- DISCLAIMER Naruto © Masashi Kishimoto -

...

Ayo, Sapa Aku!

#01: Sapa Versus Diam

Punya gebetan pendiam memang agak sulit, ya. Saat kita menyapanya, dia diam. Kalau kita melempar senyum, dia diam. Di saat kita ingin melakukan pendekatan, dia malah diam.

Masih lebih baik kalau diamnya karena malu-malu—setidaknya aku tahu reaksinya. Nah, yang ini susah. Dia diam, dan aku tak tahu apa yang dipikirkannya, karena ekspresinya pun tak muncul saat kuberi 'rangsangan'.

Seperti itulah yang Naruto pikirkan.

Belakangan ini, diketahui bahwa Naruto sedang nge-gebet seorang gadis pendiam klan Hyuuga dari kelas tetangganya, X IPA 1. Kata mantan teman sekelasnya yang berpredikat sebagai sepupu gadis itu, dia memang berkepribadian pendiam dan sedikit pemalu, terlebih pada orang yang belum dikenalnya.

"Oh. Bukan karena aku tidak masuk kelas unggulan alias sekelas dengannya, 'kan?"

Naruto pernah bertanya seperti itu pada sepupu gebetan-nya yang diketahui bernama Neji Hyuuga.

"Tidak. Memang begitulah sifat Hinata; malu pada orang yang baru dikenalnya."

Neji menjawab santai waktu itu. Sebenarnya, dia terjangkit virus sister-complex. Tapi, lagak Naruto belum menunjukkan ingin menjadikan Hinata sebagai pacar di matanya. Padahal, sebenarnya sudah. Sungguh beruntung dirimu, Naruto.

'Ayolah, Hinataaa. Tolong sapa akuuu!'

—jeritan hati Naruto setiap berpapasan dengan Hinata, namun tak mengeluarkan sapaan apapun.

Sekalipun Naruto menyapa Neji dahulu untuk memancing Hinata yang selalu berangkat dan pulang bersamanya, tetap saja cewek itu tak menggubris. Raut segan tetap terlihat di wajah polosnya. Setiap hal itu berlalu pula, Naruto selalu murung dan mendecak kecewa sehabis Neji dan Hinata berlalu dari hadapannya.

Pernah suatu hari, saat Naruto kebelet pipis setelah jam pelajaran selesai, si rambut duren ini langsung keluar dari kelas dan tancap gas menuju tangga. Karena masih baru tiga menit bel pulang berbunyi, tangga sungguh padat dipenuhi oleh siswa-siswi yang ingin pulang cepat. Akhirnya, Naruto menunggu di atas sambil bergoyang-goyang tidak jelas untuk menahan pipis-nya. Ia menggesek dan memukul pegangan tangga berulang kali seraya berteriak dalam hati, 'Ayo! Cepat! Cepat! Nggak tahan lagi, nih!'

Orang sabar memang beruntung. Tak sampai dua menit, antrian sudah berjalan, walaupun masih lambat. Naruto tetap tersendat menuruni anak tangga satu per satu.

"Haish, lama sekali!" gumam Naruto tetap menggoyang kakinya, kemudian melihat Hinata yang akan naik.

Sedetik setelahnya, kerumunan berjalan dengan kecepatan normal. Naruto lega. Ia melangkah dengan semangat dan menoleh pada Hinata saat lewat tepat di sampingnya. Seperti biasa, Naruto melempar senyum ramahnya—kali ini dicampur dengan senyum 'menahan pipis'—yang disambut dengan diam oleh Hinata.

Jarak mereka menjauh. Naruto yang sudah berbelok ke lantai dasar menggerutu pelan sambil mengepalkan tangan, "Ya ampun, Hinataaa! Disapa, dong, disapaaa! Bukannya diaaam!" Dia pun mendengus kecewa menuju toilet.

Ada cerita lain. Kali ini ketika bel pelajaran belum dimulai. SMA Konoha masuk pukul 07.30, sedangkan Naruto sudah berada di sekolahnya tercinta pukul 06.45. Tumben, rajin. Iyalah, demi ketemu Hinata!

