis untuk melaksanakan tugas yang hampir serupa, yakni 'membantu orang-orang yang baik untuk kembali ke jalan yang salah'.

Ia ingat bahwa ia pernah menemui sang ketua kelompok Para Iblis ini pada hari perhitungan di dunia setelah kematian. Ketua itu mengenalkan dirinya sebagai 'Junmyeon', berwujud seperti manusia biasa—seorang pria. Namun untuk seorang ketua kelompok Para Iblis yang dikenal keji, Junmyeon ini memiliki rupa wajah yang terlalu angelic. Meski memang harus diakui bahwa tiap kali Junmyeon tersenyum, raut wajahnya amat menyeramkan.

"Ingat, namanya Kim Jongin, tipikal remaja yang senang memberontak. Kau akan mengetahui rincinya setelah mengenalnya."

"Wait," tubuhnya didorong paksa oleh seorang pria bertubuh besar mengenakan hanya sehelai kain yang meliliti tubuhnya. Sebuah gerbang besar terbuka lebar, memancarkan sinar yang amat menyilaukan hingga menyakiti pengelihatannya. Dari gerbang itu, samar-samar ia dapat melihat sebuah tempat di bumi. "Aku tidak tahu hal yang harus kulakukan secara rinci!"

"Oh, kau nanti juga bisa beradaptasi." Kata Si Penjaga masih mendorong.

"Tapi kalian tidak memberikanku bekal apa pun—"

"Selamat mengerjakan tugasmu, jangan berbuat hal yang aneh-aneh, identitas aslimu adalah rahasia."

"Tidak! Tunggu dulu—" ia berusaha untuk mencengkram kain pakaian Si Penjaga erat-erat, namun tenaganya kurang besar, dan ia dapat merasakan dirinya sendiri didorong kuat sehingga ia terjatuh ke sesuatu tak berdasar seperti jurang. Ia dapat merasakan dirinya sendiri jatuh amat cepat hingga jantungnya berdegup kencang—holy shit, jantungnya berdegup lagi. Ia benar-benar kembali hidup.

Jadi ia pun berteriak kencang, amat kencang hingga ia dapat mendengar teriakannya sendiri menggema kembali ke pendengarannya. Ia pun tersadar ada yang berbeda dari semua ini.

"Oh My God, k-kau sadar kembali!" seseorang memekik, ia terdengar panik. "Mom! Dokter! Siapa pun!" kemudian entah apa lagi yang terjadi, semuanya tak dapat diingat. Pengelihatan kembali menghitam.

Lalu ia dapat merasakan dirinya sendiri, tubuhnya dapat digerakkan. Sehingga ia pun perlahan membuka mata, pandangannya mengabur, ada sumber cahaya hangat dari sudut ruangan yang menerangi.

Keningnya mengernyit, tiba-tiba saja kepalanya terasa berat. Secara refleks ia memijati pelipisnya, masih dengan kening yang mengernyit, ia pun bangkit untuk duduk. Whoa, ia benar-benar merasa pusing. Apa yang terjadi padanya setelah ia didorong keluar dari dunia kematiannya?

Ia mendengar seseorang membuka pintu, wajahnya dihadapkan ke sumber suara, dan seorang perempuan mengenakan pakaian santai hadir di dalam ruangan itu.

"Oh," perempuan tersebut terlihat amat terkejut, suaranya dikenali sebagai pemilik suara yang sama yang tadi memekik histeris. Namun kali ini sikapnya lebih tenang dari sebelumnya meski ia tetap terlihat panik. Perempuan itu berdiri di tempat untuk beberapa saat hingga akhirnya ia segera mendekati satu-satunya ranjang di sana. "Sehun, holy shit, you're back."

Sehun?

"I fucking knew it, kau tidak akan mati!" Perempuan yang sama masih berbicara padanya. Sungguh mengejutkan melihat bagaimana perempuan ini secara visual menggambarkan keanggunan namun ternyata ketika berbicara, kosa kata yang digunakannya berkebalikan. "Tadinya Mom pikir kau akan mati," ia bertutur santai, "tapi lihat sekarang," kemudian tersenyum senang, "kau kembali sadar, kau hidup."

"Uh," ia memandang ke sekelilingnya kebingungan, tidak tahu harus melakukan apa.

