Terima kasih sudahmembaca dan me-reviewKNG 9 chapter 11: Sc08Rs, La-31, Chalttermore3-23, celestial bronze, mrsbubugig, Yuliita, misshyo, ejacatKyu, Mrs. X, YMFS, Fitri Felton, Anonim, nmfath28, himawarii nara, emerald weasley, Taylor Hill, pandora, Uvii Radclieffe, yanchan, intanmalusen, bilapotter, secrettraveler, Guest, Ha Ni, Ranes, LaviniaCho21, MsG1MM, Pandora, HarpherGresshxx. Selamat membaca KNG 10 chapter 1!
Disclaimer: J. K. Rowling
Prequel: KNG 1,2,3,4,5,6,7,8,9 dan sequel-sequelnya.
KNG ini kupersembahkan untuk Putri (celestial bronze). Terima kasih sudah mereview tulisanku sejak Rose Weasley dan Iris Zabini. I know you like Al. Thanks…
KISAH NEXT GENERATION 10: MASALAH KETUA MURID
Chapter 1
PERHATIAN!
Catatan harian ini adalah milik:
Nama: Albus Severus Potter
Tempat Tanggal Lahir: London, 16Agustus 2006
Jenis Kelamin: Laki-laki
Status Darah: Darah-Campuran
Warna rambut: Hitam
Warna mata: Hijau cerah
Warna kulit: Terang
Tinggi: 180 cm
Berat: 68 kg
Alamat: Godric's Hollow 145, West Country
Tongkat sihir: Kayu Walnut, 28 setengah centi, ekor phoenix.
Anggota Keluarga: Harry dan Ginny (Orangtua), James (kakak) dan Lily (adik)
Catatan: Punya banyak paman, bibi dan sepupu
Tanggal: Rabu, 10 Juli 2023
Waktu: 01. 07 am
Lokasi: Godric's Hollow 145, West Country
Sudah dua malam ini aku tak bisa tidur nyenyak. Kukira hal yang sama terjadi pada hampir semua orang dalam keluargaku. Karena itulah malam ini aku akan mulai menulis catatan harian.
Aku tidak akan memperkenalkan diri secara khusus karena informasi tentangku sudah ada di awal catatan harian ini. Satu hal yang harus kau ketahui, aku sangat mencintai keluargaku.
Alasan aku tak bisa tidur nyenyak adalah karena Rose, sepupu dan sahabat terbaikku, membuat masalah. Berbicara tentang masalah, sudah bukan merupakan hal baru dalam keluarga. Setiap tahun selalu saja ada orang dalam keluargaku yang membuat masalah. Tahun lalu misalnya, Dom dan Lucy tertangkap polisi karena terlibat perkelahian di sebuah bar Muggle di London. Tak terduga, bukan? Kupikir setelah meninggalkan Hogwarts, memiliki pacar-pacar yang sempurna dan menjadi orang dewasa keduanya akan lebih bertanggungjawab, ternyata dugaanku salah. Malam itu mereka mabuk berat, memulai perkelahian dan digiring ke pos polisi bersama beberapa Muggle. Penyihir-penyihir dari Markas Besar Kelupaan terpaksa dikirim dari Kementrian Sihir untuk melakukan Obliviate secara besar-besaran. Dan mereka harus membayar denda masing-masing 300 Galleon. Sayangnya, bukan mereka sendiri yang membayar denda, tapi Uncle Bill dan Uncle Percy. Mungkin simpanan mereka tak sampai 300 Galleon. Itu membuatku bertanya-tanya, berapa sih gaji Dom di Scamander Research Laboratory dan berapa gaji Lucy di kantor Penegakan Hukum Sihir.
Oke, lupakan Dom dan Lucy, kita kembali pada masalah yang dibuat oleh orang dalam keluargaku. Dua tahun lalu, Victoire yang sudah dijadwalkan akan menikah dengan Teddy menghilang di hari pernikahannya. Peristiwa itu menjadi berita utama Witch Weekly dan menjadi topik perbincangan masyarakat sihir selama berbulan-bulan dengan banyak sekali surat pembaca bernada simpati yang dikirimkan untuk Teddy, dan dengan banyak sekali Howler yang dikirim untuk Victoire. Anehnya, Teddy dan Victoire tidak menyesalkan kejadian itu.
"Aku tak menyesal melakukannya," kata Victoire waktu itu. "Mom memaksaku. Dia ingin aku menikah muda seperti dirinya, tapi aku belum siap menikah. Teddy dan aku belum merencanakan masa depan."
Sementara itu, Teddy, yang ditinggalkan sendiri di altar, tampak baik-baik saja. "Aku juga belum siap menikah," katanya pada kami. "Masih banyak yang harus kami pikirkan dan rencanakan."
Menurutku, rencana masa depan bisa dibuat sambil jalan. Maksudku, menikah saja dulu, rencana masa depan akan langsung terpikirkan setelah itu. Kurasa mereka hanya tak ingin segera terikat dalam pernikahan. Mereka hanya masih ingin bersenang-senang.
Lalu tahun ini Rose membuat masalah. Masalahnya bukan sekedar mabuk-mabukan atau kabur dari rumah, tapi masalah antara hidup dan mati. Rose mencoba bunuh diri, dua kali malah. Pertama, meng-Avada-Kedavra dirinya sendiri di kamarnya. Kedua, melompat dari tebing di Teluk Pixy. Masyarakat sihir mengira dia terpeleset dan jatuh ke jurang, seperti yang tertulis di Daily Prophet, tapi kakek-nenekku, para orangtua, dan aku tahu bahwa dia sengaja melompat dari tebing. Aku tak mengerti mengapa dia melakukannya. Selama ini Rose baik-baik saja dan bahagia. Dia tak tampak sedang depresi atau stress karena sesuatu. Ya, dugaanku sementara ini adalah karena Scorpius Malfoy. Lily bilang, Malfoy telah menolak pernyataan cinta Rose di pesta Valentine. Tapi apakah dia harus jadi sedepresi itu karena cintanya ditolak?
Sebenarnya, aku sudah tahu dari dulu kalau dia menyukai Malfoy. Entah apa yang disukainya dari Malfoy yang pucat, sombong, memuja diri sendiri dan berkelakukan buruk. Kurasa seperti yang dikatakan James, Rose hanya ingin memberontak. Sesuatu yang terlarang kadang lebih menarik daripada yang biasa-biasa saja, bukan? Malfoy adalah larangan pertama Uncle Ron saat Rose akan berangkat ke Hogwarts, karena itulah dia merasa tertarik pada Malfoy. Dan aku tak menduga dia akhirnya jadi benar-benar menyukai Malfoy. Tapi kita tidak bisa memilih dengan siapa kita jatuh cinta, benar kan?
Namun, mencoba bunuh diri karena cinta ditolak sudah benar-benar keterlaluan! Aku tak menduga Rose benar-benar melakukannya. Mengapa? Dan mengapa juga Rose menyatakan cinta malam itu? Bukankah selama ini dia berusaha dengan tidak terlalu berhasil menyembunyikan perasaannya? Bukankah dia dengan sekuat tenaga, namun tetap tak berhasil, membenci Malfoy? Ya, kurasa suasana romantis pesta Valentine membuat Rose sedikit lengah. Lalu, mengapa Malfoy menolak pernyataan cinta Rose? Bukankah selama ini dia juga menyukai Rose? Atau itu hanyalah imaginasiku saja? Ya, mungkin saja. Walaupun begitu, kurasa kami sekeluarga harus berterima kasih pada Malfoy. Kalau Malfoy tidak menyelamatkan Rose saat di Teluk Pixy, Rose mungkin sudah mati sekarang.
Nah, cukup sekianlah tulisan perkenalan dariku. Kuharap kau tidak merasa terlalu aneh karena aku menulis tentang keluargaku bukan tentang diriku sendiri. Sekedar informasi, kehidupanku datar dan biasa-biasa saja. Di sekolah, aku adalah siswa yang lumayan dan tak banyak membuat masalah. Di rumah, aku juga adalah anak kedua yang baik dan selalu lebih banyak mengalah pada James dan Lily. Kehidupan cintaku juga biasa-biasa saja, menurutku. Cewek-cewek menyatakan suka padaku dan aku sesekali mengajak mereka ke Hogsmeade. Dan karena seringnya aku ke Hogsmeade dengan cewek yang berbeda, yang lain memanggilku playboy. Sebenarnya aku bukan playboy, aku hanya tak bisa menolak jika seseorang mengajakku keluar bersama mereka. Aku pergi dengan mereka karena kupikir kami bisa menghabiskan waktu bersama dan berteman. Namun, banyak cewek yang salah memahami tujuanku sebagai sesuatu yang romantis, jadi mereka berharap banyak padaku. Aku memberi harapan sesekali, kalau aku menyukai mereka, tapi rata-rata hubungan romantisku paling lama berakhir dalam waktu dua bulan dan paling cepat dua minggu. Dan biasanya bukan aku yang mengakhirinya. Aku tak mengerti mengapa cewek-cewek itu meninggalkanku. Kupikir mungkin karena temperamenku. Aku memang cepat sekali marah, jika mereka menyinggung tentang keluargaku, atau memaksaku melakukan sesuatu yang tak kusukai. Dan jika aku tak menyukai apa yang mereka lakukan atau katakan, aku akan langsung mengatakannya. Tapi rupanya cewek-cewek itu tak suka aku mengatakan hal-hal yang tak ingin mereka dengar.
Sincerely,
Al
PS: Selamat tidur!
Tanggal: Rabu, 10 Juli 2023
Waktu: 08. 38 am
Lokasi: Godric's Hollow 145, West Country
Suara desis bacon dan telur yang digoreng terdengar sampai ke kamarku. Dan lebih keras dari itu suara Lily yang menyanyikan MarsKementrian Sihir dengan suara yang sama seperti suara kodok.
Ministry of magic, Ministry of magic
Guide us to the sanctuary, protect the power
Hide oh hide, witch and wizard
Let our magic live long forever
Long live our magic, Long live our safety
"Diam, Lily!" Mom berteriak dari lantai satu.
Lily ganti menyanyikan Mars Hogwarts, dan aku menarik selimut untuk menutup kepalaku.
Hogwarts, Hogwarts, Hoggy Warty Hogwarts,
Teach us something please,
Whether we be old and bald
"Lily, bisakah kau berhenti menyanyi?" Kali ini suara teriakan James dari kamar di sebelah kamarku. "Aku tiba dari London dua jam yang lalu dan baru tidur satu jam!"
Suara Lily tetap terdengar dari kamar mandi:
Or young with scabby knees
Our heads could do with filling
With some interesting stuff…
"Ya, interesting stuff! Kalau kau tahu apa itu," geramku, menendang selimut, melompat keluar menuju kamar mandi dan menggedor pintunya.
"MOM!" Lily menjerit, lebih keras dari sebelumnya. "AL MENGGEDOR PINTU!"
"AL!" suara Mom lebih keras lagi. "JANGAN MERUSAK BARANG DI RUMAH!"
"AKU TIDAK MERUSAK APAPUN," aku balas berteriak.
"DIAM!" James berteriak dari kamarnya.