Untuk itu, Naruto yang sudah hafal betul jadwal kedatangan Neji, menunggu di koridor belakang sekolah yang berhadapan langsung dengan lokasi parkiran. Kedua tempat itu hanya dibatasi oleh garis putih, di mana wilayah koridor berlantaikan keramik putih, dan disediakan delapan bangku besi dengan panjang masing-masingnya adalah dua meter. Koridor belakang juga masih dipayungi oleh bangunan dari lantai dua yang merupakan perpanjangan gedung sekolah.

Parkiran yang berlantaikan susunan batu-batu segi enam masih sepi. Masih tiga sepeda motor dan dua sepeda tersusun di sana. Langit juga masih biru gelap. Matahari belum sempurna menerangi daerah belakang sekolah itu. Lagipula, Neji masih 15 menit lagi tiba sesuai jadwalnya.

Naruto menunggu sambil memainkan ponselnya. Ia mengutak-atik aplikasi ramalan cuaca. Setelah mengetahui prakiraan cuaca hari ini, Naruto mengembalikan ponselnya ke layar awal. Ia memutar-mutar ponsel sambil menatap langit yang perlahan mulai terang.

"Hm, bosan... Masih tujuh menit lagi." Ia menguap setelah berkata begitu.

Naruto menggumam. Ia membuka ponselnya kembali, mengklik aplikasi Note. Ia mengetik perlahan.

... Apa, ya? Bosan sekali!

Hi—nata chasing~ chasing~ Aku di sini~, ketiknya ikut menyenandungkan lagu Masayume Chasing dari BoA dengan lirik yang sedikit diubah.

Naruto terkikik, kemudian melanjutkan,

Hinataaa, ayo sapaaa! Sapaaa! Bilang apa, kek!

'Pagi~', 'Hai!', 'Heh.', 'Hm.', atau apaaa gitu, yang penting bersuaraaa.

Grr, minta cepat ditembak nih anak!

Naruto terus mengetik tentang perasaannya yang tak karuan pada Hinata. Ingin nembak, sepertinya terlalu cepat. Apalagi Neji punya virus siscom. Pendekatan dulu, dianya diam terus. Tak tahu entah tidak peka atau peka tapi tidak tertarik.

Tak terasa, tujuh menit yang ditunggu telah berlalu. Naruto masih mengetik saat orang-orang sudah berlalu-lalang berdatangan dan jumlah kendaraan di parkiran telah bertambah.

Langit mulai terang sempurna. Pukul tujuh lewat satu menit. "Hei, Naruto. Aku duluan, ya!" sapa Neji pada Naruto yang masih sibuk dengan ponselnya.

Kepala durennya terangkat dan menoleh ke kanan. Neji berjalan sambil mengisyaratkan dengan tangannya untuk masuk duluan. Naruto mengangguk sejenak lalu safirnya mengikuti Hinata yang tertinggal agak jauh di belakang Neji.

Hinata menoleh sedikit ke arah Naruto kemudian kembali menatap lurus ke depan. Lain halnya dengan Naruto yang terus mengikuti langkah Hinata sampai masuk ke gedung sekolah.

Lagi-lagi Naruto mendecak kecewa. "Sapa aku, Hinataaa!" geramnya ikut beranjak masuk ke gedung sekolah.

Selanjutnya, setiap hari terulang begitu saja. Naruto memendam rasa, terhalang oleh Hinata yang diam. Berulang kali pula, Naruto berbincang dengan Neji di depan Hinata langsung. Namun, gadis itu tetap berpaling dari perhatian Naruto.

Sampai terjadi sedikit peningkatan. Sekali lagi, mereka berpapasan di tangga. Naruto hendak turun, Hinata naik.

Naruto menatap Hinata yang berjalan ke hadapannya. Di anak tangga ke sekian itulah, Hinata berhenti dan mendongak. Naruto buru-buru tersenyum, selagi tak ada siapapun di daerah tangga. Hinata mengangguk pelan menanggapinya, lalu mengarah ke kiri agar bisa langsung naik.