"Hey ...," sekarang anak perempuan ini terlihat cemas karena teman bicaranya tidak merespon seperti ekspektasinya, "are you okay? Kalau ada yang salah, katakan saja."

Ada tiga detik jeda. Mereka hanya membisu dan saling berpandangan. Separuh cahaya lampu hangat dari sudut ruangan jatuh ke wajah mereka. Atmosfernya tiba-tiba saja jadi serba canggung.

Ia berdehem dahulu, kemudian melirik sebuah gelas yang separuh diisi oleh air mineral. Bukannya mengambil gelas tersebut dan meneguk isinya karena ia merasa amat haus sekarang, ia malah menelan ludahnya.

Suaranya terdengar sungguh parau ketika mengucapkan sebuah kalimat untuk pertama kalinya lagi di bumi ini, "Apa ... ini?"

"Huh? Sehun ...?" perempuan itu mulai terlihat akan panik kembali, tubuhnya menegang.

"Sehun?" ia bertanya balik. "Siapa Sehun?"

"What the fuck, Sehun?!" kemudian perempuan tersebut melangkah mundur menjauh, terdengar running shoes-nya membuat decitan dengan lantai. "Ini tidak lucu."

Ia membuat raut wajah kebingungan, tidak mengerti bagian mananya yang membuat ia terdengar sedang bercanda. Satu-satunya hal yang diingatnya dari Yang Maha Kuasa adalah ia harus beradaptasi dan menjalankan tugasnya. Tapi bagaimana mau beradaptasi bila ia sendiri tidak tahu apa-apa?

"Maaf, tapi," ia terbatuk kecil saat berusaha berbicara lebih kencang, "siapa kau?"

"Kau tidak tahu aku siapa?" nada pertanyaan perempuan itu memberitahu bahwa ia berusaha untuk bersikap tenang. Mungkin karena sekarang sudah malam, dan lingkungan sekitar mereka begitu sunyi.

Sebagai jawaban dari pertanyaan tersebut, ia pun menggelengkan kepalanya. "Apa aku harus tahu?"

"Apa kau tahu siapa dirimu?"

"Umm," ia mencoba mengingat-ingat secuil informasi mengenai dirinya dari kehidupannya sebelum kematian, setidaknya namanya, atau bahkan bagaimana rupa wajahnya. Tapi yang diingatnya hanyalah memori mengenai dirinya pada hari penentuan di mana ia akan ditempatkan (kelompok Para Iblis atau Para Malaikat, secara mengejutkan ia termasuk ke kelompok Para Malaikat).

Was I a good person?

Wait.

What?! Kenapa ia tidak dapat mengingat-ingat siapa dirinya? Ia bahkan tidak ingat siapa dirinya di kehidupan sebelumnya.

Si anak perempuan memperhatikan raut wajah lelaki di hadapannya, kemudian melenguh terkejut. Ia tersenyum lebar dan memberikan tatapan kagum, "Fuck!" desisnya masih dengan senyum yang sama. Ia kemudian merogoh kantung jaket yang dikenakannya, mengeluarkan sebuah ponsel dan mengarahkan kameranya pada anak lelaki yang baru saja dipanggil olehnya dengan sebutan 'Sehun' tersebut, kemudian berseru riang, "Yo! My brother has amnesia!"

.

.

.

Jadi Yang Maha Kuasa memberikan kehidupan 'Sehun' padanya. Okay, yang dipelajarinya hari ini adalah ia bernama 'Oh Sehun', seorang remaja pastinya bila dilihat dari seragam sekolah yang menggantung di balik pintu kamarnya dan beberapa medali kejuaraan bela diri yang entah-apa-itu. Sehun ini rupanya memiliki kakak perempuan yang memang agak berbeda dalam berbicara dan bersikap, namanya 'Soojung'. Soojung ini sebenarnya terlahir lebih dahulu satu tahun dari Sehun, namun mereka berada di tingkat sekolah yang sama karena Soojung tidak ingin memiliki beban seorang kakak. Karena katanya, "Aku pasti gagal sebagai seorang kakak, apa kalian ingin Sehun juga gagal seperti kakaknya?" ketika ditanyai oleh kedua orang tuanya mengenai Soojung yang memutuskan untuk menunggu Sehun lulus sekolah menengah pertamanya agar mereka masuk sekolah menengah atas bersama.