Lalu hening, tapi hanya untuk beberapa detik karena suara Hugo, yang mirip suara jangkrik, terdengar dari lantai satu melanjutkan apa yang barusan dinyanyikan Lily.
For now they're bare and full of air,
Dead flies and bits of fluff,
So teach us things worth knowing,
Bring back what we've forgot,
just do your best, we'll do the rest,
And learn until our brains all rot.
Ya, kurasa my brain all rot karena mendengar suara aku tak akan bisa tidur lagi karena kepalaku sudah penuh dengan Mars Kementrian Sihir dan Mars Hogwarts. Aku turun ke lantai satu diikuti oleh James yang keluar sambil membanting pintu kamarnya.
"AL!" Mom berteriak lagi.
"Bukan aku!" seruku, lalu mendelik pada James yang nyengir sambil menyusulku di tangga.
"Kau kan bisa menggunakan mantra untuk memblokir suara Lily," kataku, saat kami menuju dapur di mana suara Hugo terdengar semakin keras.
"Sama saja, Mom pasti akan membangunkanku juga. Lebih baik sekalian saja aku turun sarapan."
"Apa yang kaulakukan di London?"
"Aku membantu Selina pindah ke asrama SAF Agency," jawab James, lalu menguap.
"Tapi kan tak perlu sampai jam enam pagi."
"Asrama itu baru dan asing baginya, jadi aku menemaninya sampai pagi."
"Kau menemaninya sampai pagi?" aku menaikkan alisku tinggi-tinggi. Kalian pasti tahu apa yang kupikirkan. Sepasang kekasih tak mungkin tidak melakukan apa-apa jika mereka berada dalam satu kamar yang sama.
James menguap lagi, lalu menggelengkan kepala. "Apapun yang kaupikirkan, Al, kami tidak melakukannya. Aku terlalu menyayangi Selina untuk membuatnya merasa tak nyaman."
Aku memandang James, tak percaya. Biasanya James tak pernah tidak melakukan apa-apa, jika diberi kesempatan berada dalam satu kamar dengan cewek, apalagi dengan para cewek gampangan (kau mengerti maksudku, kan?) Hogwarts. Ya, kurasa inilah kekuatan cinta. James ternyata sangat sangat mencintai Selina, dan tak ingin melakukan hal-hal yang akan merusak cinta mereka. Ah, kapan aku bisa mencintai seseorang seperti James mencintai Selina, ya?
Sementara aku membayangkan seorang cewek tak berwajah, James masuk ke dapur. Suara Mom yang bertanya, "Mana Al?" terdengar seperti dari jauh, dan jawaban James tertutup oleh suara nyanyian jangkrik Hugo.
Aku segera masuk ke dapur, melihat Mom sedang meletakkan sepiring bacon di depan James, sementara Hugo duduk di dekatnya dengan hanya mengenakan celana boxer. Tahu, kan? Celana sangat pendek yang bisa juga dijadikan pakaian dalam.
Hugo ini! Dia memang brilliant, maksudku pintar, nilai-nilai sempurna, kelakuannya di Hogwarts sempurna, para pengajar Hogwarts menyukainya, tapi—Kau tak pernah tahu apa yang dilakukannya di rumah, kan? Ya, inilah yang dilakukannya di rumah: berkeliaran hanya dengan celana boxer, rambut berantakan, wajah sembab karena baru bangun, menyanyi keras meskipun mulutnya penuh bacon, kadang melakukan hal-hal menjijikkan yang tak sesuai dengan umurnya. Yeah, penampilan di Hogwarts kadang menipu. Apakah mungkin akan ada cewek yang menyukainya kalau melihatnya seperti ini?
"Diam, Hugo!" gertakku jengkel. Dia memang masih menyanyikan Mars Hogwarts, yang sudah diikuti Lily di lantai dua.
Lily juga sama saja. Di Hogwarts, dia tampak manis, sopan, dan jika dia melakukan kesalahan para pengajar akan segera memaafkannya karena dia pandai sekali menampilkan ekspresi wajah manis membuat orang tertipu. Asal tahu saja, Lily itu sangat kejam. Dia tahu beberapa kutukan yang bahkan James dan aku tak tahu namanya. Jika kau membuatnya marah dia akan mengutukmu, dan karena tak diijinkan menggunakan sihir, dia mungkin akan menggantungmu di pohon. Sejauh ini, James dan aku tak pernah membuatnya marah, kami terlalu menyayanginya dan melakukan apapun yang diinginkannya. Tapi Roxy dan Hugo pernah mengalami apa yang dinamakan sebagai kemarahan Lily. Roxy pernah hampir botak karena Lily membakar rambutnya, sedangkan Hugo pernah digantungnya di pohon selama satu malam. Aku tak akan menceritakan detail kejadiannya di sini karena akan menghabiskan waktu.
Dalam hal penampilan juga sama saja. Di rumah, Lily bukannya memakai dress sederhana atau blouse cantik serta rok berenda seperti yang biasa dipakainya di Hogwarts, yang dipakainya di rumah adalah baju kaos bekas James atau aku, jeans lusuh yang sudah robek di bagian paha dan lutut, dan sepatu olahraga dari karet. Rambutnya juga tidak lagi tergerai rapi dengan beberapa kepang kecil di sisi kepalanya, tapi digulung sembarangan di belakang kepala dan diberi pena bulu sebagai penahan. Yeah, aku hanya sekali lagi ingin mengatakan bahwa penampilan seseorang bisa menipu.
Sekarang kau tahu mengapa mereka ditempatkan di Slytherin, kan? Mereka hanyalah dua anak manja yang menipu semua orang dengan penampilan. Tapi, kalau dilihat dari tingkah konyol mereka di rumah, kurasa mereka lebih cocok ditempatkan di Hufflepuff.
"Aku bilang diam, Hugo!" kataku jengkel karena telingaku sudah benar-benar sakit mendengar nyanyian sumbang Hugo.
Lalu karena Hugo terus saja menyanyi, aku segera menerjang dan memitingnya di lantai. Tinggi Hugo memang hampir mencapai tinggiku, tapi karena tubuhku lebih besar dan aku hampir 17 tahun dengan mudah aku membuatnya tak berdaya.
"Aa-aaw, sakit!" Hugo menjerit. "Auntie!"
"Al, hentikan!" Mom berseru tanpa berhenti dari kegiatannya menuangkan susu.
Tapi aku tak melepaskan Hugo, aku terus menindihnya di lantai membuatnya menjerit semakin keras. Ya, kalau melihat tingkahku sekarang ini, aku sama kekanak-kanakannya dengan Hugo.
"Kalian berdua konyol!" kata James, hanya memandang kami sekilas, lalu kembali ke sarapannya.
James yang sekarang sangat membosankan. Biasanya dia akan bergabung dengan Hugo dan aku, dan kami mungkin akan bergulat di lantai sampai salah satu dari kami berdarah—biasanya sih Hugo karena dia paling kecil. Tapi James yang sekarang sudah tak terlibat lagi dengan pergulatan kekanak-kanakan Hugo dan aku, dia tampak lain, lebih serius dan lebih dewasa. Yah, jika kita sudah dewasa, kita diharapkan bertingkah laku seperti orang dewasa, kan? Meskipun begitu, aku merindukan James yang dulu.
Dad masuk ke dapur, memandang Hugo dan aku, lalu berkata, "Al, lepaskan, Hugo!"
Nah, sama seperti Lily, Dad juga sangat menakutkan kalau sedang marah, jadi aku cepat-cepat melepaskan Hugo dan kembali ke kursiku.
"Untung kau segera datang, Uncle. Kalau tidak aku pasti sudah mati ditindih Al," kata Hugo, bangkit dari lantai dan kembali duduk.
"Jangan lebay, Hugo!" kata James dengan suara tak jelas karena mulutnya penuh bacon.
Omong-omong, keributan sehari-hari seperti itu sudah biasa di rumah ini. Meskipun sekarang sudah tidak seribut dulu saat kami masih kecil. Dulu, James dan aku sering mempertengkarkan dan memperebutkan banyak hal. Misalnya, memperebutkan kursi dekat Dad, memperebutkan sisa sandwich makan siang, memperebutkan sapu mainan warna merah, dan masih banyak lagi pertengkaran yang tidak bisa kuingat dengan jelas sekarang. Tapi, kalau sudah diantar ke The Burrow—kami menghabiskan hari di The Burrow karena orangtua kami bekerja sampai malam—kami tak bertengkar sama sekali sebab di sana kami punya banyak saudara sepupu yang bisa kami ajak bertengkar. Kalau diingat-ingat lagi, kasihan Grandma dan Grandpa yang harus mengurus anak-anak pra-Hogwarts yang hiperaktif dan suka bertengkar.
Oh ya, di The Burrow kami bukannya hanya menghabiskan waktu dengan bermain dan bertengkar saja, kami di-homeschooling dengan jadwal yang sudah diatur dengan ketat oleh Grandma. Banyak sekali yang kami pelajari dari Grandma dan Grandpa, juga dari guru-guru yang sengaja datang selama hari-hari tertentu. Kadang orangtua, paman-paman atau bibi-bibi kami yang datang untuk mengajar. Kalau itu terjadi biasanya akan ada kehebohan. Kami akan menangis dan merajuk agar kami ikut orangtua kami ketika sesi belajar berakhir. Seharusnya aku tidak mengatakan kami, karena yang paling sering menangis dan merajuk adalah aku. Kalau Dad yang datang mengajar, aku biasanya menangis dengan keras dan mogok makan sampai Dad akhirnya membawaku ke Markas Besar Auror. Jadi, Kementrian Sihir bukan tempat baru bagiku, aku sudah berkeliaran di sana sejak umur tiga tahun.
Kadang, Dad juga membawaku saat melakukan perjalanan-perjalanan tugas ke beberapa tempat. Aku ingat saat berumur empat atau lima tahun (aku lupa), aku pernah ikut Dad ke sebuah rumah yang sangat besar. Saat itu Dad mungkin sedang melakukan investigasi penyihir hitam atau apa, dan aku dibiarkan berkeliaran di rumah besar itu. Aku berjalan ke sana, kemari, tersesat, dan kesepian sampai aku bertemu seorang gadis kecil yang sama kesepiannya denganku. Siapa, ya, nama gadis kecil itu? Sella, Bella, Ella atau siapa, entahlah, aku tak pandai mengingat nama, juga wajah seorang gadis. Si Ella ini, aku sudah lupa wajahnya seperti apa. Aku hanya ingat dia memakai gaun panjang berenda warna hijau dan tiara perak di kepalanya. Dia tampak seperti putri dalam dongeng, dan aku mengira bahwa aku mungkin sedang berada di sebuah istana. Aku kan lima tahun, jadi wajar saja kalau aku berpikir seperti itu.
"Apa yang kaulakukan di sini, anak bodoh?" Nah, sekarang aku ingat, itulah yang dia tanyakan padaku.
Waktu itu aku menjawabnya dengan apa, ya? Kira-kira: "Aku sedang mencari ayahku." Aku ingat saat itu dia sepertinya cantik sekali, jadi aku tak tersinggung meskipun dia menyebutku anak bodoh. Biasanya aku akan marah sekali jika ada yang menyebutku bodoh.