Naruto terheran melihat sikap Hinata itu. Ia memberanikan diri berkata, "Hinata! Sapa aku, dong!" Ia berbalik dan sedikit mendongak. "Disapa, lho! Bukannya hanya mengangguk. Katakan sesuatu!"

Hinata berhenti pada pegangan tangga dan menatap Naruto takut. Naruto menunggu jawabannya.

"... I-iya. S-selamat siang, N-Naruto..." ucapnya dengan senyum campur takut.

Senyum Naruto mengembang. Hatinya terasa hangat dan senang. Tanpa sadar, ia tertawa. "Nah, begitu. Aku pipis dulu, ya!" Ia melambai pelan.

Hinata naik dengan jantung berdegup, sedangkan Naruto berjalan dengan perasaan berbunga-bunga. Ia tersenyum terus sampai tiba di toilet.

Hari ini ada jadwal renang untuk kelas sepuluh. Huh, padahal ini Sabtu. Harusnya bisa pulang cepat untuk menyicil tugas yang menumpuk. Apalagi, sejak Naruto menyimpan rasa pada Hinata, dia semakin giat belajar. Dia ingin sekelas dengan Hinata di kelas unggulan tahun depan, kelas XI IPA 1. Bagi Hinata dan Neji, masuk ke kelas 'bintang' itu hal yang mudah, tapi tidak bagi Naruto yang ngakunya punya otak pas-pasan. Author yakin kamu pasti bisa, Naruto!

Sekarang masih pukul sebelas pagi. Renang dimulai pukul dua siang nanti. Tiga jam adalah waktu yang cukup lama untuk mengisi waktu dengan berbagai kegiatan, contohnya tidur. Ah, untuk apa mengejar-ngejar Hinata kalau waktu luang saja diisi dengan tidur? Lebih baik melakukan sesuatu yang berguna, seperti menyelesaikan tugas prakarya.

Bukan eksak, jadi tidak keren? Tidak masalah. Prakarya juga mata pelajaran di kelas, bukan? Semuanya berharga.

Naruto dan teman sekelompoknya, Kiba, mengungsi dari kelas menuju koridor lantai dua di depan tangga menuju lantai tiga. Koridor di situ cukup luas dan ada sebuah meja panjang dan dua bangku yang tidak terpakai dari sebuah ruang kelas. Sedangkan di lantai tiga hanya ada laboratorium komputer, fisika, kimia, bahasa, dan biologi. Semua kegiatan lab libur pada hari Sabtu. Jadi, koridor itu tidak akan diramaikan oleh murid, kecuali tangga menuju lantai dasar.

Naruto meletakkan ransel miliknya dan Kiba di bangku. Kiba menaruh hasil kerja mereka yang hampir selesai di atas meja panjang, miniatur kincir angin ala Belanda dari stik es krim. Hm, cukup mainstream, lah. Faktor kepepet juga, mungkin.

"Rumputnya, nih, Naruto," ucap Kiba sambil menyodorkan rumput sintetis pada Naruto untuk ditempel. "Pelan-pelan, ya. Sentuhan terakhir, tuh."

Naruto mengolesi lem secukupnya di bagian dasar rumput itu. Perlahan namun pasti, ia mempertajam penglihatannya agar dapat meletakkan rumput di posisi yang pas.

Naruto menahan nafas selama beberapa detik, dan... "Sele—"

"Eh, kalian berdua!"

Seruan itu membuat Naruto membalikkan badannya yang semula agak menungging.

.Bersambung.

Haaai, siapa yang kayak Naruto, punya gebetan pendiam atau culun-type? XD

Atau, malah kamunya yang pura-pura ga peka? Hayo, lhooo. Jangan PPGT gitu, ah. Kasian si doi. Setidaknya kasih respon, dong. Okee? Hahaha. Sampai jumpa di chapter depan~