Soojung itu orang yang amat cerewet, sebenarnya kedua orang tuanya juga. Maka dari itu, dirinya yang ada di tubuh Sehun ini bertanya-tanya apakah ia juga merupakan orang yang cerewet?

Selama dua hari penuh kemarin di ruangan yang diasumsikannya sebagai kamar di sebuah rumah sakit, Sehun (baiklah, ia harus mulai memanggil dirinya dengan nama ini) pikir sepertinya ia memang gagal beradaptasi. Kedua orang tuanya dan kakaknya selalu memandangnya dengan tatapan cemas. Seolah Sehun tidak menjadi dirinya sendiri sehingga ia selalu ditanyai, "Kau tidak apa-apa, 'kan?"

Hah. Apanya yang tidak apa-apa? Ia sendiri bahkan tidak tahu kalau ia baik-baik saja atau tidak.

Sehun mendesah berat. Hari-hari pertamanya di bumi saja sudah membuatnya amat kelelahan, ingatan mengenai tugasnya dari Yang Maha Kuasa saja sempat dilupakannya. Ia hanya harus mengembalikan seorang anak manusia ke jalan yang benar, hm, kedengarannya ... sulit.

Wait, who is it again?

God damn it, aku bahkan lupa namanya—"Ow!"

"Sehun?" seorang wanita kini berdiri di ambang pintu kamarnya, ia membawa sebuah piring dengan buah-buahan sebagai sajiannya. Oh, ibunya. "You okay?"

Sehun hanya menganggukkan kepalanya yang tadi tiba-tiba saja sakit, tapi kini sakitnya sudah hilang. Ia kemudian duduk tegap di atas ranjangnya ketika sang ibu mendekati dan duduk di sampingnya.

"Well, kata mereka suatu hal terjadi di otakmu itu. Kau jadi tidak mengingat apa pun—entahlah, ayahmu yang lebih mengerti soal ini." Tuturnya dengan nada pelan, ia terdengar muram. Sehun jadi ikut merasa bersalah, karena ia mengerti kalau ibunya pasti merasa sedih dengan putranya sendiri yang tidak mengingat keluarganya sama sekali. "Apa kepalamu masih sakit?"

"Tidak apa-apa, it was nothing."

Ibunya menghela napas berat, masih memandangi Sehun dengan tatapan yang sama. Kecemasan selalu terpancar di sana. Ibunya kemudian menyisir rapi helaian rambut Sehun yang sedikit berantakan. "Jangan memaksakan dirimu," ia tersenyum sambil mengupas buah jeruk yang dibawanya. "Pelan-pelan, mungkin kau akan mengingatnya."

Ia menyuapkan sepotong buah jeruk pada Sehun sambil masih bercerita dan begitu seterusnya hingga dua buah jeruk habis oleh mereka berdua. Percakapan itu ditutup oleh sang ibu yang berkata, "Oh, ya, hari ini kita akan kedatangan tamu." Sehun hanya masih memandanginya, sehingga ia melanjutkan, "Sebenarnya dia seseorang dari sekolahmu. Tapi mungkin kau tidak akan mengingatnya."

"Oh, okay." Sehun tidak berkata apa-apa lagi, dan respon tenang seperti ini selalu membuat keluarga Sehun khawatir.

"Beberapa hari yang lalu kau itu anak yang cerewet, bahkan hampir menyaingi kakakmu." Katanya kemudian tersenyum miris. Ia pun beranjak dari ranjang dan meninggalkan Sehun, namun berhenti sesaat sebelum pintu hampir tertutup. Wanita itu kembali menghadapi Sehun, "Kalau kau mulai mengingat sesuatu tentang apa pun, katakan saja, hm?" katanya. "Soojung bilang anak yang akan datang ke rumah kita ini yang menyebabkan kau begini, jadi ... ya, kalau kau mengingat apa pun mengenai insiden itu, katakan saja. Kau juga bisa bilang pada kakakmu."

Pintu itu hampir tertutup kembali sebelum kemudian Sehun menghentikannya dengan berkata, "Mom," agak aneh untuk memanggil seorang wanita yang tidak kaukenal dengan sebutan untuk Ibu. Namun Sehun ingat bahwa ia harus beradaptasi. "I'm sorry for ... forgetting everything."