"Siapa namamu?" dia bertanya.
Aku menyebut namaku dan dia menyebut namanya. Siapa ya namanya? Isabella? Grasella? Cinderella? Umbrella? Pasti bukan, tapi kedengarannya seperti itu. Dia mengajakku bermain di sebuah taman yang sangat luas dan banyak sekali mawarnya. Dia berkata bahwa dia dan sepupunya suka mawar merah, mereka sering bermain perang mawar dan biasanya sepupunya pulang sambil menangis karena terkena duri mawar. Waktu itu aku berkata bahwa aku lebih suka mawar putih. Entah mengapa aku bilang begitu, mungkin aku hanya tak ingin sama dengan mereka. Lalu kami menghabiskan waktu dengan mengumpulkan mawar dan berbicara tentang banyak hal yang hanya diketahui oleh anak berumur lima tahun. Beberapa saat kemudian Dad datang dan mengajakku pulang. Gadis kecil itu menangis, menyuruhku untuk tinggal bersamanya. Aku lalu memberinya sesuatu (apa, ya?), dia berhenti menangis dan memintaku berjanji untuk bertemu lagi.
Walaupun sudah berjanji untuk bertemu lagi, aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Sekarang malah aku hampir melupakannya. Aku tak ingat lagi di mana rumahnya, seperti apa wajahnya dan siapa namanya. Kukira dia juga mungkin sudah melupakanku. Itu kan hanya sebuah kenangan kecil tak berarti yang terjadi di pertengahan musim semi. Dan waktu itu aku memberinya apa, ya? Apakah tongkat sihir mainanku yang berwarna hijau? Ataukah miniatur naga yang sering kubawa-bawa waktu kecil? Sudahlah, tak ada gunanya aku mengingatnya. Satu adegan kecil dalam kenangan masa lalu biasanya akan terlupakan seperti kabut pagi yang menghilang bersama munculnya sang mentari.
Kita kembali ke masa sekarang! Kau pasti bertanya-tanya mengapa Hugo ada di rumah ini. Kuharap kau tak akan menanyakan tentang itu lagi di masa depan, karena rumah ini bisa dibilang adalah rumah kedua Hugo. Dia makan di sini dan tidur di sini sesukanya kalau dia sedang bertengkar dengan Rose atau tak ingin pulang ke rumah karena kesepian.
Aku sudah hampir menghabiskan separuh bacon-ku, saat Lily masuk ke dapur dengan penampilan seperti yang telah kusebutkan sebelumnya. Dia memakai kaos hitam bertuliskan shadower for love milik James, jeans robek dibagian paha dan lutut, sepatu karet warna putih, dan rambut yang digulung begitu saja di belakang kepala dengan diberi pena bulu sebagai penahan.
"Bukankah itu kaosku?" tanya James, memandang Lily yang sudah duduk disampingnya.
"Tidak lagi, aku menemukannya di tempat cucian," jawab Lily cuek, menarik sepiring roti bakar.
James mendelik, tapi Mom berkata, "Lily, aku sudah menyuruhmu untuk membuang jeans mengerikan itu."
"Aku tak bisa membuangnya, Mom, ini favoritku."
"Kau tidak memakainya di Hogwarts, kan?" tanya Mom galak.
"Tenang saja, Mom, di Hogwarts aku adalah Lily Potter yang girlie dan cute. Tak ada yang pernah melihatku berpenampilan begini."
Mom memandang Lily tak yakin, dan Dad berkata, "Menurutku, bagaimanapun penampilannya dia tetap Lily yang cute."
Lily cekikikan dan aku berpikir bahwa Dad terlalu memanjakan Lily hingga tingkahnya jadi tak karuan seperti itu. Tapi Dad memang orangnya asyik. Dia tak begitu mempedulikan penampilan kami. Dad oke-oke saja saat melihat tato di hampir seluruh tubuh James, dia juga tak berkomentar saat melihatnya tindikan di telinganya, meskipun Mom beberapa kali mengatakan akan menghapus tato dan menutup tindikannya dengan mantra.
"Ayolah, Mom," kata James waktu itu. "Aku sudah dewasa dan sudah meninggalkan Hogwarts. Aku bebas melakukan apapun yang aku mau sekarang."
"Tapi, James," sanggah Mom. "Kau lebih tampan tanpa tato... Dan apa yang dikatakan penyihir-penyihir di The Shamrock saat melihat tindikan di telingamu."
"Mereka tak peduli bagaimana penampilanku, selama aku bisa menangkap snitch-nya."
James memang pandai sekali berbantah-bantah dengan Mom, dan biasanya dia selalu menang.
Yeah, bisa kukatakan kedua orangtuaku sangat santai. Mereka tak begitu mempedulikan penampilan kami selama kami sehat dan bahagia. Mereka juga tak mengharapkan kami menjadi juara sekolah atau menjadi nomor satu dalam segala hal, seperti yang selalu Uncle Ron katakan pada Rose dan Hugo. Selama kami bisa lulus OWL dan tak ketinggalan dalam pelajaran, Mom dan Dad sudah senang.
"Dad, kupikir kau sedang di Kementrian," kata James, setelah beberapa saat hening.
"Ayahmu pulang jam tiga," jawab Mom, lalu memandang Lily dengan tajam. "Seharusnya hari ini kau tak menyanyi sekeras tadi."
"Aku sedang berlatih, Mom," kata Lily. "Kau kan tahu impianku adalah bergabung dengan teater musikal Alice Wilkinson."
"Kurasa kau perlu berlatih selama 100 tahun," aku mencibir.
Lily mendelik dan Hugo tertawa, kemudian batuk-batuk karena tersedak, dan Mom segera mengayunkan tongkat sihir untuk menghentikan batuk-batuknya.
Lily sekarang memang sedang terobsesi dengan drama musikal. Liburan Natal lalu Aunt Angelina mengajak Roxy, Rose dan Lily untuk menonton pertunjukan musikal Alice Wilkinson yang disadur dari drama Muggle berjudul Hamlet di Merlin Dome. Dan setelah kembali dari menonton drama musical itu, Lily jadi sering menyanyikan beberapa baitnyanyian dalam drama itu. Nyanyiannya agak aneh, karena telah diaransemen ulang oleh Lily dengan menambahkan beberapa bait Mars Kementrian Sihir dan Mars Hogwarts.
"Apakah sudah ada kabar dari Ron dan Hermione?" tanya Mom, membuyarkan lamunanku tentang Lily dan drama musikal.
"Ya, ada burung hantu beberapa menit yang lalu," jawab Dad.
"Apa yang terjadi?" tanyaku kuatir, sementara Mom, James, Lily dan Hugo menatap Dad dengan penuh perhatian.
"Tenang, semua baik-baik saja," kata Dad tersenyum. "Rose sudah sadar."
"Oh, syukurlah!" Lily tampak lega. "Dua hari ini aku tak bisa tidur nyenyak karena memikirkan Rose. Sekarang kurasa aku bisa tidur seharian penuh."
"Kita sudah tahu dia akan segera sadar," kata Hugo, lalu menggigit roti bakar banyak-banyak.
"Memang sudah waktunya dia bangun," kata James.
"Apakah dia baik-baik saja?" tanya Mom, tampak cemas. Mom mungkin mengira Rose akan melakukan aksi bunuh diri lagi. Kuharap tidak.
"Dia baik-baik saja," jawab Dad, menenangkan. "Dia sudah akan ada di rumah sore ini. Kukira semua orang akan datang untuk makan malam di sebelah nanti malam."
"Aku tak boleh ketinggalan kalau begitu," kata James.
"Setelah sarapan aku akan ke rumah sakit," kataku.
"Aku ikut," kata Lily dan Hugo bersamaan.
"Lebih baik jangan," larang Mom. "Tak ada gunanya. Kalian tetap akan bertemu Rose sore ini."
"Tapi aku ingin segera bertemu dengannya, Mom!" kataku, sementara Lily dan Hugo segera berebutan berkata bahwa mereka juga ingin bertemu Rose.
"Tidak ada yang menemani kalian ke St Mungo," kata Mom. "Ayah kalian harus ke Kementrian pagi ini, sedangkan aku ada rapat di kantor."
"Mom, bulan depan aku tujuh belas tahun dan aku bisa bepergian sendiri," kataku tak sabar. "Lagipula sekarang kan liburan musim panas, tak ada yang kulakukan di rumah."
Ini adalah satu hal yang tidak kusukai dari Mom. Aku sebentar lagi tujuh belas tahun, tapi aku masih dianggapnya berumur tujuh tahun. Dia tidak yakin aku bisa pergi ke London sendirian.
Mom memandang Dad dengan ragu.
"Tak apa-apa. Mereka bisa pergi ke London dengan bubuk Floo," kata Dad. "Di sana ada Ron dan Hermione, mereka tak mungkin membuat masalah."
"Dad, kau tahu aku tak pernah membuat masalah," kata Lily keras.
Yang jelas itu bohong belaka, karena dalam keluarga Potter, Lily bisa dibilang sama banyak masalahnya dengan James. Aku bisa menceritakan masalah apa saja yang telah dilakukan Lily dan Hugo, tapi aku tak punya waktu sekarang, karena Mom telah berkata, "Bagaimana kalau mereka tersesat bubuk Floo?"
Aku berusaha untuk tidak memutar bola mataku, dan dengan sabar aku berkata, "Mom, aku tak mungkin tersesat bubuk Floo!"
"Kau mungkin tidak, Al, tapi Lily mungkin saja, atau Hugo—Kau ingat tahun lalu mereka sengaja tersesat bubuk Floo dan muncul di Knockturn Alley."
"Bagaimana kalau kami naik bus Satria," Hugo mengusulkan. "Sudah lama aku ingin mencoba naik bus itu."
"Perjalanan dengan bus Satria tak semenyenangkan yang kau bayangkan, Hugo," kata Dad. "Ayahmu pernah naik sekali, dan dia membencinya."
"Aku kan bukan ayahku, Uncle," kata Hugo, lalu memandang Dad dengan wajah penuh permohonan. "Boleh, ya, Uncle Harry! Boleh kan kami pergi ke rumah sakit! Aku sangat merindukan Rose. Dia kan kakakku satu-satunya."
Lily juga sudah mulai membujuk Dad dengan suara merayunya yang biasa. "Aku juga sangat merindukan Rose, Dad. Dia sudah kuanggap sebagai kakak perempuanku sendiri. Boleh, ya, Dad! Boleh, ya!"
"Al boleh pergi, tapi kalian tidak," kata Mom tegas.
"Mom, tapi aku ingin pergi," kata Lily.
"Aku juga ingin pergi, Auntie," kata Hugo.
Lalu keduanya merengek dan terus merengek pada Dad sampai akhirnya Dad berkata, "Oke, oke, kalian boleh pergi."
Dan aku sudah tahu akhirnya akan begini. Aku kan sudah bilang Dad terlalu memanjakan mereka.
"Tapi, ingat!" lanjut Dad. "Kalian harus turun di London, jangan di Guildford."
"Guildford? Di mana itu?" tanya Hugo, tapi aku cepat-cepat berkata, "Beres, Dad, kami pasti akan turun di London."
