Naruto menjinjit-jinjit di antara lalu-lalang siswa yang mulai sepi. 'Chouji dan Lee!' seru Naruto dalam hati. Di sana ternyata ada Kiba juga yang bereaksi tidak senang karena Chouji memaksa Kiba dengan terus bertanya, apakah dia suka Hinata atau tidak. Naruto membalikkan badan lagi dan melipat tangan di besi beranda.

Naruto bimbang menyimpulkan bahwa reaksi Kiba hanyalah bentuk candaan atau tidak ingin didengar orang. Ah, sial! Kiba diam-diam menyukai Hinata juga? Naruto tak bisa membiarkannya. Rencana nekat terbesit di pikirannya.

Naruto mengepalkan tangan. "Aku tembak Hinata sekarang, ya?"

...

- DISCLAIMER Naruto © Masashi Kishimoto -

...

Ayo, Sapa Aku!

#04: Tunggu Aku!

Sakura menoleh cepat. "Heh? Kau serius, Naruto? Aku tidak salah dengar? Sejak kapan?" Ia terlihat tidak percaya.

"Sejak masuk SMA!" sahut Naruto tak peduli.

"Kiba, itu Hinata!"

Semua yang mengenal Hinata melihat dirinya yang kebingungan sendiri, perlahan diikuti gugup, gemetaran, dan keringat dingin. Tanda-tanda pingsan, nih. Naruto orang yang paling peka karena seruan si alis tebal langsung menghampiri Hinata dan menarik tangannya. Belum siap kaget yang pertama, sudah dikagetkan lagi. Huft.

Naruto membawa kabur Hinata ke tempat favoritnya di sekolah; halaman belakang alias parkiran.

Tanpa disadari oleh mereka, Kiba dan Sakura mengikuti. Mereka mengintip dari balik tembok. Hinata duduk di bangku panjang berhadapan dengan Naruto yang berdiri dan memegang kedua bahu Hinata. Ia terlihat seperti menenangkan Hinata dari dua kejutan tadi. Tapi sepertinya gagal total karena bola mata kosong Hinata harus bertemu dengan safir sejernih laut miliknya. Bukannya menenangkan, malah menambah kecepatan denyut jantung Hinata dan rona merah di pipinya.

"Woh." Kiba dan Sakura terdecak di balik tembok melihat potongan adegan itu.

Mata Hinata menyipit, ketakutan—bukan, tak tahan ditatap sedekat itu. "N-Naruto, t-tolong lepaskan tanganmu." pintanya semakin lemah.

Naruto tersadar. Ia melepas tangannya dan lagi-lagi menggaruk pipi. "M-maaf," ucapnya merasa bersalah. "Sebenarnya, aku hanya cemburu." Ia melempar pandangan pada sekeliling daerah itu, salah tingkah.

Hinata menggenggam sisi bangku, menahan tubuhnya agar tidak pingsan. "C-cemburu karena apa?" tanyanya semakin heran. Semua peristiwa itu beruntun terjadi begitu saja tanpa ada tanda apapun.

Di balik tembok, si pecinta anjing dan si pinky mempertajam telinga mereka.

"Kiba ... menyukaimu," selanya spontan.

"APA?" Kiba ingin mendatangi mereka, tapi Sakura segera menarik kerah bajunya untuk lanjut mendengar dulu.

Naruto meremas rambut. "Ah, susah, nih. Aku belum berpengalaman!"

"Hah?" Wajah Hinata semakin merah saat ia mendongak. Ia berusaha menahannya, tapi tak bisa. Banyak orang di sana, jadi itu tak mampu untuk dihindari.

Naruto pun belum berani menatap Hinata langsung. Ia melihat ke arah langit. "Sebenarnya ... Aku udah suka Hinata sejak masuk SMA," Kalimat pertama lancar. Naruto menarik nafas. "Aku selalu menunggu responmu setiap kali aku menyapa. Setiap hari, aku semangat belajar demi Hinata, karena kau tahu, aku merasa tidak punya apa-apa jika harus berhadapan dengan orangtuamu, terkhusus Neji."

Hinata tak berkedip mendengarnya walaupun mendongak.

"Aku selalu ingin di dekat Hinata. Aku berterima kasih pada Neji yang membuatku mengenalmu; Kami berada di SMP yang sama dulu. Tapi semenjak SMA, kau tinggal dengan Neji karena SMAnya sama. Begitu pula pada Sakura, alasannya sama. Dia jadi dekat dengan Kiba, dan aku bisa dekat denganmu sekalipun di kelas yang berbeda."

"N-Naruto, aku ..."

Naruto menggaruk (kali ini) kepalanya. "Hehe, alasannya terlalu pasaran, ya?" Ia duduk di samping Hinata.