.

.

.

Sehun dikejutkan oleh suara pintu kamarnya yang terbuka, kali ini kakaknya yang memunculkan diri. Ia mengenakan gaun tipis santai dipadukan dengan jaket hitam yang kebesaran untuknya.

"Sehun?! What. The. Fuck." Soojung menatapnya tidak percaya, ia segera menarik Sehun yang sebelumnya sedang berbaring di atas ranjang begitu nyaman. Terlihat dari rupa wajah Sehun bahwa ia baru saja tertidur. "Cepat bersihkan wajahmu itu lalu pilih pakaianmu yang paling rapi—oh tunggu! Actually, jangan bersihkan wajahmu, dan," Soojung menyeringai lebar, raut wajah seperti ini selalu membuat Sehun merasa ketakutan karena Soojung selalu penuh kejutan, "kenakan piyamamu" ia memeriksa tampilan Sehun, mengacak rambutnya sedikit, "okay, perfect!"

"Uh ..." Sehun terlihat kebingungan, "memangnya ada apa, ya?" tanyanya akhirnya, ia dapat mendengar orang-orang berbincang dari dasar rumahnya.

Soojung menaikkan satu sudut bibirnya, tersenyum arogan, "Kita kedatangan tamu." Sambil masih memeriksa penampilan Sehun, ia melanjutkan, "Dan, harus kauingat bahwa tamu kita ini, tepatnya anak lelaki yang akan muncul di hadapan kita ini yang membawa petaka padamu."

Kening Sehun mengernyit. "Petaka?"

"Oh My God, aku lupa kau lupa." Soojung berdecak kesal. "Pokoknya, dia yang menyebabkan kau begini. Aku tidak tahu detail ceritanya, dan hanya kau yang tahu, tapi kau 'kan sedang lupa, dan yang kutahu hanya kau terluka begini pasti karena anak itu!"

Jadi ... aku ini sebelumnya dicelakai? Oleh seseorang dari sekolahku?

"Pokoknya coba untuk terlihat menyedihkan, you know, lebih-lebihkan rasa sakitmu." Sebelum Sehun dapat merespon, Soojung memotong kesempatan itu. "I mean, kau tidak sadar selama seharian penuh, itu cukup parah. Dan ..., kau amnesia."

"Sorry,"

"Jangan meminta maaf, bukan salahmu. Salah si anak liar itu!"

"Anak liar? Maksudnya teman dari sekolah—"

"Pssttt! Jaga bicaramu! Dia bukan temanmu, dia musuh terbesarmu. Dia yang mencelakaimu, okay?"

Sehun hanya menganggukkan kepalanya lagi, tidak tahu bagaimana ia sebenarnya harus bereaksi. Semua informasi yang masuk ke dalam otaknya sulit untuk dicerna sekarang.

"Bro, I missed you so much." Kata Soojung tiba-tiba, ia kemudian memukulkan kepalan tangannya pada dada Sehun pelan dengan sebuah senyum.

.

.

.

Selama makan malam berlangsung, Sehun tidak dapat mengarahkan pandangannya kepada selain hidangan yang ada di hadapannya serta jari tangannya. Sehun menolak untuk menghadap pada tamu mereka malam ini; hanya sepasang orang tua.

Dari topik pembicaraan yang ditangkapnya, Sehun mengasumsikan bahwa sepertinya putra dari keluarga yang menjadi tamu malam ini memang berada di posisi yang bersalah. Kedua orang tua putra itu berulang kali mencoba untuk meminta maaf atas apa yang terjadi pada Sehun di tiap kesempatan. Apalagi setelah mereka mengetahui bahwa Sehun kehilangan ingatan mengenai seluruh memorinya, mereka terdengar amat menyesal, dan Sehun hampir merasa ikut bersalah karena ia sendiri tidak tahu apa yang membuat mereka begitu merasa menyesal atas perbuatan putra mereka.

"Yang penting, Sehun sudah membaik sekarang." Ibu Sehun mencoba mencairkan suasana. "Benar kan, Sehun?"

Sehun menoleh pada sang ibu, dan tersenyum sekilas, "Ya, aku baik-baik saja."