"Kau terlalu memanjakan mereka," kata Mom pada Dad dan aku setuju sekali.
"Mereka akan baik-baik saja," kata Dad.
Setelah beberapa saat Mom memandangku.
"Ingat, Al, kalian harus mengatakan dengan benar di mana tujuan kalian pada kondektur bus Satria. Dan setelah turun di rumah sakit kalian harus langsung naik ke lantai empat, jangan berkeliaran karena kalian bisa tertular penyakit! Kalian harus langsung ke kamar Rose. Letaknya di sebelah kiri koridor, pintu keempat. Kalau kalian tidak tahu di mana itu, kalian bisa bertanya pada—"
"Mom, aku tahu di mana kamar Rose, dua hari yang lalu aku ke sana, ingat?"
Mom mengangguk, lalu melanjutkan, "Jangan mengatakan sesuatu atau menanyakan pertanyaan yang membuat Rose stress! Lebih baik, jangan bertanya apa-apa tentang apa yang terjadi di Dermot, karena—"
"—karena Rose akan depresi dan mencoba bunuh diri lagi. Aku tahu itu, Mom," kataku lagi.
"Aku tak akan bertanya apapun," kata Lily.
"Aku juga," kata Hugo.
Mom mengangguk, lalu kembali ke sarapannya. Aku tersenyum, lalu cepat-cepat menghabiskan bacon-ku, sementara Lily dan Hugo mendiskusikan bagaimana rasanya naik bus Satria.
Sincerely,
Al
PS: Ini juga akan jadi kali pertamanya aku naik bus Satria. Kuharap perjalanannya menyenangkan.
Tanggal: Rabu, 10 Juli 2023
Waktu: 01. 15 pm
Lokasi: St Mungo
Setelah perjalanan yang sangat tak menyenangkan dengan bus Satria, kami tiba di rumah sakit dan langsung menuju lantai empat. Bangsal pribadi Rose tidak kosong saat kami tiba, Penyembuh wanita separuh baya bertubuh kurus bernama Bonham sedang berbicara pada Uncle Ron dan Aunt Hermione.
"—saya tidak menduga akan ada implikasi," Penyembuh Bonham sedang berkata, saat Lily, Hugo dan aku diam-diam masuk ke bangsal.
"Apa maksud Anda?" tanya Aunt Hermione bingung, sementara Rose, yang sedang duduk di tempat tidur dan tampak sehat, memandang kami dan melambaikan tangan sambil berkata hai tanpa suara.
"Bagaimana kabarmu?" tanyaku dalam bisikan setelah Lily, Hugo dan aku bergantian memberikan pelukan singkat padanya.
"Entahlah," Rose balas berbisik, sementara Penyembuh Bonham berkata, "Menurut saya, Miss Weasley mungkin mengalami hilang ingatan ringan."
"Hilang ingatan ringan?" Uncle Ron mengulang tak percaya.
"Anda lihat sendiri, tampaknya Miss Weasley telah melupakan apa yang terjadi saat liburan di Dermot."
"Tapi, bukankah kemarin Anda mengatakan bahwa kepalanya tidak mengalami benturan, dan—dan bahwa dia baik-baik saja?" Aunt Hermione bergantian memandang Penyembuh Bonham dan Rose dengan kuatir. "Bagaimana dia bisa hilang ingatan?"
"Secara fisik dia baik-baik saja," jawab Penyembuh Bonham. "Namun secara psikis mungkin tidak. Hilang ingatan ini bisa jadi disebabkan oleh tekanan psikologi yang mungkin terjadi di teluk itu, atau mungkin saja dia mengalami shock hebat karena terjatuh dari tebing. Dan secara tidak sadar pikirannya menolak untuk mengingat semua kejadian yang terjadi saat di Dermot."
"Tidak tepat begitu," kata Uncle Ron. "Yang tidak diingatnya adalah semua kejadian saat bangkit dari kematian di awal liburan musim panas."
Penyembuh Bonham menggangguk membenarkan. "Anda benar. Dan mungkin kejadian itu masih ada hubungannya dengan apa yang terjadi di Dermot, sehingga pikirannya memilih untuk melupakannnya."
"Apakah tidak ada mantra untuk mengembalikan ingatan yang hilang itu?" tanya Aunt Hermione.
"Saya sudah mencoba semua mantra yang saya ketahui," jawab Penyembuh Bonham lalu menggelengkan kepala. "Menurut saya, kita hanya bisa menunggu sampai pikiran dan jiwanya tenang, dan ingatannya mungkin saja akan kembali secara alami."
"Tapi Anda tampaknya tak yakin ingatannya akan kembali," komentar Uncle Ron ragu.
"Saya tak bisa yakin sepenuhnya," Penyembuh Bonham mengangguk. "Kita hanya bisa berharap."
"Kurasa kita tak perlu mempermasalahkan hal itu sekarang, Ron," kata Aunt Hermione. "Ingatan itu kembali atau tidak, tak apa-apa, selama Rose baik-baik saja."
"Kau benar, Hermione," kata Uncle Ron, lalu berpaling memandang Rose. "Bagaimana perasaanmu, Rosie?"
"Sempurna," jawab Rose, tersenyum menenangkan pada orangtuanya. "Aku hanya segera ingin keluar dari sini."
Penyembuh Bonham tersenyum ramah. "Kau akan keluar sore ini dan kau sudah akan bersenang-senang dengan keluargamu nanti malam."
"Terima kasih, Penyembuh Bonham," kata Rose balas tersenyum.
Penyembuh Bonham berpaling pada Uncle Ron dan Aunt Hermione, lalu berkata, "Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan pada Anda berdua, bisa kita bicara di ruangan saya?"
"Tentu saja," jawab Uncle Ron, lalu keluar bersama Penyembuh Bonham.
Aunt Hermione tak segera keluar menyusul Uncle Ron dan Penyembuh Bonham, dia mendekati Rose, mencium keningnya dan berbicara dengan lembut, "Ayahmu dan aku akan segera kembali… Kau tidak boleh terlalu banyak berpikir! Jangan membebani pikiranmu dengan memaksakan diri mengingat ingatan yang sudah kaulupakan. Yang terlupa, biarlah terlupakan, mengerti!"
Rose mengangguk. "Aku mengerti, Mom."
Aunt Hermione lalu berpaling pada Lily, Hugo dan aku kemudian berkata dengan tegas, "Jangan bertanya apa-apa dan jangan membuatnya stress!"
Lily dan Hugo cemberut, tapi aku berkata dengan meyakinkan, "Tenang saja, Auntie, aku tak akan membuatnya stress! Dan Lily dan Hugo juga tidak…" Aku menambahkan saat Aunt Hermione menatap Lily dan Hugo dengan tajam.
Setelah tampak puas, Aunt Hermione segera keluar kamar.
Lily berpaling pada Hugo dan berbisik, "Kalau terus dilarang seperti ini, aku malah jadi ingin membuatnya stress."
"Kita lihat saja dulu apakah dia baik-baik saja atau tidak," Hugo balas berbisik.
"Kalian bisik-bisik apa, sih?" tanya Rose jengkel.
"Bukan apa-apa, jangan pedulikan mereka!" Aku mengalihkan perhatian Rose padaku. "Jadi, kau hilang ingatan?"
Rose mendelik. "Bukankah sudah jelas? Kau dengar sendiri apa yang mereka bicarakan, bukan?"
Aku tertawa, meskipun tak ada yang lucu. Tapi melihat Rose yang tampaknya sudah seperti dirinya lagi membuatku senang.
"Tak ada yang lucu, Al," kata Rose kesal, lalu berubah serius. "Dengar, kalian harus menceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi karena Mom dan Dad, juga para penyembuh itu tak mengatakan apapun padaku. Mereka terus mengatakan bahwa kejadian di Dermot tidak perlu diingat karena hanya akan membebani pikiranku, membuatku stress dan alasan-alasan tak masuk akal lain. Tapi kuyakinkan kalian, aku benar-benar akan jadi stress kalau tak tahu apa yang terjadi. Jadi, mulailah bercerita!"
Lily, Hugo dan aku saling pandang selama beberapa saat.
"Ayolah, jangan diam saja!" kata Rose tak sabar. "Baiklah, kita mulai dengan kejadian saat aku terbangun dari kematian. Aku tak ingat apa yang kulakukan setelah aku terbangun dari kematian. Rasanya itu seperti bukan ingatanku sendiri!"
"Saat bangkit dari kematian, kau hanya menjadi Rose yang biasa: membaca, lalu marah-marah saat aku mengambil bukumu," kata Hugo.
"Aku serius, Hugo!" kata Rose tak sabar.
"Aku juga—"
"Jadi kau ingat kau meng-Avada-Kedavra dirimu sendiri?" tanyaku segera menghentikan Hugo.
Rose berpaling padaku dan menggangguk. "Ingatan tentang malam itu hanyalah seperti sebuah kilasan peristiwa. Aku tak ingat persisnya apa yang terjadi. Semula kupikir aku ada di sini karena meng-Avada-Kedavra diriku sendiri, tapi aku mendengar Mom dan Dad berbicara tentang Dermot, dan aku tak ingat apa yang kulakukan di Dermot."
"Berlibur," kata Hugo. "Kita semua berlibur di Dermot. Tempat yang indah menurutku, dan—"
"Dan aku bertanya-tanya," Rose cepat-cepat melanjutkan. "Mengapa aku tak mati saat meng-Avada-Kedavra diriku sendiri?"
"Kutukan kematian itu tak sempurna," jawab Lily. "Dad bilang begitu."
"Apa kau ingat alasan kau meng-Avada-Kedavra dirimu sendiri?" tanyaku. Pertanyaan yang sudah sangat ingin kutanyakan sejak saat Rose bangkit dari kematian. Para orangtua melarang kami menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Rose tak nyaman, tapi aku benar-benar ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, karena aku tak bisa percaya Rose meng-Avada-Kedavra dirinya sendiri karena patah hati ditolak Scorpius Malfoy di pesta Valentine.
"Aku juga bertanya-tanya mengapa?" Rose memandangku, mengerutkan keningnya mencoba mengingat. "Aku ingat malam itu aku—aku membaca sebuah buku—buku apa, ya? Kurasa tentang ramalan dan—dan ada ramalan tentang—tentang—" Dia berhenti bicara, wajahnya berubah pucat seputih tembok di belakangnya.
"Kau baik-baik saja, Rose?" tanya Lily kuatir.
"Scorpius Malfoy," bisik Rose dengan suara yang bergetar ketakutan.
"Scorpius Malfoy?" ulang Hugo. "Ada apa dengannya?"
"Scorpius!" Kali ini suara Rose jelas terdengar, meskipun ketakutan masih tampak di wajahnya. "Apa yang terjadi dengannya? Apakah—apakah dia mati?"
"Tenang saja," kata Lily. "Malfoy baik-baik saja, dan sehat. Kau tak perlu mencemaskannya."
Rose tampaknya belum bisa diyakinkan. Dia memandang Lily dengan ragu. "Kau yakin? Maksudku sekarang sudah tanggal 10 dan ramalan itu—ramalan itu—" Dia berhenti bicara dengan tiba-tiba.