Hinata menggeleng kuat. "A-aku merasa bersalah. M-maaf, aku memang segan k-kalau menyapa atau disapa orang yang baru atau belum kukenal." ungkapnya jujur.

Naruto salah tingkah. "Ah, ternyata karena itu."

Hinata mengangguk.

Lalu, Kiba dan Sakura muncul di hadapan mereka, seolah tidak tahu apa-apa.

"Hei, kalian tidak pulang?" tanya Kiba riang, menahan penasaran karena namanya disebutkan saat Naruto 'mengobrol' dengan Hinata.

Naruto menatap Kiba sedikit tidak senang, sedangkan Hinata memandang Kiba-Sakura dan Naruto bergantian. Sakura mengeluarkan ekspresi takut.

"Sebentar lagi." gerutu Naruto menahan emosi.

Akhirnya, mereka duduk berjejer dengan urutan dari paling kiri: Hinata, Naruto, Sakura, dan Kiba. Sepanjang lima belas menit, Hinata hanya menunduk, Naruto melipat tangan di dada dengan pandangan sinis, sedangkan Sakura dan Kiba asyik mengobrol seperti biasa; membicarakan aplikasi-aplikasi komputer. Sesekali, Sakura mengeraskan volume suaranya, seakan antusias, untuk menyembunyikan suasana tegang di antara mereka. Sesekali juga, Kiba tertawa garing seperti menjagokan dirinya.

Sakura melihat arlojinya. Ia membelok pelan ke arah Naruto, tapi untuk melihat Hinata. "Err, Hinata, ambil tasmu, yuk," ajaknya. "Kita pulang sekarang, ya, minna?"

Naruto berdiri, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, seolah tak peduli. Ia mengangkat dagunya sedikit, lalu berjalan masuk lagi ke dalam sekolah. Sakura mengisyaratkan Kiba dan Hinata untuk mengikutinya dengan tenang.

...

Mereka berempat berjalan pulang bersama seperti biasa. Tetapi, kali ini suasananya beda. Biasanya, Naruto semangat bertukar pikiran dan pengalaman dengan Sakura, karena bersama Kiba yang sekelas dengannya, ingin tahu juga bagaimana keadaan di kelas unggulan. Misalnya saja atmosfer keseriusan kelas X IPA 1 lebih tebal daripada X IPA 2, jadi kemungkinan untuk bercanda dan tertawa tidak sesantai di kelas Naruto dan Kiba. Mereka diam, masih canggung tentang kejadian barusan.

Naruto ingin bicara, tapi masih bimbang. Kiba ingin bicara, tapi takut alasannya tidak diterima oleh Naruto, sampai-sampai ia mengingat adegan-adegan lebay di sinetron. Sakura ingin bicara, tapi dia juga seperti Kiba. Hinata ingin bicara, tapi ada Kiba dan Sakura.

Grr, bagaimana ini?, pikir mereka semua dalam diam.

Naruto masih meniru gaya Sasuke, memasukkan tangan ke dalam saku celana. Kiba menopang kepalanya dengan kedua tangannya. Sakura berjalan seperti biasa. Hinata memain-mainkan kedua tangannya dengan berbagai gerakan.

Naruto tak tahan lagi. Sebagai satu-satunya yang berjalan paling depan, dan jaraknya agak jauh dengan ketiganya, ia berhenti, lalu berbalik.

"Kiba! Aku mau tanya sesuatu!" seru Naruto dengan wajah penasaran, bukan mengancam.

Kiba gelagapan. Dengan raut setengah bingung, ia mendekati Naruto.

"Sakura dan Hinata jangan dengar, ya," imbuh Naruto. "Ini urusan laki-laki." ujarnya tertawa.

Sakura melempar pandangan 'awas kau, ya!' yang dianggap Naruto hanya sebuah candaan.

Kiba mendekati Naruto dengan ragu. "Ada apa, Naruto?"

"Kau... suka Hinata, ya?" tanyanya tanpa memandang Kiba.

"HAH?"

"Psstt!" Naruto spontan meletakkan telunjuknya di bibir, tak menyangka Kiba akan sekaget itu. Yah, dia tidak tahu kalau sebenarnya Kiba memang tak punya perasaan apa-apa pada Hinata.

Kiba dan Naruto menoleh ke belakang. Mereka mendapati Sakura dan Hinata memandang mereka dengan tatapan kaget juga. Mereka sempat berpikir Naruto baru saja mengatakan 'Aku hamil!', tapi itu tidak mungkin, 'kan? Lalu, para cowok itu kembali pada topiknya walau takut dengan pikiran aneh kedua cewek di belakang mereka.