"Pasti menyenangkan memiliki anak sebaik Sehun." Kata seorang pria, tamu mereka. Sehun menoleh juga pada pria itu dan tersenyum. Pria itu terlihat baik, seperti bukan seorang ayah dari seorang putra yang sering berbuat onar. "Oh, ya." Ia berucap sambil memegangi ponselnya. "Aku harus menjemput putraku, katanya ia sudah dekat tapi tidak dapat menemukan alamatnya." Kemudian mempersilakan diri untuk pergi keluar.

Karena pembicaraan yang tiba-tiba jadi terhentikan, suasana pun canggung. Ayah Sehun mencoba untuk menghidupkan kembali suasana dengan meminta Sehun membawakan buah-buahan di dapur.

Satu informasi lainnya mengenai keluarga ini yaitu mereka amat menyukai buah-buahan. Tidak aneh memang bila dilihat dari bagaimana tampilan keluarga ini, mereka nampak sehat.

Sehun mengambil beberapa jeruk yang sempat disuapi untuknya tadi siang, jeruk-jeruk ini amatlah lezat. Bila dilihat dari kondisi rumah dan segala keadaan keluarganya, sepertinya mereka orang yang, ya, biasa saja. Tidak serba berkecukupan, tapi tidak kekurangan juga.

Untuk yang kesekian kalinya, Sehun menghembuskan napasnya panjang. Ia tidak perlu memikirkan hal-hal seperti ini, ia hanya harus menyelesaikan tugasnya dengan cepat agar dapat sampai ke surga pun lebih cepat; itu yang dijanjikan Yang Maha Kuasa. Hal yang harus Sehun cari saat ini adalah anak itu, dan Sehun lupa siapa namanya. Ugh. Dari semua informasi yang diingatnya, yang paling penting ia lupakan. Sehun merutuki dirinya sendiri.

Who is it again?

Is it ... Jang ... Jong ...?

Duh, siapa namanya?

Jong ... Jonghwa ... Jongjin ... Jongin ...?

Oh.

Oh, benar! Jongin!

Beberapa saat berlalu dari Sehun yang sibuk dengan angannya, ia mendengar gaduh kembali dari ruang makan, sepertinya ada yang kembali. Maka dari itu Sehun pun cepat-cepat menata buah-buahan di sebuah piring yang diambilnya, lalu kembali ke ruang makan dan mendapati seorang tamu baru yang duduk tepat di seberang bangku di mana Sehun seharusnya duduk.

"Oh, hey, Sehun." Ibu Sehun membuat bahasa tubuh untuk meletakkan buah-buahan yang dibawanya ke atas meja. "Lihat siapa yang datang."

Sehun memalingkan wajahnya pada orang yang dimaksud ibunya. Seorang anak lelaki sebayanya yang terlihat seperti ia tidak ingin berada di sini sekarang juga telah hadir. Wajahnya amat muram. Anak lelaki itu balik menatapi Sehun sekilas, tatapannya penuh kebencian, sebelum kemudian memalingkan wajahnya kembali dari Sehun.

What ...? Belum apa-apa sudah kasar begitu. Memangnya ada sesuatu yang salah padaku?

Sehun melihat bagaimana pria yang diasumsikan Sehun sebagai ayah dari anak lelaki tersebut menyikut lengan putranya, meminta putranya untuk bersikap sopan.

"Uhm, hai, Sehun." Ia memaksakan diri untuk menyapa Sehun dengan sebuah senyum yang terlalu memaksa juga.

What was that? Suaranya seperti robot. Raut wajah muramnya membuat ia terlihat semakin seperti robot.

Oh. Inikah anak lelaki yang sebelumnya dibicarakan oleh Soojung?

"Hai." Balas Sehun, ia membungkuk hormat sedikit karena baru dipertemukan dengan orang asing lainnya. Sapaannya begitu canggung dan terlalu formal.

Terdengar ayah Sehun memaksakan sebuah tawa kecil, ia kemudian menjelaskan, "Karena peristiwa kemarin, Sehun ini masih belum pulih sepenuhnya. Dia agak ... kebingungan."

Membawa topik tersebut, lagi-lagi kedua orang tua itu meminta maaf, yang hanya dibalas oleh Sehun dengan senyuman simpul. Ia kemudian duduk ketika suasana mulai kembali seperti semula.