"Apa sebenarnya yang ingin kaukatakan, Rose?" tanyaku tak sabar. "Apa hubungan Malfoy dengan ramalan yang sedang kaubicarakan? Kuberitahu, ya, Malfoy baik-baik saja. Dia mengalami luka ringan di kepala, dan hanya butuh beberapa mantra untuk menutup lukanya."
Rose mendesah lega. "Syukurlah, kupikir—kupikir—"
"Apa yang kaupikirkan?" tanya Hugo. "Apakah kau ingat kejadian di teluk Pixy?"
"Teluk Pixy? Di mana?"
"Di Dermot," jawab Hugo. "Karena kau berbicara tentang Malfoy, kupikir kau ingat apa yang terjadi."
"Malfoy juga ada di sana?"
"Ya." Lily mengangguk. "Bersama Nerissa dan Vincent Goyle, Ariella Zabini dan Veronique, tunangan Malfoy."
"Tunangan Malfoy, maksudmu Veronica?" Rose mengerutkan kening. "Jadi dia benar-benar datang ke Inggris."
"Kau tahu tentang Veronique?" tanyaku heran.
"Ya, aku tahu," jawab Rose. "Malfoy bilang padaku saat pesta Valentine."
Aku memandang Rose tak percaya. "Kalau kau tahu dia sudah bertunangan, mengapa kau masih mengatakan suka padanya? Dan mengapa kau bunuh diri hanya karena dia menolakmu?"
Wajah Rose merah padam. Dia berpaling memandang Lily yang berpura-pura tertarik pada rangkaian bunga pink dan kuning dalam vas di atas meja.
"Terima kasih, Lily," kata Rose tajam, lalu memandangku lagi. "Aku memang mengatakan suka padanya, tapi tak akan pernah—kau dengar—tak akan pernah bunuh diri hanya karena dia menolakku."
"Lalu mengapa kau mencoba bunuh diri?"
"Aku tidak mencoba bunuh diri, Al," kata Rose. "Kau mengenalku, aku tak akan bunuh diri apapun alasannya."
"Tapi kau meng-Avada-Kedavra dirimu sendiri."
"Oh, itu—" Rose sekarang tampak salah tingkah. Setelah melirik Lily dan Hugo sekilas, dia berkata, "Aku tak bisa menceritakannya padamu sekarang."
Aku juga memandang Lily dan Hugo, dan mengerti bahwa Rose tak ingin mengatakan apapun di depan Lily dan Hugo.
"Oke," kataku. "Aku ingin alasan yang masuk akal. Juga alasan kau mencoba bunuh diri di teluk Pixy."
"Aku mencoba bunuh diri di Teluk Pixy?" Rose sekarang tampak benar-benar bingung.
"Kurasa Rose tak ingat apa yang terjadi di Teluk Pixy," kata Hugo padaku.
"Karena itu mulailah bercerita!" pinta Rose. "Aku benar-benar ingin tahu apa saja yang kulakukan di Dermot."
"Tak banyak yang kaulakukan," kata Lily. "Hanya jadi orang yang sangat menyebalkan. Kau menghabiskan waktumu bersama dua remaja Swiss yang lebih muda darimu, dan aku tak berbicara denganmu selama beberapa hari."
Rose mengerutkan kening tak percaya.
"Percayalah, itulah yang kaulakukan," kata Lily. "Saat itu kau bahkan lebih menyebalkan dari Lysander."
"Lysander?" Rose menaikkan alisnya. "Apa hubungannya dengan ini?"
"Dia juga ada di sana, di Dermot."
"Apa yang dilakukannya di Dermot?" tanya Rose.
"Berlibur," jawab Hugo. "Semua orang ada di sana untuk berlibur. Untuk apa lagi kalau bukan itu."
Tapi Rose dan Lily mengabaikan Hugo.
"Kurasa dia ingin menyalurkan hobi fotografinya," kata Lily. "Kau tahu, dia bahkan memaksaku untuk berfoto dengannya."
"Dan kau mau berfoto bersamanya?" tanya Rose jijik.
Lily mengangkat bahu. "Kau tahu aku tak punya pilihan. Dia mengancamku."
"Bangsat itu!" umpat Rose jengkel. "Seharusnya kau melakukan sesuatu padanya, Lily."
"Aku melakukan beberapa hal," kata Lily.
"Apa?"
"Aku membuatnya terjatuh ke teluk dan aku menginjak kakinya saat berdansa."
"Itu tak seberapa," kata Rose. "Tahun ini kau harus lebih tegas. Kutuk dia dengan Kutukan Kepak Kelawar, tapi pastikan dulu dia tak tahu kontra-kutukannya. Atau—"
Aku berdehem keras untuk menghentikan mereka, karena kalau dibiarkan, Rose dan Lily bisa berbicara tentang Lysander selama berjam-jam.
"Bukankah kita sedang berbicara tentang ingatan yang kaulupakan? Tentang apa yang kaulakukan di Dermot?" tanyaku untuk mengembalikan mereka ke topik pembicaraan semula.
"Ya, ya, benar," kata Rose agak bingung. "Lalu selanjutnya apa yang kulakukan?"
"Kau dan Lily berbaikan lagi saat akan berlayar," kata Hugo. "Kita berlayar dengan kapal pesiar milik Vincent Goyle. Lalu dini hari, aku menemukanmu tak sadarkan diri di jurang Teluk Pixy bersama Scorpius Malfoy."
"Apa yang Malfoy dan aku lakukan di Teluk Pixy?" tanya Rose bingung. "Dan mengapa aku bisa tak sadarkan diri di jurang?"
"Selama ini kami berpikir kau mencoba bunuh diri dan Scorpius Malfoy telah menyelamatkanmu."
"Al, sudah kubilang, aku tak akan pernah bunuh diri—"
"Aku tahu, itu kan hanya perkiraan," ujarku segera. "Dan karena kau tidak mencoba bunuh diri kemungkinannya adalah kau terpeleset dan jatuh ke jurang."
"Terpeleset dan jatuh ke jurang?" Rose memutar bola matanya, tak percaya.
"Begitulah yang tertulis di Prophet," kata Hugo. "Kau berkencan dengan Malfoy di teluk Pixy, terpeleset, terlambat mengeluarkan tongkat sihirmu, sehingga kau tak sadarkan diri."
"Berkencan dengan Malfoy? Kurasa itu tak mungkin," kata Rose, tak yakin. "Tak mungkin aku berkencan dengannya." Dia memandangku. "Apakah di Dermot Malfoy dan aku jadi dekat, atau—"
"Tidak," aku menjawab. "Alih-alih dekat, dia bahkan jijik melihatmu."
"Terima kasih, Al, kau mengatakannya dengan jelas sekali," kata Rose tampak tertekan.
Aku mengangkat bahu, paham betul bahwa Rose tak ingin mendengar tentang itu, tapi aku terus melanjutkan, "Dia tak bicara denganmu, bahkan memandangmu. Dan yang membuatku heran, Rose, kau malah berusaha keras untuk memikatnya. Aku berpikir apakah kau mungkin tak punya harga diri—"
"Tak mungkin aku berusaha untuk memikatnya!" kata Rose tampak ngeri. "Aku tak mungkin melakukan hal mengerikan itu!"
"Tenang, Rose, tak ada hal buruk yang terjadi," kata Lily. "Malfoy sama sekali tak terpikat. Dia kan punya Veronique. Dan kurasa kau benar-benar harus melupakan Malfoy. Kalau kau terus menyukainya kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri."
Wajah Rose berubah merah. "Aku tak pernah bilang aku masih menyukainya. Aku sudah memutuskan untuk melupakannya saat dia menolakku di pesta Valentine."
Tapi Lily, Hugo dan aku tak percaya. Kami tahu Rose sangat menyukai Malfoy.
"Bagus," kata Lily, memutuskan untuk menerima apapun yang dikatakan Rose. "Dengan begitu, kau punya kesempatan untuk berkencan dengan cowok Hogwarts lain."
Rose, Hugo, dan aku terperangah menatap Lily.
"Tahun ini Fred dan James tak lagi ke Hogwarts," lanjut Lily. "Tak ada lagi yang akan mengerocoki kita dengan larangan pacaran sebelum meninggalkan Hogwarts. Kita berdua bisa mencari pacar dan bersenang-senang."
"Er, Lily—" Rose tampak ragu. "Aku belum memutuskan apapun."
"Ayolah," kata Lily tak sabar. "Dengan begitu kau bisa benar-benar melupakan Malfoy, kan? Dan aku, aku bisa menyingkirkan Lysander."
Rose berpikir selama beberapa saat, lalu tersenyum ceria pada Lily. "Kau benar, Lil. Itulah yang akan kita berdua lakukan tahun ini: mencari pacar dan berkencan."
Rose mengangguk kepala dengan yakin, dan aku berpikir bahwa cewek cepat sekali berubah pikiran.
"Ya," kata Lily. "Aku akan menunjukkan pada si brengsek Lysander bahwa aku tak akan pernah mau menjadi istrinya."
"Jadi, sudah ada cowok yang menarik perhatianmu?" tanya Rose.
"Er, belum ada," kata Lily sambil berpikir. "Cowok-cowok Hogwarts kekanak-kanakan dan menyebalkan—"
Hugo dan aku memutar bola mata kami.
"—kau bagaimana? Ada yang kausukai selain Malfoy?"
"Tak ada. Aku—" Rose mengangkat bahu, lalu melanjutkan, "Sejujurnya, aku tak pernah memandang cowok lain, selain Scorpius Malfoy."
Sekali lagi Hugo dan aku memutar bola mata kami.
"Tapi jangan kuatir, Rose, kita pasti akan dapat pacar," kata Lily semangat. "Kau tahu kan aku sangat menyukai Teddy. Aku mungkin akan mencari cowok yang mirip dengannya: dewasa, baik hati, humoris dan penyayang."
"Yeah, tapi aku tak mungkin mencari orang yang mirip Malfoy, aku malah nanti akan terus teringat padanya dan—"
Pintu tiba-tiba terbuka, orang yang sedang dibicarakan Rose—Scorpius Malfoy, masuk dengan penampilan berantakan: rambut acak-acakan, ekspresi wajah yang merupakan campuran antara cemas dan kuatir, dan pakaian seadanya, alias pakaian Muggle—karena biasanya dia mengenakan jubah mahal yang rapi. Dan tanpa memandang seorangpun dari Lily, Hugo dan aku, dia berjalan cepat menghampiri Rose dan memeluknya dengan erat.
Lily, Hugo dan aku berdiri di sana terperangah. Aku bertanya-tanya apa sih yang dilakukan Malfoy? Bukankah dia telah menolak Rose, baik di pesta Valentine, maupun di Dermot?
Dan Rose, saking terkejutnya, telah kehilangan kemampuan untuk bergerak dan berkata-kata.
"Oh, Rose," kata Malfoy dengan suara serak. "Kupikir telah terjadi sesuatu padamu. Aku bangun dan kau tidak ada di sana. Kau tidak ada di seluruh rumah. Kau seharusnya membangunkanku dan memberitahuku kalau kau akan pergi."
