26/03-16


[Kwon]


Jadi namanya Lee Jihoon, pemuda yang punggungnya sangat kecil dan rambutnya berwarna merah muda. Dia duduk tepat didepanku. Dia tuli. Jadi setelah guru menerangkan sesuatu dia akan menuliskan kalimat pertanyaan di Note besar dan berdiri. Seperti 'Pak bisa tuliskan kenapa verb1 dan verb2 berbeda?' atau 'Apakah benua Asia benua yang paling besar?'

Dan kami semua akan diam, sementara Lee Jihoon sibuk bertanya. Kami akan menyebutnya 'jihoon Time'.

Sebenarnya hari pertama tidak ada yang salah dengan Lee Jihoon. Kami juga tidak terlalu mempermasalahkannya, namun tiba-tiba segerombolan anak perempuan ditengah mulai mencibirnya, menyorakinya bahkan menjelek-jelekkannya.

"Tidak apa, toh dia tidak dengar" Kata yang selalu keluar dari mulut mereka, disusul tawasana-sini yang membuatku muak. Aku memang jahil, tapi aku tidak suka berisik yang seperti itu.

Siangnya saat istirahat makan siang aku bertemu dengan Lee Jihoon di depan kolam dekat jendela kelas kami. Aku dan dia bertatapan. Yang aku heran kenapa ia senang sekali tersenyum seperti itu? Jun dan Seokmin dibelakangku mencibir sinis.

"kenapa tersenyum seperti itu, heh?" Aku membentakknya. Tidak apa, toh dia tidak dengar.

Dia semakin tersenyum lebar, membuat gerakan aneh dengan tangannya lalu menunjuk diriku lalu dirinya dan menggenggam kedua tangannya. (Aku tahu itu bahasa isyarat, tapi aku tidak mengerti artinya)

Yang lebih aneh, dia mengulurkan tangannya padaku. Aku melirik Seokmin dan Jun yang mengernyit jijik, dengan reflek ku tepis tangannya lalu mendorong pemuda yang lebih kecil dariku itu kebelakang. Dia memekik kecil lalu tersungkur ke tanah.

Aku meninggalkannya bersama Seokmin dan Jun yang merangkul bahuku antusias.

.

.

Hari-hari berikutnya terasa berwarna menurutku. Tidak putih sepeti biasanya– membosankan. Terdengar kejam mungkin, tapi aku tidak menyesal sama sekali.

Aku jadi sering mendorong si merah muda, menjegalnya ketika berjalan atau bahkan menyelanya saat sedang bertanya. Mr. Han tidak memarahiku, malah ikut tertawa bersama dengan yang lain.

Sial, bahkan dengan keadaan tersiksa seperti itu dia masih bisa tersenyum seperti orang idiot. Oh- dia memang idiot. Si tuli yang idiot.

Hari kamis setelah aku melompat dari atas jembatan dengan Jun, Ibuku memarahiku habis-habisan setelah memoles cat rambut oranye pada pelanggannya. Ibu punya salon di depan rumah kami. Itu menjelaskan kenapa rambutku berwarna blonde dengan cipratan laut dipucuknya.

"Hoshi-chan! Lihat, temanmu berkunjung untuk mengganti warna rambutnya, kawaii desu ne?" Itu ibuku, asli dari negeri dimana Mashashi Kisimoto melahirkan Naruto atau bahkan Yoshito Ushui membuat Sinchan terlihat konyol. Ayahku sendiri entah dimana, yang kutahu ia bermarga Kwon dan bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Kota.

Wajah pucat dengan senyum mengembang bebas yang melekat terlihat saat cahaya merefleksi cermin datar, aku tertegun –maksudnya, kenapa aku tidak menyadari bahwa wajahnya sangat lucu? Lee Jihoon dengan segala keanehannya sedang duduk manis sementara Ibuku tercinta memoles cat rambut di surai yang terlihat lembut dari belakang.

Mataku melihat bagaimana tirai melambai dipojok sana ketika Lee Jihoon menangkapku dalam pengelihatannya yang tajam. Lampu dijalan berkedip-kedip, membisikkan sesuatu seperti mari-lihat-dan-perhatikan ketika aku mendengar pekikan lembut dari depan.

"cunwong?" Lee Jihoon kecil menolah padaku, memanggil namaku meski kedengarannya jauh dari namaku yang sebenarnya. Aku menatapnya, tidak sengaja melihat plester bergambar binatang yang tertempel rapi ditelinga kanannya. Hatiku agak terkikis, salahku. Aku menyesal tapi semua temanku bak mendorongku untuk terus melakukan sesuatu pada pemuda kecil berbibir plum tersebut. Seperti mencopot paksa alat bantu dengarnya tadi, lalu ku lempar kedasar kolam. Sepertinya dia menceburkan diri kedalam kolam terlihat dari air yang menetes pada ujung sepatunya. Dan aku baru tahu kalau dia terluka, salahku kah?

Aku berlari, melewati Ibuku yang mengernyit bingung dan wanita dipojok yang menatap horor diriku.

.

.

Jendela itu tertutup oleh debu dan hujan membuatnya seperti uap menyembul. Tigapuluh empat hari setelah si tuli datang ke kehupan kami. Kami, yang artinya seluruh kelas.

"Dove!" Wonwoo memekik, mengepalkan kedua tangannya di depan dada, dahinya mengernyit—

"Bwope!"

—lalu mendesahkan nafas panjang.

"Book!"

"bwuk!"