"Jawab saja, Kiba!"

"Jelas tidak! Maksudku, aku suka Hinata cuma sebagai teman. Lagipula, aku belum mengenal Hinata terlalu dalam. Yah, kita sering pulang bersama. Tapi, apa mungkin hanya dengan itu, rasa suka bisa tumbuh? Kurasa tidak."

Naruto mengangguk mendengar penjelasan Kiba. Dia rasa itu wajar. Alasannya juga masuk akal. Berarti, Naruto memang salah paham. Untung saja ia bisa menahan emosi. Logikanya masih berjalan normal, ia bertanya dulu sebelum memutuskan, karena ada kebimbangan di hatinya. Bagus, Naruto!

"Kiba, terima kasih, ya."

Kiba memiringkan kepalanya. "Untuk apa?"

"Untuk... tidak tahu?"

"He?"

Naruto tertawa. "Sebenarnya... aku suka Hinata."

"HAH?"

Naruto menjitak kepala Kiba. "Bodoh! Bisa-bisa pikiran mereka tambah negatif. Aku berbisik, tapi kau balas berteriak tidak jelas begitu!" gerutunya.

Kiba mengelus kepalanya yang terkena serangan Naruto. "Iya, iya. Aku minta maaf, deh." cibirnya.

Naruto menghela nafas. Ia maupun Kiba tak berani menoleh ke belakang. "Kalau aku tembak Hinata sekarang, kau mengizinkannya, tidak? Mumpung hari ini ulang tahun ayahku juga," pintanya. "Dan masalahnya adalah, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk mengumpulkan modal dulu, ditambah harus menghadapi si Neji dan ayah Hinata." curhatnya. Ia bingung. Kalau harus menunggu, Naruto takut Hinata diambil orang lain. Tadi saja, cuma salah paham mendengar ejekan Kiba menyukai Hinata, dia hampir naik pitam, apalagi kalau orang lain yang tidak dikenalnya?

Kiba terdiam. 'Sebesar inikah pengorbanan Naruto demi mendapatkan Hinata? Pantas dia makin rajin belakangan ini.' batinnya. "Ehm, itu terserahmu, Naruto. Itu hakmu. Kau yang memilih sendiri," ungkapnya jujur. "Tapi, kalau aku jadi dirimu, aku mengumpulkan modal dulu, sih. Berhadapan dengan Neji soalnya." lanjutnya mendadak merinding.

Naruto langsung memasang wajah tak enak karena mengingat Neji.

Naruto-Kiba dan Sakura-Hinata tetap berjalan pada kubu masing-masing. Sampai berpisah di perempatan, barulah mereka kembali dengan pasangannya. Maksud 'pasangan' untuk Kiba dan Sakura di sini adalah partner, sedangkan untuk Naruto dan Hinata tentu saja couple, hahaha! Pantaslah Kiba dan Sakura betah mengobrol tentang aplikasi dan komputer, ternyata arah pulangnya sama. Pastilah mereka ngomongin itu terus sampai ke rumah masing-masing. Sedangkan perasaan Naruto jelas saja semakin bertumbuh dan berkembang, ternyata arah pulangnya juga sama. Pastilah Naruto semakin menumbuhkan tekad dan semangat belajarnya.

Mungkin Hinata juga? Semoga.

Naruto membiarkan Hinata berjalan di belakangnya. Lalu, ketika berbelok, ia melambai sambil berseru, "Hinataaa! Tunggu aku, yaaa!" Tawa riangnya menghilang di balik tembok rumah yang berlokasi tepat di belokan.

Hinata mendongak. Wajahnya kembali memerah, namun ia tersenyum. Ia menarik nafas panjang. 'Naruto! Tunggu aku juga! Kita sama-sama berjuang, ya!' tekadnya sambil mengepalkan tangan.

Hm, Naruto, perasaanmu tersampaikan, walaupun di dalam diam.

.Selesai.

Huaaah, akhirnya selesai, Mbeng! Perjuangan mengadaptasi kenyataan ke ceritanya NaruHina.

Readers suka nggak, kalo Naruto yang jadi secret admirer-nya Hinata? Jadi Hinata-nya yang keliatan ga peka. Padahal aslinya Hinata yang jadi SA-nya Naruto, 'kan? Haha, supaya ga menstrim gituuu.

Heheee, sampai jumpa di fic NH lainnya!

They can imitate us, but they can't duplicate us.

'Cause we've got something special that makes them wanna test us.

They do it all day long, they addicted but it's wrong.

They do it all day long, they addicted but it's wrong.

Dari lagu Dawin yang "Dessert", saya ubah liriknya. Mungkin cocok untuk kita para NHL? XD