Apa sih yang dikatakan Malfoy? Ucapannya sama sekali tak masuk akal. Bagaimana Rose bisa ada di sana, alias di rumahnya, jika Rose tak pernah meninggalkan rumah sakit? Menurutku, Malfoy mungkin telah mencampur-adukkan mimpi dan nyata. Mungkin semalam dia bermimpi tentang Rose, lalu saat terbangun di pagi hari, dia memutuskan bahwa mimpi itu adalah kenyataan, dan mulai mencari-cari Rose.
Rose, yang masih kehilangan kemampuan untuk bergerak, sama sekali tak terpengaruh oleh kata-kata Malfoy. Rupanya kata-kata Malfoy tak sampai ke otaknya.
Setelah beberapa saat Malfoy melepaskan Rose dan memandangnya dengan expresi campuran antara marah, cemas dan senang.
"Kau baik-baik saja?" dia bertanya.
"Ya, aku baik-baik saja, terima kasih," Rose menjawab dengan sopan.
"Syukurlah! Aku senang," kata Malfoy tersenyum, lalu memberikan kecupan ringan di bibir Rose.
Lily dan Hugo saling pandang dengan heran, aku memutar bola mataku, dan Rose terbelalak.
"Jangan lakukan itu lagi padaku!" pinta Malfoy, tangannya membelai pipi Rose dengan lembut. "Jangan membuatku mencarimu seperti orang gila! Berjanjilah untuk mengatakan padaku ke mana kau akan pergi!"
Kurasa Malfoy bukan seperti orang gila lagi, tapi memang sudah gila. Dan otak Rose tampaknya sedang bekerja sangat lambat hari ini, kata-kata Malfoy belum diproses, dia masih terbelalak.
"Berjanjilah!" pinta Malfoy.
"Apa?" Rose akhirnya berhasil menguasai diri.
"Berjanjilah untuk mengatakan padaku ke mana kau akan pergi!"
"Mengapa aku harus berjanji seperti itu?" tanya Rose.
"Karena kalau aku tahu kau di mana, aku tidak perlu mencemaskanmu, kan?"
Wajah Rose sekarang merah padam sampai ke telinganya. Kurasa itu bukan karena malu, tapi lebih karena marah. Dia menepis tangan Malfoy dari pipinya dan memandangnya dengan tajam.
"Mengapa kau melakukan ini padaku?" dia bertanya.
"Apa?" Malfoy tampak benar-benar heran. "Apa yang kulakukan?"
"Mengapa kau melakukan ini padaku?" tanya Rose lagi dengan suara tinggi. "Mengapa kau datang ke sini, memelukku, menciumku, mencemaskanku seolah kau peduli? Kau sudah menolakku malam itu, kan? Menurutmu bagaimana aku bisa melupakanmu, kalau apa yang kaulakukan sekarang seolah memberiku harapan."
Malfoy terperangah beberapa detik, tampak kebingungan. Dan aku berpikir apakah Malfoy benar-benar bodoh? Tidakkah dia mengerti apa yang dikatakan Rose?
"Aku tak mengerti," kata Malfoy. "Aku benar-benar tak mengerti apa yang kaukatakan."
"Bagian mana yang tidak kau mengerti?" tanya Rose.
"Semuanya," jawab Malfoy.
"Apakah sekarang kau sedang mempermainkanku?" tanya Rose jengkel.
"Tidak," jawab Malfoy serius. "Apakah aku terlihat sedang mempermainkanmu?"
Rose memandang wajah serius Malfoy dengan bingung. Untuk beberapa saat keduanya tak berbicara, hanya saling pandang.
"Arrgh!" Rose akhirnya mengeluarkan suara frustrasi. "Aku tak tahu. Aku sungguh tak tahu apa yang kaupikirkan."
Malfoy memeluk Rose lagi. Dan sambil membelai rambut Rose, dia berkata, "Aku membuatmu bingung. Maaf. Aku akan berusaha untuk tidak melakukannya lagi."
Setelah beberapa detik dalam pelukan Malfoy, Rose memberontak melepaskan diri.
"Nah, apa lagi sekarang?" tanya Malfoy, wajahnya berubah pink. Kurasa dia agak marah.
"Jangan lakukan ini padaku!" kata Rose.
"Jangan lakukan apa?"
"Jangan memelukku!"
"Mengapa?"
"Apakah kau bodoh?" tanya Rose jengkel.
"Tidak, kukira yang bodoh itu kau."
Wajah Rose memerah. "Dengar, Malfoy, aku bukan salah satu dari groupies-mu, jadi jangan seenaknya saja kau memelukku."
"Aku tak menganggapmu salah satu dari groupies-ku."
"Jadi kau mengganggapku apa? Salah satu dari cewek gampangan Hogwarts?"
"Nah, nah, ada apa sih denganmu? Aku memelukmu karena kau adalah pacarku. Apakah sekarang kau berubah pikiran dan tak ingin jadi pacarku?"
Lily, Hugo, Rose dan aku terpana memandang Malfoy. Ternyata kejadiannya seperti ini. Rose dan Malfoy pacaran. Tapi sejak kapan? Mengapa Rose tak mengatakannya padaku? Yang lebih mengherankan lagi, mengapa tadi Rose mengatakan ingin melupakan Malfoy?
"Mengapa tiba-tiba aku sudah jadi pacarmu?" tanya Rose, bingung. "Aku tak ingat kau pernah memintaku jadi pacarmu."
"Apa sekarang kau ingin menyangkalnya? Bukankah semalam kau bilang kau mau jadi pacarku?"
"Semalam?" ulang Rose. "Dalam mimpimu?"
"Dalam mimpi?"
"Apa lagi? Kalau tidak, salah satu dari kita pasti sudah gila."
"Yang pasti bukan aku," kata Malfoy jengkel.
"Malfoy, dengar ya, aku baru saja bangun pagi ini! Aku tak sadarkan diri dan tinggal di rumah sakit selama hampir 3 hari. Bagaimana bisa semalam aku bertemu denganmu dan jadi pacarmu?"
Malfoy terbelalak memandang Rose selama beberapa saat. Dan sambil bergerak perlahan menjauhinya, dia berkata, "Jangan katakan—jangan katakan kau tak ingat apa yang terjadi semalam!"
"Malfoy, aku sudah bilang, aku baru saja bangun setelah tak sadarkan diri selama—"
"Cukup, aku sudah mendengarnya!" Malfoy menghentikan Rose dengan ekspresi kecewa. "Kurasa kau sudah melupakanku lagi. Hebat! Benar-benar hebat! Lagi, dan lagi kau melupakanku. Kepandaian terbaikmu adalah melupakan, bukan, Weasley? Dan kau tahu sekali cara menghancurkan hatiku."
Rose terpana, tampak merasa bersalah. "Apakah—apakah terjadi sesuatu pada kita di Dermot? Apakah kita berdua jadi dekat? Dengar Malfoy, karena shock akibat jatuh dari tebing, aku hilang ingatan. Aku tak ingat apa yang terjadi sejak aku—sejak tanggal satu, seminggu yang lalu. Aku tak ingat pernah ke Dermot dan tak ingat pernah ada di Teluk Pixy bersamamu. Kalau kau tahu apa yang terjadi, kau bisa mengatakannya padaku, jadi kita tak perlu saling salah paham seperti ini!"
Malfoy terdiam selama beberapa saat, lalu berbicara pelan tanpa memandang Rose, "Wajar saja kau tak ingat, itu bukan ingatanmu, itu ingatan Black Rose." Dia memandang Rose. "Apakah kau ingat pernah keluar dari tubuhmu dan menjadi roh?"
Ya, kurasa Malfoy sekarang sudah benar-benar gila. Dan Rose juga tampaknya berpendapat sama, dia memandang Malfoy dengan wajah merah padam.
"Scorpius Malfoy," geramnya. "Kalau aku menjadi roh, hal pertama yang akan kulakukan adalah menghantuimu sampai kau mati."
"Sebenarnya, Weasley, kau telah melakukan."
"Apa maksudmu?" tanya Rose jengkel.
Malfoy tak menjawab, dia malah bertanya, "Apakah kau ingat alasan kau meng-Avada-Kedavra dirimu sendiri?"
"Kau tahu aku meng-Avada-Kedavra diriku sendiri?"
"Ya, jadi apa alasanmu?"
Rose menghindari pandangan Malfoy, dan berkata, "Oh, bukan sesuatu yang berarti. Kurasa kau tak perlu tahu."
"Sebenarnya aku tahu, dan—" Malfoy menggelengkan kepala dengan sedih. "Sayang sekali, Weasley, sesuatu yang harusnya indah dan membahagiakan terpaksa harus berakhir."
"Apa sebenarnya maksudmu?"
Sekali lagi Malfoy tak menjawab pertanyaan Rose, dia berkata, "Aku harus pergi. Selamat tinggal, Weasley, terima kasih untuk segalanya!" Dia berjalan ke pintu.
Rose terperangah selama beberapa detik, lalu berseru, "Tunggu!"
Malfoy terus berjalan.
"Scorpius Malfoy, aku bilang tunggu!" perintah Rose, lalu bergerak turun dari tempat tidur dengan cepat dan menyusul Malfoy yang terus berjalan.
"Apa?" Malfoy mendelik saat Rose berdiri di depannya untuk menghalangi jalannya ke pintu.
"Bisakah kau tidak bertindak dramatis?" tanya Rose. "Bisakah kita duduk dan berbicara tentang apa yang terjadi di Dermot?"
Malfoy hanya memandang Rose.
"Dengar, kau tak bisa menyalahkan aku karena aku hilang ingatan. Bukan salahku ingatan itu hilang!"
"Bukan hal baru, Weasley, kau sudah sering melupakan banyak hal. Seharusnya aku tak heran," kata Malfoy, lalu bergerak ke samping untuk menuju pintu.
Sekali lagi Rose menghalangi jalannya. Mereka bertatapan selama beberapa saat, dan Rose berkata, "Kalau kau pergi sekarang aku tak akan pernah bicara lagi denganmu. Aku serius!"
Malfoy hanya mengedutkan alisnya sekilas, lalu keluar kamar, meninggalkan Rose yang berdiri terpaku di tempatnya.
"Rose!" panggil Lily ragu setelah beberapa saat. "Kau baik-baik saja?"
Rose memandang Lily. "Ya, baik, sangat baik, Lily—" jawab Rose, lalu mengumpat dan memaki Malfoy dengan makian yang didengarnya dari Teddy.
"Sudahlah, Rose!" kataku, karena Rose masih mengumpat setelah beberapa menit kemudian.
"Kau tahu, Al, kurasa si Mayat-Hidup-Malfoy sengaja melakukannya. Dia sengaja membuatku merasa bersalah."
"Jadi, kau tak perlu merasa bersalah," kataku. "Kalau dia benar-benar ingin ingatan tentang Dermot itu kembali, dia pasti akan membantumu mengingatnya, dia pasti akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi melihat apa yang terjadi tadi, kurasa dia tak ingin melakukannya. Dan lagi, kau sudah tidak menyukainya, kan?"
Setelah terdiam selama beberapa saat, Rose berkata, "Kau benar, Al, aku sudah tidak menyukainya."
"Bagus," kata Lily. "Ayo kita susun rencana untuk mencari pacar impian."