"Sehun ini sedikit lupa pada semuanya, jadi ya, begitu." Ayah Sehun menambahkan, dapat dilihat dari sudut pandangan Sehun bahwa Jongin menaikkan satu sudut bibirnya, menyeringai.

"Oh, ya, Sehun. Kau mungkin tidak mengingat temanmu ini." Kata ibu Sehun, teman yang dimaksud adalah anak lelaki yang baru saja datang. Sehun dapat melihat bagaimana Soojung mendelikkan matanya mendengar kata 'teman'. "Dia juga dari sekolahmu."

"Kalian juga berada di satu kelas." Sang ibu dari anak lelaki asing itu menambahkan, menatap putranya dan Sehun bergantian. "Benar, Jongin?"

Jongin.

Jongin?

What.

What ...?

This is Jongin?!

Maksudnya ..., anak yang harus Sehun kembalikan ke jalan yang benar?! Anak yang harus Sehun bimbing?

Sehun seketika menghentikan kegiatannya dan menghadapkan wajahnya pada anak lelaki yang dipanggil 'Jongin' tersebut. "Jongin?" Sehun tiba-tiba bertanya, wajahnya terlihat begitu serius sehingga membuat orang-orang di sekitarnya juga terbawa suasana. Hanya Jongin yang menatap Sehun dengan tatapan seolah Sehun adalah orang yang aneh, namun Jongin tidak menjawab pertanyaan Sehun.

"Sehun ..., ada apa?" ibunya terdengar sedikit ketakutan.

Sehun hanya tersenyum kecil, ia menggelengkan kepalanya, dan kembali melanjutkan makan malamnya setelah menjawab, "Tidak apa-apa, aku sepertinya mengingat sedikit tentang Jongin."

"Eh?!" Soojung terlihat terkejut, ia kemudian bertanya, "Apa lagi yang kauingat? Apa kau mengingat kita semua?"

Sehun menggigit bibirnya karena merasa gugup harus berbohong seperti ini. Semua orang seperti mengharapkan sesuatu darinya sekarang. "Uhm ..., tidak. Maaf."

"Tidak apa-apa, nanti lama-kelamaan juga kau akan ingat." Ibu Sehun meyakinkan, mereka semua kemudian lanjut menyantap makan malam mereka.

"Aku tidak akan ingat apa-apa karena aku bukan Sehun." Inginnya ia menjawab. Sehun kemudian kembali menatap Jongin, yang ditatapi tidak menghiraukan Sehun dan berusaha fokus pada makanan di hadapannya. Namun fokusnya terusik oleh Sehun yang berbisik padanya, "Hey."

Yang diajak bicara tidak menjawabnya, malah terus menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.

"Kau ... Kim Jongin, benar?" Sehun mencobanya lagi, kali ini lebih hati-hati meski pada akhirnya dijawab oleh Jongin dengan jawaban yang amat ketus.

"Bukannya kau ini sedang 'kebingungan'. Kenapa kauingat namaku?"

"Uh ..., iya, memang, sebenarnya—"

"Oh. Atau kau mungkin hanya berpura-pura, agar orang tuaku lebih merasa malu dan bersalah, benar?"

"What?"

"Nice acting." Nada bicaranya benar-benar ketus. Wah, sepertinya Jongin ini benar-benar tidak menyukai Sehun. Hah, ini akan menjadi tugas yang sulit.

Sehun tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya, sebelum Sehun terbangun di rumah sakit. Sesungguhnya ia tidak begitu ingin tahu, tapi ia harus tahu demi dapat mengenal anak lelaki bernama 'Jongin' ini.

Sehun tidak ingin hubungan mereka buruk begini, karena hubungan buruk ini hanya akan mempersulit tugas Sehun di bumi.

"Hey, Jongin, apa pun yang terjadi sebelumnya," Sehun masih terus berusaha berbicara pada Jongin meski kini Jongin benar-benar mengabaikannya, "maafkan aku. Aku pasti tidak bermaksud begitu, atau mungkin aku memang bersalah, dan aku meminta maaf."

Dengan begitu Sehun mengakhiri percakapan mereka karena Jongin tidak kunjung ingin berbicara lagi dengan Sehun. Sehingga Sehun tidak sempat menangkap Jongin yang mencuri pandang pada Sehun, memperhatikan raut wajah naif Sehun begitu intens.

.

.

.