Wonwoo dan Mingyu highfive. Aku sendiri tidak mengerti apa yang mereka pikirkan.

Kami sedang istirahat makan siang setelah pelajaran bahasa inggris berlangsung dua jam penuh. Padahal aku sangat berharap guru bule tersebut sakit atau mati tertabrak truk. Bercanda.

"Sudah hampir benar pelafalannya! Kau pinta Jihoonie~" Tangan Wonwoo terangkat untuk mengelus surai oranye nyentrik tersebut.

Dan Wonwoo asik mengajari Lee Jihoon mengucapkan bahasa inggris dengan baik dan benar. Meski kedengarannya jauh berbeda. Aku melirik mereka berdua —tiga, ditambah Mingyu yang selalu membuntuti Wonwoo ke toilet sekalipun.

Jihoon dengan surai oranye yang lusa kemarin Ibuku poles terlihat nyentrik diantara kepala-kepala makhluk seantero kelas. Warna rambutku sendiri sudah agak pudar. Aku mungkin harus menggantinya segera. Biru tua atau hitam—

"Love!" Wonwoo agak berbinar lalu melirik Mingyu.

"Wuv?"

Lee Jihoon menelengkan kepalanya, menatap Wonwoo dan Mingyu yang tengah bertatap, mendesah lelah lalu tersenyum lembut padanya.

"Love, Jihoon! Love!" Aku mendesis, sedikit gemas sendiri mendengarya. Yang kemudian ku tenggelamkan kembali wajahku pada kedua tangan diatas meja.

.

"Mengajari Lee Jihoon sama saja mengajari anak bayi baru lahir" Wonwoo tersenyum gemas. Junghan menyungging senyum terbalik lalu bergeser mendekati Jihoon. "Jihoonie anakku, Wonwoo-ya!"

Sekali lagi, aku menjadi tokoh pengamat dalam cerita fiksi yang di bintangi Lee Jihoon. Meski mataku sibuk menatap Inuyasa bertarung dalam psp mini atau bahkan mendengar bait lagu menggunakan earphone, fokusku hanya untuk Lee Jihoon. Rasanya aneh sekali, mendengar goresan pena dalam Notebook yang selalu ia bawa atau mendengarnya tertawa lepas bersama Wonwoo atau Junghan, bahkan kadang Mingyu.

.

.

Tiga jam setelah istiahat makan siang dan aku menatap loker sepatu yang terbuka lebar. Kotor seperti biasa, bahkan debu-debu dari sisa pijakanku sebelumnya terlihat sekali. Namun sepatu hitam yang Ibu belikan kemarin sore lenyap begitu saja. Bukan lenyap, aku yakin ada yang menyembunyikannya. Tidak mungkin kan sebuah sepatu berjalan-jalan mengelilingi sekolah ini begitu saja? Sudah 3 kali dalam seminggu sepatuku pergi tak kembali, dan itu membuat Ibuku yang kawaii luar biasa bangkrut dalam seminggu.

Jadi pagi berikutnya aku berangkat 40menit lebih pagi dari biasanya. Gerbangnya bahkan baru dibuka, satpam yang duduk di pos jaga melambaikan tangannya padaku dan aku tersenyum sedikit. Bangku-bangku di kelasku belum terisi oleh siapapun. Sekolah di waktu subuh benar diamnya, hening sekali. Langkah kakiku saja terdengar begitu nyaring di lorong yang sunyinya luar biasa.

Sepatu baruku saja ku taruh seperti biasa. Dan aku memutuskan untuk bersembunyi di belakang loker.

"Putih!" aku mendesis, melihat Lee Jihoon masuk kedalam kelas, langkahnya ringan dan bibirnya melekuk sempurna. Aku heran sangat dengan bocah itu, kenapa senyum manisnya tidak bosan melekat diwajahnya.

Aku mengamatinya berjalan diantara meja-meja. Dia berhenti lalu mengeluarkan sapu tangan dari tas punggungnya.

"Oh, dia di bully ya" ucapku kemudian. Setengah berbisik. Pasalnya meja dengan coretan hina itu tengah di bersihkannya dengan telaten.

Tangannya bergerak teratur. Sedikit menekan permukaan meja yang berderit ketika bergesekan dengan kain. Aku selalu penasaran kenapa dia bisa punya kulit seputih itu?

Well, aku sendiri tidak suka putih. Kematian punya anjing-anjing putih. Mama pernah bercerita tentang itu. Hantu juga berwarna putih dan dewa-dewa masa silam yang haus darah juga hanya bisa dipuaskan dengan binatang-binatang berwarna putih, seakan mereka lebih menyukai binatang-binatang yang masih suci. Dan itu tidak penting!

"Sepatu!" Aku menjentikkan jariku lalu berlari melewati dua deret loker dengan cepat. Diujung sana, aku terpaku sedikit. Seokmin dan Jun tengah berdiri didepan tongsampah —menyincing sepasang sepatu yang ibu belikan sore kemarin.

.

.

.

TBC


Note: AKHIRNYAAAAAAAAAAAAAAA AKU ADA WAKTU BUAT NGEPOST INI. INI CUMA 2 CHAPTER KOK CIUS SOALNYA AKU GAKUAT BIKIN ONESHOOT/G

Note(2): Seventeen mau kambek dan aku mau Un, siap. Asem banget, mana foto teasernya uji unyu sekali

Note(3): Maaf belum bisa balas review satu-satu, aku bingung(?)

AKu gatau mau ngomong apa. Dah/?