Rose dan Lily lalu membandingkan cowok-cowok Hogwarts yang menarik berdasarkan tipe favorit Lily, yaitu yang mirip Teddy.
Sincerely,
Al
PS: Aku sangat berharap tak ada hal penting yang telah dilupakan Rose.
Tanggal: Senin, 23 Agustus 2023
Waktu: 09.30 am
Lokasi: Godric's Hollow 145, West Country
Tak banyak kejadian penting terjadi setelah kejadian di rumah sakit itu. Kami mengadakan pesta untuk Rose malam itu, dan Rose berjanji bahwa dia tidak akan melakukan aksi bunuh diri lagi, kemudian meyakinkan kami semua bahwa dia tak ada hubungannya dengan Malfoy. Setelah itu, kami mengadakan beberapa pesta lagi, yaitu pesta ulang tahun Hugo, pesta ulang tahun Dad, pesta ulang tahun Mom dan pesta ulang tahunku. Sejujurnya, aku tak begitu suka merayakan ulang tahun. Tapi, setiap kali aku mengeluhkan hal itu, Mom berkata, "Seharusnya kau senang, Al, ulang tahunmu tepat di liburan musim panas dan kau bisa merayakannya di rumah." Ya, sebenarnya aku tak boleh mengeluh, James, Rose, Lily, dan para sepupu merayakan ulang tahun mereka di Hogwars.
Dan setelah pesta ulang tahun yang cukup meriah dengan dihadiri oleh para sepupu beserta pacar-pacar mereka, aku sudah bisa menggunakan sihir. Aku tujuh belas tahun dan sudah diijinkan untuk menggunakan sihir tanpa meninggalkan jejak. Sekarang aku bisa memblokir suara kodok Lily dari kamar mandi.
Tapi, pagi ini tak ada Mars Kementrian sihir, Mars Hogwarts, ataupun beberapa bait lagu dari pertunjukan Hamlet, yang terdengar hanyalah bunyi desis sesuatu yang digoreng Mom di dapur. Aku membuka mataku dan berpikir bahwa ini aneh. Setelah berganti pakaian dengan cepat, aku segera melangkah ke dapur.
"Mom," aku menyapa Mom dan duduk sambil menarik roti bakar. "Rumah sepi."
"James masih tidur, sedangkan Lily dan ayahmu sudah pergi," jawab Mom, menuangkan susu ke gelas di depanku
"Kemana?"
"Ayahmu ke kantor, tentunya. Lily pergi ke London."
"Lily pergi ke London?" ulangku tak percaya. "Sendiri?"
"Tidak, bersama Rose."
"London mana? Diagon Alley?"
"Kalau kau ingin tahu, Al, sebenarnya mereka pergi ke London-nya Muggle."
"Apa yang mereka lakukan di London Muggle?" tanyaku heran.
"Banyak hal, itu daftarnya," kata Mom, menunjuk sebuah perkamen yang banyak coretannya di atas meja. "Mereka tadi sarapan di sini sambil menyusun rencana."
Aku mengambil perkamen yang dimaksudkan Mom dan mulai membaca.
Kegiatan hari ini Rose Weasley dan Lily Potter
Senin, 23 Agustus 2023
9 am:Sarapan
9:30 am: Ber-Disapparate ke Gringgots untuk menukar Galleon dengan Pounds
10 am: Naik bus ke Beddington
11 am – 5 pm: melakukan perawatan tubuh, tangan, kaki, kuku, rambut dan wajah di Beddington Beauty Salon
5 pm – 8 pm: berbelanja di beddington shopping center, lalu pulang.
"Sempurna, bukan?" Mom tersenyum ceria, sementara aku meletakkan perkamen di atas meja.
"Apa tak mengerti," kataku. "Rose dan Lily sudah cantik tanpa perlu pergi ke Beauty Salon."
"Ya, tapi itu akan membuat mereka lebih cantik, kan? Mereka juga akan diajarkan cara menggunakan make-up yang benar."
"Mereka kan bisa belajar menggunakan make-up dari Victoire atau Dom atau Roxy dan—"
"Ah, anak laki-laki tak akan mengerti," kata Mom, lalu duduk di depanku. "Menurutku ini sangat baik untuk Rose. Dia perlu kepercayaan diri setelah apa yang dialaminya. Dia perlu tahu bahwa dia sangat cantik dan banyak pemuda Hogwarts yang jatuh cinta padanya."
"Bukankah semua orang melarang Rose dan Lily pacaran sebelum lulus Hogwarts?" tanyaku. "Mom tahu James menakuti beberapa orang yang mencoba mendekati mereka."
"Tak ada yang melarang mereka pacaran sebelum lulus Hogwarts," kata Mom, heran. "Ah, pasti itu ulah James. Pantas saja. Selama ini aku bertanya-tanya mengapa Rose dan Lily belum punya pacar."
"Jadi, menurut Mom mereka boleh berpacaran?"
"Tentu saja, mengapa mereka tidak boleh punya pacar?"
"Er, yah, kupikir—"
"Kau terlalu banyak berpikir, Al, persis seperti ayahmu. Tahun ini biarkan Rose dan Lily melakukan apa yang mereka inginkan. Apalagi Rose, biarkan dia bersenang-senang!"
"Oke," kataku, lalu teringat sesuatu. "Tapi tentang Lily, bukankah dia dijodohkan dengan Lysander?"
Mom tertawa kecil. "Oh itu. Luna benar-benar ingin agar Lily akhirnya menikah dengan Lysander. Tapi, itu tergantung Lily, kan? Kalau dia menyukai Lysander, mereka tentu akan menikah, dan itu pasti membuat Luna dan aku senang. Tapi kalau dia tak menyukai Lysander tak apa-apa. Ayahmu dan aku tak mungkin memaksanya menikah dengan Lysander, jika dia tak menyukainya."
Aku memandang Mom tak percaya. "Bukankah Mom dan Luna menggunakan Sumpah-Tak-Terlanggar untuk mengikat Lily dan Lysander?"
"Tidak," jawab Mom. "Siapa bilang aku menggunakan Sumpah-Tak-Terlanggar? Aku tak mungkin melakukan itu pada Lily."
"Oh syukurlah," kataku. "Selama ini Lily mengira Mom dan Luna menggunakan Sumpah-Tak-Terlanggar. Pasti Lysander-lah yang telah menipu Lily. Tahu tidak, Mom, Lily sangat membenci Lysander."
"Mengapa?" tanya Mom heran. "Kupikir mereka akrab. Lysander sering menulis dan bercerita tentang Lily."
"Mom berkorespondensi dengan Lysander?" Informasi itu membuatku terperangah. Lysander memang sangat licik. "Jangan percaya apapun yang ditulis Lysander tentang Lily, Mom!"
"Entahlah, Al," Mom berbicara sambil mengerutkan kening. "Harus ada yang menceritakan tentang apa yang terjadi padaku, kan? Kau terlalu menyayangi Lily untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi."
Aku ingin membantah, tapi dua burung hantu hitam gagah masuk melalui jendela dapur dengan berisik. Keduanya membawa surat tebal yang ada lambang Hogwartsnya. Mom segera melepaskan surat yang ada nama Lily, sedangkan aku mendekati burung hantu satunya untuk melepaskan suratku.
Suratku berisi pemberitahuan yang biasa di awal tahun ajaran, daftar buku untuk kelas tujuh, dan surat resmi lain yang mengatakan bahwa Profesor McGonagall telah memilih aku sebagai Head Boy, alias Ketua Murid.
Aku terperangah, tak percaya. Pasti ada kesalahan, tak mungkin McGonagall memilihku jadi Ketua Murid. Tapi sebuah lencana merah bertuliskan Head Boy terjatuh dengan riang di tanganku. Yeah, kurasa aku harus menerima kenyataan bahwa McGonagall memilihku jadi Ketua Murid. Perasaanku bisa digambarkan dalam satu kata: Sialan!
Mom memandang lencana di tanganku selama beberapa detik, berteriak gembira, lalu menciumku dengan keras di pipi.
"Oh, Al, aku senang sekali! Kau adalah Ketua Murid kedua setelah Victoire. Malam ini kita akan merayakannya. Aku—aku akan mengirim burung hantu pada ayahmu dan semuanya—Oh, semua harus hadir di pesta malam ini."
Mom keluar dari dapur dan aku duduk merenung memandang lencana di tanganku. Mengapa McGonagall memilihku jadi Ketua Murid? Nah, itu pertanyaannya: mengapa? Aku bukannya sedang mengalami krisis kepercayaan diri atau apa. Aku benar-benar tidak memiliki kualifikasi untuk jadi Ketua Murid. Aku memang murid Hogwarts yang baik dan jarang membuat masalah. Tapi jarang, artinya aku pernah membuat masalah dan masih akan membuat masalah di masa depan. Dan lagi, aku bukanlah Prefek Gryffindor yang rajin melakukan patroli di koridor. Aku sering sekali bolos dan Rose selalu menggantikanku. Kurasa McGonagall tahu itu. Jadi mengapa? Mengapa dia masih memilihku jadi Ketua Murid? Sejujurnya, aku tak suka melibatkan diri dengan segala urusan resmi sekolah, aku lebih suka bersantai dan bersenang-senang tanpa terikat dengan segala tugas dan tanggungjawab. Dan sebenarnya, setelah Roxy lulus, aku sangat berharap Neville—maksudku Profesor Longbottom mengangkatku menjadi kapten Gryffindor. Aku sangat ingin menjadi kapten Gryffindor seperti Dad. Aku pernah menyinggung hal itu padanya, tapi mengapa? Mengapa dia tak memilihku jadi kapten Gryffindor?
Mom masuk lagi ke dapur dengan gembira.
"Apakah Rose mungkin dipilih sebagai Head Girl?" tanyaku penuh harap. Semua akan lebih menyenangkan jika Rose juga Ketua Murid.
"Oh, akan sangat bagus kalau Rose jadi Head Girl," kata Mom senang, lalu menggelengkan kepala. "Tapi dengan adanya segala macam yang dilakukannya bersama Malfoy, kurasa dia tak akan dipilih jadi Head Girl."
"Ya, seharusnya tahun ini Rose dan Malfoy-lah Ketua Muridnya, bukan aku," kataku jengkel, bukan pada Mom, tapi pada McGonagall dan Neville. "Aku lebih suka jadi Kapten Quidditch."
Mom sekarang memandangku dengan heran. "Mengapa kau merasa Rose dan Malfoy lebih baik darimu?"
"Bukan, aku bukan merasa mereka lebih baik dariku. Aku hanya tidak ingin jadi Ketua Murid. Aku lebih suka—"
"Kau lebih suka jadi Kapten Quidditch, aku sudah mendengarnya. Tapi, Al, kau sudah dipilih jadi Ketua Murid. Kau harus menerima itu sebagai tanggungjawab. Jangan melepaskan tanggungjawab hanya karena kau tidak suka dengan apa yang harus kaukerjakan."
Mom memandangku dengan tajam dan aku mengalihkan pandangan. Kurasa, entah bagaimana, Mom tahu aku akan membolos dari tugasku sebagai Ketua Murid.
Sincerely,
Al
PS: Tahun ini akan jadi tahun tanpa bersenang-senang. Sialan!
Tanggal: Senin, 23 Agustus 2023
Waktu: 08.30
Lokasi: Godric's Hollow 145, West Country
Semua orang berkumpul di rumah untuk merayakan terpilihnya aku jadi Ketua Murid. Sialan! Aku benar-benar membenci ini. Oke, lupakan kesialanku, kita kembali pada apa yang terjadi malam ini. Kejutan malam ini adalah Rose dan Lily yang benar-benar menakjubkan. Keduanya benar-benar cantik dan enak dipandang. Rambut Rose tidak lagi mengembang mengerikan sampai ke pinggangnya, tapi sudah dirapikan menjadi ikal yang indah sebatas punggung. Pakaian yang dipakainya bukan lagi kombinasi aneh rok jingga mencolok yang bagian bawahnya dipotong bergerigi, kaos kuning berlubang di bagian perut dan sweater merah melorot yang dulunya punya Uncle Ron. Yang dipakainya sekarang adalah rok putih polos sebatas lutut dengan blouse biru lembut yang sesuai dengan matanya. Sepatunya juga bukan lagi boot hitamnya yang biasa, tapi sudah diganti dengan sandal cantik warna biru. Sementara make-upnya bukan lagi make-up ala Shadower dengan banyak warna hitam dipelupuk mata dan bibir merah menyala, tapi sudah diganti dengan warna-warna natural yang sesuai untuknya. Intinya, Rose yang dulunya adalah kombinasi nyentrik dan Shadower, sekarang menjadi feminine dan natural.
Dan Lily benar-benar sangat manis dengan potongan rambut terbarunya. Rambutnya telah dipotong sangat pendek model bob dengan poni yang menutup kening sampai alis mata. Pakaiannya bukan lagi baju bekas James dan jeans robek di bagian paha dan lutut, tapi sudah diganti dengan sundress warna merah yang sesuai dengan rambutnya. Sepatunya bukan lagi sepatu karet putih yang biasa dipakainya untuk mengejar Hugo, tapi sepatu bertumit rendah berwarna merah. Dia juga memakai make up natural yang sesuai dengannya. Intinya, dia benar-benar sangat cantik.
"Kalian benar-benar menakjubkan!" aku mengulang apa yang sudah kukatakan saat mereka baru kembali dari London. Saat itu acara makan malam telah berakhir dan kami sedang duduk di teras depan rumah bersama Fred, James, Louis, Lyra, Roxy dan Hugo.
"Yeah," seru Rose, tampak tak begitu antusias.
"Aku merindukan jeans-ku," kata Lily. "Dan mataku terasa berat."
"Jangan bodoh, Lily!" kata Roxy. "Kau sudah pernah memakai mascara."
"Dan aku merindukan sweater merahku," kata Rose.
"Hal pertama yang kaulakukan saat masuk ke kamarmu malam ini, Rose, adalah mengosongkan isi lemarimu dan mengantikannya dengan apa yang telah kau beli di London hari ini," kata Roxy. "Kau juga, Lily, buang semua kaos lama James dan Al yang ada di lemarimu."
"Favoritku adalah kaos merah bekas James yang ada gambar naganya," kata Lily.
Roxy memutar bola matanya.
"Apakah waktu kecil kalian menyuruh Lily mengenakan kaos bekas?" tanya Lyra pada James dan aku.
"Entahlah," jawab James, lalu memandangku.
"Sebenarnya waktu kecil Lily tak diijinkan bermain dengan James, Hugo dan aku kalau dia pakai rok atau gaun yang mudah robek. Jadi, dia selalu meminjam baju James atau bajuku."
"Kau kan bisa bermain bersama Rose, Lily," kata Lyra.
"Ah, Rose membosankan," kata Lily, membuat Rose menaikkan alisnya tinggi-tinggi, tapi Lily tertawa dan melanjutkan, "Rose hanya duduk saja membaca buku."
"Jangan bohong, Lily!" kata Rose.
"Aku tahu," kata Lily. "Kau akan ikut bermain bersama kami kalau kami menantangmu."
"Jika ada yang menantangnya, Rose tak akan pernah mau kalah," kata James, tertawa.
Aku juga tertawa. Ah, kalau mengenang masa lalu memang tak akan ada habisnya.
"Bagaimana perasaanmu sekarang, Al?" tanya Fred. "Apakah kau senang jadi Ketua Murid?"
Aku mendengus. "Kau tahu aku ingin jadi kapten Gryffindor."
"Semula aku juga mengira begitu," kata Roxy. "Kupikir Neville akan memilihmu jadi kapten."
"Aku juga," kata James. "Kupikir Rose yang jadi Ketua Murid dan kau kapten."
"Kurasa skandal Rose dan Malfoy telah menjauhkan kesempatan mereka menjadi Ketua Murid," kata Louis.
"Kupikir Mcgonagall tak peduli pada skandal-skandal seperti itu," kata Roxy.
"Mom menulis pada McGonagall tentang stress yang kualami. Kurasa Mom memintanya untuk tidak menambah stress-ku dengan tugas Ketua Murid. Mom menyuruhku untuk bersenang-senang dan mencari pacar."
"Bagaimana dengan Uncle Ron?" tanya Louis.
"Dad, oke," jawab Hugo. "Dia setuju dengan apapun yang Mom katakan. Tapi dia memperingatkan Rose untuk tidak terlalu dekat dengan anak-anak Slytherin, apalagi—"
"—apalagi yang nama belakangnya Malfoy," sambung James.
"Kudengar dia menolak pernyataan cintamu di malam Valentine, Rose, apakah kau ingin aku mengirimnya kutukan?" tanya Fred penuh harap.
"Oh, jangan itu lagi! Bisakah kita tidak membahas tentang Malfoy dan aku?"
"Ya, ya," kataku segera, lalu cepat-cepat mencari topik. "Rose, apakah kau bisa menebak siapa yang akan jadi Head Girl?"
Rose berpikir sebenar. "Mungkin saja Madeline Goldstein dari Ravenclaw."
Aku memutar otak, mencari informasi tentang Madeline Goldstein. "Cewek pirang dengan bibir sexy atau cewek yang selalu memakai bunga gardenia di rambutnya?"
"Cewek yang selalu memakai hiasan di rambutnya itu namanya Daisy Boot, Al, dan kita selalu sekelas dengan Ravenclaw saat Mantra, masa kau tak bisa menempatkan nama mana untuk wajah yang mana?"
Aku tertawa. Jujur saja, aku tak memperhatikan cewek-cewek Hogwarts. Terlalu banyak cewek yang ada di sekitarku.
"Jadi yang mana Madeline Goldstein?"
"Yang pirang," jawab Rose.
"Dengan bibir yang sexy. Ah, kalau saja dia Head Girl-nya, aku tak akan melewatkan tugasku sebagai Ketua Murid."
"Jangan senang dulu! Bisa saja, Gillian Smith dari Hufflepuff."
"Oh, kalau Jill, aku tahu. Aku pernah berkencan dengannya selama beberapa minggu. Nah, aku malah lebih suka dia jadi Head Girl."
"Atau Ariella Zabini dari Slytherin."
"Semoga bukan dia," kataku, penuh harap. Aku bukannya membenci Ariella Zabini, aku hanya tak bisa menghadapi cewek yang sombong dan tinggi hati. Sayang sekali, padahal dia sangat cantik, cantik sekali. Dari rambut, wajah, tubuh dan caranya berbusana semuanya sempurna. Dia tak pernah tidak membuatku terpesona pada kecantikkannya. Aku selalu suka melihatnya dan mengagumi kecantikannya. Selama dia tutup mulut dan tidak mulai menyombongkan diri, aku mungkin akan terus terpesona padanya.
"Apakah dia cewek yang berambut merah gelap itu?" tanya Fred, membuyarkan lamunanku tentang Ariella Zabini.
"Ya, dia," jawab Rose.
"Kupikir kau menyukainya, Al?" tanya James. "Bukankah kau berdansa dengannya dan mentraktrirnya makan es krim?"
"Yeah, sebenarnya aku memang menyukainya, dia cantik sekali. Dia cewek paling cantik di Hogwarts, tapi—"
"—tapi, sikapnya sama sekali tak secantik parasnya," sambung Rose.
"Benar." Aku mengangguk. "Secantik apapun dirimu, kalau kau bersikap sombong, tinggi hati dan memandang rendah orang lain, maka tak ada seorangpun yang akan menyukaimu."
"Padahal banyak sekali cowok yang menganggapnya cantik," kata Rose. "Mereka membicarakannya, tapi tak ada yang benar-benar menyukainya."
"Dia juga tak punya teman," kata Lily. "Tak ada yang mau berteman dengannya. Dia hanya berteman dengan Malfoy, Vincent dan Nerissa Goyle."
"Sama saja dengan kalian, kan?" kata Lyra pada kami. "Di Hogwarts kalian hanya berteman antar kalian."
"Tidak juga," kata Fred segera. "Aku memang sering bersama Louise dan James, tapi aku punya beberapa teman lain."
"Aku juga," kata James. "Ada beberapa temanku di Hogwarts Night—"
"Ya," kata Louise, secepat kilat menghentikan James, entah apa sebenarnya yang ingin dikatakan James. "Aku punya beberapa teman cewek di Ravenclaw."
"Aku juga," kata Roxy. "Bukahkah aku berteman denganmu di Hogwarts?"
"Kita tidak bisa dibilang berteman," kata Lyra pada Roxy.
"Lalu apa?" tanya Roxy.
Tapi Lyra tak menjawab, dia segera memandang Rose. "Bagaimana denganmu, Rose? Kau tak berteman dengan siapapun selain Al, kan?"
"Aku punya teman cewek, kok," kata Rose. "Suzanne, Wendy, dan Sonia. Mereka sekamar denganku di Hogwarts dan aku sering pergi ke Hogsmeade bersama mereka. Percayalah, Lyra, aku tak selalu bersama Al. Dia sibuk dengan teman kencannya."
"Ya, ya," kataku. "Aku juga punya beberapa sahabat cowok di Hogwarts. Ada empat teman sekamarku dan aku berteman baik dengan mereka."
"Aku juga punya teman," kata Lily. "Kalian ingat Zoe? Aku berteman dengannya, lalu ada Sally. Dan Nerissa—Yeah, meskipun dia tak mau mengakuinya."
Kami semua memandang Hugo.
"Hugo, jangan bilang kau tak punya teman di Hogwarts!" kata Rose.
"Yeah," kata Hugo. "Aku terlalu sibuk untuk bisa berteman, sebenarnya."
"Kau sibuk apa, sih?" tanyaku, heran.
"Aku melakukan banyak hal. Aku—"
"Tapi bukankah kau sering bersama Jason, Samuel dan Jake?" tanya Lily.
"Kalau sering bersama mereka disebut berteman, oke, berarti aku punya teman."
Aku memutar bola mataku dan berpikir bahwa dipikiran Hugo tak ada hal lain selain bagaimana cara meramu jantung naga menjadi ramuan obat.
Sincerely,
Al
PS: Kuharap Gillian Smith adalah Head Girl.
Sampai jumpa di KNG 10 chapter 2
Review please!
RR :D